Anda di halaman 1dari 20

Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT


PENDIDIKAN ISLAM

Oleh :
Hartono
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN SUSKA Riau

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pendidik dan peserta


didik dalam filsafat pendidikan Islam. Dalam Islam pendidik dapat
diklasifikasikan menjadi tiga pendidik, yaitu Allah SWT., sebagai pendidik
pertama, nabi Muhammad SAW. sebagai pendidik kedua, dan orangtua
sebagai pendidik yang ketiga. Guru adalah pendidik profesional yang
memiliki tanggungjawab profesi terhadap pekerjaannya. Peserta didik
adalah manusia yang sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan,
yang memerlukan bantuan dari orang lain (orang dewasa) untuk menjalani
pertumbuhan dan perkembangannya. Pesrta didik terlahir dengan membawa
fitrah, yang berisi potensi-potensi, antara lain potensi beragama, mawahib
(bakat), naluri dan kewahyuan (revilation).

Key word : pendidik, peserta didik, filsafat pendidikan Islam

Latar Belakang Masalah


Manusia sebagai makhluk yang berbudaya selalu berupaya mempertahankan dan
mentransmisikan budayanya kepada anak keturunannya. Upaya tersebut dilakukan
melalui pendidikan. Melalui pendidikan diharapkan anak dapat melestarikan budaya dan
aspek-aspek kehidupan lainnya yang telah diterima pendidik sebelumnya.
Pendidikan pada dasarnya dapat diartikan sebagai upaya sadar yang dilakukan
orang dewasa untuk memberikan perubahan pada perkembangan anak dalam setiap
tahap perkembangannya. Dari sini terlihat bahwa pendidikan telah terlaksana semenjak
anak menginjakkan kakinya di dunia dan mulai menerima proses pendidikan yang

Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014 I97


Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

dilakukan oleh orangtuanya. Akan tetapi kemudian akibat keterbatasan yang dimiliki
orangtua anak kemudian memasuki pendidikan formal di sekolah-sekolah pada
lembaga-lembaga formal yang telah dikelola secara terstruktur.
Berdasarkan pengertian pendidikan di atas dapat dilihat bahwa dalam
pendidikan terdapat dua komponen manusia yang harus ada dalam sebuah proses
pendidikan, yaitu pendidik yang berupaya mewujudkan proses pendidikan pada anak
didik, dan anak didik sebagai subjek yang akan dibentuk dan melaksanakan pendidikan
dalam proses perkembangannya.
Berbagai pandangan dikemukakan para ahli tentang kedua komponen
pendidikan di atas, ada yang mengkajinya dari aspek hakikatnya sebagai manusia, ada
pula yang mengkajinya dalam perspektif pembelajaran formal dan ada pula yang
mengkajinya dalam perspektif filosofis.
Islam sebagai agama kaffah tidak hanya menuntun manusia dalam persoalan
agama ansich, akan tetapi mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik aspek
lahiriyah maupun batiniah, sehingga ajaran Islam benar-benar dapat dijadikan pedoman
dalam segala aspek kehidupan manusia. Islam yang memberikan petunjuk-petunjuk
kepada umat manusia melalui ajaran-ajaran yang termaktub dalam Al-Quran dan sunnah
Nabi Muhammad saw. memberikan pokok-pokok ajaran yang dapat dijadikan pedoman
dalam menjalani kehidupan. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan aqidah dapat
secara langsung digunakan sebagai pedoman, sementara ayat-ayat yang berhubungan
dengan kehidupan manusiawi dapat dijadikan grand teori untuk kemudian
dikembangkan melalui berbagai penelitian dan analisis sesuai dengan kebutuhan
manusia pada masanya.
Islam memandang manusia secara totalitas, baik dari aspek jasmaniahnya yang
berhubungan dengan kebutuhan fisik, maupun dari aspek psikisnya yang berhubungan
dengan kepribadiannya. Salah satu ajaran Islam yang mencakup kedua aspek tersebut
adalah pendidikan. Pendidikan merupakan aspek ajaran Islam yang memadukan aspek
pisik dan aspek psikis. Dalam pendidikan manusia ditumbuh kembangkan secara total,
tidak memilah-milah mana aspek pisik, dan mana aspek psikis, akan tetapi keduanya
dikembangkan secara serentak di dalam pendidikan.

98I Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014


Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Konsep pendidikan mengharuskan adanya komponen-komponen wajib yang


harus ada di dalam sebuah upaya pendidikan tersebut. Komponen utama yang harus ada
dalam sebuah perilaku pendidikan adalah pendidik dan peserta didik sebagai pelaksana
utama pendidikan. Tulisan sederhana ini bertujuan untuk mengkaji kedua komponen
pendidikan tersebut dari pandangan filsafat, khususnya filsafat pendidikan Islam.

