Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kanker adalah suatu penyakit dimana terjadi pertumbuhan abnormal dari sel.
Dalam keadaan normal, sel yang tumbuh dan yang mati itu seimbang, namun pada
penyakit kanker, jumlah sel yang tumbuh lebih banyak dari sel yang mati sehingga
terjadi pertumbuhan abnormal. Pertumbuhan sel-sel yang melampaui batas tersebut
dapat menyerang bagian tubuh dan menyebar ke organ lain. Proses ini disebut sebagai
metastasis. Metastasis merupakan penyebab utama kematian akibat kanker. Kanker
terjadi ketika pertumbuhan sel di dalam tubuh terjadi begitu cepat dan tak terbatas. Hal
ini juga dapat terjadi ketika sel-sel kehilangan kemampuan untuk mati.

Faktor utama penyebab kanker diantaranya, bahan kimia yang berbahaya seperti
rokok dan alkohol, kelebihan berat badan, kurangnya aktivitas fisik. Kanker merupakan
penyakit paling mematikan di dunia. Di Amerika Serikat satu dari empat orang setiap
tahunnya meninggal akibat kanker. Beberapa tipe kanker meliputi kanker payudara,
kanker serviks, kanker otak, kanker paru-paru dan kanker tulang.

Bagi penderita kanker tersedia beberapa alternatif pengobatan yaitu, tindakan


operasi, kemoterapi dan radiasi. Namun, masng-masingnya pengobatan tersebut
memiliki efek samping seperti mual, muntah, dan anemia. Untuk beberapa kanker,
pengobatan terbaik dilakukan dengan kombinasi dari operasi, terapi radiasi dan
kemoterapi untuk memperoleh hasil maksimal. Pengobatan kanker dengan metode baru
masih terus dikembangkan oleh para ilmuan, salah satu diantaranya yaitu terapi gen
yang merupakan pendekatan baru dalam melawan kanker. Berbeda dengan terapi
konvensional, terapi gen untuk kanker menjanjikan pengobatan yang spesifik terhadap
kanker, efek toksik yang lebih sedikit dan potensi yang lebih besar untuk sembuh
(Ming, Y dalam Teresa, 2005: 25).

Terapi gen adalah sebuah teknik inovatif yang melibatkan penyisipan gen baru
ke dalam susunan genetik dari suatu organisme, biasanya untuk menggantikan gen
yang rusak (Wraith, 2009). Menurut Teresia (2005), secara umum terapi gen dilakukan
dengan cara mengganti atau menginaktifkan gen yang tidak berfungsi, menambahkan
gen fungsional, atau menyisipkan gen ke dalam sel untuk membuat sel berfungsi
normal. Kompetisi antara sel efektor dan sel tumor dalam pengobatan terapi gen dapat
dilihat dengan membentuk model matematikanya. Oleh karena itu, matematika dapat
memberikan solusi untuk melihat bahwa terapi gen dapat mengontrol kecepatan
pertumbuhan sel tumor sehingga penyebaran sel tumor dapat diminimalisir.

Model matematika interaksi sel tumor dengan sistem imun dan immunoterapi
telah dimodelkan oleh Kirschner dan Panetta (1998). Model terapi gen dibentuk
berdasarkan pada model Kirschner dan Panetta dengan menghilangkan populasi ketiga.
Interaksi sel efektor dan sel tumor dalam terapi gen telah dimodelkan secara matematis
oleh Tsygvinsev, dkk (2012). Dalam penelitiannya, Tsygvinsev, dkk mengaplikasikan
model matematika sederhana untuk menyelidiki dinamika pertumbuhan sel efektor dan
sel tumor dalam pengobatan terapi gen, dengan tujuan memprediksi kombinasi optimal
dari pendekatan yang mengarah ke pembersihan tumor. Model matematika untuk terapi
gen dibentuk berdasarkan pada model predator prey.

Model predator prey pada dasarnya diterapkan untuk penyakit kanker karena
dalam penyakit kanker sel-sel imun berkembang dengan cepat dan tidak terbatas
sedangkan sel tumor terus memangsa sel imun sehingga terjadi mangsa-pemangsa
dalam tingkatan penyakit kanker. Dalam penelitian ini, sel imun (sel efektor) yang
berperan sebagai pemangsa (predator) dan sel tumor sebagai mangsa (prey), dengan
demikian model yang digunakan terdiri dari dua kelas, yaitu kelas E untuk menyatakan
populasi sel efektor (dalam hal ini predator) dan kelas T untuk menyatakan populasi sel
tumor (dalam hal ini prey).

Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibentuk model terapi gen berdasarkan
pada model predator prey untuk pengobatan kanker. Kemudian akan dilihat perilaku
solusi model disekitar titik ekuilibrium agar dapat dianalisis kestabilan titik ekuilibrium,
sehingga dapat diketahui kapan sel tumor dapat menghilang dan kapan mulai menyebar
melalui simulasi model. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini diberi
judul ”Model Matematika Terapi Gen untuk Pengobatan Penyakit Kanker”.

B. Rumusan Masalah

1. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam


penelitian ini adalah Bagaimana bentuk model matematika tentang pengaruh
terapi gen terhadap dinamika pertumbuhan sel efektor dan sel tumor dalam
pengobatan kanker dengan model predator prey?
2. Bagaimana analisis kestabilan disekitar titik ekuilibrium dari model matematika
untuk melihat pengaruh terapi gen terhadap dinamika pertumbuhan sel efektor
dan sel tumor dalam pengobatan kanker?

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan permaslahan yang diajukan diatas, maka tujuan dari penelitian


ini adalah :
1. Memformulasikan model matematika tentang pengaruh terapi gen terhadap
dinamika pertumbuhan sel efektor dan sel tumor dalam pengobatan kanker
dengan model predator prey,
2. Menganalisis kestabilan disekitar titik ekuilibrium dari model matematika
untuk melihat pengaruh terapi gen terhadap dinamika pertumbuhan sel efektor
dan sel tumor dalam pengobatan kanker.

D. Manfaat

1. Menambah pengetahuan penulis mengenai terapi gen dalam pengobatan terapi


penyakit kanker.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat di bidang kesehatan.
3. Sebagai dasar penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan
pengaruh pengobatan kanker terhadap dinamika sel tumor dan sel efektor
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Misal A adalah matriks n x n, maka vektor xC n , x  0 disebut vektor eigen dari A
jika Ax adalah kelipatan skalar dari x yaitu,

Ax  x

Untuk suatu skalar  . Skalar  disebut nilai eigen dari A dan x dikatakan vektor
eigen yang bersesuaian dengan  . Untuk mencari nilai eigen matriks A yang
berukuran n x n maka Ax  x ditulis sebagai berikut :

Ax  Ix

atau secara ekuivalen

( A  I ) x  0 (2.1)

dengan I adalah matriks identitas (Anton H.,1995:277).

Menurut Anton (1995), agar  menjadi nilai eigen, maka harus ada solusi nontrivial
dari Persamaan (2.1). persamaan (2.1) akan mempunyai solusi nontrivial jika dan
hanya jika

det ( A  I )  0 (2.2)

Persamaan (2.2) disebut persamaan karakteristik dari A.


B. Persamaan Differensial

Persamaan diferensial adalah persamaan yang melibatkan turunan dari satu atau lebih
variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas (Ross,1984:3). Persamaan
differensial terbagi atas :

1. Persamaan Differensial Biasa

Persamaan diferensial biasa adalah suatu persamaan diferensial yang melibatkan


turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas
(Ross,1984:4).

