PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
PEMBAHASAN
Sunnah terkadang disebut juga hadis. Hadis secara bahasa berarti kabar atau
berita. Ulama Ushul Fiqh mendefinisikannya adalah; “segala perkataan, perbuatan, dan
persetujuan Nabi Muhammad Saw. yang berkaitan dengan hukum” (Tatapangarsa,
1990:90 dan Fatchur, 1981:6)
Sunnah secara bahasa berarti jalan hidup yang dilalui atau dibiasakan (tradisi).
Sedangkan secara termiologis, para ulam ahli hadis mendefinisikannya sebagai berikut:
“Sesuatu yang didapatkan dari Nabi Muhammad Saw yang terdiri dari ucapan, perbuatan
dan persetujuan, sifat fisik atau budi atau biografi, baik pada masa kenabian ataupun
sesudahnya”. Sedangkan kelompok ahli agama mendefinisikan sunnah adalah: “Sesuatu
yang diambil dari Nabi Saw., yang terdiri dari sabda, perbuatan dan persetujuan beliau.”
Ulama ushul fiqh mendefininisikannya “Segala sesuatu yang berasal dari Nabi
Saw. Selain al-Qur’an, baik ucapan, perbuatan maupun persetujuan yang layak dijadikan
dalil bagi hukum syara’”. Dan menurut ulama fiqh sunnah adalah: “Sesuatu hukum yang
jelas berasal dari Nabi Saw, yang tidak termasuk wajib atau fardhu dan sunnah itu ada
bersama wajib dalam hukum islam”. Dari definisi tersebut ternyata ada dua definisi
pokok dari sunnah, pertama: segala tradisi yang bila dikerjakan berpahala dan bila
ditinggalkan tidak berdosa.
Di samping itu, sunnah dalam pengertian pertama (tradisi Nabi Saw.) memiliki
empat unsur pokok, yaitu:
- Perkataan, yaitu sabda Nabi Muhammad Saw. yang diucapkan dalam berbagai
kesempatan berkaitan dengan ajaran agama (Sunnah Qawliyah)
- Perbuatan, yaitu tindakan-tindakan Nabi Muhammad Saw. terhadap berbagai hal
baik ibadat maupun yang lainnya (Sunnah Fi’liyah)
- Persetujuan, yaitu sikap Rasulullah Saw. terhadap berbagai perbuatan sahabat dengan
mendiamkannya disertai indikasi, kerelaan, atau mempelihatkan pujian dan
dukungannya (Sunnah Taqririyah)
- Cita-cita, yaitu: keinginan Rasulullah Saw. di bidang keagamaan yang belum
terwujud karena kewafatan beliau (Sunnah Hammiyah)
e. Ditinjau dari segi orang yang berperan dalam berbuat atau berkata, hadis terbagi
menjadi:
- Marfu’ yaitu benar-benar Nabi yang berperan atau bersabda
- Mauquf yaitu sahabat yang berperan dan Nabi tidak menyaksikan
- Maqtu’ yaitu tabi’in yang berperan.
f. Ditinjau dari segi jenis, sifat, redaksi teknis penyampaian hadis terdiri dari:
- Mu’an’am yaitu hadis yang menggunakan kata-kata “’An”
ن القرا إال شيئ عنى تكتبوا ال, ن القرا غير شيئا عنى كتب ومن, خرج وال عنى ثوا وحد فليمحـه, ومن
)مسـلم ه روا( ر النا من مقعد فـليتبوأ متعمدا عـلي ب كذ
“Janganlah kamu tulis yang telah kamu terima dariku selain al-qur’an. Barang
siapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-qur’an hendaklah ia
menghapusnya. Ceritakanlah apa yang kamu terima dariku dan itu tidak
mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia
menduduki tempat duduknya di nereka” (HR Muslim).
Setelah agama Islam tersiar luas dan dianut oleh penduduk yang bertempat
C. Periode Penyaringan.
Pada permulaan abad ketiga hijrah, para ahli hadist memulai usahanya
memisahkan hadist dari fatwa-fatwa sahabat dan tabiin. Mereka berusaha
membukukan hadist Rasulullah saja. Tanpa campur tangan yang lain. Untuk
tujuan yang mulia ini. Mereka menyusun kitab-kitab Musnad yang bersih dari
fatwa-fatwa. Bangkitlah ulama-ulama ahli hadist seperti : Musa al-‘Abbasy,
Musaddad al-Bashry, Asad bin Musa dan Nu’aim bin Muhammad al-Khaza’iy
menyusun kitab-kitab Musnad. Kemudian menyusul pula Imam Ahmad bin
hambal dan lain-lain. Kendatipun kitab-kitab hadist permulaan abad ketiga ini
Sebagai hasil dari kerja keras parea ulama di periode ini, muncullah kitab-
kitab hadist yang terhindar dari hadist dhaif dan seterusnya. Di antara kitab-kitab
tersebut adalah :
(a) Shahih al-Bukhari atau Al-Jami’ush Shaih. Kitab ini disusun oleh
Muhammad bin Ismail al-Bukhri (195-256 H). Menurut suatu penelitian , kitab
ini memuat 8.122 hadist, yang terdiri dari 6.397 hadist asli, dan selebihnya
hadist yang terulang-ulang. Di antara jumlah tersebut. 1.341 yang mu’allaf
(dibuat sadadnya sebagaian atau seluruhnya), dan 384 hadist mutabi’
(mempunyai sanad yang lain).
