Anda di halaman 1dari 39

1

HUBUNGAN KEBIASAAN KONSUMSI FAST FOOD DAN AKTIFITAS FISIK

(MAKANAN SIAP SAJI) MODERN DENGAN STATUS GIZI OBESITAS

Oleh:

NAMA : HARTYN ARISKAH HADRY

NIM : K1A1 11 070

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2013
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-

Nya, kami dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Hubungan Kebiasaan

Konsumsi Fast Food (Makanan Siap Saji) Modern Dengan Status Gizi Obesitas”.

Proposal penelitian ini saya susun dalam rangka menyelesaikan tugas metodiologi

penelitian.

Selama proses penyusunan proposal penelitian, saya menghadapi berbagai

rintangan dan kesulitan. Namun, akhirnya semua itu dapat saya atasi. Proses penyusunan

proposal penelitian ini pun banyak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Untuk

itu, pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh teman-

teman Fakultas Kedokteran Universitas Haluoleo, khususnya dosen pengajar kami Prof.

dr. yang telah memberikan materi dalam penyusunan proposal penelitian ini.

Segala upaya maksimal telah saya lakukan. Besar harapan saya agar proposal penelitian

ini dapat diterima dan dilaksanakan sebagai bentuk kontribusi saya pada pengembangan

ilmu pengetahuan dan juga sebagai bentuk kepedulian saya terhadap permasalahan gizi di

Indonesia, khususnya masalah obesitas.


3

DAFTAR ISI
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi membawa dampak diperkenalkannya selera makan gaya

fast food yang populer di Amerika dan Eropa. Budaya makan pun telah berubah

menjadi tinggi lemak jenuh dan karbohidrat sederhana, rendah serat dan rendah

zat gizi mikro. (Khomsan, 2004). Kegemukan atau obesitas banyak terkait dengan

jenis atau apa yang dimakan daripada jumlah yang dimakan. Rata-rata konsumsi

energi penduduk Cina lebih tinggi daripada penduduk Amerika, namun kejadian

obesitas 25% lebih banyak di Amerika. Ternyata perbedaannya ada pada sumber

energi, karena orang Cina lebih banyak konsumsi karbohidrat kompleks dan lebih

sedikit lemak daripada pola makan orang Amerika yang lebih banyak lemak jenuh

dan gula (Khomsan, 2004)

Data yang dikumpulkan Himpunan Obesitas Indonesia (2008) berdasarkan

data dan Departemen Kesehatan pada tahun 1993 jumlah penderita obesitas

meningkat menjadi 6,3% untuk anak laki-laki dan 8% untuk anak perempuan.

Data baru yang dikumpulkan oleh Himpunan Obesitas Indonesia yakni tahun

2008 menunjukkan bahwa prevalensi obesitas untuk anak-anak pada sejumlah

Sekolah Dasar di Indonesia adalah 12% menderita obesitas dan 9% kegemukan

dari 1.730 anak. Peningkatan persentase obesitas anak di Indonesia tidak jauh

berbeda dengan angka di Amerika Serikat. Prevalensi obesitas pada anak usia 6-
5

17 tahun di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir naik dari 7,6%-10,8%

menjadi 13%-14%. Sedangkan anak sekolah di Singapura naik dari 9% menjadi

19%.

Kegemukan saat anak-anak bisa disebabkan akibat makan melebihi

kebutuhan, kurang aktivitas fisik, dan karena pengaruh iklan makanan yang

berlebihan. Gaya hidup masa kini juga bisa menyebabkan kegemukan yaitu

adanya kecenderungan suka mengkonsumsi makan cepat saji atau fast food

modern seperti burger, pizza, frenc fries dan lainnya yang mengandung lemak dan

kalori tinggi namun kurang serat, vitamin dan mineral.

Data yang diperoleh oleh kumpulan kegemukan Indonesia oleh Cahyono

diperoleh Satu dari tiga anak di perkotaan di kota Bandung mengalami

kegemukan, melihat gejalanya saat ini, masalah kegemukan pada anak cenderung

meningkat. Menurut survei pada tahun 2000 sebanyak 0,77% anak mengalami

kegemukan, pada tahun 2002 meningkat menjadi 1,27% dan 4,60% pada tahun

2006. Penelitian yang dilakukan pada 917 murid SD swasta favorit di Jakarta

selatan menunjukkan dari 1.525 SD, terdapat 12,1% anak yang mengalami

kegemukan.

Penelitian Harimurti (2008) menyebutkan bahwa peningkatan jumlah

Obesitas pada anakanak saat ini karena anak-anak lebih senang mengkonsumsi

fast food modern yang dapat dikategorikan junk food, karena lebih banyak

mengandung energi dan sedikit serat. Penelitian yang dilakukan oleh Kamaruddin

(2008) menunjukkan bahwa anak yang obesitas di SD 9 Kendari dikarenakan pola


6

makan yang berlebihan dan tinggi energi. Begitupun dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Kartika (1998) menunjukkan bahwa remaja yang mengunjungi

restoran fast food ratarata masih berpendidikan SD, SMP dan SMU dan berasal

dari keluarga ekonomi menengah ke atas.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat hubungan antara konsumsi fast food dengan kejadian obesitas?

2. Dari beberapa faktor determinan obesitas, seberapa besarkah hubungan konsumsi


fast food dengan kejadian obesitas?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui hubungan antara konsumsi fast food dengan kejadian obesitas pada

remaja.