Pendidik dan Peserta Didik dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam


Filsafat dapat diartikan sebagai proses berpikir logis, kritis dan sistematis tentang segala
realitas yang ada dan yang mungkin ada yang akan menjadi sikap dan keyakinan yang
sangat dijunjung tinggi oleh subjeknya. 1 Dengan filsafat manusia berupaya mencari
kebenaran terhadap sebuah realitas yang terjadi, apa yang ada di balik sebuah realitas
serta bagaimana sebuah realitas seharusnya ada. Filsafat mengajarkan bagaimana
sebuah kebenaran diperoleh, jalan apa yang harus ditempuh seseorang untuk
memperoleh sebuah kebenaran.
Senada dengan hal di atas Runes2 dalam Dictionary of Philosophy, memaknai
filsafat sebagai :
Originally, the rational explanation of anything, the general principles under
which all facts, could be explained, in this sense, indistinguishable from science. Later,
the science of the first principle of being, the presuppositions of ultimate reality. Now,
popularly, private wisdom or consoliation, technically, the science of sciences, the
criticism and systematization or organization of all knowledge, drawn from empirical
science, rational learning, common experience, or wherever. Philoshopy includes
metaphysics, or ontology and epistemology, logic, ethics, aesthetics, etc.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa filsafat dapat menjelaskan prinsip-
prinsip umum tentang segala sesuatu, dalam hal ini kerja filsafat sama dengan sain
(ilmu). Filsafat merupakan ilmu tentang prinsip utama being (yang ada), yaitu ilmu
yang mempelajari hakikat dari yang ada, filsafat adalah ilmu dari pada ilmu, kritik, dan
sistematisasi atau organisasi dari pengetahuan, yang berasal dari ilmu empirik,
pengalaman (rasional, ataupun biasa). Filsafat mencakup kajian tentang ontologi,
epistemologi, etik dan estetik.

1 Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, Pekanbaru, LSFK2P, 2005, hlm. 5.


2 Dagobert R. Runes, Dictionary of Philosophy, Totowa, New Jersey, Littlefield & Co, 1971, hlm. 235.

Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014 I99


Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Filsafat pendidikan merupakan upaya filosofis yang khusus tertuju pada


masalah-masalah pendidikan. Dalam hal ini filsafat melakukan kritik, sistematisasi dan
organisasi terhadap ilmu pendidikan, sehingga dengan dasar-dasar pandangan filosofis
ilmu pendidikan dapat bermanfaat dan berkembang dengan baik.
Noor Syam3 mengemukakan bahwa filsafat pendidikan merupakan landasan
filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan dan pelaksanaan pendidikan. Filsafat
pendidikan dan ilmu pendidikan harus menjadi pengetahuan dadasr (basic knowledge)
bagi setiap pelaksana pendidikan.
Sesuai dengan ruang lingkup filsafat, maka filsafat pendidikan juga akan
mencakup kajian ontologi yang mengkaji dasar-dasar dan hakikat dari pendidikan,
epistemologi yang membahas bagaimana pendidikan dilaksanakan, aksiologi yang
membahas untuk apa (nilai guna) pendidikan tersebut. Dalam hubungannya dengan
tema kajian yaitu peserta didik dan peserta didik secara ontologis akan mengkaji apa
hakekat keduanya, secara epistemologis akan mengkaji bagaimana mereka terbentuk
termasuk di dalamnya apa hak dan tanggungjawabnya, sementara aksiologisnya akan
mengkaji untuk apa mereka dididik dan mendidik. Kajian-kajian tersebut yang akan
coba dilakukan dalam pembahasan berikut.

1. Pendidik
Pendidik merupakan orang yang membimbing terjadinya proses pendidikan
pada peserta didik, sehingga pendidik memiliki tanggungjawab terhadap keberhasilan
atau kegagalan pendidik. Seorang pendidik seyogyanya memiliki kelebihan dari peserta
didik, yang membuat peserta didik merasa tergantung, dan sangat membutuhkannya.
Menjadi pendidik merupakan fitrah setiap manusia dalam memenuhi tanggungjawabnya
sebagai orangtua terhadap anaknya.
Sesuai dengan hal ini, M. Fadhil Jamil memaknai pendidik sebagai orang yang
mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik, sehingga terangkat derajat
kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia. 4

3 Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya, Usaha
Nasional, 1984, hlm. 39.
4 Dikutip dari Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2008, hlm. 58.

100I Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014


Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul tanggungjawab


sebagai pendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya
bertanggungjawab tentang pendidikan peserta didik.5
Dalam Islam terdapat beberapa kelompok pendidik, yaitu Allah SWT. seperti
yang tergambar dalam surah Al-Baqarah ayat 31 berikut.
   
   
  
    
Artinya : Dan Allah mengajarkan kepada Adam as. nama-nama semua benda yang
ada, kemudian ditunjukkannya kepada malaikat, dan berkata,
”Terangkan kepadaku nama-nama semua benda ini, jika kamu semua
adalah orang yang benar.
Adapun pendidik dalam Islam adalah semua manusia dewasa yang memiliki
tanggungjawab pendidikan, yaitu orangtua dari setiap anak yang dilahirkan. Pendidik
azasi dan sebenar-benar pendidik adalah Allah SWT. sebagaimana Adam manusia
pertama yang diciptakan Allah SWT. langsung dididik pisik maupun mentalnya oleh
Allah SWT.
Manusia sebagai pendidik hendaknya tidak lari ketentuan-ketentuan Allah, serta
memiliki sifat-sifat asmaul husna yang patut dimiliki manusia. Manusia
bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk
orang lain. Hadits nabi Muhammad saw. berbunyi :
)‫كلكم راع وكلكم مس(روي بخاري‬
Artinya: “Masing-masing kamu adalah pemelihara, dan setiap pemelihara akan
ditanya atas peliharaannya”.
Sesuai dengan hal di atas Ramayulis mengklasifikasikan pendidik menjadi
beberapa bentuk, yaitu Allah SWT. seperti yang termaktub dalam Al-Quran surah Al-
Fatihah ayat 1 yang berbunyi :
  
 
Artinya : “Segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam”.

