Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ibu hamil harus mendapatkan cukup nutrisi dan selalu dalam keadaan yang sehat

agar bisa menghasilkan keturunan yang baik. Namun jika ibu sampai terkena penyakit

maka akan sangat berbahaya bagi perkembangan janin sehingga generasi yang dihasilkan

menjadi tidak baik. Salah satunya ibu harus terhindar dari TORCH, yaitu infeksi yang

terdiri dari toksoplasmosis, ruberlla, CMV, dan Herpes. Dan yang akan dibahas kali ini

adalah mengenai Herpes, terutama herpes genital.

Herpes simpleks merupakan penyakit dengan prevalensi yang masih tinggi di

Indonesia. Sebanyak 86,9% pekerja seks komersial menunjukkan seropositif VHS-2. Pada

wanita non-PSK, prevalensinya 18,7%. Infeksi herpes simpleks genitalis merupakan

infeksi kronis rekuren yang berlangsung seumur hidup sehingga sangat mengganggu 1.

1
1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Khusus

Referat ini kami buat dengan tujuan menyelesaikan tugas kami sebagai

dokter muda di Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah

Sidoarjo.

1.2.2 Tujuan Umun

Referat ini kami buat dengan tujuan memberikan informasi dan wacana

lebih bagi kami pada khususnya dan pembaca pada umumnya mengenai penyakit

herpes simpleks genitalis pada kehamilan.

1.3 Batasan Masalah

Dalam pembuatan referat ini kami membuat batasan-batasan masalah agar isi,

tujuan dan sasaran dapat tercapai, antara lain : Definisi, epidemiologi, etiologi,

patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, pengaruh herpes genitalis pada

kehamilan, pengaruh kehamilan pada insiden herpes, penatalaksanaan, prognosis, dari

herpes genitalis dalam kehamilan.

1.4 Sasaran

Referat ini memiliki sasaran, antara lain:

1. Kelompok Dokter Muda Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum

Daerah Sidoarjo

2. Tenaga medis dan paramedis Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Herpes Simpleks genitalis dalam kehamilan

Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes Simplex

Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema

pada daerah dekat mukokutan, infeksi dapat bersifat primer maupun rekurens. 2

Ada dua macam tipe VHS yang dapat menyebabkan herpes genitalis, yaitu VHS tipe

1 dan VHS tipe 2. VHS tipe 1 lebih sering berhubungan dengan kelainan oral, dan VHS tipe

2 berhubungan dengan kelainan genitalia. Kedua tipe VHS berada atau berdiam diri dalam

ganglion saraf sensoris setelah terjadi infeksi primer. Virus ini tidak memproduksi protein

virus selama masa laten. Masa inkubasi infeksi VHS umumnya berkisar antara 3–7 hari

tetapi dapat juga lebih lama. Bentuk lesi genitalia dapat berupa vesikel, pustule, dan ulkus

eritematosus, sembuh dalam waktu 2–3 minggu. Pada laki-laki umumnya terdapat pada

gland penis atau preputium, sedangkan pada wanita bisa terdapat pada vulva, perineum,

bokong, vagina maupun serviks.3

Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian yang serius,

karena melalui plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan

kerusakan atau kematian pada janin.4

Lebih dari 10 bayi yang lahir dari ibu yang infeksi HSV primer aterm kemungkinan

besar terifeksi dan memperlihatkan gejala penyakit dengan kondisi ini, seksio sesarea

mengurangi resiko infeksi neonates, dan tindakan ini juga harus dipertimbangkan apabila

seorang wanita datang dengan infeksi primer selama 6 minggu terakhir kehamilannya.4

3
Resiko bagi bayi yang lahir pervaginam dari ibu dengan HSV berulang pada aterm

cukup rendah, tetapi harus dilakukan seksio sesarea apabila pada aterm ditemukan lesi

genital. Karena 60% wanita dengan infeksi HSV yang melahirkan bayinya tidak

memperlihatkan gambaran klinis infeksi atau riwayat herpes genitalis, maka pemeriksaan

penapisan rutin selama kehamilan tidak dianjurkan.5

2.2 Epidemiologi Herpes Simpleks genitalis dalam kehamilan

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan menyerang baik pria dan wanita dengan

frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi virus herpes simpleks tipe I biasanya dimulai pada

usia anak-anak, sedangkan infeksi virus herpes simpleks tipe II biasanya terjadi pada usia

dewasa dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.5

Diperkirakan terdapat 50 juta remaja dan dewasa yang saat ini terinfeksi ( center of

diseas control and prenention, 2006 ). pada tahun 2006 saja, terjadi 371.000 kunjungan

rawat jalan untuk herpes genitalis ( center of diseas control and prenention, 2009 ).

