Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN KEBUTUHAN ELIMINASI

ENEMA PADA KASUS RETENSI FEKAL

A. DEFINISI
Enema paling sering digunakan sebagai terapi konstipasi. Enema adalah tindakan
memasukan larutan ke dalam rektum dan kolon sigmoid untuk mengeluarkan
feses/flatus. Enema diklasifikasikan ke dalam lima kelompok. Enema merupakan
prosedur yang relatif aman untuk klien. Bahaya utamanya adalah terjadi iritasi mukosa
rektum karena menggunakan terkalu banyak sabun atau karena sabun yang mengiritasi
dan efek negatif dari larutan hipertonik dan hipotonik terhadap perpindahan cairan dan
elektrolit tubuh.

B. ANATOMI FISIOLOGI
Anatomi Fisiologi Rektum
Makanan setelah masuk ke dalam tubuh melalui rongga mulut, akan dilanjutkan ke
kerongkongan (pharynx), kemudian esophagus, dicerna dalam lambung, diteruskan ke
usus halus (intestinum minor), dan usus besar (intestinum mayor), serta berakhir pada
rectum untuk pengeluaran berupa feses (defekasi).

Rectum memiliki panjang sekitar 12 cm dengan bentuk yang lurus atau hampir lurus.
Letaknya ada di dalam rongga pelvis di depan os sacrum dan os koksigius. Rectum
merupakan perpanjangan dari kolon sigmoid. Struktur rectum serupa dengan colon (usus
besar) yaitu lapisan serosa (bagian luar peritoneum), lapisan muscular, Lapisan
submukosa, yang mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf, serta lapisan
membrane mukosa. Namun pada rectum dindingnya yang berotot lebih tebal dan
membran mukosanya memuat lipatan-lipatan membujur disebut dengan kolumna
Morgagni. Saluran tersebut menyambung dengan saluran anus. Di dalam saluran anus ini
serabut otot sirkular menebal membentuk otot sfingter ani interna. Sel-sel yang melapisi
saluran anus berubah sifanya; epithelium bergaris menggantikan sel-sel silinder. Sfingter
ani eksterna yang menjaga saluran anus dan orifisium supaya tertutup.

Anatomi Fisiologi Anus

Anus merupakan saluran pencernaan makanan paling akhir yang menghubungkan usus
besar dengan dunia luar. Letaknya di abdomen bawah bagian tengah di dasar pelvis setelah
rectum. Dinding otot anus diperkuat oleh 3 sfingter yaitu:
1. Sfingter ani internus (tidak mengikuti keinginan)
2. Sfingter levator ani (tidak mengikuti keinginan)
3. Sfingter ani eksternus (mengikuti keinginan)
Eleminasi fekal merupakan mekanisme buang air besar. Untuk mengetahui prosesnya, perlu
untuk mengetahui apa saja sistem saraf autonom instrinsik pada usus yaitu:
1. Pleksus Mienterikus (Auerbach), terletak diantara lapisan otot polos sirkuler dan
longitudinal.
2. Pleksus Meissner, terletak di sub mukosa.
Pleksus Mienterikus dan Meissner merupakan pleksus intrinsik karena keduanya
berada di dalam dinding saluran pencernaan.
3. Pleksus Henle, terletak disepanjang batas otot sirkuler.

Keinginan untuk bedefekasi muncul ketika tekanan rectum mencapai 18 mmHg dan apabila
mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani interna dan eksterna akan melemas dan isi feses
terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah refleks instrinsik yang diperantarai sistem
saraf enteric dalam dinding rektum. Ketika feses memasuki rektum, distensi dinding rectum
akan mengirim sinyal aferen menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan
gerakan peristaltik dalam kolon descendens, sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah anus.
Ketika gelombang perstaltik mendekati anus, sfingter ani interna direlaksasi oleh sinyal
penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani eksterna dalam keadaan sadar
berelaksasi secara volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter melemas sewaktu rectum
teregang.

Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksterna tercapai, defekasi volunteer dapat
dicapai secara volunteer melemaskan sfingter eksterna dan mengontraksikan otot-otot
abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu refleks spinal yang
dengan sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksterna tetap berkontraksi atau
melemaskan sfingetr dan mengontraksi otot abdomen.

Stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai refleks defekasi, sehingga diperlukan
refleks lain yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen sacral medulla spinalis). Jika ujung
saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan dikirimkan ke medulla spinalis kemudian secara
refleks kembali ke kolon descendens, sigmoid, rectum, dan anus melalui serabut
parasimpatis n. pelvikus. Sinyal ini sangat memperkuat gelombang peristaltik dan
merelaksasi sfingter ani interna. Sehingga mengubah refleks defekasi interna menjadi proses
defekasi yang kuat.

Anatomi dan Fisiologi Tulang Servikal


Tulang belakang merupakan merupakan struktur fleksibel yang dibentuk oleh tulang-tulang
yang tidak beraturan yang disebut vertebra, masing-masing vertebra dipisahkan oleh diskus
intervertebralis, yang berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorption) dan menjaga
fleksibilitas gerakan tulang belakang. Kolumna vertebralis adalah pilar utama tubuh, yang
berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang berat kepala dan batang tubuh yang
diteruskan ke tulang-tulang paha dan tungkai bawah. Di setiap ruas tulang belakang juga
terdapat 2 buah lubang di tepi kanan dan kiri belakang tulang bernama foramen invertebrate,
yaitu sebuah lubang tempat berjalannya akar saraf dari canalis vertebrata menuju seluruh
tubuh. Saraf-saraf tersebut keluar melalui lubang itu dan mempersarafi seluruh tubuh baik
dalam koordinasi gerakan maupun sensai sesuai daerah persarafannya.
Tulang belakang terdiri dari 4 segmen yaitu
1. Segmen Servikal (terdiri dari 7 ruas tulang)
2. Semen Torakal (terdiri dari 12 ruas tulang)
3. Segmen Lumbal (terdiri dari 5 ruas tulang)
4. Segmen Sakral (terdiri dari 5 ruas tulang)

Tulang servikal terdiri dari tujuh tulang vertebra yang dipisahkan oleh diskus
intervertebralis dan dihubungkan oleh jaringan ligamen yang komplek. Jaringan ligamen
tersebut menyebabkan tulang-tulang ini dapat bekerja sebagai satu kesatuan unit yang utuh.
Vertebra servikal memiliki karakter berupa tiap procesus tranversus mempunyai foramen
procesus tranversus untuk arteri dan vena vertebralis, namun arteri vertebralis hanya
melalui procesus transversus C1–6 saja.
Pada sistem saraf terdapat sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom (SSO) merupakan
sistem saraf campuran. Serabut-serabut aferennya membawa input dari organ-organ visceral
(mengatur denyut jantung, diameter pembuluh darah, pernapasan, pencernaan makanan,
rasa lapar, mual, pembuangan, dan sebagainya) saraf eferen motorik SSO mempersarafi otot
polos, otot jantung, dan kelenjar-kelenjar visceral. SSO terutama mengatur fungsi visceral
dan interaksinya dengan lingkungan internal. (Muttaqin, 2008). SSO dibagi menjadi dua yaitu
sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Mediator stimulus simpatis adalah norepinefrin
sedangkan mediator impuls parasimpatis adalah asetikolin. Kedua zat kimia ini mempunyai
pengaruh yang berlawanan. Bagian simpatis meninggalkan sistem saraf pusat dari daerah
torakal dan lumbal (torakolumbal medulla spinalis. Sedangkan bagian parasimpatis keluar
dari otak (melalui komponen-komponen saraf cranial) dan bagian sacral medulla spinalis
(kraniosakral)

Patofisiologi Retensi Fekal Akibat Spinal Cord Injury (SCI)