2. Mengetahui besarnya hubungan antara konsumsi fast food dengan kejadian

obesitas pada remaja terkait dengan faktor determinan lain yang

mempengaruhinya.

D. Manfaat Penelitian

a. Aspek teoritis

Memberikan dasar informasi ilmiah tentang hubungan konsumsi fast food

dengan kejadian obesitas .


7

b. Aspek Aplikatif

- Menjadi skrining aktivitas fisik dan konsumsi energi oleh masyarakat

- Menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Umum Variable

A. Obesitas

a. Definisi dan kalsifikasi Obesitas

Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan

metabolisme energy yang di kendalikan oleh beberapa factor biologic spesifik.

Factor genetic diketahui sanagat berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini.

Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi

lemak yang tidak normal atau berlebihan dijaringan adiposa sehingga dapat

mengganggu kesehatan.

Keadaan obesitas ini, terutama obesitas sentral, meningkatkan resiko

penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau

sindrom resistensi insulin yang terdiri dari resistensi insulin/ hiperinsulinemia,

intoleransi glukosa/ diabetes mellitus, displidemia, hiperurisemia, gangguan

fibrinolisis. Hiperfibrinogenemia dan hipertensi.

Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur

pengganti dipakai boddy mass index (BMI) atau indeks masa tubuh (IMT) untuk

menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewsa.


9

IMT merupakan indicator yang paling sering digunakan dan praktis untuk

mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obespada orang dewasa. Untuk

penelitian epidemiologi digunakan IMT atau index quetelet, yaitu berat badan

dalam kilogram (kg) dibagi tinggi dalam meter kuadrat. Saat ini merupakan

indikator yang paling bermanfaat untuk menentukan berat badan lebih atau obes.

Orang yang lebih besar-tinggi dan gemuk, akan lebih berat dari orang yang lebih

kecil.

Hubungan antara lemak tubuh dan IMT ditentukan oleh bentuk tubuh dan

proposal tubuh, sehingga dengan demikian IMT belum tentu memberikan

kegemukan yang sama bagi semua populasi. IMT dapat memberikan kesan yang

umum mengenai derajat kegemukan (kelebihan jumlah lemak) pada populasi,

terutama pada kelompok usia lanjut dan pada atlit dengan banyak otot. IMT dapat

memberikan gambaran yang tidak sesuai mengenai keadaan obesitas karena

variasi lean body mass

Tabel 1. Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa

berdasarkan IMT menurut WHO

Kalsifikasi
IMT (kg/m)

Berat badan kurang <18,5

Kisaran normal 18,5-24,9

Berat badan lebih >25


10

Pra-obes 25,0-29,9

Obes tingkat 1 3,0-34,9

Obes tingkat 2 35,0-39,9

Obes tingkat 3 >40

b. Patofisiologi Obesitas

Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang disimpan dalam

bentuk jaringan lemak. Gangguan keseimbangan energi ini dapat disebabkan oleh

faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat nutrisional (90%) dan faktor

endogen (obesitas sekunder) akibat adanya kelainan hormonal, sindrom atau

defek genetik (meliputi 10%) (Satoto,ddk 1998)

Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3

proses fisiologis yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju

pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan

penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di

hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adipose,

usus dan jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan

rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik

(anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori,

yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi

makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan

peptida gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai


11

stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-

derived hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan

keseimbangan energi (Satoto,ddk 1998)

Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan

adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran

darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar

menurunkan produksi Neuro Peptide–Y (NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu

makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan

energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic

center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada

sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya

kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan. Bagan patofisiologi

obesitas dapat dilihat pada gambar 2.

c. Tanda dan Gejala

Secara klinis obesitas dengan mudah dapat dikenali karena mempunyai

tanda dan gejala yang khas, antara lain wajah membulat, pipi yang tembem, dagu

rangkap, leher relatif pendek, dada yang membusung dengan payudara yang

membesar mengandung jaringan lemak, perut membuncit disertai dinding perut

yang berlipat-lipat serta kedua tungkai umumnya berbentuk X dengan kedua

pangkal paha bagian dalam saling menepel dan bergesekan akibatnya

menyebabkan laserasi dan ulserasi yang dapat menimbulkan bau kurang sedap.
12

Pada anak lelaki penis nampak kecil karena tersembungi dalam jaringan lemak

suprapubik (burried penis), hal yang sering kali menyebabkan orang tua menjadi

sangat khawatir dan segera membawanya ke dokter (Hidayati, dkk 2002)

Bentuk fisik obesitas dibedakan menurut distribusi lemak yang lebih

banyak dibagian atas tubuh (dada dan pinggang) maka disebut apple shape

body (android), dan bila banyak lemak dibagian bawah tubuh (pinggul dan paha)

disebut pear shape body(gynoid). Bentuk yang pertengahan

adalah intermediate. Apple shape cenderung beresiko lebih besar mengalami

penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan diabetes dibandingkan pear

shape (Hidayati, dkk 2002).

Walaupun demikian pengukuran yang lebih obyektif tetap diperlukan,

selain untuk memastikan diagnosis, penting untuk pemantauan hasil terapi.

Pengukuran antara lain dengan pengukuran antropometri dan laboratorik,

sedangkan hasil analisis diet untuk menilai masukan makanan biasanya kurang

akurat (Nazar,2002).