5 Dikutip dari Ibid.

Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014 I101


Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Begitu pula surah Al-Baqarah ayat 31, dan hadits nabi Muhammad SAW. yang
berbunyi :
‫أدبىي ربي فأحسه تأديبي‬
Artinya : “Tuhanku telah addabani (mendidikku), maka Ia membaikkan
pendidikanku.”
Pendidik yang kedua adalah Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW.
merupakan utusan Allah yang merupakan perpanjangan tangan dari Allah dalam
menyampaikan ajaran-ajaranNya. Nabi menerima wahyu dari Allah SWT dan
berkewajiban mendidik dan mengarahkan umat manusia ke jalan yang diridhoinya.
Gambaran Nabi Muhammad saw. sebagai pendidik dapat dirujuk dala hadits
berikut.
‫ ﺒﺎﺭﺯﺍﻴﻮﻣﺎﻟﻟﻨﺎﺱﻔﺄﺗﺎﻩﺭﺠﻞﻔﻘﺎﻞﻣﺎﺍﻹﻴﻣﺎﻦ ﻥﺎﻜ ﻰﺒﻨﻟﺍ ﻰﻠﺼ ﻪﻟﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺴﻭ‬: ‫ﺓﺮﻳﺮﻫﻰﺒﺍﻥﻋ ﻪﻟﻟﺍﻰﻀﺮ ﻪﻨﻋ ﻞﺎﻗ‬
‫ﺍﻹﻴﻣﺎﻦﺃﻦﺘﺆﻣﻦﺑﺎﻟﻟﻪﻭﻣﻺﻜﺘﻪﻭﺒﻠﻘﺎﺌﻪﻭﺒﺭﺳﻟﻪﻭﺘﺆﻣﻦﺑﺎﻠﺒﻌﺙﻘﺎﻞﻣﺎﺍﻹﺴﻼﻡﻘﺎﻞﺍﻹﺴﻼﻡﺃﻦﺘﻌﺑﺪﺍﻠﻠﻪ‬
‫ﻮﻻﺘﺷﺭﻚﺑﻪﻮﺗﻘﻴﻢﺍﻠﺼﻼﺓﻮﺗﺆﺪﻱﺍﻠﺯﻜﺎﺓﺍﻠﻤﻔﺮﻮﺿﺔﻮﺘﺻﻮﻢﺮﻤﻀﺎﻥﻦﺍ ﻪﻠﻠﺍﺩﺒﻌﺘ ﻚﻨﺄﻜ ﻩﺍﺭﺘ ﻦﺈﻔ ﻡﻠ ﻦﻜﺗ ﻩﺍﺭﺘ‬
‫ ﺈﻔ ﻪﻨ ﻚﺍﺮﻳ‬-‫ ﺒﺳﻪﻨﺎﺤ ﻰﻠﺎﻌﺘﻮ‬- ‫ﻝﺎﻗﻥﺎﺴﺤﻻﺍﺎﻤ ﻘﺎﻞ ﻤﺗﻰﺍﻠﺴﺎﻋﺔ‬:‫ﻝﺎﻗ‬
‫ﻤﺎﺍﻠﻤﺴﺌﻮﻞﻋﻨﻬﺎﺒﺄﻋﻠﻢﻤﻥﺍﻠﺴﺎﺌﻞﻮﺴﺄﺨﺑﺮﻚﻋﻥﺃﺸﺮﺍﻂﻬﺎﻝﺎﻗ‬
‫ﺇﺬﺍﻮﻟﺪﺖﺍﻷﻤﺔﺮﺑﻬﺎﻮﺇﺫﺍﺗﻂﺎﻮﻞﺮﻋﺎﺓﺍﻹﺑﻞﺍﻠﺑﻬﻢﻔﻰﺍﻠﺑﻧﻴﺎﻦﻔﻰﺨﻤﺲﻻﻴﻌﻠﻤﻬﻦﺇﻻﺍﻠﻠﻪ‬
‫ﺇﻦﺍﻠﻠﻪﻋﻨﺪﻩﻋﻠﻢﺍﻠﺳﺎﻋﺔﺍﻷﻴﺔﺜﻢﺃﺩﺒﺭ ﻰﻠﺼ ﻪﻟﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺴﻭ ﺛﻢﺗﻼﺍﻠﻨﺒﻲ‬
‫ﺭﺩﻮﻩﻔﻟﻢﻴﺭﻮﺍﺸﻴﺋﺎﻔﻘﺎﻞﻫﺬﺍﺟﺑﺭﻴﻞﺟﺎﺀﻴﻌﻠﻡﺍﻠﻨﺎﺲﺪﻴﻨﻬﻡ ﻰﻠﺼ ﻪﻟﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺴﻭ ﻔﻘﺎﻞﺭﺴﻮﻞﺍﻠﻠﻪ‬
6
‫ﻯﺭﺎﺨﺑﻠﺍﻩﺍﻭﺮ‬
Artinya : Dari Abi Hurairah ra. Ia berkata, ”Adalah nabi SAW. suatu hari berada
di tengah khalayak ramai, maka datang seorang laki-laki maka laki-laki
itu berkata, ”Apa itu Iman?” Nabi menjawab, “Iman adalah bahwa
engkau percaya kepada Allah dan malaikatnya dan percaya bertemu
denganNya, percaya kepada rasulNya, dan percaya kepada hari
berbangkit.” Laki-laki itu berkata, “Apa itu Islam?” Nabi berkata, “Islam
adalah bahwa engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya
dengan yang lain, dan mendirikan sholat, menunaikan zakat yang
diwajibkan dan puasa di bulan Ramadhan. Laki-laki itu berkata, ”Apa itu
ihsan?” Nabi berkata, “Bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah
engkau melihatNya, maka jika engkau tidak melihatNya (Allah SWT)
maka sesungguhnya Ia melihatmu.” Laki-laki itu berkata, “Kapan hari
kiamat?” Nabi berkata, “Yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang
menanya. Dan akan saya ceritakan kepadamu tentang ciri-cirinya.

