Pendahuluan
Oleh karena perubahan tersebut, penulis ingin mengetahui sejauh mana suatu daerah
memilki kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah. Dikeranakan
dewasa ini, daerah – daerah di Indonesia harus memiliki kemandirian dalam mengelola
pendapatan dan belanja daerahnya untuk mengatasi masalah defisit anggaran yang sering
terjadi di Indonesia dan membayar hutang luar negeri. Untuk mengukur kemandirian suatu
daerah, kita dapat menggunakan rasio kemandirian yang dihitung dengan membagi
Pendapatan Asli daerah dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain. (Abdul
Halim, 2008)
Dalam hal ini penulis memilih Kota Kuningan untuk dianalisis, karena Kota Kuningan
merupakan daerah yang kaya akan wisata. Tingkat pariwisata yang tinggi di kota Kuningan
bisa jadi membuat kemandirian anggaran kota tersebut cukup baik.
Oleh sebab tersebut, maka penulis untuk menganalisis Rasio Kemandirian Kota
Kuningan. Rasio kemandirian kota Kuningan ini dimaksudkan untuk membahas pengaruh
kemandirian keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Provinsi
Jawa Barat, serta mengurangi ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat. Rasio
kemandirian ini dapat mempengaruhi tingkat kemandirian suatu daerah, baik secara positif
maupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Permasalahan
1. Bagaimana menghitung rasio kemandirian Kota Kuningan dari tahun 2014 -2015?
2. Apakah Kota Kuningan dari tahun 2014 hingga 2015 merupakan kota yang termasuk
mandiri atau tidak?
Landasan Teori
Presentase Kategori
0-10 Sangat kurang
10-20 Kurang
20-30 Sedang
30-40 Cukup
40-50 Baik
>50 Sangat Baik
Semakin tinggi rasio kemandiriaan pada suatu daerah, berarti tingkat ketergantungan
daerah terhadap bantuan pihak eksternal (pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah,
demikian pula sebaliknya (Abdul Halim 2008:232).
Total pendapatan yang diterima daerah berasal dari penjumlahan dari Pendapatan Asli
Daerah (PAD), dana perimbangan dan pendapatan lain-lain daerah yang sah. PAD seperti
yang telah disebutkan diatas merupakan pendapatan yang bersumber dari sektor pajak,
retribbusi daerah, hasil perusahaan, dll. Sedangkan dana perimbangan menurut UU No.32
tahun 2004, merupakan dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan
pada daerah untuk membiayai daerah dalam rangka pelaksanaan desntralisasi. Menurut PP
54/2005 dan PP 30/2011 yang pada prinsipnya diturunkan dari UU 33/2004, untuk
melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi, mempercepat petumbuhan ekonomi,
meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, maka pemerintah daerah dapat melakukan
pinjaman.
Pembahasan
Rasio kemandirian dapat dihitung dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
Pendapatan asli daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, yang dan PAD yang lain sah. Undang- undang yang
mengatur pajak dan retribusi Daerah adalah UU No.34 Tahun 2000, yang termasuk dalam
UU ini ialah jenis pajak daerah propinsi, seperti: Pajak Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan diatas Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diatas Air, Air,
Pajak bahan bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan. Serta jenis pajak daerah Kabupaten/Kota, seperti: Pajak hotel,
restoran, hiburanm reklame, penerangan jalan, pengambilang bahan galian golongan c, dan
pajak parkir. Sedangkan untuk mengatur jenis-jenis pendapatan daerah yang sah diatur
dalam UU No 32 tahun 2004 pasal 157.
Konsep pinjaman yang diperoleh suatu daerah berdasarkan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 147/PMK.07/2006 mengenai tata cara penerbitan, pertanggungjawaban,
dan publikasi informasi obligasi daerah. Kemampuan daerah untuk mengukur sumber
pinjaman pemerintah daerah terhadap sumber dana luar maupun eksternal menurut
penjelasan UU nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah dapat diukur dengan cara menghitung total penerimaan ( transfer
pemerintah pusat dan provinsi) ditambah pinjaman daerah dimana berdasarkan PP No. 30
tahun 2011 disebutkan bahwa pinjaman yang dipinjam oleh daerah terdiri dari pinjaman
dalam negeri dan luar negeri. Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
yang menyebutkan pinjaman dapat berasal dari pemerintah pusat dan bank sentral,
pemerintah daerah, serta pemerintah atau lembaga asing. Sehingga pinjaman yang diterima
suatu daerah tidak terlepas dari campur tangan pemerintah pusat.
