Anda di halaman 1dari 19

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Tn. A
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. RM : 385017
Alamat : Aikmel
Agama : Islam
Tgl MRS : 14 Agustus 2017  Meninggal dunia
Dirawat : Ruang Interna II

B. Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama : Sesak Napas
Riwayat Penyakit Sekarang : Keluhan ini dirasakan sejak ± 3 bulan terakhir
sebelum masuk Rumah Sakit. Namun dirasakan memberat 2 hari ini. Sesak
dirasakan terus menerus dan tidak berkurang sekalipun pasien merubah
posisi. Keluhan disertai batuk yang lama, lendir (+) warna kuning kehijauan,
darah (-), demam yang berlangsung naik turun, keringat malam disangkal,
penurunan berat badan (+). Nafsu makan berkurang. BAB/BAK biasa.
Riwayat Penyakit Dahulu : Os pernah menderita TB Paru ± 4 tahun yang
lalu dan menurut pengakuan os menjalani
pengobatan TB paru tuntas.
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada yang menderita keluhan yang sama.
Riwayat Kebiasaan/Sosial : Tidak ada.
Riwayat Pengobatan : TB Paru tuntas ± 4 tahun yang lalu
Riwayat Alergi : Tidak ada.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak Sesak, Sedang, Compos Mentis
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 100/60 mmHg Nadi : 98 x/menit
Pernapasan : 28 x/menit Suhu : 36 0C
SpO2 : 80 %
Kepala : Normocephal
Mata : Sclera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Tidak ada kelainan

1
Mulut : Tidak ada kelainan
Gigi : Tidak ada kelainan
Tenggorok : Tidak ada kelainan
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB
Dada : Pergerakan dada simetris kiri = kanan
Jantung : Bunyi jantung I & II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru : Bunyi napas vesikuler D/S menurun, ronkhi (+/+) seluruh
lapangan paru, wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, Nyeri tekan Epigastrium (+)
Perkusi : Timpani
Hepar : Tidak ada kelainan
Ginjal : Tidak ada kelainan
Alat kelamin : Tidak ada kelainan
Ekstremitas : Tidak ada kelainan

D. Pemeriksaan Laboratorium dan Foto Rontgen (Thorax PA)


15-08-2017

HEMATOLOGI SATUAN NILAI NORMAL


WBC 11,21 10^3 uL 3,20 – 10,0
RBC 4,62 10^6 uL 4,40 – 5,60
HB 12,2 g/dL 13,0 – 18,0
HCT 37,1 % 40,0 – 50,0
PLT 308 10^3/uL 17,0 – 38,0
Neut 86,7 % 36,0 – 73,0
Lymph 11,6 % 12,0 – 45,0
Mono 1,5 % 0 – 10
Eo 0,0 % 0,0 – 6,0

E. Diagnosis
Diagnosis IGD : Dyspnea et causa TB Paru relaps

F. Planning
 02 masker 5- 10 lpm
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam/IV (Skin test)
 Inj. Ranitidin 50 mg / 12 jam/ iv

2
 Inj. Methylprednisolon 62,5 mg / 12 jam / iv
 Nebulizer Combivent 1 puff / 6 jam
 Per oral : Ambroxol 30 mg / 8 jam

G. Follow Up

Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi dokter


16/8/2017 S : Sesak (+), Batuk (+) Nyeri Ulu hati (+), IVFD RL 20 tpm
napas berbau (+) Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam/IV
H-1 O: Inj. Omeprazole 40 mg / 24 jam/
Ku: Cukup, CM iv
TD: 90/70 mmHg RR: 24 x/m Inj. Methylprednisolon 62,5 mg /
S: 36 0C 12 jam / iv
R/ Pulmo : Infus Metronidazole 500 mg/ 8
Bunyi napas vesikuler D/S menurun, jam
ronkhi (+/+) seluruh lapangan paru, Nebulizer Combivent 1 puff / 6
wheezing (-/-). jam
Punksi : Pus (+) trengguli Per oral : Ambroxol 30 mg / 8
jam

Hasil Pemeriksaan Sputum :


- Kuman Batang Gram
Negatif (+)
- Kuman Coccus Gram
Negatif (+)
BTA : SPS (-)
Foto Thorax PA