Penentuan obesitas atas dasar antropometri, pada umumnya sebagai berikut

(Nazar,2002 )

1. Hanya mengukur berat badan (BB) dan hasilnya dibandingkan dengan standar,

yakni bila BB>120% disebut obesitas sedangkan antara 110-120%

disebut overweight.
13

2. Berat badan juga dihubungkan dengan tinggi badan (TB), selain mencerminakan

proporsi atau penampilan (BB/TB), juga memberikan gambaran tentang massa

tubuh tanpa lemak (lean body mass) dengan cara menghitung BMI (body mass

index) yaitu BB/TB²

Tabel 1 Klasifikasi obesitas berdasarkan hasil pengukuran BB/TB²

Kategori BB/TB² (kg/m2)

Normal 18,5 – 22,9

Underweight < 18,5

Overweight ≥ 23

At risk 23,0 – 24,9

Obese I 25,0 – 29,9

Obese II ≥ 30

1. Mengukur langsung banyaknya lemak subkutis dengan pengukuran tebal lipatan

kulit (TLK = skinfold thickness). TLK triseps merupakan indeks yang lebih baik

daripada BB/TB dalam menentukan kelebihan lemak tubuh dan TLK trisep diatas

sentil ke-85 merupakan indicator adanya obesitas.

2. Mengatur masa lemak secara laboratorik, misalnya densitometri, hidrometi,

spektrometri sinar gamma dan sebagainya.

d. Factor etiologi obesitas

1. faktor genetic
14

Obesitas pada manusia biasanya keturunan, tetapi memisahkan penyebab

genetik dengan lingkungan adalah sukar, kemungkinan:

a) menempatkan senter makan di atas senter makan normal.

b) Herediter abnormal pada faktor psikik

c) Faktor genetik pada pemakaian energi dan penyimpanan energy

Telah diobservasi bahwa pemakaian energi bayi lahir dari ibu obes kurang dibanding

dengan bayi lahir dari ibu nonobes.

Ada penyakit Impaired Glucose Tolerance (IGT) dengan pemeriksaan biologi

molekular (b cell dysfunction) menunjukkan ada kelainan genetik dan dengan gejala

obesitas.

2. Faktor Endokrin

Hipotiroidei menjadi obes, kemungkinan karena hilangnya aktivitas katabolisme,

juga karena kerja tiroksin untuk lipolisis, dapat dilihat pada miksudem.

 Resisten insulin pada diabetes tipe II sering merupakan akibat obesitas, menurunnya

reseptor insulin terutama di otot skelet, hati dan jaringan lemak.

 Fenomena ini diikuti dengan menurunnya kemampuan insulin untuk tranpor glukose,

oksidasi glukose, dan lipogenesis oleh sel adipos.

 Sensitivitasa penghambatan lipolisis dalam sel lemak individu obes naik.

3. Faktor sarafi (nerogenik)

Kerusakan ventromedial hipotaklamus pada hewan coba akan menunjukkan

hiperinsulinisme, hiperfagi, dan jadi obesitas. Pada manusia kerusakan fungsional

atau struktural seperti tadi jarang ada, termasuk tumor, trauma dan inflamasi,

sampai dengan memberikan obesitas.


15

4. Faktor spikologik

Banyak makan dengan gerakan sedikit berakibat obesitas, dapat terjadi karena

lingkungan atau budaya. Juga emosi, stres akibat kematian salah seorang yang

dicintainya, atau gagal sekolah.

 Kesenangan makan malam hari, ada hubungannya dengan stres psikologik

 Makan yang selalu disediakan sebagai menghilangkan rasa bosan, sendiri,

atau cemas. Makan dapat meredakan rasa tidak nyaman akibat marah atau

depresi.

 Obesitas, keadaan kelebihan penyimpanan trigliserid mengakibatkan suatu

efek penting pada proses metabolisme di jaringan adipos

 Sebagai konsekwensi metabolik dan patologik obesitas, terjadi kenaikan

penyimpanan trigliserid yang berkelanjutan dan berat badan menjadi

berlebihan.

5. Metabolisme Jaringan Adipos

 Penimbunan asam lemak yang cukup besar dalam jaringan adipos, adalah berasal

dari trigliserid kaya akan lipoprotein dalam sirkulasi darah

 Trigliserid bersama very low density lipoprotein (VLDL) dan kilomikron dihidrolise

oleh lipoprotein lipase (LPL) yang terdapat dalam endotel kapiler dan yang

menghasilkan asam lemak dan sebagian besar ditransportasikan ke dalam sel lemak

untuk disimpan.

 Saraf otonom aferen ke jaringan adipos yang juga sebagai mediator mobilisasi asam

lemak, sebagai lintasan penting yang menunjukkan bahwa susunan saraf pusat

mempunyai pengaruh atas mobilisasi asam lemakSebagai akibat menaikkan cAMP


16

yang mengaktifkan protein kinase untuk fosforilasi trigliserid inaktif menjadi bentuk

aktif.

 Fosforilasi tersebut adalah reversibel dengan melalui enzim fosfatase, menyebabkan

pengawasan proses lipolitik terus menerus selalu terjadi.

 Penghambatan fosfodiesterase oleh kafein dan teofilin menaikkan potensi hormon

untuk merangsang lipolitis

 Tiroksin dan kortisol mempunyai efek lipolisis. Rangsangan hormonal dan sarafi

dilawan oleh insulin.

 Dengan demikian jika glukose darah dan kadar trigliserid naik setelah makan, insulin

merangsang penyimpanan lemak dan menghambat lipolisis, sedangkan pada puasa

dan olah raga merangsang lipolisis tanpa dilawan oleh insulin.

6. Proliferasi sel lemak

 Dalam beberapa bulan umur bayi, sel lemak menaikkan kapasitas penyimpanan

lemak dengan cara hipertrofi.

 Pada anak-anak tidak gemuk, besar sel lemak menurun setelah umur satu tahun,

dan akan tetap hipertrofi pada anak-anak yang obes.

 Kebanyakan obes pada dewasa karena adanya pertambahan jumlah sel lemak,

sedangkan pada obes yang tidak berat, karena hipertrofi sel lemak.

 Sebagai akibat hipertrofi sel adipos adalah resistensi terahdap insulin dan penurunan

jumlah reseptor insulin di sel adipos.

 Akibat yang sangat parah pada kejadian ini adalah biasanya akan berkorelasi positif

dengan derajat hipertrofi sel.


17

 Penderita dengan hipertrofi sel lemak menjurus ke arah mudah ketosis sewaktu

puasa.

e. Factor pendukung obesitas

Banya factor yang mempengaruhi terjadinya obesitas, diantaranya sebagai

berikut:

1. Herediter atau keturunan

Kecenderungan menjadi gemuk pada keluarga tertentu. Kalau salah satu orang tua

yang obesitas, maka anaknya mempunyai resiko 40% menjadi obesitas,

sedangkan bila orang tuanya obesitas maka resikonya menjadi 80%.

2. Suku/bangsa

Pada suku/bangsa tertentukadang-kadang terlihat banyak anggotanya yang

menderita gemuk/obes

3. Anak cacat, anak aktifitasnya kurang karena problem fisik atau cara mengasuh.

4. Meningkatnya keadaan social ekonomi sekarang

Orang tua yang dulunya berasal dari keluarga yang kurang mampu, maka mereka

cenderung memberikan makanan sebanyak-banyaknya pada anak-anaknya.

Keluarga yang migrasi dari Negara berkembang ke Negara yang maju atau kaya.

f. Diagnosis

Secara klinis obesitas dikenali dengan mudah karena mempunyai tanda

dan gejala yang khas antara lain:


18

 Wajah membulat

 Pipi tembem

 Dagu rangkap

 Leher relative pendek

 Dada yang mengembang dengan payudara yang besar mengandung banyak

lemak.

 Perut membucit dan dinding perut berlipat serta kedua tungkai umumnya

berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan

menyebabkan lecet.

 Pada laki-laki biasanya penis lebih kecil

g. Penilaian Status gizi

Status gizi merupakan dampak jangka panjang dari keadaan konsumsi

makanan siap saji. Seberapa jauh seseorang memperhatikan jumlah mutu gizi dan

makanan yang di konsumsinya akan tercermin dalam status gizi atau tingkat

kesehatannya.

Menurut supariasa (2002) dalam menilai status gizi seseorang dapat

dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian

status gizisecara langsung dibagi menjadi empat penilaian. Adapun masing-

masing penilaiannya sebagai berikut:

1. Antropometri
19

Digunakan untuk melihat ketidak seimbangan asupan protein dan energi.

Ketidak seimbangan ini dapat dilihat pada pola pertumbuhan fisik dan proposi

jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.

2. Klinis

Digunakan untuk survei klinis secara cepat tanda-tanda klinis umum dari

kekurangan salah satu atau lebih zat gizi

3. Biokimia

Pemeriksaan ini di uji secara laboratories yang di lakukan berbagai macam

jaringan tubuh antara lain darah, urin, tinja, dan beberapa jaringan tubuh lain

seperti hati dan otot.

4. Biofisik

Penilaian dengan metode penentuan status gizi dengan melihat

kemampuan funsi ( jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan.

Penilaian status gizi secara tidak langsung menjadi 3, yaitu:

1. Survei konsumsi

Metode penetuan status gizi dengan melihat jumlah dan zat gizi yang di

konsumsi dapat memberikan gambaran yang konsumsi zat gizi pada masyarakat,

keluarga dan individu. Metode ini juga daopat mengidentifikasikan kelebihan dan

kekurangan zat gizi.

2. Statistic vital
20

Menganalisa beberapa statistic kesehatan seperti angka kematian

berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian.

3. Factor ekologi

Digunakan untuk mengetahui penyebab masalah gizi di masyarakat

sebagai dasar untuk melakukan intervensi.

h. Jenis kelamin

Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi seseorang. Pria

biasanya menyebabkan zat gizi seperti energy dan protein lebih dari pada wanita.

Jenis kelamin merupakan factor internal seseorang yang akan berpengaruh

terhadap komposisi tubuh dan distribusi lemak subkutan antara anak laki-laki dan

perempuan berbeda. Pada laki-laki 11% dari berat badan adalah merupakan

jaringan subkutan anak perempuan lebih banyak menyimpan lemak, sedangkan

anak laki-laki lebih banyak massa otot dan tulang (powers, S.P 1980)

Pada anak laki-laki peningkatan lemak subkutan terjadi pada usia 8 sampai

12 tahun. Sedangkan pada anak perempuan lemak subkutan terus bertambah

sampai usia 16 tahun dan pertambahannya lebih cepat dari pada laki-laki dan akan

menurun hingga usia 25 tahun.

i. Pekerjaan orang tua

Pekerjaan orang tua berperan dalam pola pemberian makanan dalam

keluarga. Orang tua yang tidak mempunyai banyak waktu dan perhatian yang
21

lebih kepada anaknya, biasanya mempunyai rasa bersalah yang berlebih, dalam

hal ini orang tua biasanya akan memberikan makanan yang berlebihan yang

mengandung gula dan berlemak.

