Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
2.1. Tuberkulosis Paru
2.1.1. Definisi & sejarah
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit granulomatosa berupa
infeksi kronis yang menyerang paru dan dapat terjadi pada organ ektra
paru seperti pleura, selaput otak, kelenjar limfe, tulang, sendi, usus, sistem
urogenital, dan lain-lain. Secara umum, disebut tuberkulosis ektra paru
apabila tanda tuberkulosis terjadi pada organ selain paru biasanya bagian
tengah granuloma tuberkular mengalami nekrosis perkijuan
(Menkes,2016).
Kemajuan pengendalian tb di dunia pada awalnya terkesan lambat,
pada tahun 1882 Robert Koch berhasil mengidentifikasi Mycobacterium
tuberculosis . Pada tahun 1906 vaksin BCG berhasil di temukan , lama
sesuadah itu muai di temukan obat anti tuberkulosis ( oat) . Pada tahun
1943 streptomisin di tetapkan sebagai anti Tb pertama yang efektif.
Setelah itu di temukan Thiacetazone dan Asam para_aminosalisilat ( PAS)
.Pada 1951 di temukan iosinazid di ikuti dengan penemuan pirazinamid
(1952) cycloserine (1952) Ethinamide ( 1956) , Rifampisin (1957) dan
Ethambutol (1962). Namun kemajuan pengobatan Tb dapat tantangan
dengan bermunculnya strain M.tuberculosis yang resisten terhadap OAT
( Indri,2008).

2.1.2. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO)
telah mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan
WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil
Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi

5
tuberkulosis di dunia inidan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara
yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah
pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di Afrika hampir 2
kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk
( Perhimpunan dokter, 2016).
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,
diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000
penduduk) dengan 100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk).
Diperkirakan 63.000 kasus TB dengan HIV positif (25 per 100.000
penduduk). Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate/CNR) dari
semua kasus, dilaporkan sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah
seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya 314.965 adalah kasus baru.
Secara nasional perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB diperkirakan
sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700 kasus
yang berasal dari 1,9% kasus TB- RO dari kasus baru TB dan ada 12%
kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang(Menkes,2016).

2.1.3 Etiologi
Penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium (M) ini merupakan
penyebab utama kecacatan dan kematian hampir di sebagian besar negara
di seluruh dunia. Penyebab utama infeksinya adalah kompleks M
tuberculosis. Kompleks ini termasuk M tuberculosis dan M africanum
terutama berasal dari manusia dan M bovis yang berasal dari sapi.
Sebagian kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ
tubuh lainnya (Dinkes, 2009).
sumber penularan adalah penderita BTA positif pada waktu batuk
atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan
di udara pada suhu dalam beberapa jam. Orang dapat terinfeksi jika droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis

6
masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan , kuman tuberkulosis tersebut
dapat menyebar dari paru kebagaian tubuh lain melalui peredaran
darah,saluran nafas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh
lainnya. Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif dari
hasil pemeriksaan dahak,makin menular pasien tersebut. Bila hasil
pemeriksaan dahak negatif ( tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh
konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut
(Aditama, T.Y. 2002).

2.1.4. Patogenesis infeksi tuberkulosis


Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Kuman TB berukuran kecil sehingga percik renik ( droplet nuklei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Basil tuberkel yang
mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai satu unit yang
terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang lebih besar
cenderung lebih tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan
tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada di ruang alveolus, biasanya
bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil
tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear
tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak
membunuh organisme tersebut. Sesudah hari – hari pertama, leukosit
digantikan oleh makrofag (Kemenkes, 2011).
Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul
pneumonia akut.Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan
biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi
pada sebagian kecil kasus makrofag tidak mampu menghancurkan kuman
TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan menyebabkan

7
makrofag mengalami lisis dan kuman TB membentuk koloni di tempat
tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus
primen Ghon. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang
dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 – 20
hari (Kemenkes, 2011).
Kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran kuman ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang
terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar
limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika
fokus primer terletak di apeks paru yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer,
kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe
yang meradang (limfangitis). Masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut masa inkubasi TB. Masa inkubasi
TB biasanya selama 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai
jumlah 103 – 104, yaitu jumlah yang cukup merangsang pengaktifan respon
imunitas seluler (Kemenkes, 2016).
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi
pertumbuhan kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas.
Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu respon posotif terhadap
uji tuberkulin. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem
imun berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB tetap hidup dalam

8
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveolus akan dimusnahkan, imunitas seluler
terbentuk,fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi
secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap
hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar (Pedoman TB,
2011).

2.1.6 . Faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit TB paru


1. Faktor Sosial Ekonomi.
Faktor sosial ekonomi sangat erat kaitannya dengan keadaan
rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan
sanitasi tempat bekerja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC.
Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena
pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan
memenuhi syarat-syarat kesehatan (Aditama dkk, 2007).
Sumber data untuk mengetahui gambaran rumah sehat di Indonesia
menggunakan data Susenas 2001 dan Susenas 2004. Variabel yang
dianalisis untuk menggambarkan rumah sehat meliputi 14 variabel yang
ada di dalam data Susenas, yaitu lokasi rumah, kepadatan hunian, jenis
lantai, pencahayaan, ventilasi, air bersih, jenis jamban (WC),
kepemilikan jamban, pembuangan akhir tinja, cara pembuangan air
limbah, keadaan saluran/got, pembuangan sampah, polusi udara, dan
bahan bakar untuk masak. Analisis data dilakukan secara deskriptif,
dengan menggunakan metode skoring yaitu masing- masing variabel
diberikan nilai minimal 1 dan maksimal 3, sehingga dari 14 variabel
diperoleh nilai tertinggi 42 (Kemenkes, 2011).
Penetapan skor kategori rumah sehat sebagai berikut :
Baik : skor 35-42 (> 83%)
Sedang : skor 29-34 (69-83%)
Kurang : skor < 29 ( < 69%)

9
2. Status gizi
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat
besi dan lain- lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang
sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB Paru. Keadaan ini
merupakan faktor penting yang berpengaruh dinegara miskin, baik pada
orang dewasa maupun anak-anak.
3. Umur
Penyakit TB Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau
usia produktif (15 – 50 tahun).Terjadinya transisi demografi
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia
lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun,
sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit
TB Paru.

4. Jenis kelamin
Data WHO menunjukan bahwa tuberkulosis paru adalah pembunuh
wanita nomor satu di dunia. Wanita pada usia reproduksi mempunyai
resiko lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki pada usia yang sama
untuk penderita tuberkulosis, hormon dan keadaan gizi pada saat hamil
melemahkan sistem imun wanita dan meningkatkan kerentanannya
untuk menderita TB Paru juga menjadi ancaman bagi keluarganya
untuk menderita tuberkulosis karena kontak sangat dekat dengan anak-
anak (Indri, 2008).
5. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan kemampuan seseorang pada fakta, symbol
dan prosedur teknik. Dari beberpa penelitian menunjukan bahwa salah
satu faktor resiko terjadinya TB adalah pengetahuan yang kurang
karena dengan pengetahuan yang kurang dapat menyebabkan pula
pengetahuan tentang kesehatan kurang sehingga dapat mempengaruhi
upaya pencegahan terhadap penyakit menular khususnya penyakit TB
(Kemenkes, 2011).

10
2.1.7 Klasifikasi TB paru
TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis
aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M.tuberculosis positif
- Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa (
Pedoman TB, 2011).

2.1.8 Berdasarkan tipe penderita


Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan
(30 dosis harian).
b. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.Bila hanya
menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai
lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
1) Infeksi sekunder
2) Infeksi jamur
3) TB paru kambuh

11
c. Kasus pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang
mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah
berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa
surat rujukan/pindah.
d Kasus lalai berobat adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1
bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali
berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Kasus Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum
akhir pengobatan) Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran
radiologi positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan
dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.
f. Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.
g. Kasus bekas TB
1) Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,
terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang
menetap. Riwayat pengobatan OA T yang adekuat akan lebih
mendukung
2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif,
namun setelah mendapat pengobatan OA T selama 2 bulan ternyata
tidak ada perubahan gambaran radiologi (Pedoman TB, 2011).