Contoh :

dy
 2y (2.1)
dx
d2y dy
2
 2x  3y  0 (2.2)
dx dx
dy
3  4y2  0 (2.3)
dx

d2y dy
2
 y  3y  0 (2.4)
dx dx

2. Persamaan Differensial Parsial


Persamaan diferensial parsial adalah suatu persamaan diferensial yang
melibatkan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap dua atau
lebih variabel bebas (Ross,1984:4).
Contoh :

u u
 u (2.5)
s t
 2u  2u  2u
  0 (2.6)
x 2 y 2 z 2

3. Persamaan diferensial linear orde-n


Persamaan diferensial linear orde-n dengan variabel bebas t dan variabel tak
bebas x dan y adalah persamaan yang dapat dinyatakan dalam bentuk
(Ross,1984:102):
d nx dny d n 1 x d n 1 y dx dy
a0 n
 b0 n
 a1 n 1
 b1 n 1
 ...  an 1  bn 1  an x  bn y  F (t ) (2.9)
dt dt dt dt dt dt

dengan
a0 , b0  0, a0 , b0 , a1 , b1 ,..., an , bn  R n dan F (t ) kontinu pada int erval I , t  I .
4. Persamaan diferensial non linear (Ross,1984:5)
Persamaan diferensial non linear adalah persamaan diferensial biasa yang tak
linear.

C. Sistem Persamaan Differensial


Diberikan persamaan diferensial berbentuk

x  f (t , x) (2.10)
 dx
Dimana x  menyatakan turunan x terhadap t dan x L  R , f : L  R , L
n n

dt
adalah himpunan terbuka dari Rn.
Persamaan (2.10) disebut sebagai persamaan non autonomus karena terdapat
variabel bebas t yang muncul secara eksplisit. Jika variabel bebas t pada Persamaan
(2.10) implisit, maka Persamaan (2.10) menjadi

x  f ( x) ( 2.11)
Selanjutnya Persamaan (2.11) disebut sebagai persamaan autonomus.
x  ( x1 , x2 , x3 ,..., xn ) n x1 , x2 , x3 ,..., xn  R
Diberikan dengan x R dan , dan
 dx 
 dx dx dx dx 
misal x  , maka x   1 , 2 , 3 ,..., n  .
dt  dt dt dt dt 
Diberikan sistem autonomus

x  f (x) (2.12)
Sistem (2.12) merupakan sistem persamaan diferensial dengan variabel bebas yang
implisit dan x adalah variabel tak bebas yang merupakan fungsi dalam t, dengan
x L  R n , f : L  R n ,L merupakan himpunan terbuka dari Rn dan f C 1 ( L)
dengan C1(L) notasi untuk himpunan semua fungsi yang turunan pertamanya
kontinu di L. Sistem (2.12) dapat ditulis sebagai berikut:
dx1
 f 1 ( x1 , x 2 , x3 ,..., x n )
dt
dx 2
 f 2 ( x1 , x 2 , x3 ,..., x n )
dt
dx3
 f 3 ( x1 , x 2 , x3 ,..., x n )
dt

dx n
 f n ( x1 , x 2 , x3 ,..., x n )
dt (2.13)
Jika pada sistem (2.13), fungsi f i , i  1,2,3,..., n merupakan fungsi linear, maka
sistem (2.13) disebut sebagai sistem persamaan differensial linear. Jika tidak
demikian, maka sistem (2.13) merupakan sistem persamaan diferensial nonlinear.
Sistem persamaan diferensial linear orde 1 memiliki bentuk normal yaitu:
dx1
 a11 x1  a12 x 2  ...  a1n x n  f1 (t )
dt
dx 2
 a 21 x1  a 22 x 2  ...  a 2 n x n  f 2 (t )
dt
dx3
 a31 x1  a32 x 2  ...  a3n x n  f 3 (t )
dt

dx n
 a n1 x1  a n 2 x 2  ...  a nn x n  f n (t )
dt (2.14)
Sistem persamaan (2.14) dapat dituliskan dalam bentuk vektor yaitu

x  Ax f
Dengan :

 a11 a12  a1n   x1   f1 (t ) 


a a 22  a2n   
x2   f (t )
A   21 , x  dan f   2 
         
     
a n1 a n 2  a nn   xn   f n (t )
Jika fungsi f i (t ), i  1,2,3,..., n bernilai nol, maka sistem (2.14) disebut sebagai
sistem persamaan diferensial homogen. Jika tidak demikian, maka sistem (2.14)
disebut sistem persamaan diferensial nonhomogen. (Boyce & DiPrima,2010:357)

D. Solusi Sistem Persamaan Differensial


Berikut ini diberikan defenisi solusi dari sistem persamaan diferensial.
Diberikan f C (L) dengan L himpunan terbuka dari Rn. Selanjutnya x(t) disebut
solusi dari sistem (2.12) pada interval I , jika x(t) terdiferensial pada I,
t  I , x(t )  L , dan berlaku

x(t )  f ( x(t )) .

Diberikan f C (L) yang dilengkapi dengan nilai awal xo  L , dengan L


himpunan terbuka dan diberikan sistem persamaan diferensial

x  f (x)

x(t 0 )  x0 . (2.15)

x(t )  x( x0 (t )) disebut solusi dari sistem (2.15) pada interval I jika t 0  I dan

x(t 0 )  x0 .(Perko,2001:71)

E. Titik Ekuilibrium
Diberikan sistem autonomous

x  f (x) , x  Rn (2.16)

Titik x  R n disebut titik ekuilibrium dari sistem (2.16) jika

f ( x)  0 (2.17) (Wiggins,2003:5)
Contoh 2.6
Akan dicari titik ekuilibrium dari sistem
dx1
 x1  2 x 2
dt
(2.18)
dx 2
 x1  x1 x 2
dt

Misal f1  x1  2x2 dan f 2  x1  x1 x2 . Akan dicari x1 dan x2 sedemikian

sehingga f1 ( x1 , x 2 )  0 dan f 2  ( x1 , x 2 )  0

Untuk f 2  0 diperoleh
x1  x1 x2  0
x1 (1  x2 )  0
x1  0 V x2  1
Substitusikan x1  0 ke dalam f1  0 , maka diperoleh x2  0 dan

substitusikan x2  1 ke dalam f1  0 , maka diperoleh x1  2 . Jadi, sistem

(2.18) memiliki dua titik ekuilibrium yaitu x1  (0,0) dan x 2  (2,1) .

F. Kestabilan Titik Ekuilibrium


Misalkan x adalah titik ekuilibrium dari sistem (2.12)
(i) Titik ekuilibrium x stabil jika untuk setiap   0 terdapat   0

sedemikian sehingga untuk x (t 0 )  x   , maka berlaku

x ( x0 (t ))  x   untuk setiap t  t 0 .

(ii) Titik ekuilibrium x stabil asimtotik jika x stabil dan jika terdapat

1  0 sedemikian sehingga lim x ( x0 (t ))  x  0 asalkan


t 

x (t 0 )  x   1 .

(iii) Titik ekuilibrium x tidak stabil jika tidak memenuhi (i).

Berikut ini diberikan gambar yang bersesuaian dengan Defenisi 2.10.

Stabil Stabil Asimtotik Tidak Stabil

Berikut ini diberikan teorema untuk menganalisis kestabilan dengan


menggunakan nilai eigen.

Teorema 2.1 (Olsder,2004:58)



Diberikan sistem persamaan diferensial linear x  Ax , dengan A adalah
matriks berukuran n x n, mempunyai k nilai eigen yang berbeda
1, 2 , 3 ,..., k dan k  n .

(i) Titik ekuilibrium x0 stabil asimtotik jika dan hanya jika
e(i )  0, i  1,2,3,..., k.

(ii) Titik ekuilibrium x0 stabil jika dan hanya jika


e(i )  0, i  1,2,3,..., k dan jika setiap nilai eigen i imajiner dengan

e( i )  0 , maka multiplisitas aljabar dan geometri untuk nilai eigen harus

sama.
(iii) Titik ekuilibrium x0 tidak stabil jika dan hanya jika
e(i )  0, i  1,2,3,..., k atau jika ada i imajiner dengan e( i )  0 ,

maka multiplisitas aljabar lebih dan multiplisitas geometri untuk nilai eigen
tidak sama.

Bukti :

1. Pembuktian (i) akan dilakukan dari kanan dan dari kiri

a. Jika titik ekuilibrium x0 stabil asimtotik , maka


e(i )  0, i  1,2,3,..., k.

Bukti:

Karena x( x 0 (t )) merupakan solusi dari sistem persamaan diferensial, maka

x( x 0 (t )) memuat e i , dengan mi  e(i )  0, i  1,2,3,..., k . Berdasarkan


mt

defenisi (2.9), jika titik ekuilibrium x  0 stabil asimtotik, maka

lim x( x0 (t ))  x  0 . Hal itu berarti bahwa untuk t  , x( x 0 (t )) akan


t 

menuju x  0 . Dengan demikian, untuk e mi t yang menuju x  0 , maka mi


harus bernilai negatif.

b. jika e(i )  0, i  1,2,3,..., k. maka titik ekuilibrium x  0 stabil asimtotik.

Bukti :
Diketahui bahwa e(i )  0, i  1,2,3,..., k. , maka untuk t  , em t akan
i

menuju x  0 , sehingga berdasarkan defenisi (2.13), titik ekuilibrium x  0


stabil asimtotik.

2. Pembuktian (ii) akan dilakukan dari kanan dan dari kiri

a. Jika titik ekuilibrium x  0 stabil maka e(i )  0, i  1,2,3,..., k.

Bukti:

Diketahui bahwa titik ekuilibrium x  0 stabil. Andaikan e(i )  0 , maka

untuk t  , em t akan menuju  yang berarti menjauhi x  0 , oleh


i

karena itu sistem tidak stabil. Hal tersebut kontradiksi dengan yang diketahui.
Jadi terbukti bahwa e(i )  0, i  1,2,3,..., k.

b. jika e(i )  0, i  1,2,3,..., k. maka titik ekuilibrium x  0 stabil dan

jika ada e(i )  0 , maka multiplisitas aljabar dan geometri untuk nilai

eigen harus sama.

Bukti :

Karena x( x0 (t )) merupakan solusi dari sistem persamaan diferensial, maka

x( x0 (t )) memuat e i , dengan mi  e(i ) , i  1,2,3,..., k . Jika


mt
untuk

t  , emi t akan menuju x  0 . Dengan demikian titik ekuilibrium x  0


stabil asimtotik. Sistem yang stabil asimtotik pasti stabil, maka terbukti bahwa
titik ekuilibrium x  0 stabil.

Selanjutnya akan dibuktikan bahwa jika ada e(i )  0 , maka multiplisitas


aljabar dan geometri untuk nilai eigen harus sama.

Apabila e(i )  0 , maka nilai eigen berupa bilangan kompleks murni.


Menurut Luenberger (1979:85), bahwa multiplisitas aljabar berhubungan
dengan nilai eigen dan multiplisitas geometri berhubungan dengan vektor
eigen. Oleh karena itu akan dibuktikan banyak nilai eigen dan vektor nilai
eigen sama.
Ambil sebarang sistem pada R 2 yang memiliki nilai eigen bilangan kompleks
murni,

   0  a   x 
 x      (2.19)
 y  b 0   y 

Dengan a  0 dan b  0 .

Akan dicari nilai eigen dari sistem (2.19) sebagai berikut,

0  a
Misalkan A    dan  nilai eigen, maka berlaku
b 0 

A  I  0
0  a  1 0
b 0    0 1  0
   
0  a   0
b 0    0  
0
  
 a
0 (2.20)
b 

Persamaan karakteristik dari (2.20) yaitu

2  ab  0 (2.21)

Akar dari persamaan (2.21) yaitu

  4ab
1, 2 
2
 2 ab
 i
2
 i ab

Diperoleh nilai eigen yaitu λ1  i ab dan λ 2  i ab.

Akan dicari vektor eigen untuk λ 1  i ab

i ab  a   v1  0
     
 b i ab  v 2  0
Matriks augmented

i ab  a  0 
    R1 ~ R2
 b i ab  0
 b i ab  0 1
    R1
i ab  a  0  b
 ab 0
 1 i  R  i ab R
 b
0
2 1

i ab  a 
 ab 0
1 i 
 b 0
0 0 
 ab   v  0
1 i  1
 b   v   0 
0 0  2   

Sehingga diperoleh

ab
v1  i v2  0
b
ab
v1  i v2
b

ab
Misal v2  t , maka v1  i t.
b

 
 v1   i ab t 
v   b 
 2
 t 

Ambil t=1 maka,

 
 v1   i ab 
v    b 
 2
 1 

 ab 
Diperoleh vektor eigen v1   i b 
 
 1 

Akan dicari vektor eigen untuk λ 2  i ab. sebagai berikut,


- i ab  a   v1  0
     
 b  i ab  v2  0

Matriks augmented

- i ab  a 0
  R1 ~ R2
 b  i ab 0
 b  i ab 0 1
  R1
  i ab  a 0 b
 ab 0
 1 i  R  i ab R
 b
0
2 1

- i ab a 
 ab 0
1  i 
 b 0
0 0 
 ab   v  0
1  i  1 
 b   v  0 
0 0  2   

diperoleh

ab
v1  i v2  0
b
ab
v1  i v2
b

ab
Misal v2  s, maka v1  i s.
b

 
 v1  i ab s 

v   b 
 2
 s 

Ambil s=1 maka,

 
 v1  i ab 
v    b 
 2
 1 
 ab 
Diperoleh vektor eigen v 2  i b  .
 
 1 

Dari pembuktian diatas, terdapat dua vektor eigen v1 dan v 2 , sehingga


terbukti bahwa banyaknya nilai eigen dan vektor eigen sama yaitu sebanyak 2.

3. Pembuktian (iii) akan dilakukan dari kanan dan dari kiri


a. Jika titik ekuilibrium x0 tidak stabil maka
e(i )  0, i  1,2,3,..., k.

Titik ekuilibrium tidak stabil apabila untuk t   , maka x( x 0 (t ))

akan menuju  . Hal tersebut akan terjadi jika e(i )  0 .

b. Jika e(i )  0, i  1,2,3,..., k. maka titik ekuilibrium x0

tidak stabil.
Apabila e(i )  0 , maka x( x 0 (t )) yang memuat e mi t akan selalu
menuju  , sehingga mengakibatkan titik ekuilibrium tidak stabil.

G. Permodelan Matematika
Model matematika dalam kehidupan sehari-hari dapat diartikan sebagai gambaran
dari suatu masalah yang diformulasikan secara matematis. Pemodelan matematika
adalah proses yang ditempuh untuk memperoleh dan memanfaatkan persamaan
atau fungsi matematika dari suatu masalah untuk mendapatkan model matematika.
Proses pemodelan matematika dapat dinyatakan dalam alur diagram berikut:

Masalah Membuat Asumsi


Masalah Nyata
Matematika

Membuat Formulasi

Persamaan / Pertidaksamaan

Interpretasi Penyelesaian
Solusi
Solusi Persamaan /
Nyata Pertidaksamaan
Gambar. Proses Pemodelan Matematika (Widowati, dkk,2007:3)

H. Sistem Imun

Sistem imun bekerja untuk melindungi tubuh dari infeksi yang diakibatkan oleh
mikroorganisme, membantu proses penyembuhan dalam tubuh, dan membuang
atau memperbaiki sel yang rusak apabila terjadi infeksi. Perubahan pada respon
imun dapat menyebabkan timbulnya serangan terhadap sel-sel tubuh sendiri,
perkembangan kanker, dan menyembuhkan tubuh dari infeksi.

