Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sunnah sering disamakan dengan hadits, artinya semua perkataan,


perbuatan, dan taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
menyetujui perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, misalnya Kholid bin
Walid memakan daging biawak, Rasulullah SAW membiarkannya maka hal itu
dikesani bahwa Nabi tidak mengharamkannya.
Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Dalam kajian
ushul fiqh, as-Sunnah merupakan metode untuk menjelaskan al-Qur’an, oleh
karena itu fungsi as-Sunnah adalah penjelas, penafsir, menguat, penambah, dan
pengkhusus berbagai hukum yang terdapat dalam al-Qur’an yang masih global
atau masih multitafsir dan adapula yang masih mubham.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Al-Sunnah?


2. Apa macam-macam Sunnah?
3. Bagaimana sejarah dan penulisan hadis?
4. Apakah kedudukan hadis?
5. Apa sajakah fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an?

1.3. Tujuan

1. Mengetahui pengertian sunnah;


2. Mengetahui macam-macam sunnah;
3. Mengetahui sejarah dan penulisan hadis;
4. Mengetahui kedudukan hadis;
5. Mengetahui fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an.

Makalah PAI –Al-Sunnah 1


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Al-Sunnah

Sunnah terkadang disebut juga hadis. Hadis secara bahasa berarti kabar atau
berita. Ulama Ushul Fiqh mendefinisikannya adalah; “segala perkataan, perbuatan, dan
persetujuan Nabi Muhammad Saw. yang berkaitan dengan hukum” (Tatapangarsa,
1990:90 dan Fatchur, 1981:6)

Sunnah secara bahasa berarti jalan hidup yang dilalui atau dibiasakan (tradisi).
Sedangkan secara termiologis, para ulam ahli hadis mendefinisikannya sebagai berikut:
“Sesuatu yang didapatkan dari Nabi Muhammad Saw yang terdiri dari ucapan, perbuatan
dan persetujuan, sifat fisik atau budi atau biografi, baik pada masa kenabian ataupun
sesudahnya”. Sedangkan kelompok ahli agama mendefinisikan sunnah adalah: “Sesuatu
yang diambil dari Nabi Saw., yang terdiri dari sabda, perbuatan dan persetujuan beliau.”

Ulama ushul fiqh mendefininisikannya “Segala sesuatu yang berasal dari Nabi
Saw. Selain al-Qur’an, baik ucapan, perbuatan maupun persetujuan yang layak dijadikan
dalil bagi hukum syara’”. Dan menurut ulama fiqh sunnah adalah: “Sesuatu hukum yang
jelas berasal dari Nabi Saw, yang tidak termasuk wajib atau fardhu dan sunnah itu ada
bersama wajib dalam hukum islam”. Dari definisi tersebut ternyata ada dua definisi
pokok dari sunnah, pertama: segala tradisi yang bila dikerjakan berpahala dan bila
ditinggalkan tidak berdosa.

Di samping itu, sunnah dalam pengertian pertama (tradisi Nabi Saw.) memiliki
empat unsur pokok, yaitu:
- Perkataan, yaitu sabda Nabi Muhammad Saw. yang diucapkan dalam berbagai
kesempatan berkaitan dengan ajaran agama (Sunnah Qawliyah)
- Perbuatan, yaitu tindakan-tindakan Nabi Muhammad Saw. terhadap berbagai hal
baik ibadat maupun yang lainnya (Sunnah Fi’liyah)
- Persetujuan, yaitu sikap Rasulullah Saw. terhadap berbagai perbuatan sahabat dengan
mendiamkannya disertai indikasi, kerelaan, atau mempelihatkan pujian dan
dukungannya (Sunnah Taqririyah)
- Cita-cita, yaitu: keinginan Rasulullah Saw. di bidang keagamaan yang belum
terwujud karena kewafatan beliau (Sunnah Hammiyah)

2.2. Macam-macam Sunnah

Al-Sunnah atau al-Hadis dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:


a. Ditinjau dari segi bentuknya terbagi menjadi:
- Fi’li, yaitu perbuatan Nabi Saw.