2.1.9 Diagnosa TB paru


1. Gejala klinis TB Paru
a) Demam : Pasien biasanya demam subfebril seperti demam influenza,
tetapi dapat pula mencapai 40 – 41°C. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya
infeksi kuman TB yang masuk (Aditama dkk, 2007).

12
b) Batuk atau batuk darah : Batuk terjadi karena ada iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang keluar produk –
produk radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit
tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu – minggu
atau berbulan – bulan sejak awal peradangan. Sifat batuk dimulai
dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan
yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada
c) Tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus
dinding bronkus.
d) Sesak nafas : Jika sakit masih ringan, sesak nafas masih belum
dirasakan. Sesak nafas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,
yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru.
e) Nyeri dada : Hal ini jarang ditemukan. Nyeri dada dapat timbul bila
infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis, terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien bernafas.
f) Malaise : Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia (tidak
ada nafsu makan), badan makin kurus, berat badan turun, sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala ini makin lama
makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Amin,
2013).
2. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum pasien yang perlu diperhatikan diantaranya
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam
( subfebris ), badan kurus, berat badan menurun. Secara anamnesis dan
pemeriksaan fisik, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan kelainan
apapun terutama pada kasus – kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi
secara asimtomatik. Demikian pula bila sarang penyakit terletak di
dalam, akan sulit ditemukan kelainan, karena hantaran getaran atau

13
suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi,
perkusi dan auskultasi (Menkes, 2016).
Bila dicurigai ada infiltrat yang luas, maka didapatkan perkusi
yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial. Suara nafas tambahan
seperti ronki basah, kasar dan nyaring. Tetapi apabila infiltrat ini
ditutupi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler
melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi dapat
memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi suara nafas
amforik (Menkes, 2016).
Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot – otot interkostal. Bagian paru yang
sakit menjadi mengecil dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya.
Paru yang sehat akan menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik
amat luas, yakni > ½ jumlah jaringan paru, akan terjadi pengecilan
daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri
pulmonalis ( hipertensi pulmonal ) diikuti terjadinya korpulmonale dan
gagal jantung kanan. Disini akan timbul tanda – tanda takipnea,
takikardia, sianosis,right ventricular lift, right atrial gallop, murmur
Graham – Steel, Bunyi P2yang mengeras, JVP meningkat,
hepatomegali, asites dan edema (Menkes, 2016).
3. Pemeriksaan radiologi
Saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini terutama
memberikan keuntungan seperti pada kasus tuberkulosis anak – anak
dan tuberkulosis milier.Pada keadaantersebut, diagnosis dapat diperoleh
melalui pemeriksaan radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum
hampir selalu negatif (Pedoman TB, 2011).
Lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru (segmen apikal
lobus atas atau segmen apikal lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai
lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor
paru (misalnya padatuberkulosis endobronkial). Pada awal penyakit
saat lesi masih merupakan sarang – sarang pneumonia, gambaran
radiologis berupa bercak – bercak seperti awan dan dengan batas –

14
batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka
bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas disebut
sebagai tuberkuloma (Broks, 2001).
Pada kavitas, bayangannya berupa cincin yang mula – mula
berdinding tipis, lama kelamaan dinding menjadi sklerotik dan tampak
menebal. Bila terjadi fibrosis, akan tampak bayangan yang bergaris –
garis. Pada kalsifikasi, bayangannya tampak sebagai bercak – bercak
padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis tampak seperti fibrosis
yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu
lobus maupun pada satu bagian paru (Broks, 2001).
TB milier memberikan gambaran berupa bercak – bercak halus
yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran
radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah
penebalan pleura (pleuritis), massacairan di bagian bawah paru (efusi
pleura atau empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru atau
pleura(pneumotoraks) (Broks, 2001).
Biasanya pada TB yang sudah lanjut, dalam satu foto dada
seringkali didapatkan bermacam – macam bayangan sekaligus, seperi
infiltrat, garis – garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas (nonsklerotik atau
sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema.(Broks, 2001).
Pemeriksaan khusus yang kadang – kadang diperlukan adalah
bronkografi,yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang
disebabkan oleh tuberkulosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila
pasien akan menjalani pembedahan paru. Pemeriksaan lain yang dapat
digunakan adalah CT scan dan MRI. Pemeriksaan MRI tidak sebaik CT
scan, tetapi dapat mengevaluasi proses – proses dekat apeks paru,
tulang belakang, perbatasan dada – perut. Sayatan bisa dibuat
transversal, sagital dan koronal (Dinkes, 2010).
4. Pemeriksaan laboratorium
a) Darah
Pemeriksaan ini hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada
saat tuberkulosis baru mulai (aktif), akan didapatkan jumlah lekosit
yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah

15
limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai meningkat.
Bila penyakit mulai sembuh, jumlah lekosit kembali normal dan
jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah
normal. Hasil pemeriksaan lain dari darah didapatkan : anemia
ringan normokrom normositer, gama globulin meningkat, kadar
natrium darah menurun (Broks, 2001).
Pemeriksaan serologis yang banyak dipakai adalah
Peroksidase Anti-Peroksida (PAP-TB) yang nilai sensitivitas dan
spesifisitasnya cukup tinggi (85-95%), tapi di lain pihak ada pula
yang meragukannya. Walaupun demikian, PAP-TB masih dapat
dipakai, tetapi kurang bermanfaat bila dimanfaatkan sebagai sarana
tunggal diagnosis TB. Prinsip dasar uji PAP-TB adalah menentukan
ada antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen tuberkulosis. Hasil
uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan
uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu didapatkan pada pasien
reumatik, kehamilan, dan masa 3 bulan revaksinasi BCG
(Kemenkes, 2016).
Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama nilai dan
caranya dengan uji PAP-TB adalah uji Mycodot. Disini dipakai
antigen Lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada alat
berbentuk sisir plastik, kemudian dicelupkan dalam serum pasien.
Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah memadai maka warna
sisir akan berubah (Setiati, 2006).
b) Sputum
Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Selain
itu, pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap
pengobatan yang sudah diberikan. Tidak mudah untuk mendapatkan
sputum terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk yang
nonproduktif. Dalam hal ini dianjurkan 1 hari sebelum pemeriksaan,
pasien dianjurkan minum air sebanyak ± 2 liter dan diajarkan
melakukan refleks batuk. Dan juga dengan memberikan tambahan

16
obat – obat mukolitik, ekspektoran atau dengan inhalasi larutan
garam hipertonik selama 20 – 30 menit (Pedoman TB, 2011).
Bila sputum masih sulit didapatkan, sputum dapat diperoleh
dengan cara bronkoskopi, diambil dengan brushing atau bronchial
washing atau Broncho Alveolar Lavage (BAL). Basil tahan asam
dari sputum juga dapat diperoleh dengan cara bilasan lambung, yang
sering dikerjakan pada anak – anak karena mereka sulit
mengeluarkan dahaknya. Kuman baru dapat ditemukan apabila
bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka keluar sehingga
sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar. Diperkirakan
di Indonesia terdapat 50 % pasien BTA + tetapi kuman tersebut tidak
ditemukan dalam sputum. Kriteria sputum BTA positif adalah bila
sekurang – kurangnya ditemukan ditemukan 3 kuman dalam 1
sediaan, atau dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml
sputum (Pedoman TB, 2011).
Cara pemeriksaan sediaan sputum :
a) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa
b) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens
(pewarnaan khusus)
c) Pemeriksaan dengan biakan (kultur). Setelah 4 – 6 minggu
penanaman, koloni kuman mulai tampak. Bila setelah 8 minggu
tidak tampak, biakan dinyatakan negatif.
d) Pemeriksaan terhadap resistensi obat. Pemeriksaan penunjang
lainnya yaitu:
e) Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) Deteksi DNA kuman
secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga
dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam
spesimen. Dapat mendeteksi DNA kuman TB dalam waktu yang
lebih cepat atau untuk mendeteksi MTB yang tidak tumbuh pada
sediaan biakan. Juga dapat mendeteksi resistensiobat.
f) Becton Dickinson Diagnostic Instrument System ( BACTEC =
Bactec 400 Radiometric System ) kuman dapat dideteksi dalam 7
– 10 hari.

