1.DEFINISI
3.FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor yang meningkatkan resiko thalassemia meliputi:
4. EPIDEMIOLOGI
Thalassemia dan hemoglobinopati merupakan penyakit kelainan gen
tunggal (single gene disorders) terbanyak jenis dan frekuensinya di dunia.
Penyebaran penyakit ini mulai dari Mediterania, Timur Tengah, Anak Benua
(sub-continent) India dan Burma, serta di daerah sepanjang garis antara Cina
bagian selatan, Thailand, semenanjung Malaysia, kepulauan Pasifik dan
Indonesia. Daerah-daerah tersebut lazim disebut daerah sabuk thalassemia,
dengan kisaran prevalens thalassemia sebesar 2,515%. World Health
Organization (WHO) pada tahun 1994 menyatakan bahwa tidak kurang dari 250
juta penduduk dunia, yang meliputi 4,5% dari total penduduk dunia adalah
pembawa sifat (bentuk heterozigot). Dari jumlah tersebut sebanyak 80-90 juta
adalah pembawa sifat thalassemia dan sisanya adalah pembawa sifat thalassemia ,
jenis lain pembawa sifat hemoglobin varian seperti HbE, HbS, HbO, dan lain-lain.
Saat ini sekitar 7% dari total penduduk dunia adalah pembawa sifat kelainan ini.
Di Indonesia, thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak
ditemukan. Angka pembawa sifat thalassemia- adalah 3-5%, bahkan di beberapa
daerah mencapai 10%, sedangkan angka pembawa sifat HbE berkisar antara 1,5-
36%. Berdasarkan hasil penelitian di atas dan dengan memperhitungkan angka
kelahiran dan jumlah penduduk Indonesia, diperkirakan jumlah pasien
thalassemia baru yang lahir setiap tahun di Indonesia cukup tinggi, yakni sekitar
2.500 anak. Sementara itu, biaya pengobatan suportif seperti transfusi darah dan
kelasi besi seumur hidup pada seorang pasien thalassemia sangat besar, yakni
berkisar 200-300 juta rupiah/anak/tahun, diluar biaya pengobatan jika terjadi
komplikasi. Selain itu, beban psikologis juga menjadi hal yang harus ditanggung
oleh pasien dan keluarganya.
Sampai saat ini, thalassemia belum dapat disembuhkan. Pengobatan satu-
satunya bagi pasien adalah dengan melakukan transfusi darah rata-rata sebulan
sekali seumur hidupnya, di samping terapi kelasi besi untuk mengeluarkan
kelebihan besi dalam tubuh akibat transfusi darah rutin. Komplikasi seperti gagal
jantung, gangguan pertumbuhan, pembesaran limpa, dan lainnya umumnya
muncul pada dekade kedua, tetapi dengan tatalaksana yang baik usia pasien dapat
diperpanjang. Data Pusat Thalassaemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak,
FKUI-RSCM, mencatat usia tertua pasien mencapai 40 tahun dan bisa
berkeluarga serta memiliki keturunan. Jumlah pasien yang terdaftar di Pusat
Thalassaemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, sampai dengan
bulan Agustus 2009 mencapai 1.494 pasien dengan rentang usia terbanyak antara
11-14 tahun. Jumlah pasien baru terus meningkat setiap tahunnya mencapai 100
orang/tahun. (HTA. 2010)
5.PATOFISIOLOGI
PATOFISIOLOGI THALASSEMIA
Pembentukan eritrosit
o/ sumsum tulang
disuplai dr transfusi
Fe meningkat
Hemosiderosis
1. Muka pucat
2. Insomnia atau sulit tidur
3. Tubuh mudah lemas
4. Menurunnya pola makan
5. Tubuh mudah terkena infeksi
6. Jantung bekerja lebih keas untuk mencukupi pembentukan hemoglobin
7. Terjadi kerapuhan tulang.
7.PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
8.PENATALAKSANAAN
Penderita trait thalassemia tidak memerlukan terapi ataupun perawatan lanjut
setelah diagnosis awal dibuat. Terapi preparat besi sebaiknya tidak diberikan
kecuali memang dipastikan terdapat defisiensi besi dan harus segera dihentikan
apabila nilai Hb yang potensial pada penderita tersebut telah tercapai. Diperlukan
konseling pada semua penderita dengan kelainan genetik, khususnya mereka yang
memiliki anggota keluarga yang berisiko untuk terkena penyakit thalassemia
berat.
Penderita thalassemia berat membutuhkan terapi medis, dan regimen
transfusi darah merupakan terapi awal untuk memperpanjang masa hidup.
Transfusi darah harus dimulai pada usia dini ketika anak mulai mengalami gejala
dan setelah periode pengamatan awal untuk menilai apakah anak dapat
mempertahankan nilai Hb dalam batas normal tanpa transfusi.
o Transfusi Darah
- Transfusi darah bertujuan untuk mempertahankan nilai
Hb tetap pada level 9-9.5 gr/dL sepanjang waktu.
- Pada pasien yang membutuhkan transfusi darah reguler,
maka dibutuhkan suatu studi lengkap untuk keperluan
pretransfusi. Pemeriksaan tersebut meliputi fenotip sel
darah merah, vaksinasi hepatitis B (bila perlu), dan
pemeriksaan hepatitis.
- Darah yang akan ditransfusikan harus rendah leukosit;
10-15 mL/kg PRC dengan kecepatan 5 mL/kg/jam setiap
3-5 minggu biasanya merupakan regimen yang adekuat
untuk mempertahankan nilai Hb yang diinginkan.
- Pertimbangkan pemberikan asetaminofen dan
difenhidramin sebelum transfusi untuk mencegah demam
dan reaksi alergi.
Komplikasi Transfusi Darah
o Komplikasi utama dari transfusi adalah yang berkaitan dengan
transmisi bahan infeksius ataupun terjadinya iron overload.
Penderita thalassemia mayor biasanya lebih mudah untuk terkena
infeksi dibanding anak normal, bahkan tanpa diberikan
transfusi. Beberapa tahun lalu, 25% pasien yang menerima
transfusi terekspose virus hepatitis B. Saat ini, dengan adanya
imunisasi, insidens tersebut sudah jauh berkurang. Virus Hepatitis
C (HCV) merupakan penyebab utama hepatitis pada remaja usia di
atas 15 tahun dengan thalassemia. Infeksi oleh organisme
opurtunistik dapat menyebabkan demam dan enteriris pada
penderita dengan iron overload, khususnya mereka yang mendapat
terapi khelasi dengan Deferoksamin (DFO). Demam yang tidak
jelas penyebabnya, sebaiknya diterapi dengan Gentamisin dan
Trimetoprim-Sulfametoksazol.
o Terapi Khelasi (Pengikat Besi)
- Apabila diberikan sebagai kombinasi dengan transfusi,
terapi khelasi dapat menunda onset dari kelainan jantung
dan, pada beberapa pasien, bahkan dapat mencegah
kelainan jantung tersebut.
- Chelating agent yang biasa dipakai adalah DFO yang
merupakan kompleks hidroksilamin dengan afinitas tinggi
terhadap besi. Rute pemberiannya sangat penting untuk
mencapai tujuan terapi, yaitu untuk mencapai
keseimbangan besi negatif (lebih banyak diekskresi
dibanding yang diserap). Karena DFO tidak diserap di
usus, maka rute pemberiannya harus melalui parenteral
(intravena, intramuskular, atau subkutan).
- Dosis total yang diberikan adalah 30-40mg/kg/hari
diinfuskan selama 8-12 jam saat pasien tidur selama 5
hari/minggu.
o Transplantasi Sel Stem Hematopoetik (TSSH)
o TSSH merupakan satu-satunya yang terapi kuratif untuk
thalassemia yang saat ini diketahui. Prognosis yang buruk pasca
TSSH berhubungan dengan adanya hepatomegali, fibrosis portal,
dan terapi khelasi yang inefektif sebelum transplantasi dilakukan.
