Anda di halaman 1dari 5

Nama : Rizki Aprelia

NIM : 17/1620/PN/01620

Pengelolaan Hama dan Penyakit Tanaman

4 Maret 2018

Kutu Kebul dan Teknik Pengelolaannya

Kutu kebul (B. tabaci ) menjadi salah satu hama yang penting, karena disamping sebagai
perusak daun juga sebagai serangga hama pembawa virus. Hama ini dapat menyerang tanaman
dari famili Compositae (letus, krisan), Cucurbitaceae (mentimun, labu, labu air, pare, semangka
dan zuchini), Crucifarae (brokoli, kembang kol, kubis, lobak), Solanaceae (embakau, terong,
tomat, cabai) dan Leguminoceae (kedelai, kacang hijau, buncis, kacang tanah, kapri). Kutu kebul
mampu menularkan berbagai penyakit virus seperti CPMMV, BICMV, PYMV, SSV, PStV DAN
SMV pada tanaman kedelai. Peningkatan populasi kutu kebul juga dapat meningkatkan intensitas
penyakit kerupuk pada tanaman tembakau. Gejala serangan yang ditimbulkan dari kutu kebul
adalah serangga muda dan dewasa mengisap cairan daun. Tanaman yang terserang mulai keriting.
Pada serangan parah disertai dengan infeksi virus, daun keriting berwarana hitam dan pertumbuhan
tanaman terhambat. Serangan berat pada tanaman muda menyebabkan pertumbuhan tanaman
kerdil, daun keriput, dan polong tidak berisi.
Peningkatan populasi kutu kebul ini dikarenakan terjadinya perubahan iklim dan masuknya
kutu kebul migran yang virulifens. Meskipun dengan jumlah sedikit, serangga vektor ini mampu
menularkan virus ke lebih dari satu tanaman. Kutu kebul adalah serangga polifag yang mempunyai
sebarang inang. Serangga ini tersebar secara luas yang meliputi daerah tropik dan subtropik.
Empat elemen dasar dalam IPM yang dikemukakan Stern et al. (1959) yaitu penentuan
ambang kendali untuk menentukan saat perlunya dilakukan tindakan pengendalian, sampling
untuk menentukan titik kritis tanaman atau stadium pertumbuhan hama, pemahaman tentang
kapasitas pengendalian secara alami yang ada, dan penggunaan insektisida yang selektif jenis dan
cara aplikasinya.
Konsep yang sama di Indonesia dikenal sebagai Pengendalian Hama Terpadu (PHT) (Oka
2005) dengan sasaran mengurangi penggunaan pestisida yang dipadukan dengan komponen
pengendalian lainnya. Dalam UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, PHT
memperoleh dukungan yang kuat. Strategi pengendalian hama yang dapat digunakan dalam PHT
yaitu:
(1) mengusahakan pertumbuhan tanaman sehat,
(2) pengendalian hayati,
(3) penggunaan varietas tahan,
(4) pengendalian secara mekanik,
(5) pengendalian secara fisik,
(6) pengendalian dengan menggunakan senyawa kimia semio (semiochemicals) yaitu
dengan memanfaatkan senyawa kimia alami yang dihasilkan oleh organisme tertentu untuk
mempengaruhi sifat serangga hama,
(7) pengendalian secara genetik, dan
(8) penggunaan pestisida. Salah satu prinsip operasional yang digunakan dalam PHT yaitu
budidaya tanaman sehat dilakukan melalui perbaikan cara kultur teknik.
Informasi mengenai biologi kutu kebul di Indonesia termasuk biotipe, tanaman inang dan
bioekologinya sangat kurang sehingga strategi pengendalian yang dilakukan belum memberikan
hasil yang memuaskan. Pengetahuan tentang biotipe pada kutu kebul sangat diperlukan karena
perbedaan biotipe pada kutu kebul menunjukkan perbedaan karakter biologi seperti kemampuan
menginvasi, profil ketahanan terhadap insektisida, kompetensinya sebagai vektor, dan sebaran
inangnya (Shatters et al. 2009).
Strategi pengendalian perlu dilakukan untuk mengantisipasi kerugian yang lebih besar
akibat infestasi B. tabaci. Komponen penerapan pengelolaan hama terpadu yang mungkin
dilakukan pada hama kutu kebul adalah:
1. Budidaya tanaman
Tanaman yang sehat akan memiliki ketahanan ekologi yang tinggi terhadap gangguan hama.
Untuk itu sangat diperlukan penggunaan teknologi produksi dalam praktek agronomis yang
diarahkan pada terwujudnya tanaman sehat. Menurunkan kerusakan akibat kutu kebul juga dapat
dilakukan dengan mengatur waktu tanam sesua pola perkembangan kutu kebul yaitu dengan
penanaman varietas umur genjah atau penanaman lebih akhir yang dikombinasi dengan tindakan
sanitasi lahan. Kemudian dapat juga dilakukan dengan pergiliran tanam dan pengaturan pola tanam
dengan menanam tanaman bukan inang dan memutus kesinambungan penyediaan makanan bagi
kutu kebul, misalnya pada lahan sawah tadah hujan, rotasi dengan tanaman padi dapat dilakukan
karena padi tidak termasuk inang kutu kebul, sedangkan untuk lahan kering pergiliran tanaman
dapat di lakukan dengan jagung. Pergiliran dengan tanaman hortikultura seperti cabai, tomat,
terong, dan melon serta kacang tanah tidak dianjurkan pada daerah endemik kutu kebul karena
kedua tanaman ini termasuk inang kutu kebul. Pengaturan pola tanam dengan tumpang sari juga
dapat dilakukan untuk memanipulasi habitat dalam upaya mengendalikan kutu kebul. Tumpang
sari ubikayu dengan jarak pagar dan kapas secara signifikan menurunkan populasi kutu kebul
(telur, larva, dan dewasa) pada pertanaman ubikayu (Ewusie et al. 2010).
2. Pengendalian alami
Keanekaragaman spesies parasitoid dipengaruhi oleh keberadaan populasi serangga inang dan
struktur fisik sistem produksi pertanian. Tumbuhan liar merupakan komponen agroekosistem
karena bisa mempengaruhi biologi dan dinamika musuh alami. Tumbuhan liar dapat berfungsi
sebagai tempat perlindungan atau pengungsian bagi musuh alami bila kondisi lingkungan tidak
sesuai, juga sebagai inang alternatif serta menyediakan makanan tambahan bagi imago parasitoid
yaitu tepung sari, nektar dan embun madu yang dihasilkan oleh ordo Homoptera (Altieri dan
Nicholls, 2004)
3. Pemantauan keberadaan atau populasi serangga hama
Hal ini harus dilakukan secara reguler dan intensif sebelum hama merusak tanaman sebagai
dasar analisis ekosistem untuk mengambil keputusan dalam melakukan pengendalian yang
diperlukan. Pengendalian kutu kebul dianjurkan pada waktu populasinya masih rendah, sebelum
terjadi gejala embun tepung daun.
4. Mengggunakan tanaman pendamping sebagai penghalang atau barier
Salah satu strategi yang telah dicoba diterapkan untuk mengantisipasi serangan kutu kebul
pada tanaman tembakau yaitu dengan memasang barrier (Aji et al, 2015) Tanaman barier dapat
bertindak sebagai jebakan untuk virus tanaman non-persistent dan bukan hanya sebagai
penghalang fisik, melainkan juga mengurangi potensi vektor untuk mengirim dan menyebarkan
virus ke tanaman yang dilindungi (Toba et al., 1957; Difonzo et al., 1996). Efektivitas kemanjuran
penggunaan tanaman barier tergantung pada serangkaian faktor seperti jenis virus, pola menyebar
(monosiklik atau polisiklik), ketinggian tanaman penghalang pada saat risiko maksimum infeksi,
dan tingkat persaingan antara tanaman barier dan tanaman yang dilindungi (Fereres, 2000).
Tanaman jagung sebagai barier yang ditanam rapat dapat membantu mengurangi migrasi kutu
kebul.
5. Pengairan pancur (sprinkler)
Pengairan model sprinkle dapat mengurangi populasi hama kutu kebul. Rata-rata intensitas
serangan kutu kebul pada petak berpengairan sprinkle lebih rendah dibandingkan dengan yang
berpengairan irigasi. Karena percikan air dari sprinkle menyebabkan kutu kebul tidak dapat
bertahan lama pada daun sehingga kerusakannya lebih ringan.
6. Pengendalian secara mekanik
Bethke (1990) menganjurkan untuk menggunakan kelambu dengan ukuran mesh yang
tepat untuk pengendalian serangga hama yang berbeda. Direkomendasikan penggunakan beberapa
jenis ukuran kelambu didasarkan atas ukuran thorax dari serangga yang akan diblok agar tidak
masuk ke pertanaman. Namun, meskipun kelambu membantu menekan jumlah serangan hama ke
dalam pertanaman, penggunaannya akan menurunkan laju ventilasi (air exchange rate) dan
kenaikan suhu udara dalam pertanaman.
7. Penggunaan pestisida nabati
Salah satu cara yang tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan adalah dengan
penggunaan insektisida nabati. Pestisida nabati yang prospektif dan telah banyak diteliti adalah
Azadiractin, bahan aktif yang diambil dari tanaman mimba (Azadiracta indica). Azadiractin
bekerja dengan mengganggu pergantian kulit yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Menurut penelitian Indiati dan Marwoto (2008) menunjukkan penggunaan serbuk biji mimba
cukup efektif mengendalikan hama kutu kebul.
8. Pestisida Kimiawi
Penggunaan insektisida kimia dalam rangka penanggulangan OPT merupakan alternatif
terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus ditekan seminimal mungkin. Usaha pengendalian
yang dilakukan terhadap serangan B. tabaci masih bertumpu pada aplikasi pestisida. Banyak
insektisida telah digunakan untuk mengendalikan B. tabaci seperti Acetamiprid (Zabel et al. 2001,
Luo et al. 2010), Buprofezin, Diafenthiuron (Gerling dan Naranjo 1998) dan Carbosulfan
(Manzano et al. 2003) namun pengendalian dengan insektisida-insektisida tersebut belum
memberikan hasil yang memuaskan demikian pula halnya insektisida berbahan aktif imidacloprid,
thiamethoxam, pyriproxyfen, buprofezin, pyridaben dan pymetrozin dilaporkan juga tidak mampu
mengendalikan hama kutu kebul bahkan insektisida-insektisida tersebut dilaporkan telah
menimbulkan resistensi pada hama ini (Palumbo et al. (2001), Fernandez et al. (2009), Luo et al.
(2010). Salah satu kelebihan insektisida kimia adalah daya racunnya tinggi, tetapi dalam waktu
yang cukup lama dapat menyebabkan hama menjadi kebal. Penggunaan insektisida kimia pada
kutu kebul dapat menyebabkan timbulnya strain-strain baru kutu kebul.

Sumber :
Aji et al. 2015. Pengelolaan Kutu Kebul dengan Sistem Barier Pada Tanaman Tembakau. Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia, 15 (01) : 6–11

Inayati, Alfi dan Marwoto. 2015. Kultur Teknis, Dasar Pengendalian Hama Kutu Kebul pada
Kedelai. Buletin Palawija No. 29

Indiati S.W, dan Marwoto. 2017. Penerapan Pengendalian Hama Terpadu pada Tanaman
Kedelai. Buletin Palawija 15 (02) : 87-100

Marwoto dan Inayati. 2011. Kutu Kebul: Hama Kedelai yang Pengendaliannya Kurang
Mendapat Perhatian. Iptek Tanaman Pangan 06 (01) : 87-98

Sari, K.P, dan Suharsono. 2015. Efikasi insektisida nabati dalam mengendalikan kutu Kebul,
Bemisia tabaci genn. (homoptera: aleyrodidae). Jurnal widyariset, 17 (02) : 219–226

Anda mungkin juga menyukai