Makalah PAI –Al-Sunnah 2


- Qauli, yaitu perkataan Nabi Saw.
- Taqriri, yaitu keizinan Nabi terhadap perbuatan sahabat Nabi Saw yang disaksikan
oleh Nabi dan Nabi pun tidak menegurna.

b. Ditinjau dari segi jumlah orang yang menyampaikannya/kuantitas hadis terbagi


kepada:
- Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal tidak
mungin mereka sepakat untuk dusta serta disampaikan melalui indra.
- Msyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak,
tetapi belum sampai kepada mutawatir baik pada jumlahnya maupun karena tidak
melalui indra.
- Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih yang tidak sampai
kepada tingkat masyhur maupun mutawatir.

c. Ditinjau dari kualitas hadis terbagi kepada:


- Shahih, yaitu hadis yang sehat yang diriwayatkan oleh yang baik dan kuat hafalannya,
materinya baik dan bersambung sanadnya dapat dipertanggungjawabkan, tidak punya
cacat dan tidak bertentangan dengan dalil yang shahih.
- Hasan, yaitu hadis yang memenuhi persyaratan hadis shahih kecuali dari segi hafalan,
pembawaannya yang kurang baik.
- Dha’if, yaitu Al-hadis lemah, baik karena terputus salah satu sanadnya atau karena
salah seorang pembawanya kurang baik.

d. Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya, hadis terbagi kepada:


- Maqbul, yaitu hadis yang mesti diterima.
- Mardud, yaitu hadis yang mesti ditolak.

e. Ditinjau dari segi orang yang berperan dalam berbuat atau berkata, hadis terbagi
menjadi:
- Marfu’ yaitu benar-benar Nabi yang berperan atau bersabda
- Mauquf yaitu sahabat yang berperan dan Nabi tidak menyaksikan
- Maqtu’ yaitu tabi’in yang berperan.

f. Ditinjau dari segi jenis, sifat, redaksi teknis penyampaian hadis terdiri dari:
- Mu’an’am yaitu hadis yang menggunakan kata-kata “’An”

Makalah PAI –Al-Sunnah 3


- Muanna yaitu hadis yang menggunakan kata-kata, “Anna”
- Awamir yaitu hadis yang berkaitan dengan perintah.
- Nawahi yaitu hadis yang berhubungan dengan larangan.
- Munqathi’ yaitu hadis yang sanadnya terputus.

2.3. Sejarah dan Penulisan Hadis

Secara singkat, perjalanan hadis Nabi adalah sebagai berikut:

A. Periode Periwayatan dengan Lisan

Periwayatan hadist dengan lisan terjadi di zaman Rasulullah dan para


sahabatnya. Di mana masa Rasulullah masih hidup, hadist belum mendapat
pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti al-Qur’an. Para sahabat, terutama
yang mempunyai kecakapan dalam menulis selalu mencurahkan tenaga dan
waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al;-Qur’an di atas benda-benda yang
dapat ditulis. Perlakuan serupa ini tidak diberikan kepada hadist. Hal ini
sebenarnya agak ironis dilihat dari segi fungsi hadist yang sangat penting untuk
memeberi petunjuk dan bimbingan dalam menafsirkan dan melaksanakan
ketentuan-ketentuan hukum yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Nampaknya
mereka belum memperkirakan bahaya yang akan terjadi pada generasi
mendatang disebabkan karena hadist belum dibukukan.
Para sahabat menyampaikan sesuatu yang diperoleh dengan pancainderanya dari
Nabi Muhammad SAW dengan berita lisan belaka. Hal ini dilakukan
berdasarkan petunjuk Nabi melalui sabdanya :

‫ ن القرا إال شيئ عنى تكتبوا ال‬, ‫ ن القرا غير شيئا عنى كتب ومن‬, ‫ خرج وال عنى ثوا وحد فليمحـه‬, ‫ومن‬
‫)مسـلم ه روا( ر النا من مقعد فـليتبوأ متعمدا عـلي ب كذ‬

“Janganlah kamu tulis yang telah kamu terima dariku selain al-qur’an. Barang
siapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-qur’an hendaklah ia
menghapusnya. Ceritakanlah apa yang kamu terima dariku dan itu tidak
mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia
menduduki tempat duduknya di nereka” (HR Muslim).

B. Periode Penulisan dan Pembukuan al-Hadist.

Setelah agama Islam tersiar luas dan dianut oleh penduduk yang bertempat

Makalah PAI –Al-Sunnah 4


tinggal di luar jazirah Arabia, para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah,
dan tidak sedikit yang meninggal dunia, maka para ulama merasa perlu
membukukan hadis dalam bentuk tulisan atau buku. Hal ini mendorong
Khalifah Umar bin Abdullah ‘lis dan membukukan hadit.

Pada awal pembukuan dan pengumpulan hadist-hadist tersebut tidak


dilakukan klasifikasi, sehingga hadist-hadist itu baik yang sahih, hasan, maupun
dhaif, bahkan sahabat dikumpulkan dan dibukukan. Para penilis hadist
mencampuradukkan hadist-hadist tersebut, sehingga oarng yang tarap ilmu
pengetahuannya masih rendah tidak dapat memimlah-milah hadist-hadist itu.