17
g) Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Deteksi respons
humoral, berupa proses antigen-antibodi yang terjadi (Pedoman
TB, 2011).

2.1.10 Penatalaksanaan TB paru


Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah strategi
penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung.
menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan
obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh.
Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai
95 %. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu :
1. Komitmen politis dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh
menanggulangi TB dan dukungan dana
2. Diagnosis penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis
3. Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi
secara langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO).
4. Tersedianya paduan obat anti-TB jangka pendek secara konsisten
5. Pencatatan dan pelaporan mengenai penderita TB sesuai standar.
Dalam strategi DOTS terdapat tiga tahapan penting yaitu mendeteksi
pasien,melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung.
Deteksi atau diagnosis pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari
deteksi akan menjadi sumber penyebaran TB berikutnya. Seseorang yang
batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga mengidap TB. Orang ini kemudian
harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TB atau tidak.
Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan menggunakan
mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa
secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa
diterapkan (Kemenkes, 2016).
Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TB, dokter akan
memberikan obat dengan komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi
pasien tersebut. Adapun obat TB yang biasanya digunakan adalah
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol. Untuk
menghindari munculnya bakteri TB yang resisten, biasanya diberikan obat

18
yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini. Setelah minum obat TB
biasanya gejala TB bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun
demikian, untuk benar- benar sembuh dari TB diharuskan untuk
mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan. Efek negatif yang muncul
jika kita berhenti minum obat adalah munculnya kuman TB yang resisten
terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar, pengendalian
TB akan semakin sulit dilaksanakan (Kemenkes, 2016).

2.1.11 Komplikasi
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Luluh paru
4. Gagal napas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura ( Pengurus IDI, 2005).

2.1.12 Prognosis
Prognosis umumnya baik jika infeksi terbatas di Paru, kecuali jika
infeksi disebabkan oleh strain resisten obat atau terjadinya pada pasien
berusia lanjut, dengan debilitas, atau mengalami gangguan kekebalan,
yang berisiko tinggi menderita tuberkulosis milier. Dapat terjadi
amiloidosis pada kasus yang menetap (Price, 2004).

2.1.13 Pencegahan
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan
program penanggulangan TB> penemuan dan penyembuhan pasien TB
menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian
akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan penyuaran TB yang paling efektif di Masyarakat (Price, 2004).
Pemberian vaksinasi Basil Calmette-Guerin (BCG) digunakan pada
beberapa Negara sebagai tindakan perlindungan untuk infeksi
mikobakterium. Vaksinasi ini memberikan kira-kira 80% perlindungan
selama 10-15 tahun dan merupakan yang paling baik untuk mencegah
penyakit diseminata pada anak. Karena BCG bernilai diagnostik potensial

19
untuk melihat infeksi primer sebelumnnya, maka beberapa Negara tidak
menggunakannya (Pedoman TB, 2011).

2.2 Lingkungan Fisik Rumah


1. Pengertian Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host
(pejamu) baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti
suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk
host yang lain. Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam
penularan, terutama lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat.
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan
pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo,
2003).
Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau
tempat yang baik dalam menularkan penyakit menular seperti
tuberculosis. Faktor lingkungan erat kaitannya dalam penularan
penyakit seperti lingkungan, fisik, biologi, ekonomi, sosial dan budaya
(Soemirat, 2000).
Menurut Hendrik L Blum dalam Notoadmojo (2007), faktor-
faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain adalah faktor
lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan.
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan
pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya.
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang berperan
dalam penyebaran kuman tuberkulosis. Kuman tuberkulosis dapat hidup
selama 1 – 2 jam bahkan sampai beberapa hari hingga berminggu-
minggu tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang
baik, kelembaban, suhu rumah dan kepadatan penghuni rumah
(Notoatmodjo, 2007).
Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu ventilasi,
suhu, kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu

20
kepadatan penghuni. Rumah yang ruangan terlalu sempit atau terlalu
banyak penghuninya akan kekurangan oksigen menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit
sehingga penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan
mudah terjadi di antara penghuni rumah (Notoatmodjo, 2003).
2. Pengertian Rumah
Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal
atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Kesehatan perumahan
adalah kondisi fisik, kimia dan biologik di dalam rumah, dilingkungan
rumah dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau
masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal (Kasjono,
2011).
Menurut Ditjen Cipta Karya dalam Kasjono (2011), komponen
yang harus dimiliki rumah sehat adalah :
A. Fondasi yang kuat untuk meneruskan beban bangunan ke tanah dasar
memberi kestabilan bangunan dan merupakan konstruksi
penghubung antara bangunan dengan tanah.
B. Lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari
pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air, untuk
rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu.
C. Memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan
masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10% luas lantai.
D. Dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung atau
menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari
panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan penghuninya.
E. Langit – langit untuk menahan dan menyerap panas terik matahari.
F. Atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari.
3. Persyaratan Rumah Sehat
Rumah sehat menurut Winslow dan American Public Health
Association (APHA) dalam Kasjono (2011), harus memiliki syarat,
antara lain:

21
A. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan,
penghawaan (ventilasi), ruang gerak yang cukup, terhindar dari
kebisingan/suara yang mengganggu.
B. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain cukup aman dan
nyaman bagi masing-masing penghuni rumah, privasi yang cukup,
komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni
rumah, lingkungan tempat tinggal yang memiliki tingkat ekonomi
yang relatif sama.
C. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar
penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja
dan air limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus,
kepadatan hunian yang berlebihan, cukup sinar matahari pagi,
terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran.
D. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik
yang timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah. Termasuk
dalam persyaratan ini antara lain bangunan yang kokoh, terhindar
dari bahaya kebakaran, tidak menyebabkan keracunan gas,
terlindung dari kecelakaan lalu lintas, dan lain sebagainya.

22
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor
829/Menkes/SK/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, suatu
rumah tinggal dapat dikatakan memenuhi syarat kesehatan ialah sebagai
berikut :
1. Bahan bangunan,
a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat
membahayakan kesehatan, antara lain sebagai berikut :
1) Debu Total tidak lebih dari 150 µg m3
2) Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/4jam
3) Timah hitam tidak melebihi 300 mg/kg
b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan
berkembangnya mikroorganisme patogen.
2. Komponen dan penataan ruang rumah. Komponen rumah harus
memenuhi persyaratan fisik dan biologis sebagai berikut:
a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan
b. Dinding
1) Di ruang tidur, ruang keluarga dilengkapi dengan sarana ventilasi
untuk pengaturan sirkulasi udara
2) Di kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air dan mudah
dibersihkan
c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan
d. Bumbung rumah yang memiliki tinggi 10 meter atau lebih harus
dilengkapi dengan penangkal petir
e. Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang
tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur, ruang
mandi dan ruang bermain anak
f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap.
3. Pencahayaan
Pencahayaan alam atau buatan langsung atau tidak langsung dapat
menerangi seluruh bagian ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan
tidak menyilaukan.
4. Kualitas Udara
Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai
berikut:
A. Suhu udara nyaman berkisar antara l8°C sampai 30°C

23
B. Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%
C. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam
D. Pertukaran udara
E. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8jam
F. Konsentrasi gas formaldehide tidak melebihi 120 mg/m3
5. Ventilasi
Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal
10% dari luas lantai
6. Binatang penular penyakit
Tidak ada tikus bersarang dalam rumah
7. Air
A. Tersedia air bersih dengan kapasitas minimal 60 lt/hari/orang
B. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan air
minum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Tersediannya sarana penyimpanan makanan yang aman dan higienis
9. Limbah
A. Limbah cair berasal dari rumah, tidak mencemari sumber air, tidak
menimbulkan bau dan tidak mencemari permukaan tanah.
B. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, tidak
menyebabkan pencemaran terhadap permukaan tanah dan air tanah.
10. Kepadatan hunian ruang tidur
Luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan
lebih dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah
umur 5 tahun.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan terdapat beberapa parameter
fisik rumah yang ada kaitannya dengan kejadian penularan penyakit TB
Paru, dan parameter fisik yang peneliti teliti disesuaikan dengan kerangka
konsep antara lain:
1) Ventilasi
Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar
masuknya udara juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga
aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Menurut indikator
pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan
adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi
syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah. Luas ventilasi rumah