Pada hakikatnya, semua gerakan yang dilakukan oleh manusia diatur oleh sistem saraf.
Sistem saraf merupakan suatu sistem jaringan yang saling berhubungan, sangat khusus
dan kompleks yang berfungsi mengendalikan, mengatur, dan mengkoordinasikan
interaksi antara sistem tubuh suatu individu maupun antara individu dengan
lingkungannya. Sistem saraf dibagi atas dua yakni sistem saraf pusat yang didalamnya
ada otak dan medulla spinalis (sumsum tulang belakang) dan sistem saraf tepi/perifer
yang merupakan saraf yang mengubuhkan antara sistem saraf pusat dengan organ tubuh
lainnya.

Dalam hal retensi fekal ini, yang mengalami masalah pada intinya adalah berpusat pada
sistem saraf tepi yang tidak kondusif lagi kerjanya karena telah mengalami fraktur pada
bagiannya, khususnya cervical-7. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, sistem saraf
perifer/tepi ini merupakan sistem saraf yang menghubungkan sistem saraf pusat dengan
organ tubuh lainnya, diantaranya kranial (yang menguhubungkan kinerja otak dengan
organ lainnya) dan spinal (yang menghubungkan kinerja sumsum tulang/medulla
spinalis dengan organ tubuh lainnya).
Gangguan fungsi pencernaan adalah salah satu masalah terbesar bagi seseorang yang
mengalami cedera tulang belakang/medulla spinalis, khususnya dalam mengontrol
proses evakuasi (pengosongan usus). Hal ini akan bergantung pula pada sistem saraf
perifer yang bertugas menghubungkan kinerja sistem saraf pusat dengan organ lainnya.
Karena pada hakikatnya, gagguan usus merupakan hal yang paling sering ditemukan
dalam program rehabilitasi seseorang setelah cedera tulang belakang, baik dalam hal
kualitas hidup maupun morbiditas dan mortality hidup seseorang. Dalam baru-baru ini
belajar di populasi besar negara Italia dengan pasien yang mengalami cedera tulang
belakang (Spinal Cord Injury atau SCI) mengatakan mereka tidak puas dengan
manajemen usus mereka, dan lebih dari setengah dari mereka mengatakan bahwa itu
adalah beban berat pada sosial mereka hidup dan lebih dari sepertiga darii mereka
mengeluh bahwa mereka tidak berhasil mencapai fungsi usus yang teratur , bahwa
mereka malu dan bahwa mereka tidak mandiri dalam mengelola bowels (sistem
pencernaan) mereka sendiri.

Medulla spinalis memiliki 31 pasang kolumna vetrebralis yang terdiri atas cervical (7
pasang), thoracic (12 pasang), lumbar (5 pasang), dan sacral spinal (5 pasang). Medulla
spinalis merupakan struktur lanjutan tunggal memanjang dari medulla oblongata
(batang otak) melalui foramen magnum dan terus ke bawah melalui kolumna vertebralis
sampai setinggi vertebra lumbalis pertama atau L1 pada orang dewasa (Price & Wilson,
2012). Dalam kasus, klien berumur 25 tahun ini mengalami fraktur cervical-7 yang
berakibat mengalami gangguan pada fungsi pencernaannya, yakni retensi fekal. Cervical
merupakan bagian pada medulla spinalis/sumsum tulang belakang yang berfungsi
mengatur kinerja sfingter ani yang melemah dan akhirnya berdampak pada retensi fekal.

Berdasarkan arah impuls, saraf perifer yang merupakan saraf yang menghubungkan
kinerja saraf pusat dan organ lainnya terbagi atas saraf aferen dan eferen. Saraf aferen
bekerja membawa impuls dari reseptor ke saraf pusat dan eferen bekerja membawa
impuls dari saraf pusat ke efektor. Selanjutnya saraf eferen terbagi atas sistem saraf
somatis dan autonom. Pada saraf somatis bekerja secara sadar dan tidak sadar dan
berfokus pada respon motorik yang dihasilkan oleh otot rangka. Sedangkan pada
autonom berfokus pada pengendalian seluruh respons involunteer organ-organ viseral
seperti pengaturan denyut jantung, diameter pembuluh darah, pencernaan, eliminasi dan
berkaitan dengan otot polos, otot jantung dan kelenjar dengan mentransmisikan impuls
saraf. Pada saraf autonom juga terbagi lagi menjadi saraf simpatis dan parasimpatis.
Menurut Price & Wilson (2012: 457) persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf
autonom dengan pengecualian sfingter eksterna karena bekerja secara volunter.