Menurut powers (1980) terdapat hubungan dengan meningkatnya

pendapatan nasional maka makin tinggi pula prevalensi obesitas. Dikatakan juga

bahwa factor social ekonomi berhubungan dengan status gizi seseorang, salah

satu factor yang berpengaruh pada kualitas dan kuantitas makanan adalah

pendapatan.

Kondisi ekonomi merupakan factor penting dalam menentukan jumlah dan

macam bahan makanan yang tersedia dalam rumah tangga. Akan tetapi

pendapatan merupakan factor yang tidak langsung akan mempengaruhi konsumsi

pangan dan merupakan factor penentu utama baik atau buruknya status gizi

seseorang atau bekelompok. Pertambahan pendapatan tidak selalu membawa

perbaikan pada konsumsi makanan karena walaupun banyak pengeluaran untuk

makanan tetapi belum tentu kualitas bahan makanan yang dibeli lebih baik.

Demikian juga pendapatan walaupun bertambah meningkat belum tentu

digunakan untuk membeli makanan.

j. Konsumsi makanan

Keadaan obesitas terjadi jika makanan sehari-harinya mengandung energy

yang melebihi kebutuhan biasanya terjadi pada anak yang cepat merasa lapar dan

tidak mau menahan rasa laparnya. Konsumsi makanan sehari-hari dapat dilihat
22

berdasarkan umur, berat badan, tinggi badan, dan jenis kelamin. Banyak atau

sedikitnya zat gizi yang di konsumsi melalui makanan menentukan status gizi

seseorang dapat dikatakan bahwa konsumsi makanan merupakan factor langsung

yang mempengaruhi status gizi.

Kelebihan konsumsi makanan yang tidak di imbangi dengan pengeluaran

energy yang tidak mencukupi dan aktifitas yang kurang menyebabkan terjadinya

kegemukan/obesitas. Penilaian konsumsi makanan dapat digunakan beberapa

metode yang sering digunakan yaitu:

 Recall 24 jam

Cara menilai konsumsi makanan dengan metode recall 24 jam adalah

meminta responden untuk menceritakan semua yang dimakan dan diminum

selama 24 jam jam sebelum wawancara dilakukan. Untuk lebih muda mengingat

ukuran atau porsi makanan biasanya peneliti menggunakan alat bantu berupa food

model dan alat ukur rumah tangga (URT).

 Food frequency questionnaire (FFG)

Pada metode ini bertujuan untuk mendapatkan data kualitatif yang

memberikan informasi pola makan. Daftar pertanyaan berisi tentang 2 komponen

yaitu daftar makanan dan frekuensi makanan dalam periode waktu tertentu seperti

hari, minggu, bulan dan tahun. Kelebihan metode ini adalah daftar pertanyaan

dapat diisi sendiri oleh responden, biaya yang dikeluarkan juga sedikit, Lebih

representative untuk kebiasaan pola makan. Sedangkan kelemahannya adalah tdak

ada porsi makanan. Tidak bisa menilai konsumsi zat gizi sebenarnya.
23

k. Makanan jajanan

Jajanan merupakan suatu kegiatan yang biasa di lakukan dan sangat di

gemari oleh anak-anak sekolah. Makanan jajanan biasanya sangat mudah didapat

dan harganya pun relative sangat murah. menurut Breg (1985), tingkat pendapatan

orang tua dapat menentukan pola makan termasuk pola jajanan anak. Dalam

penelitian ditemukan bahwa terdapat kontribusi sebanyak 14% protein, dan 22%

karbohidrat dari makanan jajanan (husaini 1993).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh staties department of

agriculture (USDA pada tahun 1985 dan 1986 ditemukan bahwa sekitar 76%-83%

minimal mengkonsumsi makanan ringan sekali sehari.

l. Konsumsi Makanan Cepat Saji (Fast Food)

Kehadiran makanan cepat saji sangat cocokn dengan gaya hidup modern

seperti saat ini sehingga pada awal kemunculannya masyarakat langsung

menyukainya. Salah satu keunggulan makanan ini adalah cara menyajiannya yang

cepat.

Di Indonesia terutama dikota besar telah terjadi perubahan gaya hidup dan

kebiasaan makan yaitu, pergeseran dari pola makan tradisional ke pola makan

barat (western style) yaitu fast food. Telah diketahui makanan cepat saji itu

merupakanan makanan yang tidak seimbang kandungan zat gizinya. Berbagai

macam makanan yang termasuk golongan makanan cepat saji adalah kentang
24

goreng, ayam goreng, hamburger, pizza, soft drink, hotdog, minuman

berkarbonasi dll.

Mengkonsumsi makanan cepat saji semakin sering ditemuakan pada

masyarakat dikota-kota besar. Selain jumlah outlet (gerai) restoran-restoran

tersebut semakin banyak diberbagai penjuru kota.menu makanan cepat saji

biasanya enak, lezat dan praktis. Makanan cepat saji ini sangat banyak yang

minati karena pembeli kuran mempunyai waktu yang cukup untuk memasak

dirumah.