Selain adanya peningkatan pada PAD kota Bandung, Pendapatan Daerah dari sumber
lain pun juga ikut meningkat. Berdasarkan data sekunder yang penulis dapat, Kota
Bandung mendapat dana pinjaman dari penerimaan kembali pemberian daerah. Dengan
angka yang sama pada tahun 2008, 2010,2011,2012 yaitu sebesar Rp 2.500.000.
Sedangkan pada tahun 2010 yaitu sebesar Rp 17.500.000.
Pada tahun 2008, rasio tingkat kemandiriaan Kota Bandung sebesar 21,28% dengan
kriteria Sedang. Pada tahun 2009, rasio tingkat kemandiriaan Kota Bandung sebesar
20,55% dengan kriteria Sedang, mengalami penurunan dari tahun 2008. Pada tahun 2010,
rasio tingkat kemandiriaan Kota Bandung sebesar 24,53% dengan kriteria Sedang, dan
mengalami peningkatan dari tahun 2009. Pada tahun 2011, rasio tingkat kemandiriaan Kota
Bandung sebesar 30,71% dengan kriteria Cukup, mangalami peningkatan dari tahun 2010.
Pada tahun 2012, rasio tingkat kemandiriaan Kota Bandung sebesar 28,67% dengan
kriteria Sedang, mangalami penurunan dari tahun 2011. Berdasarkan rasio tingkat
kemandirian keuangan, rata-rata tingkat kemandirian keuangan daerah Kota Bandung
selama periode tahun anggaran 2008-2012 adalah 25,15% sehingga diklasifikasikan
menurut kriteria penilaian kemandirian keuangan daerah, Tingkat Kemandirian Keuangan
Daerah Kota Bandung adalah Sedang. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Bandung selama
periode tahun anggaran 2008-2012 memiliki kemandirian keuangan yang sedang sehingga
memiliki ketergantungan sedang pula terhadap bantuan pemerintah pusat melalui dana
perimbangan.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, cara untuk menghitung rasio kemadirian
Kota Bandung yaitu dengan membagi pendapatan asli daerah (PAD) dengan pendapatan
daerah dengan dari sumber lain setiap tahunnya ditambah dengan pinjaman yang diterima
kota Bandung. Pendapatan asli daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, yang dan PAD yang lain sah. Sedangkan
pendapatan daerah dari sumber lain dan pinjaman terdiri dari dana bagi hasil pajak atau
bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus, dana hibah, dana
darurat, dana bagi hasil pajak dari provinsi dan Pemda lainnya, serta dana penyesuaian dan
otonomi khusus, serta pinjaman dari penerimaan kembali pemberian daerah. Berdasarkan
analisis rasio kemandirian, dari tahun 2008-2012 menunjukan bahwa kota Bandung paling
menunjukan kemandiriannya yaitu pada tahun 2010 dengan kategori Sedang. Dengan kata
lain, meskipun tingkat pariwisita yang cukup tinggi, tidak menandakan kemandirian suatu
daerah, terbukti dengan tingkat kemandirian kota Bandung yang berada pada kategori
Sedang.
Sumber
Halim, Abdul. 2008. Akuntansi Keuangan Daerah Edisi Revisi 3. Jakarta: Salemba Empat
http://www.djpk.kemenkeu.go.id/
Mahardika, I Gusti Ngurah Suryaadi dan Luh Gede Sri Artini, Analisis Kemandirian
Keuangan Daerah di Era Otonomi pada Pemerintah Kabupaten
Tabanan, www.ojs.unud.ac.id/index.php/manajemen/article
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi Offset.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2013 tentang Kekuasaan Pengelola
Keuangan Daerah, Asas Umum, dan Struktur APBD.