Serabut parasimpatis pada saraf autonom berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah
kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral menyuplai bagian
distal. Sedangkan serabut simpatis meninggalkan medula spinalis melalui saraf
splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps melalui saraf seliaka dan aortikorenalis, serabut
pasca ganglionik (mengeluarkan asetilkolin) menuju kolon. Rangsangan simpatis
(mengeluarkan nonepineprin) menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang
sfingter rektum, sementara parasimpatis bekerja berkebalikan dengan simpatis. Efek
stimulasi simpatis adalah menurunkan motilitas atau gerakan pada traktus digestif,
kontraksi sfingter yang bermaksud mencegah gerakan maju isi saluran cerna dan inhibisi
sekresi pencernaan. Sementara stimulasi parasimpatis bekerja meningkatkan motilitas,
relaksasi sfingter (memungkinkan gerakan maju isi saluran cerna) dan stimulasi sekresi
pencernaan (pengosongan usus) (Ganong, 2007., Sherwood, 2012).

Eliminasi fekal bergantung pada gerakan kolon dan dilatasi sfingter ani. Gerakan kolon
dan dilatasi sfingter ani ini khusus dikontrol oleh sistem saraf parasimpatis. Gerakan
kolon meliputi tiga gerakan yaitu gerakan massa kolon, gerakan mencampur dan gerakan
peristaltik. Gerakan massa kolon ini merupakan gerakan tercepat yakni bekerja
mendorong feses dari kolon ke rektum. Begitu ada feses yang sampai di rektum, maka
ujung saraf sensoris yang berada pada rektum menjadi regang dan terangsang. Kemudian
impuls ini diteruskan ke medula spinalis. Setelah itu, impuls dikirim ke korteks serebri
serta sakral II dan IV. Impuls dikirim ke korteks serebri agar individu menyadari
keinginan buang air besar. Impuls dikirim ke sakral II dan IV, selanjutnya dikirim ke saraf
parasimpatis untuk mengatur pembukaan sfingter ani interna. Terbukanya sfingter
tersebut menyebabkan banyak feses yang masuk ke dalam rektum. Setelah itu, sfingter
ani eksterna secara volunter akan membuka kemudian terjadilah proses defekasi.

Pada kasus, klien mengalami fraktur cervical-7 yang dengan ini sistem saraf parasimpatis
yang bekerja juga akan mengalami gangguan. Keadaan fraktur ini akan dapat
mengakibatkan kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula spinalis oleh
ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteosif/material diskus dari anterior
yang dapat menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan mediator kimia yang
menyebabkan kerusakan myelin dan akson dan terbentuknya radikal bebas yang
berlebih dalam tubuh dan tidak terkontrol oleh sistem enzim antioksidan, sehingga
terjadi gangguan sensorik motorik juga. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi
intercostal, parasternal, scalenus, otot-otot abdominal, intake pada diafragma, otot
trapezius, dan sebagian pectoralis mayor. Respon saaf simpatis dalam hal ini ditunjukkan
dengan mengurangi perfusi pada traktus gastrointestinal dan juga produksi mucus
lambung untuk melindungi organ yang persarafannya rusak sehingga klien dapat
mengalami pemunduran proses defekasi atau retensi fekal.
C. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
1. Fraktur (kerusakan tulang)
2. Penjepitan saraf spinal (cervical ke-7)
3. Hilangnya sensasi defekasi
4. Post Operasi