(b) Shahih Muslim atau Al-Jami’ush-Shahih. Kitab ini disusun oleh Imam
Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy (204-261 H). Berisi seabanyak 7.273
hadist, termasuk yang di ulang-ulang. Jika tanpa yang di ulang-ulang maka
jumlahnya hanya 4.000 buah.
Kedua kitab tersebut amat popular di kalangan masyarakat Islam di seluruh
dunia, dan dikenal dengan sebutan al-Shahihain. Dan hingga kini sudah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia.
D. Periode Penghafalan.
Selain itu, perlu juga diketahui bahwa abad keempat ini merupakan abad
pemisah antara ulama mutakaddimin yang dalam menyusun kitab hadist
mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabiin penghafal hadist
dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama mutaakhirin yang dalam
usahanya menyusun kitab-kitab hadist hanya menukil dari kitab-kitab yang telah
disusun oleh ulama mutaqaddimin.Di antara kitab-kitab yang masyhur karya
ulama abad keempat ini adalah :
1. Mu’jam al-Kabir.
2. Mu’jam al-Ausath, dan
3. Mu’jam al-Shaghir, ketiga-tiganya karya Imama Sulaiman bin
Ahmad al-Thabarany (W. 360 H).
E. Periode Pengklasifikasian.
1. Sunan al-Kubrah, karya Abu Bakar Ahmad bin Husainb Ali Al-Baihaqy (384-
458 H).
2. Muntaqa al-Akhbar, karya Majdudin al-Harrany (w.652 H),
3. Nailul Authar, sebagai syarah kitab Muntaqa al-Akhbar karya Muhammad
bin ‘Ali al-Syaukany (1172-1250 H).
Selain itu terdapat pula kitab hadist tentang targhib dan tarhib,
seperti :
Selanjutnya bangkit pula para ulama yang berupaya menyusun kitab yang berguna
untuk mencari hadist-hadist, yaitu kitab kamus hadist untuk mentakhrij suatu hadist
atau untuk mengetahui dari kitab hadist apa suatu hadist didapatkan. Misalnya :
Dengan mengikuti uraian di atas, nampaklah proses perjalanan hadist dari zaman
Rasulullah hingga masa kini. Semua itu dapat memeberikan keyakinan bahwa para
ulama memang bersungguh-sungguh melestarikan hadist dengan berbagai cara, yang
dari tahap ke tahap memperlihatkan kesempurnaannya.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Saw. baik berupa
ucapan, perbuatan maupun persetujuan beliau yang layak dijadikan dalil
bagi hukum syara’.
2. Sunnah terbagi menjadi beberapa bagian yaitu ditinjau dari segi bentuk
(Fi’li, Qauli, Taqriri), dari segi orang yang menyampaikan/kuantitas hadis
(Mutawatir, Masyhur, Ahad), dari segi kualitas hadis (Shahih, hasan,
dha’if, dan marshal), dari segi diterima atau tidaknya (Maqbul dan
Mardud), dari segi orang yang berperan dalam berbuat atau berkata
(Marfu’, mauquf, dan maqtu’), dan dari segi jenis teknis penyampaian
(Mu’an’am, Muanna, Awamir, Nawahi dan Munqathi)
3. Sejarah penulisan hadits terdiri dari fase periwayatan dengan lisan, fase
penulisan dan pembukuan, fase penyaringan, fase penghafalan dan fase
klasifikasi.
4. Kedudukan Hadits adalah sebagai sumber kedua ajaran islam.
5. Fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an diantaranya adalah menguatkan
pernyataan Al-Qur’an, menerangkan ayat yang bersifat global dan
menetapkan hukum baru yang belum terdapat dalam Al-Qur’an.
https://id.wikipedia.org/wiki/Hadis
http://serpihan-islam.blogspot.co.id/2014/11/macam-macam-sunah-dan-contoh.html
https://muslim.or.id/25321-sejarah-penulisan-hadits-1.html
http://www.bacaanmadani.com/2017/08/kedudukan-dan-fungsi-hadits-sebagai.html
https://tatangjm.wordpress.com/fungsi-hadits-terhadap-al-quran/