6 Musţafā Muḥammad `Umra, Jawāhir al-Bukhāri wa Sharh al-Qasţalānī, Beirūt, Dār al-Fikr, 1994,hal : 36 – 37.

102I Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014


Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Apabila seorang budak melahirkan tuannya, dan apabila para


pengembala ternak dapat membangun istana megah pada 5 perkara yang
hanya diketahui oleh Allah SWT. kemudian nabi Muhammad SAW
membaca ayat “Sesungguhnya di sisi Allahlah pengetahuan tentang
kiamat.” Kemudian laki-laki itu berpaling. Maka rasul Allah SAW
berkata, “tahan dia!” maka mereka tidak melihat apapun. Nabi berkata,
“Ini adalah Jibril. Ia datang mengajari manusia tentang agamanya.”

Pendidik yang ketiga adalah orangtua. Orangtua adalah pendidik di lingkungan


keluarga, karena decara alami anak-anak pada masa awal kehidupannya berada di
tengah-tengah ayah dan ibunya. Dari merekalah anak menerima pendidikan. Orangtua
adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak
mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan
terdapat dalam kehidupan keluarga.7 Orangtua memiliki tanggungjawab pertama dan
utama dalam mendidik anak, akan tetapi karena ketidakmampuan orangtua, baik dari
segi kemampuan ilmu pengetahuan yang dimiliki maupun dari segi keterbatasan waktu
dan tenaga yang dimiliki, mereka seringkali mengalihkan kewajiban mereka pada
seorang atau beberapa orang guru dalam mendidik anak mereka.
Karakteristik orangtua sebagai pendidik dalam Al-Quran digambarkan seperti
sosok Luqman sebagaimana surah Luqman (31) ayat 13 berikut.
   
   
    
  
Artinya: Dan ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia mengajarinya, “Hai
anakku, jangan kamu sekutukan Allah! Sesungguhnya syirik itu adalah
suatu kezaliman yang besar.”

Zakiyah Daradjat et al8 mengemukakan bahwa tanggungjawab pendidikan


Islam yang menjadi beban orangtua sekurang-kurangnya harus dilaksanakan dalam
rangka :
1. Memelihara dan membesarkan anak.
2. Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmaniah maupun rohaniah.

7 Zakiyah Daradjat et al, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992, hlm. 35.
8 Ibid.hlm. 38.

Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014 I103


Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

3. Memberi pengajaran dalam arti yang luas.


4. Membahagiakan anak, baik dunia maupun di akhirat.
Pendidik keempat adalah guru. Guru adalah pendidik dalam lemabga-lembaga
pendidikan formal. Pada dasarnya guru adalah perpanjangan tangan dari orangtua yang
mendapat amanah untuk mendidik anak. Sebagai pemegang amanah, guru bertanggung
jawab atas amanah yang dibebankan kepadanya, sebagaimana surah An-Nisa ayat 58
yang berbunyi :
    
  
   
  
    
     
  
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang
berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara
manusia maka tetapkanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar
lagi maha melihat.”

Guru adalah pendidik profesional, yang memiliki tanggungjawab secara profesi


terhadap pekerjaan yang diemban. Berbeda dengan orangtua, seorang guru memiliki hak
dan kewajiban secara tertulis, yang memiliki konsekuensi khusus dari hak dan
kewajiban tersebut. Sebagaimana orangtua, pada dasarnya guru juga adalah orang
dewasa, yang diserahi tanggungjawab profesi oleh orangtua. Oleh karena itu seorang
guru harus memenuhi beberapa persyaratan agar proses pendidikan yang
dilaksanakannya dapat mencapai tujuannya dengan baik.
Zakiyah Daradjat9 mengemukakan 4 syarat yang harus dimiliki seorang guru,
yaitu :
1. Taqwa kepada Allah, sebab guru adalah teladan bagi muridnya sebagaimana
rasulullah Muhammad saw. menjadi telah bagi umatnya.
2. Berilmu, yang dibuktikan dengan adanya ijazah yang dimiliki.
3. Sehat jasmani, karena profesi mengajar memerlukan tenaga yang cukup besar
dalam menghadapi beragam bentuk peserta didik.

9 Ibid. hlm. 41-42.

104I Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014


Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

4. Berkelakuan baik dan dapat memberi contoh teladan bagi peserta didik
bagaimana cara berprilaku.

Seorang guru seharusnya memiliki ciri :