Konsul Sp. B

A : Dyspnea et causa Tb Paru relaps,


Empiema

17/8/2017 S : Sesak (+), Batuk (+), napas berbau (+) IVFD RL 20 tpm

3
O: Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam/IV
H-2 Ku: Cukup, CM Inj. Omeprazole 40 mg / 24 jam/
TD: 100/70 mmHg RR: 24 x/m iv
S: 36,8 0C Inj. Methylprednisolon 62,5 mg /
R/ Pulmo : 12 jam / iv
Bunyi napas vesikuler D/S menurun, Infus Metronidazole 500 mg/ 8
ronkhi (+/+) seluruh lapangan paru, jam
wheezing (-/-). Nebulizer Combivent 1 puff / 6
jam
A : Dyspnea et causa Tb Paru relaps, Efusi Per oral : Ambroxol 30 mg / 8
Pleura Sinistra, Empiema jam

Konsul Sp.B
18/2/2017 S : Sesak (+), Batuk (+), napas berbau (+) IVFD RL 20 tpm
O: Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam/IV
H-3 Ku: Cukup, CM Inj. Omeprazole 40 mg / 24 jam/
TD: 100/70 mmHg RR: 24 x/m iv
S: 36,2 0C Inj. Methylprednisolon 62,5 mg /
R/ Pulmo : 12 jam / iv
Bunyi napas vesikuler D/S menurun, Infus Metronidazole 500 mg/ 8
ronkhi (+/+) seluruh lapangan paru, jam
wheezing (-/-). Nebulizer Combivent 1 puff / 6
jam
A : Dyspnea et causa Tb Paru relaps, Per oral : Ambroxol 30 mg / 8
Efusi Pleura Sinistra, Empiema jam

Konsul Sp.B
19/8/2017 S : Sesak (+), Batuk (+), napas berbau (+) IVFD RL 20 tpm
O: Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam/IV
H-4 Ku : Cukup, CM Inj. Omeprazole 40 mg / 24 jam/
TD : 90/70 mmHg RR : 26 x/m iv
S: 36,7 0C Inj. Methylprednisolon 62,5 mg /
R/ Pulmo : 12 jam / iv
Bunyi napas vesikuler D/S menurun, Infus Metronidazole 500 mg/ 8
ronkhi (+/+) seluruh lapangan paru, jam
wheezing (-/-). Nebulizer Combivent 1 puff / 6
jam
Per oral : Ambroxol 30 mg / 8
A : Dyspnea et causa Tb Paru relaps, Efusi jam
Pleura Sinistra, Empiema Jawaban Konsul Sp. B :
Rencana pemasangan WSD
menunggu persetujuan keluarga

4
(Senin, 21/82017)
21/8/2017 S : Sesak (+) bertambah, Batuk (+) IVFD RL 20 tpm
09.13 O: Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam/IV
WITA Ku: Cukup, CM Inj. Omeprazole 40 mg / 24 jam/
H-6 TD: 90/70 mmHg RR: 26 x/m iv
S: 36 0C Inj. Methylprednisolon 62,5 mg /
R/ Pulmo : 12 jam / iv
Bunyi napas vesikuler D/S menurun, Infus Metronidazole 500 mg/ 8
ronkhi (+/+), wheezing (-/-). jam
A : Dyspnea et causa Tb Paru relaps, Efusi Nebulizer Combivent 1 puff / 6
Pleura Sinistra jam
Per oral : Ambroxol 30 mg / 8
jam

Jawaban Konsul Sp.B R/Terapi sesuai penyakit dalam


Alirkan WSD
S : Sesak Injeksi Ketorolac 2 x 30mg/iv
O : Ku : CM, Sedang
A : Post Pemasangan WSD ec Empyema

17.30
S : bengkak pada dada dan leher R/ urut dari tempt emfisema ke
WITA O : kesadaran CM
end lubang chest tube
RR = 24x/m
Terapi Lain lanjut
WSD : Undulasi (+), air tube (-),
Drip Tramadol 1 amp
A : Emfisema Subkutis post wsd
Rawat luka
Empyema
Plan : Ro Thoraks AP/Lat
Sinistra
Setelah dilakukan perawatan selama 6 hari kondisi pasien memburuk. Pasien
meninggal

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI PLEURA

5
Paru kanan normalnya terdiri dari tiga lobus (atas, tengah, dan bawah) dan
merupakan 55% bagian paru. Paru kiri normalnya terdiri dari dua lobus (atas dan
bawah). Pada lobus atas paru kiri pada bagian bawahnya terdapat lingula yang
merupakan analog dari lobus tengah paru kanan. Paru mengalami perkembangan
yang hebat, saat lahir, bayi memiliki 25 juta alveoli ; jumlah ini bertambah
menjadi 300 juta setelah dewasa. Pertumbuhan paling sering terjadi saat usia 8
tahun. Pertumbuhan tercepat pada usia 3 – 4 tahun. Pleura adalah membran tipis
terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan parietalis. Secara histologis kedua