D. MANIFESTASI KLINIS/BATASAN KARAKTERISTIK


Manifestasi klinis yang timbul pada klien yang mengalami retensi fekal akibat fraktur
kompresi C7 antara lain:
1. Perut kembung/distensi usus yang ditandai dengan banyaknya gerakan usus yang
tidak lazim dan mungkin merasa seperti tidak dapat mengeluarkan fetus
(gas/flatur) hal ini disebabkan oleh terlalu banyaknya tinja/feses di usus dan
rektum yang tidak dapat dikeluarkan.
2. Gerakan usus (gerakan massa kolon) yang bekerja mendorong feses dari kolon ke
rektum akan mengambil waktu yang jauh lebih lama dari biasanya hal ini
disebabkan oleh adanya fraktur pada cervical ke-7 dan menyebabkan proses
defekasi juga menjadi lebih lama (pada kasus satu kali sehari pada 5 hari yang
lalu).
3. Ketidaknyamanan perut atau nyeri yang diakibatkan oleh distensi kandung kemih.
4. Gejala dysreflexia otonom (berkeringat, sakit kepala) yang disebabkan adanya
rasa ingin melakukan proses defekasi damun tidak bisa mengeluarkan (retensi
fekal) dan akan segera pulih apabila sudah melakukan proses defekasi.
5. Gerakan usus yang keras, disebabkan oleh kurangnya impuls yang diberikan oleh
saraf cervical-7 akibat fraktur yang dialami klien.

E. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG BERHUBUNGAN


1. Nyeri akut b.d fraktur kompresi servikal ke 7, kerusakan sistem saraf,
penggunaan traksi, dan distensi abdomen
2. Konstipasi b.d hambatan defekasi karena fraktur kompresi servikal ke 7
3. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan muskuloskeletal
4. Potensial terhadap kerusakan integritas kulit b.d imobilitas fisik
5. Risiko Trauma Spinal Tambahan b.d komplikasi fraktur servikal
F. INTERVENSI KEPERAWATAN
Referensi

- •http://www.eorthopod.com/content/spinal-compression-fractures (diakses pada hari selasa 6 Mei,2014 pukul 8.23)


- •http://www.patient.co.uk/doctor/Back-Examination-(Thoraco-lumbar).htm (diakses pada hari selasa 6 Mei,2014 pukul 7.00)
- •https://www.ebmedicine.net/topics.php?paction=showTopicSeg&topic_id=213&seg_id=4308 (diakses pada hari selasa 6 Mei,2014
pukul 8.20)
- •Johns Hopkins Medicine. Kyphoplasty. Diambil dari
http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/orthopaedic/kyphoplasty_135,36/.
- •Johns Hopkins Medicine. Vertebroplasty. Diambil dari
http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/orthopaedic/vertebroplasty_135,37/.
- •Pain Medications. Diambil dari http://www.allaboutbackpain.com/html/spine_general/spine_general_painmeds.html#Medications.
- •Potter, P. A. & Perry, A. G. (2005). Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice. 6th edition. St. Louis: Elsevier Mosby.
- •Spine Health. Compression Fracture Treatment. Diambil dari http://www.spine-health.com/conditions/osteoporosis/compression-
fracture-treatment.
- •Spine Health. Spine Fracture Treatment Options. Diambil dari http://www.spine-health.com/treatment/back-surgery/spine-
fracture-treatment-options.
- •Tucker, Susan Martin, Canobbio, Mary M., Paquette, Eleanor Vargo, & Wells, Majorie Fyfe. (1993). Standar Perawatan Pasien: Proses
Keperawatan, Diagnosis, dan Evaluasi. Edisi V. Volume 4. (Terj. Patient Care Standards: Nursing Process, Diagnosis, and Outcome,
1992) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
- •Wilkinson, Judith M. & Ahern, Nancy R. (2009). Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil
NOC. Edisi 9. (Terj. Prentice Hall Nursing Diagnosis Handbook: NANDA Diagnoses, NIC Interventions, NOC Outcomes) Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai