Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS

SINUSITIS MAKSILARIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian


Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada:
dr. Bakti Setio Gustomo, Sp.THT-KL

Disusun Oleh:
Dio Resna Oktavinanda
20174011150

BAGIAN ILMU TELINGAN HIDUNG TENGGOROKAN


RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
Sinusitis Maksilaris

Telah dipresentasikan pada tanggal:


April 2018
Bertempat di RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

Disusun oleh:
Dio Resna Oktavinanda
20174011150

Disahkan dan disetujui oleh:


Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. Bakti Setio Gustomo, Sp.THT-KL

2
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan .................................................................................................. 2

Daftar Isi ...................................................................................................................... 3

Kata Pengantar ............................................................................................................. 4

BAB I Laporan Kasus .................................................................................................. 5

A. Identitas Pasien ................................................................................................. 5

B. Anamnesis ......................................................................................................... 5

C. Pemeriksaan Fisik ............................................................................................. 6

D. Pemeriksaan Penunjang .................................................................................... 7

E. Penatalaksanaan ................................................................................................ 7

BAB II Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 8

A. Definisi.............................................................................................................. 8

B. Epidemiologi ..................................................................................................... 8

C. Anatomi ............................................................................................................ 9

D. Patofisiologi ...................................................................................................... 9

E. Sinusitis Maksilaris Akut ................................................................................ 13

F. Sinusitis Maksilaris Kronis ............................................................................. 16

G. Komplikasi ...................................................................................................... 21

BAB III Kesimpulan .................................................................................................. 24

Daftar Pustaka ............................................................................................................ 25

3
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Presentasi Kasus
dengan judul “Sinusitis Maksilaris”. Presentasi Kasus ini disusun untuk memenuhi
sebagian persyaratan Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Telinga Hidung
Tenggorokan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Dalam penulisan presentasi kasus ini, penulis banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu,
khususnya kepada:
1. dr. Bakti Setio Gustomo, Sp.THT-KL, selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik bagian Ilmu THT sekaligus pembimbing presentasi kasus di RSUD
KRT Setjonegoro, Wonosobo.
2. Seluruh perawat poli THT dan tenaga medis lainnya yang telah berkenan
membantu berjalannya Kepaniteraan Klinik bagian THT.
3. Ayah dan Ibu masing-masing dari kami yang telah mencurahkan kasih
sayang yang tiada henti bagi kami dan telah memberikan dukungan moril
dan materiil dalam penyelesaian presentasi kasus ini.
Semoga pengalaman dalam membuat presentasi kasus ini dapat
memberikan hikmah bagi semua pihak. Mengingat penyusunan presentasi kasus
ini masih jauh dari kata sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
dapat menjadi masukan berharga sehingga menjadi acuan untuk penulisan
presentasi kasus selanjutnya.
Wonosobo, April 2018

Penulis

4
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. T
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 716822

B. ANAMNESIS
Keluhan utama
Pasien perempuan usia 35 datang dengan keluhan utama nyeri di pipi
kiri, hidung berbau, keluar cairan dan sering tersumbat.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien perempuan usia 35 tahun datang dengan keluhan nyeri di pipi
kiri, hidung berbau, keluar cairan dan sering tersumbat sejak 1 bulan ini. Cairan
yag keluar bewarna kuning kental dan berbau tidak sedap. Pasien juga merasa
sudah satu bulan ini sering demam dan nyeri kepala yang hilang timbul. Pasien
juga merasa penciumannya terganggu. Keluhan ada cairan yang mengalir ke
belakang tenggorokan disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku sering mengalami keluhan tersebut hilang timbul.
Riwayat trauma pada wajah tidak ada. Riwayat DM dan Hipertensi disangkal.

Riwayat penyakit keluarga


Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama,
Riwayat keluarga dengan hipertensi dan DM disangkal.

Anamnesis Sistem
Sistem serebrospinal: nyeri kepala (-)
Sistem Indra:

5
 Mata : Tidak ada keluhan
 Telinga : Tidak ada keluhan
 Hidung : Sering tersumbat dan mengeluarkan ingus kental
berbau tidak sedap, penciuman terganggu
 Mulut : Tidak ada keluhan
Sistem Kardiovaskular : nyeri dada (-), berdebar (-)
Sistem Respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), pilek (-), riwayat
asma (-)
Sistem Gastrointestinal : nyeri perut (+), kembung (-), BAB cair (-),
mual (-), muntah (-),
Sistem Urogenital : BAK(+) normal, BAK warna merah (-), nyeri
saat BAK (-)
Sistem Integumentum : tidak ada keluhan
Sistem Muskuloskeletal : gerak bebas (+), kelemahan anggota gerak (-),
nyeri sendi (-), nyeri otot (-), edema (-) pada
kedua kaki, kesemutan (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Vital
 Tekanan Darah : 130/80
 Nadi : 82 x/menit
 Pernapasan : 22 x/menit
 Suhu : 36,8
Kepala : Mesosefal
Mata : conjungtiva anemis (-/-),
Hematom palpebra(-/-), ikterik (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret pada hidung kiri (+),
darah (-), nyeri tekan pada pipi kiri (-)
Telinga :
- AD : Hematom aurikula (-), LT lapang , discharge (-), MT intak (+).
- AS : Hematom auricula (-), LT lapang, serumen (-), discharge (-), MT
intak (+).
Mulut : bibir sianosis (-)

6
Tenggorokan : faring hiperemis (-), nyeri telan (-). Sekret purulen
mengalir (-)
Leher : simetris, pembesaran limfonodi (-)
Thorax
 Inspeksi : simetris statis dan dinamis, jejas (-)
 Palpasi : stem fremitus simetris, nyeri tekan (-), krepitasi (-).
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Suara napas Vesikuler
Cor
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : Ictus cordis kuat angkat di ICS V, 2 cm ke medial linea
midclavicularis sinistra.
 Perkusi : dalam batas normal
 Auskultasi : BJ I-II reguler, bising (-), gallop (-)

D. DIAGNOSIS KERJA
Sinusitis Maxillaris Sinistra Kronis
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto polos cranium AP, Lateral
F. DIAGNOSIS UTAMA
Sinusitis Maxillaris Sinistra Kronis
G. PENATALAKSANAAN
 Inf. RL 20tpm
 Inj Ceftriaxon 1 gr/12 jam
 Inj Methylprednisolon 62,5 mg/12 jam
 Inj Kalnex 500g/12 jam
 Pembedahan dengan teknik CWL + NAW

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus
yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis
frontal dan sinusitis sfenoid. Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis
maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih
jarang (Mangunkusumo et al, 2001).
Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang
sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, ostium sinus maksila terletak di meatus
medius , disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat
(Mangunkusumo et al, 2001).
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Sinusitis akut dapat
sembuh sempurna jika diterapi dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan
jaringan mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi
kerusakan signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung
selama 3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua
puluh hari (Hilger, 1997).

B. Epidemiologi
Angka kejadian sinusitis sulit diperkirakan secara tepat karena tidak
ada batasan yang jelas mengenai sinusitis. Dewasa lebih sering terserang
sinusitis dibandingkan anak. Hal ini karena sering terjadinya infeksi saluran
napas atas pada dewasa yang berhubungan dengan terjadinya sinusitis. Di US
dilaporkan bahwa lebih dari 30 juta pasien menderita sinusitis (Kennedy,
2011).

8
C. Anatomi
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding
anterior adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding
posteriornya ialah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah
dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan
dining inferiornya ialah prosesua alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada disebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infundibulum etmoid (Mangunkusumo et al, 2001).

Gambar 2. Sinus paranasal dan ostiumnya

D. Patofisiologi
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan
tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga
hidung (Kennedy,2011). Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti pertahanan mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan
pertahanan tubuh baik lokal maupun sistemik. Seperti pada mukosa hidung, di
dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam
sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium
alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya (Pracy, 1993).

9
Gambar 3. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus

Gambar 4. Perubahan silia pada sinusitis


Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya
berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan
lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi
didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di
produksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang
baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus,
akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri
anaerob.1 Bakteri yang sering ditemukan pada sinusitis kronik adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella

10
catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman
anaerob jarang ditemukan.1 Selanjutnya terjadi perubahan jaringan
menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista (Hilger,
1997).

Gambar 5. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi


Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang
khas. Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga
akan mengeluarkan fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus
dinding pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi
bilamana terjadi pada selaput lendir, maka pada saat permulaan
vasodilatasi terjadi peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus
sehingga nanah yang terjadi bukan murni sebagai nanah, tetapi mukopus
(Pracy, 1993).

Gambar 6. Sinusitis akut menjadi sinusitis kronik


Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya sinusitis kronis,
yaitu:

11
1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan.
2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.
3. Sinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.
4. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan5
Biasanya mulai pada masa kanak-kanak. Serangan infeksi terjadi
berulang-ulang. Waktu antara dua serangan makin lama makin pendek.
Kekebalan makin terkalahkan dan resolusi terjadi hampir tidak pernah
sempurna. Pengaruh terhadap mukosa adalah penebalan dengan disertai
infiltrasi limfosit yang padat. Fibrosis sub epitel menyebabkan
pengurangan jumlah kelenjar karena iskemia dan bila berlangsung lebih
lanjut akan menyebabkan ulserasi mukosa. Pada tahap berikutnya
periosteum akan terkena dan hiperemia meluas ke tulang-tulang yang
kemudian menjadi osteoporosis dan akhirnya menjadi sklerotik. Sinusitis
sebagai bagian dari alergi umum saluran napas (Pracy, 1993)
Penderita memiliki salah satu dari dua tipe alergi. Pertama adalah
alergi umum diatesis yang timbul pada permulaan bersama asma, eksema,
konjungtivitis dan rinitis yang kemudian menjadi rinitis musiman (hay
fever) pada anak lebih tua. Kedua mngkin tidak didapatkan keluhan dan
tanda dari alergi sampai umur 8 atau 9 tahun secara berangsur-
angsurmukosa makin “penuh terisi air” yang menyebabkan bertambahnya
sumbatan dan secret hidung. Polip dapat timbul karena pengaruh gaya
berat terhadap selaput mukosa yang penuh dengan air dan dapat memenuhi
rongga hidung (Pracy, 1993)

Gambar 7. Mekanisme terjadinya sinusitis kronis

12
E. Sinusitis Maksilaris Akut
Etiologi
Penyebab sinusitis akut ialah (1) rinitis akut, (2) infeksi faring, seprti
faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut, (3) infeksi gigi rahang atas M1, M2, M3
serta P1 dan P2 (dentogen), (4) berenang dan menyelam, (5) trauma dapat
menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal, (6) barotrauma dapat
menyebabkan nekrosis mukosa (Sobol, 2002).
Sinusitis maksilaris dengan asal geligi. Bentuk penyakit geligi-
maksilaris yang khusus bertanggung jawab pada 10 persen kasus sinusitis yang
terjadi setelah gangguan pada gigi. Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi
molar, biasanya molar pertama, dimana sepotong kecil tulang di antara akar
gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat (Hilger, 1997).

Gambar 8. a. Fistula oroantral b. Sinusitis maksilaris


Gejala klinis
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala
sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat
ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke
nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita
dan kadang-kadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi.
Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu
dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat
perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila
peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan
(Mangunkusumo et al, 2001).

13
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan
tampak pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi
anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis
maksila, sinusitis frontal dansinusitis etmoid anterior tampak mukopus
atau nanah di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di
nasofaring (post nasal drip) (Mangunkusumo et al, 2001).

Gambar 9. Pus pada meatus medius

Gambar 10. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis


Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Transluminasi bermakna bila salah satu sinus yang sakit, sehingga
tampak lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal.1,5,6 Pemeriksaan
radiologik yang dibuat adalah posisi waters. Akan tampak perselubungan atau
penebalan mukosa atau batas cairan-udara (air fluid level) pada sinus yang
sakit (Hilger, 1997).

14
Gambar 11. Gambaran suatu sinus yang opak
Pemeriksaan mikrobiologik atau biakan hapusan hidung dilakukan
dengan mengambil sekret dari meatus medius. Mungkin ditemukan
bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal atau kuman
patogen, seperti Pneumokokus, Streptokokus, Stafilokokus dan
Haemofilus influenza. Selain itu mungkin ditemukan juga virus atau jamur
(Mangunkusumo et al, 2001).
Pengobatan
Pengobatan umum
1. Istirahat
Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan
sebaiknya beristirahat ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur
mempunyai suhu dan kelembaban udara tetap.
2. Higiene
Harus tersedia sapu tangan kertas untuk mengeluarkan sekrat hidung. Perlu
diperhatikan pada mulut yang cenderung mengering , sehingga setiap
selesai makan dianjurkan menggosok gigi.
3. Medikamentosa
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik selam 10-14 hari,
meskipun gejala klinik telah hilang. Antibiotik yang diberikan ialah
golongan penisilin. Diberikan juga obat dekongestan lokal berupa tetes

15
hidung, untuk memperlancar drainase sinus. Boleh diberikan analgetik
untuk menghilangkan rasa nyeri (Razek, 2006).
Pengobatan lokal
1. Inhalasi
Inhalasi banyak menolong penderita dewasa karena mukosa hidung dapat
istirahat dengan menghirup udara yang sudah dihangatkan dan lembab.
2. Pungsi percobaan dan pencucian
Apabila cara diatas tak banyak menolong mengurangi gejala dan
menyembuhkan penyakitnya dengan cepat, mungkin karena drainase sinus
kurang baik atau adanya kuman yang resisten. Kedua hal tersebut dapat
diketahui dengan pungsi percobaan dan pencucian. Dengan anestesi lokal,
trokar dan kanula dimasukkan melalui meatus inferior dan ditusukkan
menembus dinding naso-antral. Kemudian dimasukkan cairan garam faal
steril ke dalam antrum dan selanjutnya isi antrum dihisap kembali kedalam
tabung suntikan. Apabila setelah dua sampai tiga kali pencucian infeksi
belum sirna, maka mungkin diperlukan tindakan antrostomi intranasal.

Gambar 12. Pungsi dan irigasi sinus maksila


Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah
terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat
karena ada sekret tertahan oleh sumbatan (Nizar, 2000)
F. Sinusitis Maksilaris Kronis
Etiologi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan sinusitis kronik diantaranya
adalah pneumatisasi yang tidak memadai, makanan yang tak memadai, reaksi
atopik, lingkungan kotor, sepsis gigi dan variasi anatomi.5 Variasi anatomi

16
memegang peranan lebih besar mekanisme etiologi sinusitis kronis. Variasi
anatomi yang sering ditemukan deviasi septum, prosessus unsinatus
melengkung ke lateral, konka media mengalami pneumatisasi, bula etmoid sel
dan etmoid yang meluas (Nizar, 2000).

Gambar 13. Sinusitis akibat devisi septum


Gejala klinis
Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat
biasanya adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti
dengan malaise, nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal
(post nasal drip) , gangguan penciuman dan pengecapan.5,7 Pada rinoskopi
anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke
tenggorok (Mangunkusumo et al, 2001).