6
lapisan ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat, dan dalam keadaan normal,
berisikan lapisan cairan yang sangat tipis.
Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis,
sedangkan membran serosa yang melapisi dinding toraks, diafragma, dan
mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan
dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi
sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hilus
paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis,
diantaranya pleura viseralis memiliki ciri ciri permukaan luarnya terdiri dari
selapis sel mesotelial yang tipis < 30mm, diantara celah-celah sel ini terdapat sel
limfosit, di bawah sel-sel mesotelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit
dan histiosit, di bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan
serat-serat elastik, lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang
banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari a. pulmonalis dan a. brakhialis
serta pembuluh limfa, menempel kuat pada jaringan paru, fungsinya untuk
mengabsorbsi cairan pleura. Pleura parietalis jaringannya lebih tebal terdiri dari
sel-sel mesotelial dan jaringan ikat (kolagen dan elastis), dalam jaringan ikat
tersebut banyak mengandung kapiler dari a. intercostalis dan a. mamaria interna,
pembuluh limfa dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit
dan perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n. intercostalis dinding dada dan
alirannya sesuai dengan dermatom dada, mudah menempel dan lepas dari dinding
dada di atasnya, berfungsi untuk memproduksi cairan pleura2.
Volume cairan pleura selalu konstan, dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik
sebesar 9 mmHg , diproduksi oleh pleura parietalis, serta tekanan koloid osmotik
sebesar 10 mmHg yang selanjutnya akan diabsorbsi oleh pleura viseralis.
Penyebab akumulasi cairan pleura adalah sebagai berikut :
1. Menurunnya tekanan koloid osmotik (hipolbuminemia)
2. Meningkatnya permeabilitas kapiler (radang, neoplasma)
3. Meningkatnya tekanan hidrostatik (gagal jantung)
4. Meningkatnya tekanan negatif intrapleura (atelektasis)
B. DEFINISI

7
Empiema adalah kumpulan nanah dalam rongga antara paru-paru dan membran
yang mengelilinginya (rongga pleura). Empiema disebabkan oleh infeksi yang
menyebar dari paru-paru dan menyebabkan akumulasi nanah dalam rongga
pleura2

A. EPIDEMIOLOGI
Empiema merupakan salah satu penyakit yang sudah lama ditemukan dan
berat. Saat ini terdapat 6500 penderita di USA dan UK yang menderita empiema
dan efusi parapneumonia tiap tahun, dengan mortalitas sebanyak 20% dan
menghabiskan dana rumah sakit sebesar 500 juta dolar. Di India terdapat 5 – 10%
kasus anak dengan empiema toraks3.
Empiema toraks didefinisikan sebagai suatu infeksi pada ruang pleura yang
berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik
terlokalisasi atau bebas dalam ruang pleura yang disebabkan karena adanya dead
space, media biakan pada cairan pleura dan inokulasi bakteri. Empiema adalah
akumulasi pus diantara paru dan membran yang menyelimutinya (ruang pleura)
yang dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi. Pus ini berisi sel sel darah putih
yang berperan untuk melawan agen infeksi (sel sel polimorfonuklear) dan juga
berisi protein darah yang berperan dalam pembekuan (fibrin). Ketika pus
terkumpul dalam ruang pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru
sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya
perjalanan penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan memisahkan pleura menjadi
kantong kantong (lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat membuat sebagian
paru tertarik dan akhirnya mengakibatkan kerusakan yang permanen. Empiema
biasanya merupakan komplikasi dari infeksi paru (pneumonia) atau kantong
kantong pus yang terlokalisasi (abses) dalam paru3.
Empiema dapat juga terjadi akibat infeksi setelah pembedahan dada, trauma
tembus dada, atau karena prosedur medis seperti torakosentesis atau karena
pemasangan chest tube. Pus yang berasal dari rongga abdomen yang berada tepat
di bawah paru (abses subfrenikus) juga dapat meluas ke rongga pleura dan
menyebabkan empiema. Demam tinggi sering ditemui, sama seperti gejala
pneumonia yang berupa batuk, nyeri dada karena pleuritis, dan kelemahan.