1. Mencintai jabatannya sebagai seorang guru
2. Bersikap adil terhadap semua murid
3. Berlaku sabar dan tenang
4. Berwibawa
5. Gembira dan menyenangkan
6. Bersifat menusiawi
7. Mampu bekerjasama dengan guru-guru yang lain
8. Dapat bekerjasama dengan masyarakat 10
Seorang Pendidik profesional memiliki tugas mengajak manusia untuk tunduk
dan patuh pada hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Selain
itu guru memiliki tugas secara khusus sebagai pengajar (instruktur) yang bertugas
merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun dan
penilaian setelah program tersebut dilaksanakan; sebagai pendidik yang mengarahkan
peseta didik pada tingkat kedewasaan; sebagai pemimpin (manajerial) yang memimpin
dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat terkait.11
Seorang guru hendaknya mampu menjadi orangtua sekaligus teman bagi peserta
didik, sehingga terjalin komunikasi dua arah yang mampu menumbuhkan terjadinya
proses belajar pada diri peserta didik.
Sebagai pendidik profesional, pada dasarnya guru berhak menerima
gaji/penghasilan atas jasa yang telah ia lakukan dalam mendidik peserta didik
(meskipun ada sebagai tokoh yang melarangnya). Guru berhak pula mendapat
penghargaan dari apa yang telah mereka lakukan berupa kenaikan jabatan dan tunjangan
mengajar sebagai penunjang perekonomian mereka sehari-hari. 12

10 Ibid. hlm. 42-44.


11 Ramayulis, Op. Cit., hlm. 63.
12 Ibid, hlm. 65-66.

Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014 I105


Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Sebagai pendidik profesional seorang guru hendaknya tidak pernah merasa puas
dengan apa yang telah diperolehnya saat ini, akan tetapi harus selalu memperbaharui
diri dengan berbagai penelitian dan mempelajari penemuan-penemuan yang dihasilkan
sebuah penelitian. Dalam arti kata seorang guru dituntut selalu belajar dan
memperbaharui apa yang telah dimilikinya. Guru seperti inilah yang diharapkan dapat
menghantarkan proses pendidikan yang gemilang bagi peserta didik.
Islam memandang perbuatan mendidik sebagai perbuatan yang mulia. Pendidik
merupakan perpanjangan tangan Allah SWT. dan Nabi Muhammad SAW. dalam
menyebarluaskan ajaran-ajaran Allah di muka bumi, sehingga setiap orang yang
mengambil pekerjaan pendidik akan mendapat tsawab (reward) dari Allah, dan sebaik-
baik pendidik adalah orang yang mengajarkan Al-Quran, sebagaimana hadits nabi
Muhammad SAW.
)‫خيركم مه تعلم القرأن وعلمً (رواي بخاري‬
Artinya : “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan
mengajarkannya.

2. Peserta Didik
Peserta didik pada dasarnya merupakan manusia yang sedang dalam masa
pertumbuhan dan perkembangan, yang memerlukan bantuan dari orang lain (orang
dewasa) untuk menjalani pertumbuhan dan perkembangannya tersebut. Peserta didik
memiliki berbagai kebutuhan, yang dapat dikategorikan kepada kebutuhan pisik dan
non pisik, di mana masing-masing kebutuhan harus terpenuhi dengan baik.
Islam sebagai agama universal tidak hanya mementingkan masalah ibadah,
namun juga masalah yang lainnya. Islam sangat memperhatikan masalah-masalah yang
berhubungan dengan pendidikan. Dalam hal pendidikan, khususnya mengenai anak
didik Islam mempunyai pandangan ontologis tersendiri yang tidak dimiliki oleh ajaran
agama lain. Pandangan ontologis Islam tentang pendidikan dapat dilihat dari konsep
fitrah. Fitrah merupakan elemen dasar yang dimiliki oleh semua manusia, dalam hal ini
termasuk pendidik dan peserta didik.
Fitrah berarti suci, bukan seperti teori tabularasa yang dikemukakan John Lock
yang bersih dari segala hal, namun suci dalam arti tidak memiliki dosa bawaan dan

106I Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014


Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

memiliki kecenderungan kepada agama Allah. Suci dalam arti dapat diarahkan
kemanapun juga oleh para pendidik dengan bekal potensi-potensi dasar yang sudah
dimiliki oleh seorang anak setelah dilahirkan ke dunia.
Menurut pandangan Islam fitrah sudah dimiliki oleh seseorang pada waktu ia
baru dilahirkan ke dunia. Seorang bayi yang dilahirkan dalam keadaan suci, dalam arti
suci bersih tanpa noda dosa yang diwariskan pendahulunya, namun sudah membawa
berbagai potensi yang siap dikembangkan lewat pendidikan. Potensi untuk beragama
umpamanya, dapat diarahkan lewat pendidikan. Pada dasarnya semua anak yang baru
dilahirkan sudah membawa potensi beragama dan kecenderungan untuk berTuhan,
untuk mencari sesuatu yang dapat melindungi dan mengatasi berbagai persoalan yang
kadang kala tidak dapat diatasinya dengan hanya mengandalkan manusia dan ilmu
pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Namun adakalanya pendidikan dan
lingkungan selanjutnya tidak dapat mendukung potensi tersebut untuk berkembang
sehingga timbul kesan bahwa anak yang dilahirkan sebenarnya tidak memiliki potensi
tersebut. Hanya pemaksaan melalui pendidikanlah yang memaksa seseorang untuk
mengakui adanya Tuhan atau sesuatu zat Maha Agung yang telah menciptakan manusia.
Fitrah dalam Islam tidak sama dengan teori tabula rasa yang dikembangkan John
Lock,13 namun anak tersebut memiliki potensi-potensi yang bersih dari pengaruh
lingkungan, ketika ia baru dilahirkan. Potensi-potensi inilah yang dapat dikembangkan
oleh seorang pendidik melalui pendidikan.
Sesuai dengan hal di atas, sebuah hadits nabi mengemukakan hal yang sama :
)‫ما مه مىلىد اال يىلذ علئ الفطرة فأبىاي يهرداوً أو يىصراوً أو يمسجساوً (رواي بخاري‬
artinya : Tidak adalah anak yang dilahirkan itu kecuali dalam keadaan fitrah, maka
kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau
Majusi. Hadits riwayat Bukhari.