a. Komponen respon imun


1. Antigen
Antigen adalah molekul yang dapat merangsang respons imun spesifik
untuk melawan antigen itu sendiri atau sel yang membawanya.
2. Antibodi
Antibodi adalah suatu protein yang diproduksi oleh sistem imun sebagai
respon terhadap keberadaan antigen. Antibodi dapat disebut sebagai
imunoglobin. Terdapat lima imunoglobin spesifik yang dibentuk dalam
respons terhadap antigen yaitu IgG, IgM, IgA, IgE, dan IgD. Penjelasan
dari kelima imunoglobin tersebut sebagai berikut:
1) Imunoglobin G
Imunoglobin G adalah antibodi utama yang melintasi plasenta dari ibu
kepada janinnya selama kehamilan. Kadar G meningkat secara
lambat selama respons primer terhadap suatu antigen, tetapi meningkat
secara cepat dan dengan kekuatan yang lebih besar pada pajanan
kedua.
2) Imunoglobin M
Imunoglobin M adalah jenis yang pertama kali dibentuk dan paling
tinggi konsentrasinya sewaktu pajanan primer kepada suatu antigen.
3) Imunoglobin A
Imunoglobin A paling banyak terdapat dalam sekresi misalnya air liur,
mukus vagina, air susu, sekresi saluran cerna dan paru, dan air mani.
Imunoglobin A lebih bekeja secara lokal daripada sistemik.
4) Imunoglobin E
Imunoglobin E berperan dalam respons alergi. Imunoglobin ini juga
merupakan antibodi yang paling terstimulasi pada infeksi parasit.
5) Imunoglobin D
Imunoglobin D terdapat dalam konsentrasi rendah dalam darah.
Perannya dalam respons imun tidak diketahui, namun membantu
proses kematangan dan diferensiasi semua sel B.
b. Komponen Sistem Imun
1. Fagosit
Sel darah putih yang melindungi tubuh dengan menelan partikel asing
berbahaya, bakteri , dan sel-sel mati atau sekarat. Proses memakan partikel
ini disebut fagositosis.
2. Monosit dan makrofag
Monosit beredar dalam darah dan masuk ke jaringan yang cedera melewati
membran kapiler yang menjadi permeabel sebagai akibat dari reaksi
peradangan. Setelah beberapa jam berada di jaringan, sel monosit
berkembang menjadi makrofag. Makrofag adalah sel penghasil fagosit
yang mampu mencerna bakteri dan sisa sel dalam jumlah yang sangat
besar.
3. Sel B
Sel B beredar dalam darah berbentuk inaktif dan menjadi aktif setelah
terpajan pada molekul spesifik. Sel ini secara genetik terprogram untuk
berespons selama perkembangan janin. Bila diaktifkan, sel B akan menjadi
sel plasma, sel khusus yang merangsang respon imun untuk melawan
molekul yang mengaktifkannya. Sel B menyusun sistem imun humoral
yang berarti sel-sel tersebut bersirkulasi dalam darah.

4. Sel T
Sel T menyusun sistem imun selular. Ketika muncul molekul asing, sel T
akan aktif dan secara langsung menyerang dan menghancurkan molekul
tersebut. Sel T dapat pula melepaskan zat-zat kimia yang mewaspadakan
sel B yang akan berhadapan dengan lawan dengan membangkitkan respon
humoral. Sel T dapat merangsang atau pada beberapa keadaan,
menghambat respons peradangan dengan melepaskan sitokin. Sel T
diperlukan untuk mengenali dan menghancurkan parasit dan virus yang
bersembunyi di dalam sel karena sel B tidak mampu menghadapinya.

c. Respon Imun terhadap Sel Tumor


Respon imun yang terlalu kuat berdampak pada perkembangan kanker.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebagian sitokin yang dilepaskan
oleh sel darah putih sebagai respon terhadap infeksi, termasuk , dapat
menghambat apoptosis sel yang rusak atau yang bermutasi yang
menyebabkan terjadinya proliferasi sel abnormal dan kanker. Sitokin
pro-inflamasi dapat menstimulasi produksi faktor angiogenesis yang secara
normal diperlukan untuk penyembuhan luka atau mengaktifkan kembali
spesies oksigen yang akan lebih merusak sel. (Corwin, 2009: 140-142)

I. Penyakit Kanker

Kanker adalah suatu penonjolan atau pertumbuhan tidak wajar yang dapat terjadi
pada setiap bagian tubuh. Kanker adalah pertumbuhan sel-sel jaringan tubuh
yang tidak normal, berkembang dengan cepat, tidak terkendali, dan akan terus
membelah diri, selanjutnya menyusup ke jaringan sekitar (invasive) dan terus
menyebar melalui jaringan ikat, darah, dan menyerang organ organ penting serta
syaraf tulang belakang. Sel-sel yang berkembang ini akan menumpuk, mendesak
dan merusak jaringan dan organ yang ditempati. Penumpukan sel baru disebut
tumor ganas. Kanker dapat mengenai seluruh bagian tubuh manusia, misalnya
mata, kulit, mulut, leher (thyroid), jantung, paru, usus, hati, sistem reproduksi dan
sebagainya.
Dalam keadaan normal, sel hanya akan membelah diri jika ada penggantian
sel-sel yang telah mati dan rusak. Sebaliknya sel kanker akan membelah terus
meskipun tubuh tidak memerlukannya, sehingga akan terjadi penumpukan sel
baru yang disebut tumor ganas. Penumpukan sel tersebut mendesak dan merusak
jaringan normal, sehingga mengganggu organ yang ditempatinya.
Jenis jenis kanker yaitu kanker otak, kanker mulut, kanker tenggorokan, kanker
paru-paru, kanker payudara, kanker saluran pencernaan, kanker rahim, kanker
indung telur (ovarium), kanker kolon, kanker kandung kemih, kanker prostat,
kanker testis, kanker kulit, kanker usus besar. Klasifikasi kanker kemudian
dilakukan pada kategori yang lebih umum, misalnya:
1) Karsinoma, merupakan kanker yang terjadi pada jaringan epitel, seperti kulit
atau jaringan yang menyelubungi organ tubuh, misalnya organ pada sistem
pencernaan atau kelenjar. Contoh meliputi kanker kulit, karsinoma serviks,
karsinoma anal, kanker esofageal, karsinoma hepatoselular, kanker laringeal,
hipernefroma, kanker lambung, kanker testiskular dan kanker tiroid.
2) Sarkoma, merupakan kanker yang terjadi pada tulang seperti osteosarkoma,
tulang rawan seperti kondrosarkoma, jaringan otot seperti rabdomiosarcoma,
jaringan adiposa, pembuluh darah dan jaringan penghantar atau pendukung
lainnya.
3) Leukemia, merupakan kanker yang terjadi akibat tidak matangnya sel darah
yang berkembang di dalam sumsum tulang dan memiliki kecenderungan untuk
berakumulasi di dalam sirkulasi darah.
4) Limfoma, merupakan kanker yang timbul dari nodus limfa dan jaringan dalam
sistem kekebalan tubuh.
Faktor penyebab penyakit kanker ada beberapa macam yaitu dikarenakan dari
keturunan (genetik)/riwayat keluarga, lingkungan, makanan, diet, virus, infeksi
parasit, gangguan keseimbangan hormonal, faktor perilaku dan gaya hidup,
faktor kejiwaan dan gaya hidup serta dari radikal bebas.
Sel – sel kanker dibentuk dari sel – sel normal dalam suatu proses rumit yang
disebut transformasi. Adapun proses transformasi ini terdiri atas :
 Tahap inisisasi
Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik sel yang
memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik sel ini
disebabkan oleh suatu agen yang disebut karsinogen, dapat berupa bahan kimia,
virus, radiasi (penyinaran) atau sinar matahari. Kelainan genetik dalam sel atau
bahan lainnya yang disebut promotor, menyebabkan sel lebih rentan terhadap
suatu karsinogen.
 Tahap promosi
Pada tahap promosi, sel yang telah mengalami inisiasi tadi akan berubah
menjadi ganas. Contoh promotor berupa : ko-karsinogenik (gaya hidup tak
sehat). Karena itu diperlukan beberapa faktor untuk terjadinya keganasan
(faktor penyebab dan resiko). Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan
terpengaruh oleh promosi.
Sel – sel kanker dapat merusak barier tempat asalnya dan kemudian menyebar
ke bagian tubuh yang lain, disebut dengan metastasis. Penamaan metastasis dari
sel kanker tersebut disesuaikan dengan tempat asal sel tersebut. Penyebaran
kanker dapat melalui :
1) Menyebar melalui rongga tubuh
Penyebaran ini maksudnya sel kanker menyebar pada bagian tubuh yang
memiliki rongga (misalnya, usus, ovarium dan lainnya), di mana kanker ini
dapat menembus organ berrongga tersebut dengan mengadakan invasi dan
tertanam pada tempat yang baru.
2) Menyebar melalui limfogen (melalui aliran limfe)
Bila kelenjar getah bening rusak atau tidak lagi dapat melaksanakan fungsinya
dengan baik, maka kelenjar ini menjadi satu media yang membantu penyebaran
kanker. Kelenjar getah bening ini pun dapat menjadi ukuran dalam menentukan
prognosis (harapan kesembuhan) kanker. Dan melalui aliran limfe ini pula, sel
kanker dapat menyebar secara hematogen (aliran darah) melalui pertemuan di
ductus thorasicus.
3) Secara hematogen (melalui aliran darah)
Penyebaran melalui aliran darah ini merupakan hal yang paling ditakuti karena
dapat menyebar ke seluruh bagian tubuh lain, dekat atau jauh.

Salah satu pengobatan kanker yaitu dengan anti-angiogenesis adalah terapi


yang bertujuan untuk menghentikan pembentukan pembuluh darah baru pada
sel kanker. Karena tanpa suplai darah, sel tumor/kanker akan mati. Mereka
bekerja dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang menghambat pembentukan
pembuluh darah baru, ada yang menyerang pembuluh darah lama yang
memberi suplai darah ke jaringan kanker (sehingga mati kelaparan), ada juga
yang langsung menyerang sel kanker sekaligus menghentikan suplai darahnya.

J. Terapi Gen
Terapi gen adalah suatu teknik yang digunakan untuk memperbaiki gen-gen
mutan (abnormal/cacat) yang bertanggung jawab terhadap terjadinya suatu
penyakit. Pada awalnya, terapi gen diciptakan untuk mengobati penyakit
keturunan (genetik) yang terjadi karena mutasi pada satu gen, seperti penyakit
fibrosis sistik. Penggunaan terapi gen pada penyakit tersebut dilakukan dengan
memasukkan gen normal yang spesifik ke dalam sel yang memiliki gen mutan.

Sejarah Dari Terapi Gen pada awal 1970-an, para ilmuwan mengusulkan apa
yang mereka sebut “gen operasi” untuk mengobati penyakit warisan yang
disebabkan oleh gen yang cacat. Para ilmuwan melakukan percobaan di mana
sebuah gen yang memproduksi enzim untuk memperbaiki penyakit itu
disuntikkan ke sekelompok sel. Para ilmuwan berteori sel-sel kemudian bisa
disuntikkan ke orang dengan penyakit Lesch-Nyhan. Perkembangan terapi gen
selama 4 dekade terakhir, terapi gen telah pindah dari preklinik untuk studi
klinis untuk berbagai penyakit mulai dari gangguan resesif monogenik seperti
hemofilia terhadap penyakit yang lebih kompleks seperti kanker, gangguan
jantung, dan human immunodeficiency virus (HIV).Terapi gen kemudian
berkembang untuk mengobati penyakit yang terjadi karena mutasi di banyak
gen, seperti kanker. Selain memasukkan gen normal ke dalam sel mutan,
mekanisme terapi gen lain yang dapat digunakan adalah melakukan
rekombinasi homolog untuk melenyapkan gen abnormal dengan gen normal,
mencegah ekspresi gen abnormal melalui teknik peredaman gen, dan
melakukan mutasi balik selektif sehingga gen abnormal dapat berfungsi normal
kembali. Sebuah gen normal dapat dimasukkan ke lokasi yang spesifik dalam
genom untuk mengganti gen berfungsi. Pendekatan ini yang paling umum :

a) Sebuah gen abnormal bisa ditukar gen normal melalui rekombinasi homolog.
b) Gen abnormal bisa diperbaiki melalui mutasi reverse selektif, yang
mengembalikan gen berfungsi normal.
c) Peraturan (sejauh mana gen diaktifkan atau dimatikan) gen tertentu dapat
diubah.”’
d) Spindle transfer digunakan untuk menggantikan seluruh mitokondria yang
membawa DNA mitokondria cacat.
Secara garis besar ada dua macam cara yang biasa digunakan untuk memasukkan
gen baru ke dalam sel.
1. Terapi Gen Ex Vivo
Sel dari sejumlah organ atau jaringan ( seperti kulit, system hemopoietik, hati )
atau jaringan tumor dapat diambil dari pasien dan kemudian dibiakkan dalam
laboratorium. Selama pembiakkan, sel itu dimasuki suatu gen tertentu untu
kterapi penyakit itu. Kemudian diikuti dengan reinfusi atau reimplementasi dari
sel tertransduksi itu ke pasien. Penggunaan sel penderita untuk diperlakukan
adalah untuk meyakinkan tidak ada respon imun yang merugikan setelah infuse
atau transplantasi. Terapi gen ex vivo saat ini banyak digunakan pada uji klinis,
kebanyakan menggunakan vector retrovirus untuk memasukkan suatu gen ke
dalam sel penerima.
2. Terapi Gen In Vivo
Organ seperti paru paru, otak, jantung tidak cocok untuk terapi gen ex vivo,
sebab pembiakan sel target dan retransplantasi tidak mungkin dilakukan. Oleh
karena itu terapi gen somatic, dilakukan dengan pemindahan gen in vivo.
Dengan kata lain dengan memberikan gen tertentu baik secara local maupun
sistemik. Penggunaan vector retrovirus memerlukan kondisi sel target yang
sedang membelah supaya dapat terinfeksi. Akan tetapi, banyak jaringan yang
merupakan target terapi gen, sebagian besar selnya dalam keadaan tidak
membelah. Akibatnya, sejumlah strategi diperlukan baik penggunaan system
vector virus maupun non-virus untuk menghantarkan gen terapetik ke sel target
yang sangat bervariasi seperti kulit, otot, usus, liver dan sel darah. System
penghantar gen in vivo yang ideal adalah efisiensi tinggi masuknya gen
terapetik dalam sel target. Gen itu dapat masuk ke inti sel dengan sedikit
mungkin terdegradasi, dan gen itu tetap terekspresi walaupun ada perubahan
kondisi.

K. Terapi Gen untuk Penyakit Kanker

Pengobatan dengan terapi gen telah berkembang dengan pesat sejak clinical
trial terapi ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990. Terapi gen adalah
teknik untuk mengoreksi gen-gen yang cacat yang bertanggung jawab terhadap
suatu penyakit. Selama ini pendekatan terapi gen yang berkembang adalah
menambahkan gen-gen normal ke dalam sel yang mengalami ketidaknormalan.