8
Empiema juga dapat terjadi akibat dari keadaan keadaan seperti septikemia,
sepsis, tromboflebitis, pneumotoraks spontan, mediastinitis, atau ruptur esofagus.
Infeksi ruang pleura turut mengambil peran pada terjadinya empiema sejak jaman
kuno. Aristoteles menemukan peningkatan angka kesakitan dan kematian
berhubungan dengan empiema dan menggambarkan adanya drainase cairan pleura
setelah dilakukan insisi. sebagian dari terapi empiema masih diterapkan dalam
pengobatan modern. Dalam tulisan yang dibuat pada tahun 1901 yang berjudul
The Principles and Practice of Medicine, William Osler, mengemukakan bahwa
sebaiknya empiema ditangani selayaknya abses pada umumnya yakni insisi dan
penyaliran3.

B. ETIOLOGI
Stafilokokus aureus merupakan bakteri penyebab empiema yang paling sering
ditemukan dalam isolasi mikrobiologi, selebihnya adalah bakteri gram negatif.
Sering ditemukannya bakteri gram negatif pada biakan terjadi diantaranya karena
tingginya insidensi resisten karena pemberian antibiotik pada fase awal
pneumonia. Streptokokus jarang menyebabkan empiema. Penyebab empiema
polimikrobial juga pernah dilaporkan, untuk menanganinya diperlukan antibiotik
kombinasi.
Untuk penderita dengan sosial ekonomi yang rendah dan tidak mampu untuk
membeli sefalosporin. Tuberkulosis juga menyebabkan empiema terutama pada
masyarakat India. Mycobacterium tuberculosis sulit diisolasi pada pasien
empiema. Namun pada negara barat justru ditemukan mikrobakterium
tuberkulosis yang tinggi. Fenomena yang jelas ini membutuhkan penelitian yang
lebih lanjut. Cairan pleura yang purulen (empiema) hampir selalu disebabkan oleh
bakterial pneumonia. Efusi pleura yang berhubungan dengan peumonia bakterial,
abses paru, atau bronkoektasis disebut efusi parapneumonia. Sebelum antibiotika
tersedia, pneumokokus atau beta-hemolitik streptokokus merupakan penyebab
tersering terjadinya empiema. Beberapa masa sesudahnya, Stafilokokus aureus
menjadi penyebab terbanyak, namun pada tahun tahun terakhir ini S. pneumoniae
kembali menonjol. Presentase penderita dengan pneumonia pneumokokal yang

9
mengalami efusi paraneumonik tidaklah tinggi seperti yang terlihat pada penderita
dengan empiema yang disebabkan oleh S. aureus (sekitar 80% anak yang
mengalami pnemonia dengan penyebab S. aureus); selain itu juga dapat
disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A , jarang oleh F. tularensis, H.
influenzae tipe b, dan bakteri usus gram negatif seperti Pseudomonas atau
Salmonela. Streptokokus dan difteroid (flora normal mulut) merupakan penyebab
pneumonia aspirasi, khususnya pada dewasa. Pasteurela multosida juga penyebab
empiema pada anak yang menderita pneumonia dan terekspos dengan binatang.
Nokardia jarang menyebabkan efusi pleura, khas pada penderita yang sistem
imunnya tertekan. Penyebab tidak lazim lainnya adalah Yersinia, klamidia
trakomatis, dan Liseria. Spesies bakteroides atau klostridium, aktinomises
anaerob, dan streptokokus anaerob kadang juga menyebabkan empiema (terutama
pada usia dewasa), sehingga cairan dibutuhkan kultur secara anaerob.
Blastomikosis, histoplasmosis, dan koksidioidomikosis berhubungan dengan efusi
pleua purulenta ringan sampai sedang. fungi tersebut dan kriptokokus merupakan
suatu agen yang menjadi risiko penyebab infeksi pada penderita dengan
imunodefisiensi. Namun, penyakit paru yang masif kadang juga menyerang
penderita dengan status imunologi yang normal yang banyak terpajan dengan
fungi. Empiema juga dapat disebabkan oleh parasit seperti paragonimiasis (pada
imigran timur jauh) dan amebiasis3.

C. PATOFISIOLOGI
Ada tiga stadium empiema toraks pada anak yaitu :
Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada
hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan
permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura namun masih sedikit. Cairan
yang dihasilkan mengandung elemen seluler yang kebanyakan terdiri atas netrofil.
Stadium ini terjadi selama 24-72 jam dan kemudian berkembang menjadi stadium
fibropurulen. Cairan pleura mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah
darah putih yang rendah dan enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta

10
glukosa dan pH yang normal, drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat
mempercepat perbaikan3.
Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium
transisional yang dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan
bertambahnya kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak
leukosit polimorfonuklear, bakteri, dan debris selular. Akumulasi protein dan
fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang membentuk bagian atau
lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini berlanjut, pH cairan pleura dan
glukosa menjadi rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium ini berakhir setelah
7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi
dan pemasangan tube3.
Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan
kulit fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah
ekspansi pleura dan membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya
tuba torakostomi untuk drainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi
cairan dan merupakan hasil dari proliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi
terperangkap dan terjadi pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi
selama 2 – 4 minggu setelah gejala awal3.
Empiema adalah adanya pus dalam rongga pleura. Penderita dengan efusi
parapneumonia yang tanpa disertai komplikasi ditangani dengan antibiotika,
cairan pleura dan fagosit akan resorbsi melalui sistem limfa di subpleura,
sedangkan membran mesotelial akan mengalami perbaikan. Jika tidak ditangani
dengan antibiotika, respons inflamasi dini tidak cukup untuk mencegah
penyebaran bakteri, dan efusi parapneumonia dapat terus berkembang menjadi
empiema dan berakhir ke stadium kronik. Selama empiema terus berlanjut, akan
terjadi perkembangan fibrosis pada ruang pleura. Adanya fibrosis dalam ruang
pleura menggambarkan suatu keadaan yang paling menyebabkan kelemahan pada
penderita empiema toraks. Bila fibrosis pleura terus berlanjut akhirnya akan
terjadi fibrotoraks. Mekanisme yang pasti terjadinya fibrosis belum sepenuhnya
dimengerti.

11
Membran pleura menghasilkan cairan pleura yang kemudian diserap oleh
saluran limfa yang terletak pada kedua lapisan pleura. Peningkatan produksi
cairan atau penurunan resorpsi cairan akan menyebabkan akumulasi cairan yang
patologis pada ruang pleura. Cairan pleura dapat berupa transudat, transudat
serofibrin, hemoragik, atau kilosa. Dengan pemeriksaan radiografi mungkin bisa
membedakan jenis-jenis cairan pleura. Pleurosentesis dapat dilakukan dibawah
petunjuk teknik pencitraan. Transudat pleura biasanya berwarna jernih,
kekuningan dan biasanya bilateral. Penyebab tersering adalah gagal jantung.
Penyebab lainnya dapat karena gagal ginjal, hipoproteinemia atau overtransfusi.
Eksudat dapat berwarna kuning kecoklatan atau purulen, dapat disebabkan oleh
tuberkulosis, infeksi paru atau pleura lainnya atau karena abses subfrenikus.
Penyebab lainnya adalah kanker paru dan penyakit jaringan ikat sistemik seperti
lupus eritematous sistemik atau rheumatoid arthritis. Pada posisi tegak lurus,
sedikit cairan akan berkumpul di sudut kostofrenikus, pertama kali ke arah
posterior kemudian ke lateral. Sepanjang diafragma dan dada terisi dengan
gambaran opak. Dimana selama volume cairan terus bertambah maka secara
bertahap akan semakin luas dan paru mengalami perselubungan. jika tidak
ditemukan kepastian antara cairan atau sisa infeksi pleura yang mengalami
pengentalan maka dapat diperjelas dengan pengambilan film tambahan, yakni
penderita dalam posisi dekubitus lateral, bila cairan maka akan mengalir ke bawah
mengikuti gravitasi. Cairan pleura dapat terkumpul dalam kantong tertutup
( lokuli ) yang dibentuk oleh proses infeksi aktif dan menghasilkan pus dalam
jumlah yang besar, cairan pleura tidak hanya mengalir secara pasif sepanjang dada
pada batas cembung medial tapi juga menuju batas cekung medial. Hal ini
mengarah kecurigaan pada empiema dimana dapat terjadi hubungan antara
pneumoni dengan abses paru. Empiema dapat menembus pleura viseral dan
terhubung dengan jaringan paru yang mengandung udara dan cabang bronkial.
Hubungan seperti ini dapat juga terjadi ketika suatu infeksi pada paru menembus
pleura3.

12
D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis empiema hampir sama dengan penderita pneumonia
bakteria, gejalanya antara lain adalah panas akut, nyeri dada (pleuritic chest pain),
batuk, sesak, dan dapa juga sianosis. Inflamasi pada ruang pleura dapat
menyebabkan nyeri abdomen dan muntah. Gejala dapat terlihat tidak jelas dan
panas mungkin tidak dialami penderita dengan sistem imun yang tertekan2.
Gejala dan Tanda Empiema biasanya adalah: Batuk, Pekak Pada Perkusi
Dada, Dispneu, Menurunnya Suara Pernapasan, Demam, Pleural Rub (pada fase
awal), Ortopneu, Menurunnya vokal fremitus, Nyeri Dada, Menyempitnya
ruangan interkosta, Nyeri Abdomen, Daerah mediastinal bergeser pada sisi yang
sehat, Muntah2.