Fitrah dalam hadits di atas lebih menekankan pada potensi beragama yang
dimiliki setiap manusia,dan pendidiklah yang akan mengarahkan kecenderungan
beragama tersebut sesuai dengan yang seharusnya. Sesuai dengan fitrah ini dapat pula
disimak ayat Al-Quran suarah Ar-Ruum (30) ayat 30 berikut:

13 John Lock (1632-1704 M) mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan,
terutama pendidikan. Lock dikenal dengan teori “tabula rasa” yang menganggap manusia terlahir bagaikan meja lilin yang putih
bersih, dan lingkunganlah yang memberikan tulisan-tulisan yang akan mewarnai meja lilin tersebut.

Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014 I107


Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

  


    
    
    
  
   

Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya.

Dalam fitrah terkandung beberapa komponen potensial yang siap


dikembangkan, yaitu :
1. Kemampuan dasar untuk beragama Islam seperti yang digambarkan dalam Al-
Quran dialog antara janin dan Tuhan ketika janin masih berada di dalam rahim
seorang ibu, di mana Allah menanyakan “alasTu bi Robbikum?” Janin
menjawabnya dengan “Balaa, syahidna.”
2. Mawahib (bakat) yang memuat kemampuan dasar yang lebih dominan
dibandingkan dengan yang dimiliki orang lain, dan “Qabliyyat” (tendensi atau
kecendrungan) yang mengacu kepada keimanan kepada Allah
3. Naluri dan kewahyuan (revilation)
4. Kemampuan dasar untuk beragama secara umum
5. Dalam fitrah terdapat komponen psikologis apapun, yaitu bakat, instink atau
gharizah, nafsu dan dorongan-dorongannya, karakter atau watak tabi`at manusia,
hereditas atau keturunan, serta intuisi atau ilham yang dapat dilihat dalam
diagram fitrah yang digambarkan M. Arifin berikut ini:

108I Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014


Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Diagram Fitrah14)

Bakat
dan
Kecerdasan

Instink Hereditas
(naluri) Keturunan
Potensi
dasar
Intuisi Nafsu
(ilham) (drivers)
Karakter
(Watak asli)

Dari diagram di atas dapat dilihat ada enam potensi dasar yang dimiliki anak
yang baru dilahirkan yang tercakup dalam konsep fitrah, yaitu:
1. Bakat dan kecerdasan
2. Hereditas (keturunan)
3. Nafsu (drivers)
4. Karakter (watak asli)
5. Intuisi (ilham)
6. Instink (naluri).
Seorang anak yang dilahirkan telah memiliki bekal bakat dan kecerdasan yang
akan memberikan peluang bagi anak tersebut untuk berhasil dalam kehidupannya sesuai
dengan bakat dan kemampuan yang ia miliki.
Ramayulis 15 mengklasifikasikan kecerdasan kepada kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, kecerdasan spritual dan kecerdasan qalbu. Kecerdasan
intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani dan
pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yanglain. Kecerdasan
intelektual berhubungan dengan proses kognitif seperti berpikir, daya menghubungkan,
menilai dan memilah serta mempertimbangkan sesuatu, atau kecerdasan yang

14) Lihat M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1991, hlm : 89-103.

Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014 I109


Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

berhubungan dengan strategi pemecahan masalah dengan menggunakan logika. Tentang


kecerdasan intelektual ini dapat disimak surah An-Nahl ayat 12 berikut.
  
 
  
    
  
 
Artinya : “Dan Dia menundukkan malam, siang, matahari, bulan untukmu. Dan bintang-
bintang itu ditundukkkan (untukmu) dengan perintahNya. Sesungguhnya
pada demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.”

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa manusia mampu memikirkan tentang alam,


tentang peredaran planet matahari dan bumi yang kemudian membentuk perubahan dari
siang menjadi malam, dan dari malam menjadi siang dengan kecerdasan intelektual
yang mereka miliki. Sebagai hasil pikir terhadap kedua planet itu pula manusia mampu
menentukan kapan harus memulai untuk bercocok tanam dan kapan mereka
melaksanakan sholat-sholat yang difardhukan. Dari hasil pikir terhadap kedua planet itu
pula manusia dapat menciptakan alat transportasi lewat udara yang kemudian membuat
mereka mampu menunaikan ibadah haji meskipun memiliki jarak yang sangat jauh dari
Ka`bah.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri,
bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, menjaga agar beban stres
tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdo`a, mampu mengenal
emosi orang lain sehingga dapat membantu orang lain dalam memecahkan
persoalannya.
Salovey sebagaimana yang dikutip Daniel Goleman 16 memperluas
kemampuan emosional menjadi lima wilayah utama, yaitu :
1. Mengenali emosi diri, yaitu kesadaran diri dalam mengenali perasaan waktu
perasaan itu terjadi.
2. Mengelola emosi, yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap
dengan pas

15 Ramayulis, Op. Cit, hlm. 97-110.


16 Daniel Goleman, Emotional Inteligence Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih penting daripada IQ,
(terjemahan T. Hermaya), Jakarta, 2004, hlm. 58-59.