Meskipun kebanyakan wanita tidak menyadari infeksi ini namun sekitar satu dari lima

memperlihatkan bukti serologis infeksi HSV-2 (Xu dkk, 2006, 2007 ). Karena sebagian

besar kasus HSV ditularkan oleh orang yang asimtomatik atau tidak menyadari penyakitnya

maka hal ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar. Diperkirakan bahwa 0,5

sampai 2 persen wanita hamil memperoleh HSV 1 atau 2 selama kehamilan ( brown dkk,

1997 )12

4
Di Australia kejadian infeksi herpes genitalis pada neonatus 1 dalam 15.000 –

20.000 kelahiran hidup. Herpes genitalis di Indonesia termasuk 5 besar penyakit menular

karena hubungan seksual dan pengidap ( Carrier VHS-2 ) telah mencapai 3 – 5% dari seluruh

wanita.11

2.3 Etiologi Herpes Simpleks genitalis dalam kehamilan

Herpes Simplex Virus (HSV) dibedakan menjadi 2 tipe menjadi HSV tipe 1 dan HSV

tipe 2. Secara serologik, biologik dan fisikokimia, keduanya hampir tidak dapat dibedakan.

Namun menurut hasil penelitian, HSV tipe 2 merupakan tipe dominan yang ditularkan

melalui hubungan seksual genito-genital. HSV tipe 1 justru banyak ditularkan melalui

aktivitas seksual oro-genital atau melalui tangan.6

2.4 Patofisiologi Herpes Simpleks genitalis dalam kehamilan .7,11

HSV-I dan HSV-2 adalah termasuk dalam family herpesviridae, sebuah grup

virus DNA rantai ganda lipid-enveloped yang berperan secara luas pada infeksi manusia.

Kedua serotype HSV dan virus varisela zoster mempunyai huhbungan dekat sebagai

subfamily virus alpha herpesviridae. Alfa herpes virus menginfeksi tipe sel multiple,

bertumbuh cepat dan secara efisien menghancurkan sel host dan infeksi pada sel host.

Infeksi pada natural host ditandai oleh lesi epidermis, seringkali melibatkan permukaan

mukosa dengan penyebaran virus pada system saraf dan menetap sebagai infeksi laten pada

neuron, dimana dapat aktif kembali secara periodic. Transmisi infeksi HSV seringkali

berlangsung lewat kontak area dengan pasien yang dapat menularkan virus lewat permukaan

mukosa.

5
Pada HSV-I biasanya terbatas pada orofaring. Virus menyebar melalui droplet,

pernafasan dari seorang yang terinfeksi sebelumnya. HSV-2 biasanya ditularkan secara

seksual setelah virus masuk kedalam tubuh hospes, terjadi penggabungan dengan DNA

hospes dan mengadakan multiplikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit. Saat itu pada

hospes sendiri belum ada antibodi spesifik. Keadaan ini dapat mengakibatkan timbulnya lesi

pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi yang berat. Selanjutnya virus menyebar

melalui serabut syaraf sensorik ke ganglion saraf regional dan berdiam disana serta bersifat

laten. Infeksi HSV-I di orofaring menimbulkan infeksi laten ganglia trigeminalis, sedangkan

HSV-2 menimbulkan infeksi laten di ganglion sacral. Bila pada suatu waktu ada faktor

pencetus virus akan mengalami reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah

rekuren. Pada saat ini dalam tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga kelainan

yang timbul dan gejala konstitusinya tidak seberat waktu infeksi primer.

Gambar 2.1 : HSV-1 ( Herpes Labialis )

6
Gambar 2.2: HSV-2 ( Herpes Genitalis pada wanita )

Sebagaimana penyakit menular seksual lainnya, infeksi primer dari HSV 2

terjadi pada usia sekitar 18 –25 th ( masa aktif seksual ), meskipun dapat pula terjadi

sebelum atau sesudah umur tersebut. Infeksi herpes primer adalah serangan infeksi pertama

pada seorang yang seronegatif.

Infeksi primer yang menyerang ibu hamil lebih berbahaya dibandingkan dengan

serangan ke 2 dan selanjutnya ( rekurens ), karena dalam tubuh belum terdapat antibodi,

sehingga kemungkinan terjadinya kelainan bawaan lebih besar.