Pendekatan lain adalah melenyapkan gen abnormal dengan gen normal dengan
melakukan ekombinasi homolog. Pendekatan ketiga adalah mereparasi gen
abnormal dengan cara mutasi balik selsektif, sedemikian rupa sehingga akan
mengembalikan fungsi normal gen tersebut. Selain pendekatan-pendekatan
tersebut ada pendekatan lain untuk terapi gen tersebut, yaitu mengendalikan
regulasi ekspresi gen abnormal tersebut.
Saat ini para ilmuwan sedang mencoba beberapa cara kerja terapi gen untuk
pengobatan kanker:
1. Menambahkan gen sehat pada sel yang memiliki gen cacat atau tidak
lengkap. Contohnya, sel sehat memiliki “gen penekan tumor” seperti p53
yang mencegah terjadinya kanker. Setelah diteliti, ternyata pada
kebanyakan sel kanker gen p53 rusak atau bahkan tidak ada. Dengan
memasukkan gen p53 yang normal ke dalam sel kanker, diharapkan sel
tersebut akan normal dan sehat kembali.
2. Menghentikan aktivitas “gen kanker” (oncogenes). “Gen kanker”
merupakan hasil mutasi dari sel normal, yang menyebabkan sel tersebut
membelah secara liar menjadi kanker. Ada juga gen yang menyebabkan
sel kanker bermetastase (menjalar) ke bagian tubuh lain. Menghentikan
aktivitas gen ini atau protein yang dibentuknya, dapat mencegah kanker
membesar maupun menyebar.
3. Menambahkan gen tertentu pada sel kanker sehingga lebih peka terhadap
kemoterapi maupun radiasi, atau menghalangi kerja gen yang dapat
membuat sel kanker kebal terhadap obat-obat kemoterapi. Juga dicoba
cara lain, membuat sel sehat lebih kebal terhadap kemoterapi dosis tinggi,
sehingga tidak menimbulkan efek samping.
4. Menambahkan gen tertentu sehingga sel-sel tumor/kanker lebih mudah
dikenali dan dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh. Sebaliknya,
menambahkan gen pada sel-sel kekebalan tubuh sehingga lebih mudah
mendeteksi dan menghancurkan sel-sel kanker.Menghentikan gen yang
berperan dalam pembentukan jaringan pembuluh darah baru
(angiogenesis) atau menambahkan gen yang bisa mencegah angiogenesis.
Jika suplai darah dan makanannya terhenti, kanker akan berhenti
tumbuh,bahkan mengecil lalu mati.
5. Memberikan gen yang mengaktifkan protein toksik tertentu pada sel
kanker, sehingga sel tersebut melakukan aksi “bunuh diri” (apoptosis).
Satu dari banyak tantangan dalam pengembangan pendekatan DNA
rekombinan adalah bagaimana mengantarkan “gen pembunuh” hanya ke
dalam sel tumor dan tidak ke sel normal.

Sejak kanker diketahui sebagai suatu penyakit genetik yang disebabkan oleh
mutasi atau perubahan – perubahan lain pada gen. penggunaan teknik DNA
rekombinan semakin sering digunakan dalam menghambat perkembangan
penyakit tersebut. Salah satu metode yang sering diandalkan adalah pendekatan
terapi gen.. Sejak diketahui bahwa kanker merupakan penyakit akibat mutasi
gen, para ahli mulai berfikir bahwa terapi gen tentu efektif untuk mengobatinya.
Apalagi kanker jauh lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan penyakit
keturunan akibat kelainan genetis yang selama ini diobati dengan terapi gen.
Terapi gen yang dilakukan adalah yang menggunakan pendekatan ex vivo (di
luar organisme hidup), di mana sel dipindahkan dari tubuh, dimanipulasi, dan
selanjutnya dikembalikan ke tubuh, tetapi pendekatan ex vivo tidak dapat
digunakan pada sel tumor karena sel tumor tidak dapat dipindahkan secara total
dari tubuh.Walau demikian, suatu pendekatan in vivo (di dalam organisme
hidup) yang menjanjikan telah berhasil dilakukan dalam mengatasi sel tumor,
yaitu menggunakan gen virus herpes simplex-timidin kinase (HSV-tk) sebagai
“gen pembunuh”. Terapi gen pada prinsipnya adalah menyisipkan materi
genetik ke dalam sel kanker di tubuh untuk mengganti atau memperbaiki gen
yang rusak/tidak normal karena kanker dalam rangka pengobatan penyakit.
Materi genetik atau gen yang berupa kumpulan asam amino disintesa di
laboratorium. Untuk memasukkan gen ke tubuh digunakan pelbagai bahan
pembawa yaitu virus(vektor). Bahan itu antara lain protein yang sesuai dengan
sel organ yang dituju. Materi genetik ditempelkan ke protein kemudian
dimasukkan tubuh lewat mulut, injeksi maupun inhalasi (dihirup). Dalam tubuh
protein akan menempel ke reseptor sel organ sehingga DNA bisa masuk ke
dalam sel kanker. Sebagaimana untuk imunisasi, kemampuan bereplikasi virus
dihilangkan untuk mencegah infeksi.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pembentukan Model Matematika


Predator prey merupakan model mangsa pemangsa yang digunakan untuk melihat
interaksi antar spesies dalam suatu ekosistem. Model Predator prey yang paling
sederhana yaitu model Lotka-Volterra. Persamaan Lotka-Volterra dikenalkan pertama
kali oleh Lotka dan Volterra pada tahun 1920-an. Seiring perkembangan jaman, model
Lotka-Voltera dikembangkan untuk menganalisis pendekatan dinamika tumor-imun.
Model Lotka-Volterra adalah sebagai berikut:
dx
 ax  bxy
dt
dy
 cy  dyx
dt

Dengan a,b,c dan d adalah konstanta positif.

x menyatakan populasi mangsa dan y menyatakan populasi pemangsa. Laju


dx dy
pertumbuhan dari masing-masing populasi didefenisikan oleh dan .
dt dt
Pada persamaan pertama dari Lotka-Volterra , populasi mangsa meningkat secara
eksponensial tanpa adanya pemangsa dengan laju sebesar a. Populasi mangsa akan
menurun karena adanya interaksi antara mangsa dan pemangsa dengan laju b. Pada
persamaan kedua dari model Lotka-Volterra, populasi pemangsa menurun secara
eksponensial tanpa adanya mangsa dengan laju c. Populasi pemangsa akan meningkat
karena adanya interaksi antara mangsa dan pemangsa dengan laju d.

Pada tahun 1994, Kuznetsov dkk. Mengaplikasikan gagasan Lotka-Volterra untuk


model kanker, dimana E (t ) menggambarkan sel efektor (sel imun) sebagai predator
dan T (t ) adalah sel tumor sebagai prey, sistem tersebut yaitu:
(Tsygvintsev,dkk,2012:358)

dE ET
 s  mET  dE
dt g T
dT
 aT (1  bT )  nET (3.1)
dt

Dengan s,p,g,m,d,a,n,b adalah parameter positif.

Pada persamaan pertama dari sistem (3.1), populasi sel efektor bertambah karena
pertumbuhan sel normal dengan laju sebesar s. Populasi sel efektor berkurang karena
kematian alami dari sel efektor dengan laju sebesar d, berkurang karena adanya
interaksi dengan sel tumor dengan laju sebesar m. Populasi sel efektor bertambah oleh
pertumbuhan dari respon imun terhadap tumor dengan laju sebesar p. Pada persamaan
kedua dari sistem (3.1), populasi sel tumor bertambah dengan laju pertumbuhan
logistik yaitu aT (1  bT ) , dimana b 1 merupakan kapasitas batas untuk sel tumor dan
a adalah laju pertumbuhan maksimal. Populasi sel tumor berkurang karena adanya
interaksi dengan sel efektor dengan laju sebesar n.

Sistem (3.1) kemudian dikembangkan oleh Kirschner dan Panneta pada tahun 1998,
dengan menambahkan populasi ketiga (konsentrasi), dari molekul efektor yang disebut
dengan sitokin (cytokines), yang merupakan molekul komunikasi antar sel oleh sistem
imun. Pada sistem Kirschner-Panneta, sel tumor dinotasikan sebagai T(t), sel imun (sel
efektor) dinotasikan sebagai E(t) dan molekul efektor dinotasikan sebagai konsentrasi
C(t). Sistem Kirschner-Panneta tersebut yaitu: (Tsygvintsev,dkk,2012:359)
dE p EC
 cT  2 E  1  s1
dt g1  C
dT aET
 r2T (1  bT )  (3.2)
dt g2  T

dC p ET
 2  s2  3C
dt g3  T

Dengan c, 2 , 3 , p1, p2 , g1, s1, s2 , r2 , a, g2 , g3 adalah parameter positif.