24
yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan
mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya
konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya
(Depkes, 1999).
Perjalanan kuman TB Paru setelah dibatukkan akan terhirup oleh
orang disekitarnya sampai ke paru-paru, sehingga dengan adanya
ventilasi yang baik akan menjamin pertukaran udara, sehingga
konsentrasi droplet dapat dikurangi. Konsentrasi droplet percolume
udara dan lamanya waktu menghirup udara tersebut memungkinkan
seseorang akan terinfeksi kuman TB Paru (Depkes, 2002).
Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam
penularan tuberculosis dimana ventilasi dapat memelihara kondisi
atmosfir yang menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Suatu
studi melaporkan bahwa upaya penurunan angka kesakitan tuberculosis
dapat dilakukan diantaranya dengan membuat ventilasi yang cukup
untuk mengurangi pencemaran udara lainnya termasuk asap rokok
(Depkes, 2002).
2) Pencahayaan
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor
829/Menkes/SK/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,
pencahayaan dalam rumah sangat berkaitan erat dengan tingkat
kelembaban didalam rumah. Pencahyaan yang kurang akan
menyebaban kelembaban yang tinggi di dalam rumah dan sangat
berpotensi sebagai tempat berkembang biaknya kuman TBC.
Pencahayaan langsung dan tidak langsung atau buatan harus
menerangi seluruh ruangan dan mempunyai itensitas minimal 60 lux
dan tidak menyilaukan. Pencahayaan alami selain berfungsi sebagai
penerangan juga dapat mengurangi kelembaban, dan dapat membunuh
kuman penyakit akibat pengaruh sinar ultraviolet (Depkes,2003).
Penularan basil tuberkulosis relatif tidak tahan terhadap sinar
matahari, oleh sebab itu bila ruangan dimasuki sinar matahari serta

25
sirkulasi udara yang bagus, maka risiko penularan antara penghuni
serumah bisa dikurangi (Depkes, 2002).
Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun
lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari , sabun, lisol, karbol dan
panas api. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko
menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang
dimasuki sinar matahari (Atmosukarto dan Sri Soewati, 2000).
3) Kelembaban
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh
kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan
temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila
terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab (Depkes, 1999).
Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% –70% dan suhu ruangan
yang ideal antara 180C – 300C (Keman S, 2005).
4) Kepadatan hunian rumah
Ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian
tuberkulosis paru. Disamping itu Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis
Paru Bradbury mendapat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian
tuberkulosis paru paling besar diakibatkan oleh keadaan rumah yang
tidak memenuhi syarat pada luas ruangannya (Smith dan Moss, 1994).
Luas ruang tidur minimal 8m2, dan tidak dianjurkan digunakan
lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah
umur 5 tahun dan ruangan rumah cukup luas dan tidak padat huni
minimal 10m2 /orang (Depkes, 1999).
5) Jenis lantai rumah
Jenis lantai yang baik adalah kedap air dan mudah dibersihkan
(Depkes, 1999). Jenis lantai rumah yang ada di Indonesia bermacam
–macam tergantung kondisi daerah dan tingkat ekonomi masyarakat,
mulai dari jenis lantai tanah, papan, plesteran dan lantai keramik. Dari
beberapa jenis lantai diatas, maka jenis lantai tanah jelas tidak baik dari

26
segi kesehatan, mengingat lantai tanah ini lembab dan menjadi tempat
yang baik untuk berkembang biaknya kuman TB Paru (Suyono, 2005).
6) Jenis dinding rumah
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan
maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar
serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa bahan
pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau batu
dan sebagainya. Tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling baik
adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang tidak mudah
terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan (Depkes, 1994).