Pada infeksi primer, kadang-kadang tubuh masih belum sempat membentuk

antibodi spesifik yang cukup kuat untuk mengeliminasi virus maupun sel-sel yang terpaksa

dirusaknya. Titer antibodi spesifik ( Ig G ) anti VHS di sini baru berkisar antara 1/ 100

sampai di bawah 1/ 25.600, di mana titer 1/ 25.600 merupakan nilai Ab-protektif, karena

7
pada kondisi Ab-protektif biasanya penderita telah sembuh dari segala manifestasi gejala-

gejala klinis. Virus masuk ke dalam tubuh dan dengan mengikuti sel syaraf sensoris,

akhirnya berdiam di dalam inti sel inang ( ganglion syaraf regional / ganglion sakralis ) di

radiks posterior sebagai DNA induk ( parental DNA ). Di dalam inti sel syaraf ini virus

berada dalam keadaan laten untuk waktu yang tidak terbatas dan di sini dapat

memperbanyak diri ( replikasi ), sehingga terbentuk DNA baru. Sehingga anak-anak virion

baru ini dapat segera pula melalui neuron motorik menyebaran ke ujung-unjung dermatom

syaraf perifer ( motor end plate ) serta manifestasinya dapat menimbulkan kelainan kulit (

vesikel ) atau paling ringan adalah menurunkan nilai ambang pacuan syaraf perifer

tersebut berupa paraestesi sampai paralisis non permanen. Tidak jarang apabila mengenai

susunan syaraf pusat menjadi gejala – gejala sefalgia intermiten, dan pada syaraf mata

menimbulkan berbagai manifestasi kerabunan sewaktu. Semua gejala ini akan menyusut dan

hilang apabila sistem pertahanan tubuh termasuk antibodi spesifik anti-viralnya telah dapat

mengatasinya.

Apabila suatu waktu penderita yang telah sembuh mengalami sesuatu sebagai faktor

pencetus, maka DNA-parental yang laten di dalam inti sel inang dahulu, akan segera

memprogram kembali replikasi viralnya, dan terjadilah suatu reaktivasi viral sehingga

terbentuklah anak-anak virion baru yang siap menginfeksi kembali serta memberi

manifestasi gejala seperti di atas ( recurrent symptoms ). Faktor-faktor pencetus tersebut

antara lain : adalah trauma, coitus, demam, stress fisik atau emosi, sinar UV, gangguan

pencernaan, alergi makanan dan obat-obatan dan beberapa kasus tidak diketahui dengan

jelas penyebabnya.

8
Penularan hampir selalu melalui hubungan seksual, baik genito – genital, ano -

genital maupun oro - genital. Infeksi oleh HSV dapat bersifat laten tanpa gejala klinis dan

kelompok ini bertanggung jawab terhadap penyebaran penyakit. Infeksi dengan HSV

dimulai dari kontak virus dengan mukosa ( orofaring, servik, konjungtiva ) atau kulit yang

abrasi. Replikasi virus dalam sel epidermis dan dermis menyebabkan destruksi seluler dan

peradangan.

Sedangkan penularan virus dari ibu kejanin dapat melalui tiga cara :

1. Hematogen atau transplasenta.

2. Ascending infection yang biasanya terjadi setelah pecahnya kulit ketuban.

3. Tertular langsung oleh jalan lahir yang infeksius atau kontak langsung.

Penularan secara kontak langsung merupakan proses penularan ke janin yang sering

terjadi dibandingkan secara hematogen atau infeksi ascenden. Ada juga yang membagi

proses penularan secara intra uterin, intra partum, dan post natal, dengan kejadian 80 %

penularan didapat selama periode intra partum yaitu infeksi secara ascenden dengan

pecahnya kulit ketuban dan kontak langsung jalan lahir yang infeksius. Beberapa hal yang

mempengaruhi terjadinya neonatal herpes adalah : banyak sedikitnya virus, kulit ketuban

masih utuh atau tidak, ada tidaknya lesi herpes genital, dan ada tidaknya antibodi VHS.

2.5 Gejala klinis Herpes Simpleks genitalis dalam kehamilan 9,11

Masa inkubasi penyakit ini umumnya sekitar 3-7 hari, sedangkan manifestasi

gejala bervariasi dari asimptomatis ( 50%-70% ), sampai gejala yang berat. Setelah masa

9
inkubasi, diikuti rasa gatal yang terlokalisir atau rasa seperti terbakar di daerah lesi

seperti pada daerah labia, vagina serviks uteri, sekitar dubur, bokong dan paha bagian

atas, kemudian diikuti gejala antara lain seperti : malaise, demam, nyeri otot serta syaraf.

