2. Preeklampsia Berat
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan
preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap
penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap
terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri
(terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil (Prawirohardjo,
2010).
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala
preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya
dibagi menjadi dua, yaitu (Cunningham, 20130:
a. Aktif
Kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian
medikamentosa Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau
lebih keadaan di bawah ini, yaitu :
1) Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2) Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3) Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan
klinik dan laboratorik memburuk
4) Diduga terjadi solusio plasenta
5) Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
6) Adanya tanda-tanda fetal distress
7) Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
8) NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
9) Terjadinya oligohidramnion
10) Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya
menurunnya trombosit dengan cepat
b. Konservatif (ekspektatif)
Kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian
medikamentosa. Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan
preterm ≤ 37 minggu tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia
dengan keadaan janin baik. Diberi pengobatan yang sama dengan
pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktif. Selama
perawatan konservatif, sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi
dan evaluasi sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri.
Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda
preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila
setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai
kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita
boleh dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda
preeklampsia ringan.
Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan
cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi
untuk terjadinya edema paru dan oligouria. Oleh karena itu monitoring input
cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi
sangat penting (James, 2013).
Selain itu, pemberian magnesium sulfat juga dilakukan kepada penderita
PEB sebagai obat anti kejang. Magnesium sulfat menghambat atau
menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat
transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium
pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser
kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (Marsh, 2012).
Cara pemberian MgSO4 adalah sebagai berikut (POGI, 2016) :
a. Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4, bolus intravena selama 20
menit
b. Maintenance dose : diberikan 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4
gram im tiap 4-6 jam
Pemberian MgSO4 juga disertai syarat-syarat yaitu (POGI, 2016) :
a. Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
b. Refleks patella (+) kuat
c. Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah
24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian
magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 %
dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (POGI, 2016).
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau
fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan
otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin
sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian
intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat
(Marsh, 2012).
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-
paru, payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah
furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan
hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat
janin (Marsh, 2012).
Untuk pemberian antihipertensi, masih banyak pendapat dari beberapa
negara tentang penentuan batas (cut off) tekanan darah. Misalnya Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126
mmHg. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi. Lini pertama dari
obat anti hipertensi adalah dengan menggunakan golongan calcium canal
blocker, misalnya nifedipin. Obat ini bekerja pada otot polos arteriolar dan
menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam
sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium channel blocker
dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya
minimal (POGI, 2016).
Selain itu, dapat digunakan golongan beta-blocker. Atenolol merupakan
beta-blocker kardioselektif (bekerja pada reseptor P1 dibandingkan P2).
Namun, atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, terutama
jika digunakan untuk jangka waktu yang lama selama kehamilan atau diberikan
pada trimester pertama, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan
pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif (POGI, 2016).
Selain itu, digunakan juga metildopa yaitu agonis reseptor alfa yang
bekerja di sistem saraf pusat untuk obat antihipertensi. Obat ini merupakan
obat yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi kronis
karena mempunyai safety margin yang luas (paling aman). Walaupun
metildopa bekerja terutama pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki
sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah
arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif tidak
terpengaruh (POGI, 2016).
Gambar 2.2 Penatalaksaan pada preeklampsia berat
3. Eklampsia