110I Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014


Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

3. Memotivasi diri sendiri, yaitu kekmampuan memanfaatkan emosi untuk


memberi perhatian pada motivasi dan menguasai diri sendiri.
4. Mengenali emosi yang lain, yaitu kemampuan merasakan perasaan orang
lain yang merupakan ketrampilan bergaul dasar, yang sangat berhubungan
dengan kesadaran diri emosional.
5. Membina hubungan, yaitu ketrampilan mengelola emosi orang lain.
Dalam konteks ajaran Islam ajaran tentang kecerdasan emosional dapat
disimak surah Al-`Ashr ayat 2 dan 3 berikut.
     
  
 
 
 
Artinya : “Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang
beriman dan beramal shaleh dan saling berwasiat dengan kebenaran dan
kesabaran.
Ayat di atas menggambarkan bagaimana meruginya orang yang tidak mampu
memotivasi dirinya untuk melakukan hal-hal yang baik. Sebaliknya orang yang mampu
memotivasi dirinya untuk berbuat baik dan saling berwasiat dengan kesabaran dan
kebaikan merupakan orang yang beruntung, yaitu orang yang mampu mengendalikan
dirinya dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi yang dihadapi serta mampu
meredam emosi orang lain dengan memberi nasehat.
Gambaran tentang kecerdasan emosi dapat dilihat dari pribadi nabi Muhammad
saw. dalam menghadapi berbagai peristiwayang dihadapinya. Di antaranya ketika
berada di gua Hira` bersama Abu Bakar, di mana Abu Bakar sangat takut dan cemas
jika keberadaan mereka diketahui musuh. Dengan tenangnya nabi Muhammad saw.
menenangkan Abu Bakar dengan berkata “‫”الﺘخاﻒىالﺘﺤﺯهﺇهاﷲمعىا‬. Peristiwa lain yang
dapat disimak adalah ketika beliau dikejar-kejar oleh seorang kafir Quraisy bernama
Da`tsur dengan sebilah pedang panjang yang berniat hendak membunuhnya. Ketika
telah dekat dan Da`tsur telah menemukan beliau, dan bertanya “Sekarang siapa yang
akan menolong engkau dariku hai Muhammad?” Dengan tenangnya nabi Muhammad
menjawab “Allah”. Seketika Da`tsur luluh hatinya menghadapi nabi Muhammad saw.,
sehingga memutuskan untuk memeluk Islam.

Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014 I111


Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Kecerdasan spritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap


setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat
fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhidi
(integralistik) serta prinsip hanya karena Allah. 17 Dengan demikian seorang individu
yang memiliki kecerdasan spritual akan terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan
karena setiap keberhasilan dan kegagalan yang dimilikinya diyakini berasal dari Allah,
sehingga kegagalan tidak akanmembuat dia putus asa, sementara keberhasilan tidak
akan membuatnya menjadi sombong.
Dalam konteks Al-Quran disebutkan bahwa manusia dan jin diciptakan untuk
menyembah Allah, dalam arti kata seyogyanyalah jalan hidup manusia selalu tertuju
untuk menyembah Allah SWT., sebagaimana firmannya dalam surah Az-Zariyat (51)
ayat 56 berikut.
   
  
Artinya: “ Dan tidaklah Aku jadikan manusia dan Jin kecuali untuk menyembahku.”
Abd Mujib sebagaimana yang dikutip Ramayulis18 mengartikan kecerdasan
qalbu adalah sejumlah kemampuan diri secara cepat dan sempurna, untuk mengenal
kalbu dan aktivitas-aktivitasnya, mengelola dan mengekspresikanjenis-jenis kalbu
secara benar, memotivasi kalbu untuk membina hubungan moralitas dengan orang lain
dan hubungan ubudiyah dengan Tuhan.
Seorang anak yang dilahirkan tidak terlepas dari pengaruh keturunan yang
diperoleh dari kedua orangtuanya. Faktor ini akan mempengaruhi segenap pertumbuhan
(pisik) anak maupun perkembangan (psikis) anak tersebut.
Islam juga mengakui bahwa seorang anak yang dilahirkan memiliki keinginan
dan nafsu sendiri yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal
ini Islam mengakui adanya perbedaan antara satu orang dengan yang lainnya. Firman
Allah dalam Al-Quran surah Asy-syams ayat 7 dan 8:

17 Ary Ginanjar Agustian, ESQ Emotional Spritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam,

Jakarta, Arga, 2005, hlm. 57.


18 Ramayulis, Op. Cit. Hlm. 108-109.

112I Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014


Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

   


 
 
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.”
Di samping potensi-potensi di atas seseorang juga memiliki watak asli (karakter)
yang berbeda-beda pula antara satu orang dengan orang lainnya. Karakter ini sulit
diubah karena melekat kuat pada pribadi seseorang. Dalam fitrah juga tercakup bahwa
seseorang ketika dilahirkan sudah diberi bekal ilham dan instink.
Peserta didik dapat pula dilihat dari segi kebutuhannya. Ramayulis 19
menggambarkan 8 bentuk kebutuhan peserta didik yaitu kebutuhan pisik, kebutuhan
sosial, kebutuhan untuk mendapatkan status, kebutuhan mandiri, kebutuhan untuk
berprestasi, kebutuhan ingin disayangi dan dicintai, kebutuhan untuk curhat, dan
kebutuhan untuk memiliki filsafat hidup. Masing-masing kebutuhan seharusnya
terpenuhi dengan baik, dan aspek-aspek ini harus mendapat perhatian dari seorang guru.