Ulama-ulama yang berusaha mengumpulkan dan membukuan hadist


sesuai dengan perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz terbatas hanya di kota atau
wilayah masing-masing. Belum ada yang melakukan lawatan ke luar
daerah/luar Negara untuk keperluan itu. Tokoh terkenal dan berjasa
mengumpulkan hadist pada zaman Umar bin Abdul Aziz adalah al-Zuhri.
Setelah itu usaha –usaha pengumpulan dan pembukuan hadist terus dilakukan.

Kitab-kitab yang masyhur mengenai hadist yang terdapat pada periode


penulisan dan pembukuan hadist ini adalah :
(a) Al-Muwahtha, yaitu kitab yang disusun oleh Imam Malik pada tahun 144
H, atas anjuran Khalifah al-Mansur. Jumlah hadist yang terdapat dalamj kitab
ini lebih kurang 1.720 buah. Kehadirannya dalam masyarakat mendapat
sambutan hangat, kitab tersebut masih dapat kita jumpai saat ini.
(b) Musnad al-Syafi’iy, yaitu kitab yang disusun Imam al-Syafi’iy
mencantungkan seluruh hadist yang dimuat dalam kitab beliau, al-Um.
(c) Mukhtaliful- Hadist, karya Imam Syafi’iy. Beliau menjelaskan dalam
kitabnya ini cara-cara menerima Hadist sebagai hujjah, dan cara-cara
mengkompromikan hadist-hadist yang nampaknya kontradiksi satu sama lain.

C. Periode Penyaringan.

Pada permulaan abad ketiga hijrah, para ahli hadist memulai usahanya
memisahkan hadist dari fatwa-fatwa sahabat dan tabiin. Mereka berusaha
membukukan hadist Rasulullah saja. Tanpa campur tangan yang lain. Untuk
tujuan yang mulia ini. Mereka menyusun kitab-kitab Musnad yang bersih dari
fatwa-fatwa. Bangkitlah ulama-ulama ahli hadist seperti : Musa al-‘Abbasy,
Musaddad al-Bashry, Asad bin Musa dan Nu’aim bin Muhammad al-Khaza’iy
menyusun kitab-kitab Musnad. Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin
hambal dan lain-lain. Kendatipun kitab-kitab hadist permulaan abad ketiga ini

Makalah PAI –Al-Sunnah 5


sudah menyisihkan fatwa-fatwa, namun masih mempunyai kelemahan, yakni
belum menyesihkan hadist-hadist dhaif, termasuk juga hadist maudhu’ yang
diseludupkan oleh golongan-golongan yang termasuk ingin merusak ajaran Islam
dari dalam.

Karena adanya kelemahan-kelemahan kitab hadist tersebut, bangkitlah


ulama-ulama ahli hadist pada pertengahan abad ketiga hijrah untuk
menyelamatkannya. Mereka membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk
menentukan suatu hadist : apakah hadist itu bisa diterima atau tidak. Dalam
hubungan ini, para perawi hadist tidak luput menjadi sasaran penelitian mereka,
untuk menyelidiki kejujurannya, kehafalannya, dan lain sebagainya.

Sebagai hasil dari kerja keras parea ulama di periode ini, muncullah kitab-
kitab hadist yang terhindar dari hadist dhaif dan seterusnya. Di antara kitab-kitab
tersebut adalah :

(a) Shahih al-Bukhari atau Al-Jami’ush Shaih. Kitab ini disusun oleh
Muhammad bin Ismail al-Bukhri (195-256 H). Menurut suatu penelitian , kitab
ini memuat 8.122 hadist, yang terdiri dari 6.397 hadist asli, dan selebihnya
hadist yang terulang-ulang. Di antara jumlah tersebut. 1.341 yang mu’allaf
(dibuat sadadnya sebagaian atau seluruhnya), dan 384 hadist mutabi’
(mempunyai sanad yang lain).
(b) Shahih Muslim atau Al-Jami’ush-Shahih. Kitab ini disusun oleh Imam
Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy (204-261 H). Berisi seabanyak 7.273
hadist, termasuk yang di ulang-ulang. Jika tanpa yang di ulang-ulang maka
jumlahnya hanya 4.000 buah.
Kedua kitab tersebut amat popular di kalangan masyarakat Islam di seluruh
dunia, dan dikenal dengan sebutan al-Shahihain. Dan hingga kini sudah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia.