Pada persamaan pertama dari Sistem (3.2), populasi sel efektor bertambah karena
adanya stimulasi oleh sel tumor sebesar c , dengan c disebut sebagai antigenitas tumor.
Populasi sel efektor berkurang karena kematian alami dari sel efektor sebesar  2 .
Populasi sel efektor bertambah karena efek peningkatan proliferasi dari sitokin IL-2,
dan bertambahnya populasi sel efektor karena adanya parameter pengobatan yaitu s1 .
Pada persamaan kedua dari Sistem (3.2), populasi sel tumor meningkat berdasarkan
pada laju pertumbuhan logistik dengan laju pertumbuhan sebesar r2 . Populasi sel
tumor berkurang karena adanya interaksi antara sel efektor dan sel tumor dengan
parameter pembersihan tumor sebesar a . Pada persamaan ketiga dari Sistem (3.2),
populasi sitokin bertambah karena sel efektor memproduksi IL-2 dengan laju
proliferasi p1 . Populasi sitokin bertambah karena adanya parameter pengobatan s 2

dan berkurang karena parameter half-life dari sitokin sebesar  3 .

Pembentukkan model terapi gen didasarkan pada Sistem (3.2). Untuk


menyederhanakan model, persamaan ketiga dari Sistem (3.2) dihilangkan, dan
digantikan oleh parameter self-proliferation. Untuk mengetahui efek atau pengaruh
dari terapi gen (pada Gambar 3), maka parameter yang harus dipenuhi pada model yaitu
a, c, s1 dan r2 . Antigenitas c akan memberikan sinyal yang kuat pada sistem imun
selama terapi gen berlangsung, parameter pembersihan tumor a akan meningkat kuat
setelah terapi gen, parameter s1 sebagai parameter pengobatan, dan kombinasi antar
ketiganya akan memperngaruhi laju pertumbuhan tumor r2 .

Dengan demikian pada model terapi gen terdapat dua populasi sel yaitu E dan T ,
dengan E menyatakan populasi sel efektor pada waktu t dan T menyatakan populasi
sel kanker pada waktu t, dimana E  0 dan T  0
Berikut adalah asumsi-asumsi yang diperlukan untuk mendapatkan model
matematikanya:

1. Pertumbuhan sel tumor mengikuti pertumbuhan logistik


2. Kematian alami terjadi pada sel efektor
3. Populasi tidak konstan
Dalam studi literatur, Tsygvinsev, dkk (2012) mendefinisikan nilai-nilai parameter
yang sebagian besar berdasarkan pada penelitian sebelumnya. Parameter-parameter
tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Nilai Parameter Model (2)

Nama Definisi Nilai (satuan)

2 Laju kematian sel E 0.03 (1/waktu)

p3 Laju pertumbuhan E 0.1245 (1/waktu)

F Parameter proliferasi E 10-3 (sel)

s1(t) Parameter immunotherapy 1 (sel/waktu)

c(t) Antigen kanker 0.05 (1/waktu)

r2(t) Laju pertumbuhan kanker 0.18 (1/waktu)

B Kapasitas sel kanker 10-9 (1/sel)

a(t) Parameter pembersihan kanker 1 (1/waktu)

g2 Parameter penyerapan untuk 105 (sel)

pembersihan kanker

Dari asumsi-asumsi dan defenisi yang telah dipaparkan, dapat digambarkan diagram
transfer sebagai berikut:
Gambar . Diagram Transfer Model Terapi Gen.

Selanjutnya berdasarkan diagram transfer pada Gambar diatas, akan dibentuk model
terapi gen sebagai berikut:

1. Populasi sel efektor

a. Populasi sel efektor akan bertambah karena stimulasi dari tumor untuk
menghasilkan sel efektor dengan sifat antigenitas terhadap tumor sebesar
yaitu
dE
 cT . (3.3)
dt

b. Berkurangnya populasi sel efektor karena kematian alami sebesar   2


yaitu
dE
 2 E (3.4)
dt
c. Bertambahnya populasi sel efektor dipengaruhi oleh pertumbuhan sel
efektor dengan laju proliferasi sebesar p3 yaitu

dE E
 p3 (3.5)
dt E f

d. Bertambahnya sel efektor karena adanya parameter pengobatan s1 yaitu


dE
 s1 (3.6)
dt
Dari Persamaan (3.3 ) sampai dengan Persamaan (3.6), diperoleh model laju populasi
sel efektor terhadap waktu yaitu:

dE E
 cT  2 E  p3  s1. (3.7)
dt E f

2. Populasi Sel Tumor


a. Populasi sel tumor akan bertambah dengan adanya asumsi bahwa laju
pertumbuhan populasi sel tumor mengikuti laju pertumbuhan logistik dengan
laju pertumbuhan sebesar r2 yaitu
dT
 r2T (1  bT ). (3.8)
dt

b. Berkurangnya populasi tumor karena parameter pembersihan tumor oleh sel


efektor sebesar a , dimana interaksi antara sel efektor digambarkan melalui
bentuk yaitu
dT ET
 a (3.9)
dt T  g2
Dari persamaan (3.8) dan (3.9) diperoleh model populasi sel tumor terhadap waktu
yaitu:
dT ET
 r2T (1  bT )  a (3.10)
dt T  g2
Dengan demikian diperoleh model terapi gen berupa sistem persamaan diferensial
sebagai berikut:
dE E
 cT  2 E  p3  s1.
dt E f
dT ET
 r2T (1  bT )  a (3.11)
dt T  g2

Dengan c, s1, r2 , a adalah fungsi dalam t, dalam kasus ini diambil fungsi
konstan.
Dimana s 1 , a, r2 , g 2  0 dan 0  μ 2 , p 3 , f, b, c  1 .
C. Titik Ekuilibrium
dE dT
Sistem (3.11) akan mencapai titik ekuilibrium pada  0 dan 0 ,
dt dt
sehingga sistem (3.11) dapat ditulis sebagai berikut:
E
cT   2 E  p3  s1  0 (3.12a)
E f
ET
r2T (1  bT )  a 0 (3.12b)
T  g2
Dari persamaan (3.12b) menghasilkan
ET
T (r2 (1  bT )  a )0
T  g2
T (r2 (1  bT )(T  g 2 )  aE )  0
T (r2bT 2  (1  bg 2 )r2T  r2 g 2  aE )  0 (3.13)
Dari persamaan (3.13) diperoleh
T1  0 (3.14)
atau
 r2bT 2  (1  bg 2 )r2T  r2 g 2  aE  0 (3.15)
Karena persamaan (3.15) berbentuk persamaan kuadrat maka dengan
menggunakan rumus ABC, diperoleh dua solusi yaitu :

(1  bg 2 )r2  ((1  bg 2 )r2 ) 2  4(aE  r2 g 2 )br2


T2  (3.16)
2r2 b
dan

(1  bg 2 )r2  ((1  bg 2 )r2 )2  4(aE  r2 g 2 )br2


T3  (3.17)
2r2b
Persamaan (3.16) dan persamaan (3.17) dapat ditulis sebagai berikut:

A1  B1
T2  (3.18)
2r2b
dan

A1  B1
T3  (3.19)
2r2b
Dengan :
A1  (1  bg 2 )r2
B1  ((1  bg 2 )r2 )2  4(aE  r2 g 2 )br2
Selanjutnya, subtitusi Persamaan (3.14) pada Persamaan (3.12a), maka diperoleh
E
 2 E  p3  s1  0
E f
 2 E ( E  f )  p3 E  s1 ( E  f )  0
 2 E 2  ( p3  s1  2 f ) E  s1 f  0 (3.20)
Karena persamaan (3.20) berbentuk persamaan kuadrat maka dengan menggunakan
rumus ABC, diperoleh dua solusi yaitu :

( p3  s1  2 f )  ( p3  s1  2 f )2  42 s1 f
E1  (3.21)
2 2
dan

( p3  s1  2 f )  ( p3  s1  2 f )2  42 s1 f
E2  (3.22)
2 2
Persamaan (3.21) dan Persamaan (3.22) dapat ditulis sebagai berikut :

A2  B2
E1 
2r2b
dan

A2  B2
E2 
2r2b
Dengan :
A2  p3  s1  2 f

B 2  ( p 3  s1   2 f ) 2  4  2 s1 f

Dengan demikian diperoleh titik ekuilibrium P1 ( E1 , T1 ) dan P2 ( E2 , T1 ) .