19 Ibid., hlm. 78-80.

Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014 I113


Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Semua potensi-potensi yang terkandung dalam fitrah tersebut hanya bisa


berkembang dengan optimal melalui proses pendidikan. Dengan demikian pendidikan
mutlak diperlukan bagi setiap individu untuk dapat mengembangkan potensi-potensi
yang telah dimilikinya sewaktu dilahirkan. Tanpa pendidikan maka potensi-potensi
tersebut akan seperti bahan baku (bahan dasar) dasar tidak dibentuk dan tidak akan
mungkin berubah dan berkembang sesuai dengan keinginan pembentuknya. Di sini
peran pendidikan mutlak diperlukan.
Sementara itu Al-Ghazali mengatakan bahwa perlu dilakukan pembinaan dan
pembentukan fitrah serta perbaikan tabi`at atau instink. Seorang pendidik dalam
membina mental tidak dituntut menekan habis efek dasar anak atau menghilangkan
sama sekali, karena hal itu tidak mungkin dilakukan. Al-Ghazali menekankan pada
pendidikan akhlak, dan dalam hal ini ia mengatakan bahwa pendidik harus menentang
sepenuhnya semua yang diingini pendidik karena anak sering kali didorong oleh hawa
nafsunya untuk berbuat kecenderungan tertentu.20)
Sedangkan Hasan Langgulung mengemukakan bahwa potensi-potensi yang
perlu dikembangkan pada anak didik itu adalah yang tersimpul dalam asmaul husna,
yaitu sifat-sifat Allah yang berjumlah 99 itu. Potensi-potensi inilah yang harus
diekmbangkan lewat pendidikan.
Potensi-potensi inilah yang kemudian dikembangkan dalam berbagai bidang
studi pedidikan di sekolah-sekolah formal yang ada. Dan anak didik dikembangkan
seoptimal mungkin sesuai dengan bakat dan potensi dasar yang mereka miliki.
Pengembangan potensi-potensi ini tentu saja selalu diarahkan untuk mencapai
tujuan pendidikan Islam. Abdul Rahman Saleh Abdullah 21 mengungkapkan tujuan
pendidikan Islam secara umum adalah untuk membangun individu yang dapat
berprilaku sebagai khalifah Allah yang beriman kepada Allah dan mengabdikan dirinya
secara total kepada Allah sebagaimana firman Allah dalam surah Az-Zariyat (51) ayat
56 di atas.
Konsep “ibadah” dalam ayat ini bermakna kepatuhan kepada Allah dan
berprilaku sesuai dengan ajaranNya. Dalam hal ini Sayyid Qutb sebagaimana yang

20)Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran dalam Pendidikan (alih bahasa Aqil Husin al-Munawwar dan Hadri

Hasan), Semarang, Dina Utama, 1993, hal : 52 dan 58.


21 Abdul Rahman Saleh Abdullah, Educational Theory a Quranic Outlook, Makkah al-Mukaraamah, Jami`ah Umm

al-Qura, 1982, hlm. 116.

114I Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014


Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

dinyatakan Abdul Rahman Saleh Abdullah mengartikan ibadah dengan makna yang
komprehensif mencakup segala prilaku khalifah yang diperhitungkan sebagai ibadat.
Pelaksaan ajaran Allah dalam bentuk ibadah tersebut dapat melepaskan manusia
dari siksa, baik di dunia (dalam bentuk kesakitan, mala petaka dan kemiskinan),
maupun siksa di akhirat, sehingga dapat diartikan bahwa Islam memandang pendidikan
sebagai tanggungjawab setip muslim, agar mereka terbebas dari siksa api neraka
sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surah At-Tahrim (66) ayat 6:
  
  
  
 
   
   
   
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, “Peliharalah diri dan keluargamu dari api
neraka”.

C. Penutup
Pendidik dan anak didik merupakan sebuah rantai (siklus) yang terus menerus
yang di mana anak didik pada saat ini akan menjadi pendidik pada masa mendatang,
begitu terus menerus selama peradaban manusia masih berkembang.
Demikian tulisan ringkas ini yang mungkin masih jauh dari kelemahan dan
kekurangan, karena apa yang berasal dari Allah adalah yang hakiki, sementara
interpretasi manusiawi bersifat nisbi semata. Kritikan dan saran untuk perbaikan penulis
sangat harapkan. Wallahu a`lam bi ash-Shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Saleh Abdullah, Educational Theory a Quranic Outlook, Makkah al-
Mukaraamah, Jami`ah Umm al-Qura, 1982.

Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014 I115


Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam

Adisusilo, Sutarjo, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta,


Kanisius.

Agustian, Ary Ginanjar, ESQ Emotional Spritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun


Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta, Arga, 2005.

Albert dan Loy Morehead, The New American Webster Handy College Dictionary,
New York, New American Library, 1972.

Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis danPraktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1991.

Daradjat, Zakiyah et al, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992.

Goleman, Daniel Emotional Inteligence Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih


penting daripada IQ, (terjemahan T. Hermaya), Jakarta, 2004.

Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, Pekanbaru, LSFK2P, 2005.

Noor Syam, Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan


Pancasila, Surabaya, Usaha Nasional, 1984.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2008.

Runes, Dagobert R. Dictionary of Philosophy, Totowa, New Jersey, Littlefield & Co,
1971.

Sulaiman, Fathiyah Hasan, Aliran-Aliran dalam Pendidikan (alih bahasa Aqil Husin
al-Munawwar dan Hadri Hasan), Semarang, Dina Utama, 1993.

`Umra, Mustafā Muh ̣ammad , Jawāhir al-Bukhāri wa Sharh al-Qastalānī, Beirūt,


Dār al-Fikr, 1994.

116I Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014

Anda mungkin juga menyukai