D. Periode Penghafalan.

Kalau pada abad pertama, kedua dan ketiga, hadist berturut-turut


mengalami masa periwayatan, penulisan dan penyaringan dari fatwa-fatwa para
shahabat dan tabiin, maka hadist yang telah didewankan oleh Ulama-Ulama
Mutaqaddimin (ulama abad ketiga), tersebut mengalami sentuhan-sentuhan
baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh Ulama Muta’akhirin (Ulamaa
abad keempat dan seterusnya).

Makalah PAI –Al-Sunnah 6


Pada ulama yang hidup di abad ke empat ini berlomba-lomba menghafal
hadist yang telah dibukukan itu sebanyak-banyaknya, hingga sebagian mereka
sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadist. Sejak zaman ini timbullah
bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadist, seperti al-Hakim, al-
Haffadz, dan lain sebagainya.

Selain itu, perlu juga diketahui bahwa abad keempat ini merupakan abad
pemisah antara ulama mutakaddimin yang dalam menyusun kitab hadist
mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabiin penghafal hadist
dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama mutaakhirin yang dalam
usahanya menyusun kitab-kitab hadist hanya menukil dari kitab-kitab yang telah
disusun oleh ulama mutaqaddimin.Di antara kitab-kitab yang masyhur karya
ulama abad keempat ini adalah :
1. Mu’jam al-Kabir.
2. Mu’jam al-Ausath, dan
3. Mu’jam al-Shaghir, ketiga-tiganya karya Imama Sulaiman bin
Ahmad al-Thabarany (W. 360 H).

E. Periode Pengklasifikasian.

Periode pengklasifikasian dan pensistimatisan hadist ini mulai terjadi pada


abad ke-5 dan seterusnya. Para ulama ahli hadist pada abad ini berupaya
mengklasifikasikan hadist dengan menghimpun hadist-hadist yang sejenis
kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadid. Di samping
itu, mereka berupaya mensyarahkan (menguraikan maksud hadist dengan luas)
dan ada pula yang mengikhtisharkan atau meringkaskan kitab-kitab hadist yang
telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Dengan usaha mereka itu, maka
muncullah beberapa :

1. Sunan al-Kubrah, karya Abu Bakar Ahmad bin Husainb Ali Al-Baihaqy (384-
458 H).
2. Muntaqa al-Akhbar, karya Majdudin al-Harrany (w.652 H),
3. Nailul Authar, sebagai syarah kitab Muntaqa al-Akhbar karya Muhammad
bin ‘Ali al-Syaukany (1172-1250 H).

Selain itu terdapat pula kitab hadist tentang targhib dan tarhib,
seperti :

1. Al-Targhib wa al-Tahib, karya Iman Zakiyuddin Abdu al-Adhim Al-Mundziry


(w. 656 H).\

Makalah PAI –Al-Sunnah 7


2. Dalil al-Falihin, karya Muhammad Ibn ‘Allan As-Shiddiqy (w. 1057 H) sebagai
syarah kitab Riyadush-Shalihin, karya Imam Muhyidin Abi Zakariya al-Nawawy
(w. 676 H).

Selanjutnya bangkit pula para ulama yang berupaya menyusun kitab yang berguna
untuk mencari hadist-hadist, yaitu kitab kamus hadist untuk mentakhrij suatu hadist
atau untuk mengetahui dari kitab hadist apa suatu hadist didapatkan. Misalnya :

1. Al-Jamiush-Shaghir fi Ahadits al-Basyirin-Nadzir, karya Iamam Jalaluddin al-


Suyuthi (849-911 H). Kitab ini berupaya mengumpulkan segala hadist yang
terdapat dalam kitab yang enam dan lainnya dan disusun secara alfabetis dari dari
awal hadist hingga selesai, ditulis pada tahun 907 H).
2. Dakhir al-Mawarits fi al-Dalalati ‘ala Mawadli al-Hadist karya al-Sayyid Abdul
Ghani al-Maqdissy al-Nabulisy. Didalamnya terkumpul kitab Shahih Bukhari,
Muslim, Sunan empat dan Muwaththa.
3. Al-Muljam al-Mufahras li Alfadz al-Hadist al-Nabawy, karya Dr. A. J. Winsinc
dan Dr,. J.F. Mensing, keduanya adalah Dosen bahasa Arab di Universitas
Leiden. Kitab ini merupakan kitab kamus hadist yang mengandung hadist-hadist
Kitab Enam, Musnad al-Darimy, Muwatha’ Malik dan Musnad Ahmad, selesai
dicetak di Leiden pada tahun 1936 M

Dengan mengikuti uraian di atas, nampaklah proses perjalanan hadist dari zaman
Rasulullah hingga masa kini. Semua itu dapat memeberikan keyakinan bahwa para
ulama memang bersungguh-sungguh melestarikan hadist dengan berbagai cara, yang
dari tahap ke tahap memperlihatkan kesempurnaannya.