Pada lesi kulit dapat berbentuk vesikel berkelompok dengan dasar eritema, vesikel ini

mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel, serta dapat pula disertai pembesaran dan

rasa nyeri kelenjar limfe regional.

Pada infeksi primer, yang khas ditandai rasa sakit serta timbulnya vesikel –

vesikel serta adanya erosi pada kulit dan selaput lendir yang terkena. Infeksi primer ini

dapat berlangsung selama 2 - 6 minggu sehingga terjadi penyembuhan spontan.

Sedang pada infeksi kambuhan ( rekurens ) biasanya lesi lebih sedikit / kecil,

tidak begitu sakit dan berlangsung lebih pendek 5 – 7 hari. Infeksi kambuhan ( rekurens )

lebih ringan dibandingkan infeksi primer, karena pada infeksi kambuhan dalam darah

penderita telah terbentuk Ab – spesifik anti VHS yang dapat memberi perlindungan dan

penyembuhan lebih cepat.

2.6 Diagnosis Herpes Simpleks genitalis dalam kehamilan

Secara klinis bila didapatkan lesi khas, maka dapat dicurigai suatu herpes genitalis

dengan gelembung – gelembung berkelompok dengan dasar eritem berisi cairan di vulva,

vagina, serviks atau luka bekas gelembung yang pecah. Gejala lokal sering disertai dengan

keluhan sistemik seperti demam, perasaan lemah, nyeri otot, kadang disertai perasaan

terbakar, stres, nyeri syaraf. Untuk memperkuat diagnosis bisa dilakukan pembiakan virus,

pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya peningkatan kadar antibodi serta biopsi. Pada

10
stadium yang sangat dini, diagnosis ditegakkan dengan menggunakan teknik terbaru yaitu

reaksi rantai polimerase, yang bisa digunakan untuk mengenali DNA dari virus herpes

simpleks di dalam jaringan atau cairan tubuh.5

2.7 Diagnosis banding 5

1) Ulkus durum : Ulkus indoren dan teraba indurasi

2) Ulkus mole :Ulkus kotor merah dan nyeri

3) Sifilis : Ulkus lebih besar, bersih dan ada indurasi

4) Balanopistitis : Biasanya disertai tanda – tanda radang yang jelas

5) Skabies : Rasa gatal lebih berat, kebanyakan pada anak – anak

6) Limfogranuloma venerum : Ulkus sangat nyeri didahului pembengkakan kelenjar

inguinal.

2.8 Pengaruh Herpes Simpleks genitalis dalam kehamilan

Virus dapat sampai ke sirkulasi fetal melalui hematogen yaitu melalui plasenta dan

dapat menyebabkan kerusakan dan kematian janin. Selain itu dapat melalui jalan lahir yaitu

penjalaran ke atas dari vagina ke janin apabila ketuban pecah atau melaluikontak langsung

saat bayi lahir melalui vagina. Infeksi neonatal ( 0-20 hari) angka mortalitasnya 60%, jika

dapat bertahan hidup setengahnya mempunyai kemungkinan cacat neurologis yang nantinya

juga berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan serta menyebabkan kelainan mata. 6

11
Gangguan pada janin sangat tergantung pada periode mana infeksi tersebut terjadi.

Ada 3 periode perkembangan janin yaitu :

1. Periode pembelahan zigot ( sejak pembuahan sampai blastokista, yaitu minggu ke –2).

Bila terjadi pengaruh pada periode ini akan terjadi kematian ( abortus dini ).

2. Periode embrio ( minggu ke –3 sampai minggu ke –7 ).

Periode ini sangat sensitif untuk terjadinya kelainan kongenital mayor bila terjadi
gangguan.

3. Periode fetal ( minggu ke – 8 sampai lahir ).

Gangguan pada periode ini biasanya akan mengakibatkan kelainan kongenital yang

bersifat minor atau hanya gangguan fungsi saja.

Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis, keratokonjungtifitis, atau

hepatitis disamping itu dapat juga timbul lesi pada kulit.5

Ensefalitis adalah reaksi peradangan pada jaringan otak oleh berbagai macam

penyebab antara lain virus, bakteri, toksin dan autoimun. Infeksi virus merupakan

penyebab yang paling sering ditemukan, dan salah satu virus yang dapat menyebabkan

ensefalitis ialah virus herpes yang dapat di derita oleh ibu dan janinnya. Patogenesis

virus herpes sehingga dapat menyebabkan ensefalitis di mulai dari virus masuk tubuh

melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran pencernaan kemudian menyebar keseluruh

tubuh melalui beberapa cara yaitu secara lokal, hematogen dan melalui saraf – saraf

sampai ke jaringan otak.8

12
Keratokonjungtivitis neonatorum adalah suatu infeksi pada konjungtiva. Pada

bayi baru lahir konjungtivitis didapat ketika bayi melewati jalan lahir,, dan organism

penyebabnya adalah bbakteri yang biasanya ditemukan di vagina yang paling sering

menyebabkan konjungtivitis neonatorum adala chlamedya. Virus juga bisa

menyebabkan, dan virus yang paling sering menyebabkan adalah virus herpes simplex.8

Hepatitis dapat disebabkan oleh virus hepatisis A, B, C, D, E dan G

sedangkan 5 % diantaranya disebabkan oleh virus skunder yaitu epstain barr virus (

EBV ), Cytomegalovirus ( CMV ), dan herpes virus ( HSV ).8

2.9 Pengaruh kehamilan pada herpes simplek genitalis

Selama kehamilan fungsi sel T tertekan terutama pada trimester 1 dalam sirkulasi

lebih rendah dan kemampuan berproliferasi dan membunuh se lasing juga menurun. Rasio

sel penolong dan penekan berubah akibat perubahan hormonal. Karena limfosit T berespon

terhadap infeksi virus, maka wanita hamil dapat mengalami peningkatan resiko terjangkit

inveksi virus.12

2.10 Penatalaksanaan5,6,11

2.10.1. Penatalaksanaan dalam kehamilan

a) Infeksi asimptomatik

Pemeriksaan skrining serologi TORCH pada wanita hamil umumnya

mencakup pemeriksaan serologi HSV tipe 1 dan tipe 2. Apabila hasil pemeriksaan

menunjukkan HSV seropositif maka harus dijelaskan kepada calon si ibu

mengenai transmisi HSV tersebut dan kemudian mencantumkan adanya riwayat

13
penyakit HSV pada catatan medik pasien. Apabila selama kehamilan tidak terjadi

rekurensi infeksi maka persalinan dapat berlangsung pervaginam dengan

menghindari pemakaian alat ( cunam atau vakum ) dan pemecahan selaput ketuban

tanpa indikasi obstetric jelas. Apabila terjadi rekurensi infeksi maka penangan

selanjutnya mengikuti skema penalaksanaan infeksi herpes genitalis dengan infeksi

rekurens.

Karena VHS pada asimptomatik dalam keadaan laten berada di dalam inti

sel, maka eradikasi virus secara total hampir tidak mungkin terjadi, sehingga

pengobatan biasanya ditujukan kepada ibu hamil dengan infeksi primer, yang

mengalami rekurensi, atau yang menunjukkan isolat virus positif yang berasal dari

daerah genital baik dari vulva maupun serviks.

Apabila hasil pemeriksaan laboratorium pada si ibu menunjukkan HSV

seronegatif, maka suami juga harus diperiksa serologi HSV nya, dan apabila

hasilnya positif, maka harus dijelaskan kepada pasangan tersebut mengenai

transmisi HSV dan dianjurkan untuk memakai kondom bila bersetubuh. Apabila

terjadi infeksi primer maka penanganan selanjutnya mengikuti skema

penatalaksanaan infeksi herpes genitalis dengan infeksi primer.

Namun bila tidak terjadi infeksi primer, cukup memberikan tanda pada

catatan medik si ibu dan bayi adanya risiko HSV dan bayi kemudian diobservasi.

b) Infeksi Primer.

Infeksi HSV Primer dalam kehamilan dibagi menjadi :

14
Infeksi primer pada kehamilan trimester I dan II

Pasien yang terinfeksi herpes genitalis pada masa ini segera diobatai

dengan asiklovir intravena atau per oral tergantung berat penyakit. Dosis

asiklovir 1000 – 1200 mg / hari yakni 5 x 200 mg atau pemberian tiap 8 jam (

300 mg, 400 mg, dan 300 mg ) per oral. Ada juga memberikan dengan dosis

200 mg / 4 jam per oral.