Prognosis bagi penderita yang memiliki ketiga karakteristik ini
adalah 59%, sedangkan pada penderita yang tidak memiliki
ketiganya adalah 90%. Meskipun transfusi darah tidak diperlukan
setelah transplantasi sukses dilakukan, individu tertentu perlu terus
mendapat terapi khelasi untuk menghilangkan zat besi yang
berlebihan. Waktu yang optimal untuk memulai pengobatan
tersebut adalah setahun setelah TSSH. Prognosis jangka panjang
pasca transplantasi , termasuk fertilitas, tidak diketahui. Biaya
jangka panjang terapi standar diketahui lebih tinggi daripada biaya
transplantasi. Kemungkinan kanker setelah TSSH juga harus
dipertimbangkan.
o Terapi Bedah
o Splenektomi merupakan prosedur pembedahan utama yang
digunakan pada pasien dengan thalassemia. Limpa diketahui
mengandung sejumlah besar besi nontoksik (yaitu, fungsi
penyimpanan). Limpa juga meningkatkan perusakan sel darah
merah dan distribusi besi. Fakta-fakta ini harus selalu
dipertimbangkan sebelum memutuskan melakukan splenektomi..
Limpa berfungsi sebagai penyimpanan untuk besi nontoksik,
sehingga melindungi seluruh tubuh dari besi tersebut.
Pengangkatan limpa yang terlalu dini dapat membahayakan.
o Sebaliknya, splenektomi dibenarkan apabila limpa menjadi
hiperaktif, menyebabkan penghancuran sel darah merah yang
berlebihan dan dengan demikian meningkatkan kebutuhan transfusi
darah, menghasilkan lebih banyak akumulasi besi.
o Splenektomi dapat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan
lebih dari 200-250 mL / kg PRC per tahun untuk mempertahankan
tingkat Hb 10 gr / dL karena dapat menurunkan kebutuhan sel
darah merah sampai 30%.
o Risiko yang terkait dengan splenektomi minimal, dan banyak
prosedur sekarang dilakukan dengan laparoskopi. Biasanya,
prosedur ditunda bila memungkinkan sampai anak berusia 4-5
tahun atau lebih. Pengobatan agresif dengan antibiotik harus selalu
diberikan untuk setiap keluhan demam sambil menunggu hasil
kultur. Dosis rendah Aspirin® setiap hari juga bermanfaat jika
platelet meningkat menjadi lebih dari 600.000 / μL pasca
splenektomi.
o Transplantasi sumsum tulang
o Transplantasi sumsum tulang untuk talasemia pertama kali
dilakukan tahun 1982. Transplantasi sumsum tulang merupakan
satu-satunya terapi definitive untuk talasemia. Jarang dilakukan
karena mahal dan sulit.
o Diet talasemia (11)
o Pasien dianjurkan menjalani diet normal, dengan suplemen sebagai
berikut :
Vitamin C à 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi.
Asam Folat à 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Vitamin E à 200-400 IU setiap hari.
o Sebaiknya zat besi tidak diberikan, dan makanan yang kaya akan
zat besi juga dihindari. Kopi dan teh diketahui dapat membantu
mengurangi penyerapan zat besi di usus.
9.PENCEGAHAN
Ada 2 pendekatan untuk menghinadari thalassemia:
o Karena karier thalassemia β bisa diketahui dengan mudah,
skrinning populasi dan koseling tentang pasangan bisa dilakukan.
Bila heterozigot menikah, 1 dari 4 anak mereka bisa menjadi
homozigot atau gabungan heterozigot.
o Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya
bisa diperiksa dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari
diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan pada fetus dengan
thalassemia β berat.
o Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan, dilakukan
skrinning premarital yang bisa dilakukan di sekolah anak. Penting
menyediakan program konseling verbal maupun tertulis mengenai
skrinning.
Mencegah perkawinan antara dua orang pembawa sifat thalassemia
Memeriksa janin yang dikandung oleh pasangan pembawa sifat
thalassemia, dan menghentikan kehamilan bila janin dinyatakan sebagai
penderita thalassemia mayor
10.KOMPLIKASI THALASEMIA
1. Infeksi
Baldy CM, Gangguan sel darah putih. 2006. In: Price SA, Wilson LM,
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 6th ed. Jakarta: EGC
Rudolph, M. Abraham.2006.Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar
Pediatrik Rudolph. Edisi 20. Jakarta: EGC
Hassan R dan Alatas H. 2002. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan anak. Bagian
19 Hematologi hal. 419-450, Bagian ilmu kesehatan anak
FakultasKedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
Marks B, Dawn. 2008. Biokimia Kedokteran Dasar. Jakarta: EGC.
Mikrajuddi, dkk. 2007. IPA Terpadu SMP dan MTs jilid 2A. Jakarta:
Erlangga.