Anda di halaman 1dari 8

A.

Hipertensi dalam kehamilan


Hipertensi dalam kehamilan adalah komplikasi kehamilan setelah kehamilan
20 minggu yang ditandai dengan timbulnya hipertensi, disertai salah satu dari :
edema, proteinuria, atau kedua-duanya. Yang merupakan kegawatdaruratan adalah
preeklampsia dan eklampsia (Cunningham et al, 2010).
Preeklampsia terbagi atas dua yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia
berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists, yaitu (James et al, 2013) :
1. Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut :
a. Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg
atau lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20
minggu kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal.
b. Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau
kualitatif 1+ atau 2+ pada urine kateter atau midstream.
2. Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut :
a. Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
b. Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+
atau 4+.
c. Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang
dari 0,5 cc/kgBB/jam.
d. Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri
di epigastrium.
e. Terdapat edema paru dan sianosis
f. Hemolisis mikroangiopatik
g. Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit
dengan cepat)
h. Gangguan fungsi hati.
i. Pertumbuhan janin terhambat.
j. Sindrom HELLP.

Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya


preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin
dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta
mencegah gangguan fungsi organ vital (Prawiroharjo, 2010).
1. Preeklampsia ringan
Istirahat di tempat tidur sangat dianjurkan kepada penderita
preeklampsia. Dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan aliran darah ke
plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada ekstrimitas
bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga bertambah.
Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan volume darah
yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah dan kejadian edema.
Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi glomeruli dan
meningkatkan dieresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan ekskresi
natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskuler, sehingga mengurangi
vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah
rahim, menambah oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam
rahim (James et al, 2013, Prawirohardjo, 2010).
Keadaan di mana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di
rumah sakit adalah :
1. Bila tidak ada perbaikan tekanan darah, kadar proteinuria selama 2
minggu
2. Adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat.
Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan USG dan
Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan
amnion. Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi
dengan bagian mata, jantung dan lain lain (Prawirohardjo, 2010).
Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu
sampai ≤ 37 minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah
mencapai normal, selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.
Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu
sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi
persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara
spontan, bila perlu memperpendek kala II (Cunnningham et al, 2010)
Gambar 2.1 Penanganan pada preeklampsia ringan (James et al, 2013)

2. Preeklampsia Berat
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan
preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap
penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap
terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri
(terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil (Prawirohardjo,
2010).
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala
preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya
dibagi menjadi dua, yaitu (Cunningham, 20130:
a. Aktif
Kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian
medikamentosa Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau
lebih keadaan di bawah ini, yaitu :
1) Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2) Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3) Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan
klinik dan laboratorik memburuk
4) Diduga terjadi solusio plasenta
5) Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
6) Adanya tanda-tanda fetal distress
7) Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
8) NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
9) Terjadinya oligohidramnion
10) Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya
menurunnya trombosit dengan cepat
b. Konservatif (ekspektatif)
Kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan pemberian
medikamentosa. Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan
preterm ≤ 37 minggu tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia
dengan keadaan janin baik. Diberi pengobatan yang sama dengan
pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktif. Selama
perawatan konservatif, sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi
dan evaluasi sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri.
Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda
preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila
setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai
kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita
boleh dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda
preeklampsia ringan.
Perawatan yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan
cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi
untuk terjadinya edema paru dan oligouria. Oleh karena itu monitoring input
cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi
sangat penting (James, 2013).
Selain itu, pemberian magnesium sulfat juga dilakukan kepada penderita
PEB sebagai obat anti kejang. Magnesium sulfat menghambat atau
menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat
transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium
pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser
kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (Marsh, 2012).
Cara pemberian MgSO4 adalah sebagai berikut (POGI, 2016) :
a. Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4, bolus intravena selama 20
menit
b. Maintenance dose : diberikan 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4
gram im tiap 4-6 jam
Pemberian MgSO4 juga disertai syarat-syarat yaitu (POGI, 2016) :
a. Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
b. Refleks patella (+) kuat
c. Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah
24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian
magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 %
dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (POGI, 2016).
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau
fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan
otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin
sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian
intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat
(Marsh, 2012).
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-
paru, payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah
furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan
hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat
janin (Marsh, 2012).
Untuk pemberian antihipertensi, masih banyak pendapat dari beberapa
negara tentang penentuan batas (cut off) tekanan darah. Misalnya Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126
mmHg. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi. Lini pertama dari
obat anti hipertensi adalah dengan menggunakan golongan calcium canal
blocker, misalnya nifedipin. Obat ini bekerja pada otot polos arteriolar dan
menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium ke dalam
sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian calcium channel blocker
dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena hanya
minimal (POGI, 2016).
Selain itu, dapat digunakan golongan beta-blocker. Atenolol merupakan
beta-blocker kardioselektif (bekerja pada reseptor P1 dibandingkan P2).
Namun, atenolol dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, terutama
jika digunakan untuk jangka waktu yang lama selama kehamilan atau diberikan
pada trimester pertama, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan
pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif (POGI, 2016).
Selain itu, digunakan juga metildopa yaitu agonis reseptor alfa yang
bekerja di sistem saraf pusat untuk obat antihipertensi. Obat ini merupakan
obat yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi kronis
karena mempunyai safety margin yang luas (paling aman). Walaupun
metildopa bekerja terutama pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki
sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan darah
arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif tidak
terpengaruh (POGI, 2016).
Gambar 2.2 Penatalaksaan pada preeklampsia berat

3. Eklampsia

Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tibatiba


yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa
nifas yang menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang disini bersifat
grand mal dan bukan diakibatkan oleh kelainan neurologis.5 Pada umumnya
serangan kejang didahului dengan memburuknya
preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan
penglihatan, mual keras, nyeri di daerah epigastrium, dan hiperrefleksia.9 Menurut
Sibai terdapat beberapa perubahan klinis yang memberikan peringatan gejala
sebelum timbulnya kejang, adalah sakit kepala yang berat dan menetap,
perubahan mental sementara, pandangan kabur, fotofobia, iritabilitas, nyeri
epigastrik, mual, muntah. Namun, hanya sekitar 50% penderita yang mengalami
gejala ini. Prosentase gejala sebelum timbulnya kejang eklampsia adaah sakit
kepala yang berat dan menetap (50-70%), gangguan penglihatan (20-30%),
nyeri epigastrium (20%), mual muntah (10-15%), perubahan mental sementara (5-
10%). 20
Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya
dimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa saat
kemuadian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang menyeluruh,
fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang
akan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada
kelopak mata, otot-otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami
kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini
kadang-kadang begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan penderita
terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat tergigit
oleh karena kejang otot-otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai satu
menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan
jarang dan pada akhirnya penderita tak bergerak.5
Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan berhenti. Selama
beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas, namun kemudian
penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan kembali normal.
Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan
kejang-kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai kejang
yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus.5
Setelah kejang berhenti, penderita mengalami koma selama beberapa saat.
Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi

Anda mungkin juga menyukai