Lama pengobatan bervariasi, ada yang menganjurkan sekurang –

kurangnya 7 hari tergantung beratnya penyakit , namun ada yang menganjurkan

sampai 4 minggu terakhir kehamilan karena dapat mencegah rekurensi pada

kehamilan aterm dan mengurangi kejadian seksio sesaria.

Untuk kasus berat terutama disertai dengan gejala neurologi sentral,

dianjurkan pemberian asiklovir intavena dengan dosis 7,5 mg / kg BB tiap 8 jam

selama 10 – 14 hari atau sampai terbentuk krusta. Sebuah studi prospektif pada

241 ibu yang mendapatkan terapi asiklovir selama kehamilan ( sebagian besar

pada trimester I ), menunjukkan bahwa insiden kelainan congenital adalah

4,1%, sedikit di atas angka populasi sebasar 3%. Beberapa kelainan yang ada

adalah hemangioma, hernia diafragmatika, defek tuba neuralis, stenosis pylorus,

ascites, celah langit dan defek septum. Dengan tidak adanya konsistensi dalam

bentuk kelainannya, maka hal ini tidak dapat dijadikan pegangan bahwa

asiklovir adalah teratogenik. Memang pemakaian asiklovir dalam kehamilan

masih controversial, namun dalam nasional registry of acyclovir ( ph. 1-800-

7229292 ext 8465 ) dinyatakan obat ini telah dipergunakan dalam kehamilan

15
dan tidak dijumpai pengaruh buruk pada janin. Bila memungkinkan pada masa

ini tentukan tipe spesifik serologinya untuk menentukan apakah infeksi ini

disebabkan HSV-1 atau HSV-2.

Disamping untuk menentukan apaka gejala ini merupakan infeksi primer,

gejala pertama non primer atau gejala pertama infeksi rekurens. Keadaan ini

akan mempengaruhi penatalaksanaan persalinan karena terdapat perbedaan

risiko transmisi HSV pada bayi. Apabila pasien selanjutnya tidak mengalami

infeksi rekurens sampai hamil aterm maka persalinan dapat berlangsung

pervaginam dengan catatan tidak memakai alat, mencantumkan riwayat HSV

pada catatan medik dan mendidik pasangan tersebut mengenai herpes neonatal.

Sebaliknya apabila terjadi infeksi rekurens maka penatalaksanaannya mengikuti

skema wanita hamil dengan infeksi herpes genitalis rekurens.

 Infeksi primer pada Kehamilan 30 – 34 minggu

Pertama – tama harus dilakukan dulu apakah benar si ibu menderita

infeksi primer, misal dengan menentukan tipe spesifik serologi. Apabila ya

segera dilakukan terapi dengan asiklovir tergantung berat – ringannya penyakit,

atau mulai memberikan asiklovir supresif terus menerus sampai partus untuk

menekan viral shedding. Apabila ternyata si ibu tidak menderita infeksi primer,

maka penatalaksanaan mengikuti skema infeksi rekurens.

 Infeksi primer pada Kehamilan lebih dari 34 minggu

16
Berikan terapi asiklovir intravena atau peroral tergantung beratnya

penyakit, dan rencanakan untuk melakukan seksio sesaria untuk mengurangi

risiko transmisi HSV pada bayi. Kemudian langsung memeriksa kultur dari bayi

dalam 12 – 24 jam. Bayi diberikan terapi dengan asiklovir atau diobservasi dan

mulai diberikan terapi bila timbul gejala.

Apabila dalam persiapan seksio sesaria terjadi partus pervaginam,

dilakukan kultur dari bayi dalam 12 – 24 jam dan pertimbangkan untuk memulai

pemberian asiklovir. Apabila hasil kultur negatif, asiklovir dihentikan, sebaliknya

bila positif bayi diobati sebagai bayi dengan infeksi herpes neonatal.