2.4. Kedudukan Hadis (Sunnah)

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa sunnah adalah sumber kedua


ajaran islam. Menurut Al-Suyuti dan Al-Qasimi, ada beberapa alasan mengapa sunnah
menepati posisi kedua sumber ajaran islam, yaitu:

- Al Qur’an bersifat pasti dalam periwayatannya sedangkan Sunnah tidak.


- Sunnah berfungsi sebagai penjabaran Al Qur’an.
- Al-Qur’an adalah wahyu yang berasal dari Allah baik redaksi maupun isinya,
sedangkan Al Sunnah dari hamba atau utusannya.

Antara Al Qur’an dan Al Sunnah terdapat perbedaan yang sangat mendasar,


sehingga Sunnah menempati urutan kedua dalam sumber ajaran dan hukum islam.
Perbedaan-perbedaan itu adalah :

Makalah PAI –Al-Sunnah 8


- Al Qur’an nilai kebenarannya adalah Qath’iy (absolut) sedangkan Sunnah adalah
zhanni, kecuali hadis mutawattir.
- Seluruh ayat Al-Qur’an mesti dijadikan pedoman hidup, tetapi tidak demikian dengan
sunnah terutama yang tidak menyangkut syariat atau tidak sahih.
- Al Qur’an mesti autentik lafadz dan maknanya, sedangkan sunnah tidak demikian.
- Apabila Al-Qur’an membicarakan masalah akidah atau hal-hal gaib maka setiap
muslim harus mengimaninya. Tidak demikian bila hadis yang mengungkapkannya.

2.5. Fungsi Sunnah Terhadap Al-Qur’an

Ada beberapa macam fungsi sunnah terhadap Al-Quran yaitu:

1. Menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.


2. Menguraikan dan merincikan yang global (mujmal), mengkaitkan yang mutlak dan
mentakhsiskan yang umum(‘am), Tafsil, Takyid, dan Takhsis berfungsi menjelaskan
apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Rasululloh mempunyai tugas menjelaskan Al-
Qur’an sebagaimana firman Alloh SWT dalam QS. An-Nahl ayat 44:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”(QS. An-Nahl : 44)
3. Menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Hukum
yang terjadi adalah merupakan produk Hadits/Sunnah yang tidak ditunjukan oleh Al-
Qur’an. Contohnya seperti larangan memadu perempuan dengan bibinya dari pihak
ibu, haram memakan burung yang berkuku tajam, haram memakai cincin emas dan
kain sutra bagi laki-laki.

Makalah PAI –Al-Sunnah 9


BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari berbagai uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Saw. baik berupa
ucapan, perbuatan maupun persetujuan beliau yang layak dijadikan dalil
bagi hukum syara’.
2. Sunnah terbagi menjadi beberapa bagian yaitu ditinjau dari segi bentuk
(Fi’li, Qauli, Taqriri), dari segi orang yang menyampaikan/kuantitas hadis
(Mutawatir, Masyhur, Ahad), dari segi kualitas hadis (Shahih, hasan,
dha’if, dan marshal), dari segi diterima atau tidaknya (Maqbul dan
Mardud), dari segi orang yang berperan dalam berbuat atau berkata
(Marfu’, mauquf, dan maqtu’), dan dari segi jenis teknis penyampaian
(Mu’an’am, Muanna, Awamir, Nawahi dan Munqathi)
3. Sejarah penulisan hadits terdiri dari fase periwayatan dengan lisan, fase
penulisan dan pembukuan, fase penyaringan, fase penghafalan dan fase
klasifikasi.
4. Kedudukan Hadits adalah sebagai sumber kedua ajaran islam.
5. Fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an diantaranya adalah menguatkan
pernyataan Al-Qur’an, menerangkan ayat yang bersifat global dan
menetapkan hukum baru yang belum terdapat dalam Al-Qur’an.

Makalah PAI –Al-Sunnah 10


Daftar Pustaka

Tim Dosen PAI Unila.2016.Pendidikan Agama Islam Berbasis Karakter di


Perguruan Tinggi.Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada

https://id.wikipedia.org/wiki/Hadis

http://serpihan-islam.blogspot.co.id/2014/11/macam-macam-sunah-dan-contoh.html

https://muslim.or.id/25321-sejarah-penulisan-hadits-1.html

http://www.bacaanmadani.com/2017/08/kedudukan-dan-fungsi-hadits-sebagai.html

https://tatangjm.wordpress.com/fungsi-hadits-terhadap-al-quran/

Makalah PAI –Al-Sunnah 11

Anda mungkin juga menyukai