The American population study cardia menjelaskan bahwa konsumsi

makanan cepat saji positif berhubungan terhadap terjadinya peningkatan berat

badan. Seseorang mengkonsi makanan cepat saji >2/minggu berat badannya

meningkat 4,5kg dan 104% meningkatkan resistensi insulin jika dibandingkan

dengan seseorang yang mengkonsumsi makanan cepat saji 1 kali perminggu

(stender,deyberg dan astrup 2007)

Ada beberapa factor yang menyebabkan tingkat konsumsi makanan cepat

saji pada anak-anak dan remaja yaitu tingkat pendapatan orang tua dan tingkat

pendidikan oran tua. Tingkat pendapatan orang tua sangat berpengaruh terhadap

konsumsi energy. Orang tua yang mempunyai pendapatan tinggi perbulannya

daya pengeluaran untuk makanan pun lebih tinggi. Namun pada saat ini pemilihan

bahan makanan tidak lagi berdasarkan kebutuhan makanan tetapi lebih mengarah

pada presitis dan rasa makanan yang enak, biasanya makanan yang enak
25

cenderung mengandung protein dan lemak tinggi, perilaku seperti inilah yang

dapat menyebabkan konsumsi makanan tidak denga pertimbangan kesehatan.

Tingginya konsumsi energy yang berasal dari lemak akan berpengaruh

terjadinya masalah kesehatan yaitu obesitas dan penyakit degenerative lain seperti

jantung koroner dan diabetes mellitus. Menurut WHO (2000) menyatakan

perkembangan food industry yang salah satunya berkembangnya makanan cepat

saji yaitu makanan yang tinggi lemak tetapi rendah karbohidrat kompleks

merupakan salah satu penyebab terjadinya obesitas.

Makanan cepat saji saat ini sangat banyak di gemari baik hanya untuk

cemilan maupun makan besar. Makanan ini mudah diperoleh. Disamping “lebih

bergensi” dipengaruhi oleh iklan. Pada umumnya makanan cepat saji

mengandumg tinggi kalori, garam, dan lemak termasuk kolesterol dan menu tipe

barat (western). Umumnya sangat sedkit mengandung serat (dietary fiber).

m. Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot-otot rangka

yang dihasilkan sebagai suatu pengeluaran tenaga (kkal) yang meliputi pekerjaan,

waktu senggang dan aktifitas sehari-hari. Aktifitas fisik tersebut memerlukan

usaha ringan, sedang atau berat yang dapat menebabkan perbaikan kesehatan bila

dilakukan secara teratur (adisapoetra, 2005)

Seseorang yang kurang melakukan aktifitas fisik menyebabkan tubuh

kurang menggunakan energy yang tersimpan dalam tubuh oleh karena itu jika
26

asupan energy berlebihan tanpa di imbangi dengan aktifitas fisik yang sesuai

maka secara berkelanjutan dapat mengakibatkan obesitas. Cara paling mudah dan

umum untuk meningkatkan pengeluaran energy adalah dengan melakukan latihan

fisik atau gerak badan.

Berdasarkan data reskirdas (2007) kurang aktifitas fisik paling tinggi

berdasarkan umur terdapat dalam kelompok 75 tahun ke atas (76,0%) dan umur

10-14 tahun (66,9%) berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan

semakin tinggi prevalensi kurang aktifitas fisik. Prevalensi kurang aktifitas fisik

pada perkotaan (57,6%)lebih tinggi disbanding penduduk pedesaan (42,4%)

Salah satu aktifitas yang dapat di lakukan anak usia adalah dengan rutin

berolahraga sehingga pengeluaran energy seimbang, selain itu dapat pula

meningkatkan aktifitas fisiknya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan

ekstrakulikuler disekolah maupun diluar sekolah.

Aktifitas fisik merupakan variable untuk pengeluaran energy, oleh karena

itu aktifitas fisik dijadikan salah satu perilaku untuk penurunan berat badan.

Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan apabila melakukan aktifitas fisik

dengan intensites yang cukup selama 60 menit dapat menurunkan berat badan dan

mencegah untuk peningkatan berat badan kembali.

Menurut bownell dan stunkard (1980) ada 5 daftar utama dari keuntungan

meningkatkan aktifitas fisik pada seseorang yang mengalami obesitas:

1. Meningkatkan pengeluaran energy

2. Memungkinkan penekanan terhadap selera makan


27

3. Mengurangi kehilangan massa otot pada tubuh (lean body mass) selama

pengaturan pola makan.

4. Memperbaiki funsi psikologis yang berhubungan dengan obesitas

5. Memungkinkan pengaturan pola makan.

Pendekatan awal dalam penanganan obesitas pada anak adalah dengan menilai

seberapa besar aktivitas fisik yang dilakukan. Jika seorang anak menghabiskan

banyak waktunya dikegiatan yang tidak mengeluarkan energi banyak secara terus

menerus seperti menonton televisi atau bermain games. Maka dianjurkan untuk lebih

banyak melakukan aktifitas fisik. Pemerintah dan ahli kesehatan di Amerika

merekomendasikan untuk melakukan aktivitas fisik selama 60 menit atau lebih akan

membantu untuk mencapai berat badan ideal dan menjaga berat badannya

dikemudian hari(wardlaw dan hampl, 2007)

Menurut beyrne dan hills (2007) usia anak-anak seharusnya melakukan aktivitas

fisik yang dapat dilakukan misalnya kegiatan olahraga disekolah, permainan,

berenang dan lain-lain.