c) Infeksi rekurens

Wanita dengan riwayat infeksi rekurens sebaiknya diberi tanda riwayat

penyakit HSV pada catatan medik ibu dan bayi. Pada awal persalinan segera

dilakukan pemeriksaan untuk mencari lesi HSV. Pemberian asiklovir supresif

pada akhir kehamilan ( 2 – 4 minggu ) dengan tujuan untuk mengurangi angka

seksio sesaria dan insiden herpes neonatal saat ini sedang diteliti. Apabila tidak

dijumpai lesi maka persalinan dapat berlangsung pervaginam karena risiko herpes

neonatal rendah, sedang apabila lesi timbul pada saat partus, maka untuk rencana

persalinan perlu pertimbangan yang matang antara risiko transmisi virus pada

bayi dan risiko seksio sesaria pada ibu. Pada persalinan pervaginam risiko

transmisi HSV pada bayi sangat rendah ( kurang dari 3% ). Bila persalinan

berlangsung pervaginam dapat diberikan asiklovir supresif. Segera dilakukan

kultur dari bayi 12 – 24 jam, bayi diobservasi dengan ketat untuk tanda –

17
tanda herpes neonatal meskipun risiko penularan rendah. Namun ada yang

berpedapat bila dijumpai lesi genital saat persalinan diperlukan tindakan seksio

sesaria.

2.10.2 Penatalaksanaan dalam persalinan

American Infectius diseases Society for Obstetrics and Gynecology mengusulkan

penanganan infeksi VHS dalam persalinan sebagai berikut :

a). Wanita hamil dengan riwayat herpes genitalis tetapi tidak menunjukkan gejala aktif :

- Pemeriksaan kultur seminggu sekali tidak perlu dikerjakan.

- Bila pada saat melahirkan tidak terdapat lesi genital, persalinan diusahakan

pervaginam.

- Untuk mengidentifikasi kemungkinan tertularnya bayi baru lahir, kultur

virus dari ibu perlu dikerjakan pada saat ibu dalam persalinan dan dari anak

segera setelah dilahirkan.

- Isolasi ibu tidak perlu dikerjakan.

- Dengan kebijakan di atas, risiko terinfeksi anak adalah kecil, yaitu 1 per 1000.

18
b). Wanita dengan lesi klinis herpes genitalis :

- Lesi herpes genitalis terjadi saat ibu dalam persalinan, seksio sesaria

merupakan pilihan terbaik untuk mengurangi resiko terinfeksinya bayi baru

lahir.

- Bila lesi terjadi pada akhir kehamilan, tetapi belum dalam persalinan perlu

dilakukan kultur tiap 3 – 5 hari, untuk meyakinkan tidak adanya virus pada saat

persalinan sehingga dapat menurunkan angka seksio sesaria.

- Pada keadaan ketuban pecah dini, seksio sesaria sebaiknya dikerjakan

sebelum 6 jam,meskipun seksio sesaria yang dikerjakan sesudahnya, tetap lebih

baik dari persalinan pervaginam.

2.10.3. Penatalaksanaan pada Neonatus

a). Pengelolaan bayi yang dilahirkan ibu dengan infeksi herpes genitalis primer saat

persalinan yaitu :

Kultur VHS dari urin, tinja, orofaring dan mata untuk identifikasi

secara dini infeksi herpes genitalis pada bayi. Keuntungan dan kerugian

pemberian asiklovir secara intravena tanpa menunggu hasil kultur masih

merupakan perdebatan. Jika asiklovir tidak segera diberikan, neonatus

dimonitor adakah letargi, demam, malas minum, atau lesi.

b). Pengelolaan bayi yang dilahirkan ibu dengan infeksi herpes genitalis rekuren

saat persalinan yaitu :

19
Dilakukan pemeriksaan kultur setelah persalinan untuk identifikasi

secara dini infeksi herpes genitalis pada bayi. Jika kultur positif, disarankan

terapi asiklovir. Orang tua diwajibkan melaporkan tanda – tanda awal infeksi

seperti letargi, demam, malas minum, atau lesi.

c). Pengelolaan bayi yang dilahirkan ibu dengan asimptomatik dengan riwayat

infeksi herpes genitalis yaitu :

Kultur secara rutin tidak dianjurkan. Orang tua diwajibkan melaporkan tanda –

tanda awal infeksi seperti letargi, demam, malas minum, atau lesi.

2.10.4 Perawatan ibu dan bayi pasca persalinan

Menyusui dianjurkan, kecuali didapatkan lesi sekitar puting susu, dan ibu

diharuskan cuci tangan dengan benar.

2.11 Prognosis

Selama pencegahan rekurens masih merupakan problem, hal tersebut secara

psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat memberikan

prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens

lebih jarang.5

20
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan dan Saran

Herpes simplex memiliki dua bentuk yang berbeda , diantaranya adalah virus

Simplex 1 atau herpes mulut yang biasa ditemukan pada wajah, sedangkan virus herpes

Simplex 2 ditemukan pada alat kelamin . Jika yang menjadi penderita penyakit ini adalah

wanita hamil maka ada kekhawatiran tentang herpes yang tertular pada anaknya yang

belum lahir. Dalam kasus yang jarang terjadi penyakit ini dapat mengakibatkan kematian,

tetapi dalam banyak kasus bayi baru lahir lahir dengan ruam yang sangat ekstrim.