E. PEMERIKSAAN FISIK
Kualitas suara pernafasan yang dapat ditemukan adalah suara pernapasan
bronkial, normalnya didengar di trakea, yang pada auskultasi inspirasi dan
ekspirasi jelas terlihat. Suara pernafasan perifer lainnya yang dapat terdengar
adalah suara pernapasan vesikular, yakni rasio inspirasi yang terdengar lebih
panjang dari ekspirasi. Suara pernapasan bronkial yang terdengar pada paru
perifer diperkirakan terjadi konsolidasi atau adanya efusi pleura. Menurunnya
suara pernafasan saat usaha bernapas merupakan alasan yang cukup untuk
mencurigai adanya atelektasis, konsolidasi lobaris (pneumonia) atau efusi pleura.
Temuan yang didapatkan dari pemeriksaan fisik, dipadukan dengan
inspeksi yang terlihat adanya deviasi trakea dengan jantung, pergerakan dinding
dada, perkusi, fremitus, suara pernafasan, dan melemah sampai menghilangnya
suara pernafasan, dapat membantu menemukan patologi intratoraks. Bentuk torak
bayi lebih melengkung daripada anak anak dan dewasa. Selain itu dinding dada
bayi tipis dengan otot otot yang kecil sehingga suara paru dan jantung diteruskan
lebih jelas. Tulang dan tulang rawannya masih sangat lemah dan elastis. Ujung
dari prosesus xifoid sering terlihat menonjol ke depan di kulit pada apeks
lengkung iga. Pada bayi yang sehat, iga tidak banyak bergerak saat bayi bernapas
biasa, iga bergerak keluar karena diafragma turun dan menekan isi abdomen.

13
Pergerakan dada yang asimetris dapat disebabkan oleh space-occupying lesion
seperti efusi pleura. Pada pemeriksaan pernapasan yang harus dinilai : keadaan
umum, laju pernapasan, warna, pernapasan cuping hidung, suara pernapasan yang
terdengar, dan usaha bernapas. Pernapasan didominasi oleh gerak diafragma
dengan sedikit bantuan dari otot otot dada. Selain melihat gerak pernapasan, juga
penting untuk menilai adakah retraksi ( chest indrawing ) yang merupakan
indikator adanya penyakit paru pada bayi kurang dari 2 tahun oleh WHO. Tipe
tipe retraksi : supraklavikular, interkosta, dan subkosta. Perkusi tidak banyak
membantu pemeriksaan karena pada bayi memang hiperesonansi dan sulit untuk
melacak abnormalitas dari perkusi. Selanjutnya dilakukan auskultasi, telah
dikatakan sebelumnya bahwa suara akan diteruskan menjadi lebih keras dan lebih
kasar daripada pada dewasa. Selain itu, sulit untuk dibedakan dengan suara dari
saluran napas atas yang diteruskan ke dada. Untuk membedakannya terdapat
beberapa petunjuk yang berguna, suara napas dari saluran napas atas cenderung
kuat dan diteruskan simetris ke kedua dada dan semakin menguat saat stetoskop
digerakkan ke atas, biasanya saat inspirasi, terdengar kasar. Suara pernapasan
saluran napas bawah akan terdengarlebih kuat pada daerah yang patologis dan
sering asimetris, sering terdengar saat fase ekspirasi5.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Empiema merupakan perkembangan penyakit atau stadium dari efusi


parapneumonia. Drainase sulit dilakukan karena cairan yang bersifat kental dan

14
adanya lokulasi fibrin dalam ruang pleura. Meskipun beberapa penelitian
menemukan adanya cara efektif mendapatkan keparahan penyakit,
memperkirakan prognosis dan merencanakan penanganan anak yang menderita
empiema dengan ultrasonik, terdapat ketidaksesuaian pada hasil penelitian
tersebut, karena setelah pemberian urokinase intrapleura secara acak pada anak
dengan empiema, ternyata hasil ultrasonik masih tidak berpengaruh. Selain itu
ultrasonik kurang spesifik dalam membedakan daerah kistik yang padat pada
ruang pleura dan menentukan apakah cairan pleura sudah terinfeksi atau belum.
Walaupun gambaran ultrasund anak dengan empiema biasanya ekogenik
homogen, efusi hemoragik dan kilotoraks juga memiliki gambaran yang sama.
Ekogenitas cairan pleura disebabkan karena elemen-elemen sel seperti eritrosit,
sel-sel radang, droplet-droplet lemak atau gelembung udara, dan uultrasonik tidak
dapat membedakan elemen-elemen tersebut5.

2.9. METODE DIAGNOSIS EMPIEMA


 Foto dada posisi frontal, lateral, dan dekubitus
 Kultur darah
 Computed tomography/USG
 Apusan nasofaringeal/ sampel sputum
 Hitung darah lengkap dengan diferensiasi (tidak spesifik namun bisa
mencari penyebab infeksi atau diskrasia darah)
 Torakosenstesis jika etiologi efusi tidak diketahui atau tidak dapat
ditentukan dari proses infeksi yang telah dicurigai sebelumnya
 Pemeriksaan cairan pleura : Hitung sel darah dan diferensiasi, Protein,
laktat dehidrogenase (LDH), glucosa, dan pH, Kultur bakteri aerob dan
anaerob, mikobakteri, fungi, mikoplasma, dan bila ada indikasi disertai
dengan pemeriksaan viral patogen.

Torakosentesis dapat membantu mengetahui penyebab efusi dan


menyingkirkan infeksi. Kekuatan diagnostik yang di ambil dari hasil kultur yang
diambil dari torakosentesis adalah lemah, namun tinggi pada anak dengan infeksi
yang jelas dan mendapatkan antibiotika lebih dalam waktu 24 jam. Tanpa adanya

15
infeksi, normalnya cairan pleura memiliki berat jenis yang rendah (<1.015) dan
protein (<2.5 g/dL), kadar laktat dehidrogenase yang rendah (3 g/dL) dan laktat
dehidrogenase yang tinggi (>250 IU/L), pH yang rendah (<7.2), glukosa yang
rendah (<40 mg/dL), dan hitung selular yang tinggi dengan banyaknya leukosit
polimorfonuklear. Diagnosis empiema ditegakkan bila ditemukan cairan pleura
yang purulen, terdeteksi bakteri gram atau adanya hitung sel darah putih lebih dari
5 x 109 sel/l5 ck5,6,7.

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tergantung dari penyebab efusi dan bertujuan untuk
mengurangi penumpukan cairan. Untuk efusi yang sedikit, khususnya jika
jenisnya adalah transudat, tidak diperlukan drainase. Untuk efusi yang banyak,
diperlukan drainase dengan chest tube, khususnya jika cairannya purulen
(empiema). Pada kasus yang lain, cairan sering terjadi pengentalan dan
terlokalisasi sehingga membuat proses drainase menjadi sulit. Untuk itu, chest
tube dipasang sedini mungkin setelah dipastikan adanya empiema dari
torakosentesis. Pada kasus empiema dan efusi parapneumonia dimana drainase
dipersulit dengan pengumpulan cairan yang terlokulasi maka video-assisted
thoracoscopic surgical débridement dapat membantu menurunkan morbiditas dan
lamanya rawat inap di rumah sakit. Banyak kasus efusi parapneumonia dapat
ditangani secara konservatif dengan pemberian antibiotika intravena. Anak sehat
yang menderita empiema masih dapat berespons dengan pemberian antibiotika
selama 3 – 4 minggu dan drainase dengan chest tube. Pada kebanyakan kasus,
proses penyembuhan dapat dipercepat dengan dilakukan debridemen torakoskopi
pada ruang pleura yang terkena infeksi dan terdapat lapisan fibrin sehingga dapat
mencegah penyebaran menyeluruh pada banyak kasus. Jika penyebabnya sudah
berhasil ditangani maka akan berprognosis baik. Bila seorang anak dengan
pneumonia tidak berespons dengan pemberian antibiotika dalam beberapa hari
maka dapat dilakukan radiografi dada posisi dekubitus atau CT scan untuk
membantu penegakan diagnosis8.

16
H. ALGORITMA PENATALAKSANAAN EMPIEMA
 Stadium 1Drainase dengan torakostomi , antibiotika spektrum luas
 Stadium 2  Video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) dengan
antibiotika spektrum luas, Drainase dengan torakostomi disertai antibiotika
spektrum luas dan terapi fibrinolisis, bila gagal maka dilakukan VATS.
 Stadium 3 VATS dengan torakotomi disertai antibiotika spektrum luas,
atau Torakotomi terbuka dengan antibiotika spektrum luas.

Penanganan dengan antibiotika sebaiknya ditujukan pada stafilokokus


yang resisten penisilin dan S. pneumoniae walaupun hasil pemeriksaan apusan
atau kultur menunjukkan organisme lain sebagai penyebab. Sebagai obat tunggal,
sefuroksim memiliki kerja khusus melawan S. aureus dan pneumokokus, namun
tidak untuk organisme lain. Kombinasi oksasilin (untuk perlindungan terhadap S.
aureus) dan sefotaksim (untuk perlindungan terhadap S. pneumoniae) sering
digunakan. Pada daerah dengan insiden bakteri stafilokokus resisten terhadap
metisilin yang tinggi, sebaiknya digunakan vankomisin dan klindamisin. Jika
cairan pleura berbau busuk, sebaiknya dipikirkan kemungkinan bakteri anaerob
sebagai penyebabnya dan diberikan terapi dengan klindamisin dan metronidazol.
Pemberian streptokinase intrapleura efektif dan aman dalam menangani empiema
stadium 1 dan sadium 2. Selanjutnya akan cenderungan terjadi penurunan drainase
dan penurunan gejala demam dan gejala pernapasan, selain itu penanganan
dengan fibrinolitik dapat dijadikan petunjuk untuk intervensi bedah dini.
Penanganan empiema masih kontroversial khususnya pada anak anak. Pilihan
penanganan mencakup pemberian antibiotika sistemik saja, torakosentesis,
torakostomi dengan menggunakan tuba, dengan atau tanpa pemberian obat
fibrinolitik. Teknik invasif lainnya adalah bedah torakoskopi, mini-torakotomi,
dan torakotomi standar dengan dekortikasi (menyingkirkan bekuan fibrin dari
paru). Bagaimanakah memilih terapi tersebut dan mengapa kontoversial itu karena
beberapa alasan, yang pertama, pengalaman terapi pada dewasa tidak bisa begitu
saja diterapkan dan diramalkan pada anak-anak. Berlawanan dengan penderita
dewasa, kebanyakan anak dengan empiema sebelumnya terlihat sehat. Yang

17
kedua, faktor prognostik dapat membantu meramalkan terapi invasif pada pederita
dewasa seperti level laktat dehidrogenase (LDH), glukosa, pH cairan pleura, yang
tenyata semuanya tidak terlalu berguna pada anak-anak. Seperti yang diterbitkan
akhir akhir ini oleh British Thoracic Society guidelines for the treatment of pleural
space infection in children merekomendasikan penggunaan agen fibrinolitik untuk
menangani efusi parapneumonia dengan komplikasi (cairan yang kental,
gambaran fibrous) atau empiema dan dengan tindakan bedah pada penderita yang
tidak responsif terhadap fibrinolitik.

Penyembuhan anak dengan empiema toraks yang berhubungan dengan


Streptococcus pyogenes sering berjalan lambat. Demam, peningkatan laju endap
darah dan leukositosis tetap ada dalam beberapa minggu walaupun sudah
diberikan penanganan yang cukup. Meskipun outcome penderita biasanya baik.
Penanganan awal anak dengan empiema adalah dengan torakostomi dan terapi
antibiotika secara empiris yang efektif melawan Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pneumoniae, penanganan tambahan meliputi video-assisted
thoracoscopic surgery atau fibrinolisis8.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Asif N, Aamir B, Shahkar AS. Presentation and management of empyema


thoracis at lady reading hospital peshawar. Department of Cardio-thoracic
Surgery, Lady Reading Hospital Peshawar Pakistan, 2008
2. Peter HM et all. Empyema :Epidemiology and Pathophysiology. Associate
Professor of Pediatrics, Division of Pulmonary and Sleep Medicine, Duke
University School of Medicine. Mar 18 2009
3. Peter HM. Empyema Clinical Presentation. Associate Professor of Pediatrics,
Division of Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of
Medicine. Mar 18 2009
4. Peter HM. Empyema Medication. Associate Professor of Pediatrics, Division
of Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University School of Medicine. Mar
18 2009
5. Peter HM et all. Empyema : Treatment and Management. Associate Professor
of Pediatrics, Division of Pulmonary and Sleep Medicine, Duke University
School of Medicine. Mar 18 2009
6. Amit B et all. A study of empyema thoracis and role of intrapleural
streptokinase in its management. Department of Medicine, All India Institute
of Medical Science, New-Delhi-110029, India. BMC Infectious Diseases
2004; 4:19
7. Khaled MA. Management of tuberculous empyema. Division of Thoracic
Surgery, King Khalid University Hospital. Eur J Cardiothorac Surg
2000;17:251-254
8. Chest Online. Management of Acute Empyema. American College of Chest
Physicians. Chest. 1992; 102; 1316-1317

19

Anda mungkin juga menyukai