Aktifitas menurut RDA tahun 1989 dibedakan dalam beberapa kategori seperti

istrahat, sangat ringan, ringan, sedang dan berat adapun kegiatan kegiatan yang

dikelompokkan dalam kategori tersebut adalah sebagai berikut:

Kategori aktivitas kegiatan

Istrahat Tidur, berbaring atau bersandar


28

Sangat ringan Duduk dan berdiri, melukis, menyetir mobil, pekerja

laboratorium, mengetik, menyapu, menyetrika, memasak,

bermain kartu, bermain alat music.

Ringan Berjalan dengan kecepatan 2,5-3 mph, bekerja di bengkel,

pekerja kayu, pekerja yang berhubungan dengan restoran,

membersihkan rumah, mengasuh anak, golf, memancing, tenis

meja.

Sedang Berjalan dengan kecepatan 3,5- 4mph mencabut rumput dan

mencangkul, menangis dengan keras, bersepeda, ski, tenis,

menari.

berat Berjalan mendaki, menebang pohon, menggali tanah, basket,

panjat tebing dan sepak bola.

Sumber RDA 10th edition, nacional academic press, 1989

2. Kerangka Konsep

Masalah obesitas pada anak sekolah bukan hanya menjadi masalah dinegara maju

saja dimana dari segi ekonomi sudah makmur, namun masalah obesitas telah menjadi

masalah global yang telah menimpa masyarakat dinegara berkembang.


29
Karakter responden:

 Umur
 Jenis kelamin

Karakteristik orang tua responden:

 Pendidikan orang tua


 Status pekerjaan orang tua

Frekuensi konsumen makanan: Obesitas

 Frekuensi makanan jajanan


 Frekuensi konsumsi
makanan cepat saji

 Genetic
 Keterpaparan media

Keterangan:

 = = variable independen

 = variable dependen

 = variable terikat

Dari kerangka konsep diatas variable independen yang akan diteliti dari 2 faktor

yaitu karakteristik responden (umur dan jenis kelamin), karakteristik orang tua responden

(pendidikan orang tua dan sttus pekerjaan ibu) frekuensi konsumsi makanan (frekuensi
30

makanan jajanan dan frekuensi makanan cepat saji), aktifitas fisik. Sedangkan yang

menjadi variable dependen adalah kejadian obesitas.

Factor hormone dan pengobatan yang turun berperan menimbulkan kejadian

obesitas tidak diteliti pada penelitian ini, karena dibutuhkan waktu yang relative lama

dalam pengumpulan data dan pemeriksaan yang rumit.

3. Hipotesis

 Ada hubungan antara umur dan obesitas

 Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian obesitas

 Ada hubungan antara pendidikan orang tua dengan adanya obesitas

 Ada hubungan antara frekuensi makanan jajanan dengan kejadian obesitas

 Ada hubungan antara mkanan siap saji (fast food) dengan obesitas

 Ada hubungan antara kebiasaan olahraga dengan kejadian obesitas.


31

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang di gunakan adalah obsevasional analitik dengan

rancangan case-control study, artinya dalam penelitian ini peneliti ingin

mengetahui bagaimana suatu factor resiko dipelajari dengan menggunakan

pendekatan retrospektif dimana factor efek di identifikasikan pada saat ini

kemudian factor resiko di identifikasikan pada waktu yang lalu (Notoatmojo,

2005 ). Pada study ini asekelompok kasus (yakni pasien yang menderita efek atau

penyakit yang sedang diteliti) dibandingkan dengan kelompok control (mereka

yang tidak menderita penyakit atau efek). (sastroasmoro dan ismael, 2011) tujuan

untuk penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan umur, jenis kelamin,

pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, frekuensi makanan jajanan, frekuensi

konsumsi makanan cepat saji, kegiatan fisik seperti olahraga akan dikumpulkan

dalam waktu bersamaan.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini di lakukan pada bulan april sampai mei tahun 2013 di

wilayah kerja kel.wajo kota Bau-bau provinsi Sulawesi tenggara.


32

C. Populasi dan sample

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah semua masyarakat yang memiliki berat

badan lebih/ obesitas dengan nilai IMT lebih dari >25 yang bertempat tinggal di

kel.Wajo Kota Bau-bau Provinsi Sulawesi Tenggara 2013.

2. Sampel

Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang diteliti dan dianggap

mewakili seluruh populasi. (Notoadmojo, 2010)

Sampel pada penelitian ini terbagi atas dua kelompok yaitu sebagai berikut :

a. Kasus pada pasien/masyarakat yang memiliki berat badan lebih/ obesitas

dengan nilai IMT lebih dari >25 yang bertempat tinggal di kel.Wajo Kota

Bau-bau Provinsi Sulawesi Tenggara 2013.

b. Control pada pasien/masyarakat yang tidak memiliki berat badan lebih/

obesitas dengan nilai IMT lebih dari >25 yang bertempat tinggal di

kel.Wajo Kota Bau-bau Provinsi Sulawesi Tenggara 2013.