2.3. Gambaran Umum UPTD Urusan Puskesmas Wani


1. Letak Geografis
Puskesmas Wani merupakan puskesmas yang berada di wilayah
kerja Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala dengan luas wilayah
302,64 km2. Wilayah kerja puskesmas wani terdiri dari 10 desa, yaitu desa
Bale, Guntarano, Nopabomba, Wombopanau, Wombo Induk, Wombo
Kalongg, Wani Satu, Wani Dua, Wani Tiga, dan Lombompetigo.
Letak puskesmas Wani kurang lebih 25 Km dari ibu kota Palu, dengan
batas wilayah sebagai berikut:
A. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Labuan.
B. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Palu Utara Kota Palu.
C. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Ampibabo dan
Kecamatan Parigi Mautong, dan
D. Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Palu Utara Kota Palu dan
Teluk Palu.
2. Keadaan Sosial Ekonomi
Secara umum keadaan sosial ekonomi masyarakat dapat dikatakan
hampir rata-rata berpenghasilan kecil. Mata pencaharian penduduk
sebagian besar adalah pertanian yang letaknya jauh dari pemukiman.
Dengan keadaan sosial ekonomi tersebut, maka sebagian besar masyarakat

27
berpendapatan musiman. Hal ini mengakibatkan beberapa kelompok
masyarakat kurang memperhatikan masalah kesehatan.
3. Keadaan Geografis
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Wani Kec.
Tanantovea, sesuai data terakhir BPJS tahun 2015 adalah 15.806 jiwa.
Sedangkan jumlah Kepala Keluarga untuk seluruh Kecamatan yaitu 4.286
KK dengan rata-rata jumlah penduduk per rumah tangga adalah 4 jiwa.

Tabel 1. Jumlah Penduduk di Wilayah kerja Puskesmas Wani


Tahun 2016

28
Jumlah
NO Nama Desa Jumlah Penduduk
Dusun

1. WANI I 5 1.638

2. WANI II 4 2.867

3. WANI III 2 892

4. LUMBU MPETIGO 3 1.165

5. WOMBO MPANAU 2 1.142

6. WOMBO INDUK 3 1.183

7. WOMBO 3 809
KALONGGO

8. NUPABOMBA 6 3.135

9. GUNTARANO 3 1.621

10. BALE 5 1.354

J U M LA H 36 15.806

Tabel 2. Jumlah Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas


Wani berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2016.

No Jenis Kelamin Jumlah Proporsi

1. Laki-laki 8.052 50,9 %

2. Perempuan 7.754 49,1 %

Jumlah 15.806 100 %

(Tim Penyusun Puskesmas, 2016).

B. Landasan Teori
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit granulomatosa berupa infeksi
kronis yang menyerang paru dan dapat terjadi pada organ ektra paru seperti
pleura, selaput otak, kelenjar limfe, tulang, sendi, usus, sistem urogenital, dan

29
lain-lain. Secara umum, disebut tuberkulosis ektra paru apabila tanda tuberkulosis
terjadi pada organ selain paru biasanya bagian tengah granuloma tuberkular
mengalami nekrosis perkijuan (Maitra dan Kumar, 2007).
Penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium (M) ini merupakan
penyebab utama kecacatan dan kematian hampir di sebagian besar negara di
seluruh dunia. Penyebab utama infeksinya adalah kompleks M tuberculosis.
Kompleks ini termasuk M tuberculosis dan M africanum terutama berasal dari
manusia dan M bovis yang berasal dari sapi. Sebagian kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya, ( UI,2008).
Kriteria rumah sehat menurut permenkes RI nomor 829 tahun 1999 yang
berhubungan dengan angka kejadian TB Paru antara lain ventilasi, pencahayaan,
kelembaban, kepadatan hunian, jenis lantai rumah dan jenis dinding rumah.
Masing-masing indikator rumah sehat ini memiliki peran yang sangat tinggi
terhadap tinggu\inya kejadian TB Paru (WHO, 2012).

C. Kerangka Teori

Faktor Risiko
Epidimilogi
1. Usia
Etiologi 2. Jenis Kelamin
3. Status
1. M.Tuberculosis
Demografi
2. M. Bovis 4. Lingkungan
Fisik Rumah
3. M. Microtii

4. M.Canetti

Patogenesis

Tanda dan Gejala Umum

30
Tuberkulosis
Pemeriksaan Fisik
Paru

Pemeriksaan Radiologis
Komplikasi dan
Prognosis

Pemeriksaan Laboratorium

Pengobatan Tuberkulosis

Keterangan :
: Variabel diteliti
: Variabel tidak diteliti

D. Kerangka Konsep

31
32

Anda mungkin juga menyukai