Selama hamil sistem kekebalan tubuh berubah, ibu hamil menjadi lebih rentan

terhadap penyakit dan infeksi. Janin memiliki separuh DNA dari sang ayah, sehingga

system kekebalan tubuh ibu mengenali dia sebagai benda asing oleh karena itu selama

kehamilan terutama trimester 1, system kekebalan tubuh berubah agar tidak

membahayakan bayi dalam kandungan. Dengan menurunya imunitas tubuh selama

kehamilan maka ibu menjadi rentan terinfeksi salah satunya infeksi virus herpes simpleks

genitalis.

Oleh karena itu agar tidak terinfeksi ada beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu

melalui tes. Bila hasil tes herpes simpleks adalah negatif, tetapi pasangan kita terinfeksi,

kita dapat tertular bila kita tidak mengambil langkah untuk mencegah penularan. Langkah

berikut dapat melindungi kita dari infeksi selama kehamilan:

21
1. Bila pasangan kita terinfeksi, tidak melakukan hubungan seks selama jangkitan

aktifnya. Antara jangkitan, memakai kondom dari awal sampai akhir setiap kali

berhubungan seks, walau pasangan tidak mempunyai gejala – herpes simpleks dapat

menular walau tidak ada gejala. Mempertimbangkan tidak melakukan hubungan seks

sama sekali pada triwulan terakhir.

2. Jangan membiarkan pasangan melalukan seks oral dengan kita bila dia mempunyai

herpes mulut. Herpes mulut dapat menular pada kelamin melalui seks oral.

3. Bila kita tidak tahu apakah pasangan kita terinfeksi herpes simpleks, mungkin kita

dapat minta pasangan agar dites.

4. Memakai kondom dari awal sampai akhir setiap kali melakukan hubungan seks,

walau kita tidak mempunyai gejala. Herpes simpleks dapat menular walau tidak ada

gejala melalui proses yang disebut pengeluaran tanpa gejala.

5. Bila kita mengalami jangkitan herpes, jangan melakukan hubungan seks sampai

jangkitannya pulih total.

6. Bicara dengan dokter mengenai penggunaan obat antiviral untuk menekankan

jangkitan dan mengurangi risiko penularan antara jangkitan secara bermakna.

7. Mempertimbangkan puasa seks (vagina, oral atau dubur) selama triwulan terakhir.

8. Bila kita terinfeksi herpes mulut, jangan melakukan seks oral pada pasangan untuk

mencegah penularan virus tersebut.

22
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara , vol 4 No.1

1998. Jakarta Universitas Tarumanegara

2. Adam H.A.M. 2012. Buku ajar : IMS Pada System Urogenital. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit

Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin: Makasar

3. RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 2007. Artikel kesehatan. Penderita Herpes Genitalis di Divisi

Infeksi Menular Seksual Unit Rawat Jalan Kesehatan Kulit dan Kelamin : RSUD Dr. Soetomo

Surabaya.

4. Saenang RH, Djawad K. Herpes Genitalis. Dalam Amirudin MD, Editor. Penyakit menular

seksual . Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin : Makasar

5. Djuanda, A, dkk.2010. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke 6. Bagian Ilmu Penyakit

Kulit dan Kelamin FKUI: Jakarta.

6. Prawirohardjo, Sarwono. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan

Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

7. Sutardi H. Herpes Simplex manifestasi klinis dan pengobatan. Dalam : Ebers papyrus.

8. Daft Chandrasoma, Prakarma. 2006. Patologi Anatomi.Jakarta : Buku Kedokteran EGC

9. Wolff K, Jhonson RA, Surmond D.Fitzpatric’s Color Atlas & Synopsis Of Clinical

Dermatology, 5th ed. Michigan : McGraw-Hill, 2007.

10. Genital Ulcer, http://www.cdc.gov/std/tretment/2010/genital ulcer, htm#hsv

11. http:/artikel keehatan/berita-penatalasanaan-kehamilan-dengan-infeksi-herpes-

genitalis.html#ixzz2yvmqYRyL

12. Cunningham. dkk.2009. Obstetri Wiliams, edisi 23, vol. 2 .Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

23
24

Anda mungkin juga menyukai