Perhitungan besar sampel dibuat berdasarkan rumus lameshow dengan

menduga odds ratio dalam jarak 50% dan memperkirakan OR-nya = 2,

perkiraan populasi P2 = 0,5. Perbandingan antara kelompok kasus dengan

kelompok control = 1:1

Jumlah sampel ditentukan berdasarkan rumus lameshow sebagai berikut:


33
34

Hasil perhitungan diperoleh 60 sampel sebagai kasus dan 60 sebagai control

sehingga besar sampel dalam penelitian ini adalah 120.

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik

purposive sampling, yaitu dari seluruh sampel yang diperoleh dipilih sampel yang dapat

memenuhi criteria inklusi dan eklusi. Jumlah sampel yang di peroleh untuk kelompok

kasus adalah 68 orang, namun yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi 60 orang.

Jumlah sampel yang diperoleh untuk kelompok control adalah 65 orang, namun yang

memenuhi criteria inklusi dan eksklusi hanya 60 orang. Hal ini di sebabkan oleh tidak

lengkapnya data rekam medis sampel sehingga menyulitkan dalam proses pemasukan

data dan analisa data.

Dalam teknik pengambilan sampel ini peneliti memilih responden berdasarkan

pada pertimbangan subyektif dan praktis, bahwa responden tersebut dapat memberikan

informasi yang memadai untuk menjawab pertanyaan penelitian (sastroasmoro dan

ismael, 2011)

a. Criteria inklusi

1. Pasien Penyakit obesitas memeriksakan diri di RSU palagimata provinsi

Sulawesi tenggara.

2. Dilakukan pemeriksaan tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui nilai

IMT pasien.

b. Criteria eksklusi

1. Pasien yang memiliki data rekam medis tidak lengkap.

2. Pasien yang menolak menjadi responden


35

3. Variabel penelitian

1. Variable dependen : kejadian obesitas

2. Variable independen : umur, jenis kelamin, pendidikan orang tua, pendapatan

orang tua, kebiasaan jajan, mengkonsumsi fast food.

4. Teknik pengumpulan data

1. Alat dan bahan

Alat dan bahan yang akan digunakan untuk penganmbilan data adalah:

1. Rekam medis

2. Lembar observasi

3. Timbangan berat badan

4. Sphygmomamometer

5. Alat tulis

6. Pita meteran

2. Cara pengumpulan data

a. Data primer

Data primer dapat diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung

kepada responden yaitu lakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan.

b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari data rekam medis


36

5. Definisi operasional dan criteria objektif

1. Penyakit Obesitas

a. Definisi operasional

Responden dinyatakan mengalami obesitas berdasarkan manifestasi klinis

yaitu hasil dari pengukuran IMT nya obesitas 1 > 25-29,9 dan obesitas 2 >30

b. Criteria objektif

1) Menderita obesitas

Apabila responden memenuhi criteria definisi operasional untuk penderita

obesitas

2) Tidak menderita obesitas

Apabila responden tidak memenuhi criteria definisi operasional penderita

obesitas.

Skala: nominal

2. Fast food

a. Definisi Operasional

Responden dinyatakan sering mengkonsumsi fast food.

b. Criteria obejktif

1) Konsumsi fast food


37

Apabila responden ada riwayat mengkonsumsi fast food, pernah atau masih

mengkonsumsi fast food

2) Tidak mengkonsumsi fast food

3) Apabila responden tidak ada riwayat mengkonsumsi fast food tidak pernah

atau tidak sedang mengkonsumsi fast food

Skala: nominal

3. Umur

Umur adalah satuan waktu yang mengatur waktu keberadaan suatu

makhluk yang terhitung sejak dilahirkan (sitanggang, 2004)

Criteria objektif

a. Resiko tinggi: apabila responden berada di kelompok semua umur

b. Resiko rendah : apabila responden berada dikelompok >60 tahun

4. Jenis kelamin

Jenis kelamin adalah sifat jasmani yang membedakan 2 macam makhluk

hidup, laki-laki dan perempuan (sitanggang,2004)

Criteria objektif:

a. Resiko tinggi : perempuan

b. Resiko rendah: laki-laki

6. Pengolahan data
38

Data yang diperoleh dianalisis melalui proses pengolahan data yang

mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut.

1. Editing, penyuntingan data yang dilakukan untuk menghindari kesalahan atau

kemungkinan adanya kuesioner yang belum terisi

2. Coding, pemberian coding dan scoring pada tiap jawaban untuk memudahkan

proses entri data

3. Entry data, setelah proses coding dilakukan pemasukan data ke computer

4. Cleaning, sebelum analisis data dilakukan pengecekan dan perbaikan

terhadap data yang sudah masuk.

5. Analisa data, diperoleh dengan beberapa uji statistic dengan penggunaan

bantuan program computer.

7. Analisa data

Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Analisa univariat

Tujuan analisis univariat ini untuk melihat distribusi frekuensi dan persentase

dari masing-masing variable independen yaitu umur, jenis kelamin, kebiasan

konsumsi fast food, kebiasaan jajan, pendapatan orang tua, pekerjaan orang

tua, kegiatan fisik dengan angka kejadian obesitas

2. Analisa bivariat
39

Tujuan analisis bivariat untuk menjelaskan hubungan dua variable yaitu

antara variable indipenden yang diduga kuat mempunyai hubungan bermakna

dengan variable dependen dengan melakukan uji statistic dengan

menggunakan bantuan program komputer

Anda mungkin juga menyukai