Pemeriksaan penunjang
Transluminasi
Transluminasi dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan
sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada
pemeriksaan transluminasi tampak gelap didaerah infraorbita, mungkin
berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat
neoplasma di dalam antrum. Bila terdapat kista yang besar didalam sinus

17
maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan transluminasi
(Mangunkusumo et al, 2001).
Radiologi
Pemeriksaan radiologik pada sinusitis kronis tidak dianjurkan,
penggunaannya dibatasi hanya untuk sinusitis maksilaris akut atau sinusitis
frontalis (Razek, 2006).
CT scan
CT scan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi anatomi dan patologi sinus.

Gambar 14. CT Scan memperlihatkan penebalan mukosa sinus.


Staging dapat dilakuan dengan menggunakan CT scan. Sistem
stagging ini sederhana, mudah diingat dan sangat efektif untuk
mengklasifikasikan sinusitis kronis. Stagging ini membantu dalam
perencanaan operasi dan hasil terapi. Stagging didasarkan pada perluasan
penyakit setelah terapi medis. Stagging tersebut terbagi atas:
- stage I : satu fokus penyakit
- stage II : penyakit noncontiguous melalui labirin ethmoid
- stage III : difuse yang responsif terhadap pengobatan
- stage IV : difuse yang tidak responsif dengan pengobatan (Razek,
2006)

18
Pengobatan
Pengobatan sinusitis kronis lebih bersifat paliatif daripada kuratif
(Pracy, 1993). Pengobatan paliatif yang dapat diberikan pada penderita
dengan sinusitis kronis dibagi menjadi:
Pengobatan konservatif
Pengobatan konservatif yang adekuat merupakan pilihan terapi
untuk sinusitis maksilaris subakut dan kronis. Antibiotik diberikan sesuai
dengan kultur dan uji sensitivitas. Antibiotik harus dilanjutkan sekurang-
kurangnya 10 hari. Drainase diperbaiki dengan dekongestan lokal dan
sistemik. Selain itu juga dapt dibantu dengan diatermi gelombang pendek
selama 10 hari, pungsi dan irigasi sinus. Irigasi dan pencucian sinus ini
dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau 6 kali tidak ada
perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen berarti mukosa
sinus sudah tidak dapat kembali normal, maka perlu dilakukan operasi
radikal (Ballenger, 1994)
Pengobatan radikal
Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan koservatif gagal. Terapi
radikal dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan
membuat drenase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan
operasi Caldwell-Luc. Pembedahan ini dilaksanakan dengan anestesi
umum atau lokal. Jika dengan anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai
dengan menempatkan tampon kapas yang dibasahi kokain 4% atau
tetrakain 2% dengan efedrin 1% diatas dan dibawah konka media. Prokain
atau lidokain 2% dengan tambahan ephineprin disuntikan di fosa kanina.
Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital. Incisi horizontal
dibuat di sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi dilakukan di
superior gigi taring dan molar kedua. Incisi menembus mukosa dan
periosteum. Periosteum diatas fosa kanina dielevasi sampai kanalis
infraorbitalis, tempat saraf orbita diidentifikasi dan secara hati-hati
dilindungi (Ballenger, 1994).

19
Gambar 15. prosedur Caldwell Luc
Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom
atau alat bor. Lubang diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison,
sampai jari kelingking dapat masuk. Isi antrum dapat dilihat dengan jelas.
Dinding nasoantral meatus inferior selanjutnya ditembus dengan trokar
atau hemostat bengkok. Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan
cunam kerison dan cunam yang dapat memotong tulang kearah depan.
Lubang nasoantral ini sekurang-kurangnya 1,5 cm dan yang dipotong
adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding tulang. Telah diakui
secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak diperlukan. Setelah
antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang tertinggal,
incisi ginggivobukal ditutup dengan benang plain cat gut 00. biasanya tidak
diperlukan pemasangan tampon intranasal atau intra sinus. Jika terjadi
perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup dimasukan
kedalam antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada
akhir hari ke-1 atau ke 2. kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah

20
penting untuk mencegah edema, hematoma dan perasaan tidak nyaman
(Ballenger, 1994).
Pembedahan tidak radikal
Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal
dengan menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional (BESF). Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan
daerah kompleks ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan
infeksi, sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui
ostium alami. Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal
(Mangunkusumo et al, 2001).

G. Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotika. Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi yang dapat terjadi adalah:
Komplikasi Orbita (Hilger, 1997)
Komplikasi ini dapat terjadi karena letak sinus paranasal yang
berdekatan dengan mata (orbita). Sinusitis etmoidalis merupakan penyebab
komplikasi orbita yang tersering kemudian sinusitis maksilaris dan frontalis.
Terdapat lima tahapan terjadinya komplikasi orbita ini.
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan
b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk
c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding
tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis
d. Abses periorbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum
dan bercampur dengan isi orbita
e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat
penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus
di mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septic (Hilger,
1993).

21
Gambar 16. Komplikasi penyakit sinus pada orbita
Komplikasi Intrakranial
Komplikasi ini dapat berupa meningitis, abses epidural, abses subdural, abses
otak (Razek, 2006).

Gambar 17. Sistem vena sebagai jalur perluasan komplikasi ke intrakranial

22
Kelainan Paru
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelaian paru ini disebut
sinobronkitis. Sinusitis dapat menyebabkan bronchitis kronis dan
bronkiektasis. Selain itu juga dapat timbul asma bronkhial (Mangunkusumo et
al,2001).

23
BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis adalah radang pada mukosa sinus paranasal. Sinusitis yang paling
sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid. Sinusitis maksilaris
dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis akut dapat disebabkan oleh rinitis
akut, infeksi faring, infeksi gigi rahang atas (dentogen), trauma. Gejala klinis dapat
berupa demam dan rasa lesu. Pada hidung dijumpai ingus kental. Dirasakan nyeri
didaerah infraorbita dan kadang-kadang menyebar ke alveolus. Penciuman
terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Pada
pemeriksaan tampak pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada
rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada rinoskopi
posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip). Terapi medikamentosa
berupa antibiotik selam 10-14 hari. Pengobatan lokal dengan inhalasi, pungsi
percobaan dan pencucian.
Sinusitis kronik dapat disebabkan oleh pneumatisasi yang tidak memadai,
makanan yang tak memadai, reaksi atopik, lingkungan kotor, sepsis gigi dan variasi
anatomi. Gejala berupa kongesti atau obstruksi hidung, nyeri kepala setempat,
sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip), gangguan penciuman dan
pengecapan. Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen dari meatus
medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pengobatan
sinusitis kronik dilakukan secara konservatif dengan antibiotik selama 10 hari,
dekongestan lokal dan sistemik, juga dapat dilakukan diatermi gelombang pendek
selama 10 hari di daerah sinus maksila, pungsi dan irigasi sinus. Jika gagal dapat
dilakukan operasi Caldwell-Luc dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional.
Komplikasi dari sinusitis dapat berupa komplikasi orbita, intrakranial dan kelainan
paru.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA,


Iskandar N (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
leher. 5th Ed. Jakarta: Gaya Baru; 2001.pp.120-124.
2. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA,
editor. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
3. Kennedy E. Sinusitis, 2011 Available from:
http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm
4. Nizar W. Anatomi Endoskopik Hidung-Sinus Paranasalis dan Patifisiologi
Sinusitis. Kumpulan Naskah Lengkap Pelatihan Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional Juni 2000.p 8-9
5. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F,
Soejak S. Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-
91
6. Sobol SE, Marchand J, Tewfik TL, Manoukian JJ, Schloss MD. Orbital
complications of sinusitis in children. J Otolaryngol. 2002 Jun. 31(3):131-
6. [Medline].
7. Razek A. Sinusitis, Chronic, Medical Treatment. 2006 Available from:
http://www.emidicine.com/ent/topic338.htm
8. Ballenger, J.J. Infeksi Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan Jilid 1 Edisi 13, halaman 232-245, Binarupa Aksara, Jakarta
Indonesia 1994

25

Anda mungkin juga menyukai