Titik ekuilibrium P1 ada jika E1  0 dan P2 ada jika E2  0 . Selanjutnya E1  0

dan E2  0 dapat dipenuhi jika memenuhi syarat :



a. Untuk E1  0
p 3  s1
2 
f
A2  B2 .

b. Untuk E1  0

p 3  s1
2 
f

Titik ekuilibrium P1 ( E1 ,0) dan P2 ( E2 ,0) disebut titik ekuilibrium bebas tumor
karena pada kondisi ini tidak ada sel tumor dalam darah sehingga tidak terjadi interaksi
antara sel efektor dan sel tumor.
Substitusikan Persamaan (3.18) pada Persamaan (3.12a), maka diperoleh
 A  B1 
c 1    2 E  p3 E  s1  0
 2r2 b  E f
 

c( A1  B1 )( E  f )  2 2 r2 bE( E  f )  2 p3 r2bE  2s1r2b( E  f )  0

( A1  B1 )cE  ( A1  B1 )cf  2 2 r2bE 2  2 2 r2bfE  2 p3 r2bE  2s1r2 bE  2s1r2bf  0

 2 2 r2bE 2  (( A1  B1 )c  2r2b( p3  s1   2 f )) E  (( A1  B1 )c  2s1r2bf  0 .(3.23)


Karena persamaan (3.23) berbentuk persamaan kuadrat, maka dengan menggunakan
rumus ABC, diperoleh dua solusi yaitu :
( A1  B1 c  2r2b( p3  s1  2 f )  (( A1  B1 )c  2r2b( p3  s1  2 f )) 2  8(2r2b)(( A1  B1 )c  2s1r2b) f (3.24)
E3 
42r2b

dan
( A1  B1 c  2r2b( p3  s1  2 f )  (( A1  B1 )c  2r2b( p3  s1  2 f )) 2  8(2 r2b)(( A1  B1 )c  2s1r2b) f (3.25)
E4 
42 r2b

Persamaan (3.24) dan Persamaan (3.25) dapat ditulis sebagai berikut :

A3  B3
E3 
2r2 b
dan

A3  B3
E4 
2r2 b
Dengan :

A3  ( A1  B1 )c  2r2 b( p3  s1   2 f )
B3  (( A1  B1 )c  2r2 b( p3  s1   2 f )) 2  8(  2 r2 b)(( A1  B1 )c  2s1 r2 b) f
Dengan demikian diperoleh titik ekuilibrium P3 ( E3* , T2* ) dan P4 ( E4* , T2* ) .

Titik ekuilibrium P3 ada jika E 3*  0 dan P4 ada jika E 4*  0 dan T2*  0 .

Selanjutnya E 3*  0 , E 4*  0 dan T2*  0 dapat dipenuhi jika memenuhi syarat

E 3*  0
a. Untuk
p 3  s1
2 
f

A3  B3

b. Untuk E 4  0
*

p3  s1
2 
f

c. Untuk T2  0
*

1
b
g2

aE *
r2 
g2

A1  B1
Substitusikan Persamaan (3.19) pada Persamaan (3.12a), maka diperoleh
 A  B1 
c 1    2 E  p3 E  s1  0
 2r2 b  E f
 

c( A1  B1 )( E  f )  2 2 r2bE( E  f )  2 p3 r2bE  2s1r2 b( E  f )  0

( A1  B1 )cE  ( A1  B1 )cf  2 2 r2bE 2  2 2 r2bfE  2 p3 r2bE  2s1r2bE  2s1 fr2b  0

 2 2 r2 bE 2  (( A1  B1 )c  2r2b( p3  s1   2 f )) E  (( A1  B1 )c  2s1 r2 bf ))  0 .
(3.26)
Karena persamaan (3.26) berbentuk persamaan kuadrat, maka dengan menggunakan
rumus ABC, diperoleh dua solusi yaitu:
( A1  B1 )c  2r2b( p3  s1  2 f )  (( A1  B1 )c  2r2b( p3  s1  2 f )) 2  8(2 r2b)(( A1  B1 )c  2s1r2b) f
E5  (3.27)
42 r2b

dan

( A1  B1 )c  2r2b( p3  s1  2 f )  (( A1  B1 )c  2r2b( p3  s1  2 f )) 2  8(2 r2b)(( A1  B1 )c  2s1r2b) f


E6  (3.28)
42 r2b

Persamaan (3.27) dan Persamaan (3.28) dapat ditulis sebagai berikut:


A4  B4
E5 
2r2b

dan
A4  B4
E6 
2r2b

dengan:

A4  ( A1  B1 ) c  2r2b( p3  s1  2 f )

B4  (( A1  B1 ) c  2r2 b( p3  s1   2 f )) 2  8( 2 r2 b)(( A1  B1 )c  2s1r2 b) f

dengan demikian diperoleh titik ekuilibrium P5 ( E5* , T3* ) dan P6 ( E 6* , T3* ) .

Titik ekuilibrium P5 ada jika E 5*  0 dan P6 ada jika E 6*  0 dan T3*  0 .

Selanjutnya E 5*  0 , E 6*  0 dan T3*  0 dapat dipenuhi jika memenuhi syarat

a. Untuk E 5*  0

p3  s1
2 
f

A3  B3

E 6*  0
b. Untuk
p 3  s1
2 
f

c. Untuk T3*  0
1
b
g2

aE *
r2 
g2
Titik P3 , P4 , P5 dan P 6 disebut sebagai titik ekuilibrium terinfeksi tumor karena pada
kondisi ini jumlah sel tumor berada dalam kondisi tetap.
Dengan demikian diperoleh enam titik ekuilibrium yaitu:
P1(E1* ,T1* ),P2(E 2* ,T1* ),P3(E 3* ,T2* ),P4(E 4* ,T2* ),P5(E 5* ,T3* ) dan P6(E 6* ,T3* ) dengan

T1* ,T2* ,T3* , E1* , E 2* , E 3* , E 4* , E5* dan E 6* seperti pada persamaan (3.14), (3.16),

(3.17), (3.21), (3.22), (3.24), (3.25), (3.27) dan (3.28).


Selanjutnya akan dianalisis kestabilan titik ekuilibrium dari sistem.

D. Kestabilan Titik Ekuilibrium


Sistem (3.11) akan dilinearisasi menggunakan matriks Jacobian sebagai berikut,
Misalkan
E
F1  cT   2 E  p 3  s1
E f

ET
F2  r2T (1  bT )  a
T  g2
Matriks Jacobian:
 F1 F1 
 T 
J   E
F F2 
 2 
 E T 
  E   E 
  cT   2 E  p 3  s1   cT   2 E  p 3  s1  
  E f   E f 
 E T 
J 
 ET   ET  
  r2T (1  bT )  a   r2T (1  bT )  a  
  T  g 2   T  g 2  
 E T 

 p3 f 
  2  ( E  f ) 2 c 
J   (3.29)
  aT (1  2bT )r2 
ag 2 E 
 T  g2 (T  g 2 ) 2 

 Kestabilan Lokal Titik Ekuilibrium Bebas Tumor


1. Untuk titik ekuilibrium bebas tumor P1 ( E1* , T1* )  P1 ( E1* ,0) , substitusi

P1 ( E1* ,0) ke dalam (3.29) diperoleh matriks jacobian bebas tumor:


 p3 f 
  2  ( E *  f ) 2 c 
J P1   1  (3.30)
 aE1* 
 0 r2 
 g 2 

Persamaan karakteristik dari (3.30) yaitu J P1  I  0 , dengan 𝐼 matriks identitas dan

𝜆 nilai eigen adalah


 p f aE *   p f  aE * 
2   * 3 2   2  r2  1    * 3 2   2  r2  1   0 (3.31)
 ( E1  f ) g2   ( E1  f )  g2 

Persamaan (3.31) dapat ditulis sebagai berikut:


2  x1  y1  0 (3.32)
dengan:
p3 f aE1*
x1     r 
( E1*  f ) 2
2 2
g2

 p f   aE * 
y1   * 3 2   2    r2  1 
 ( E1  f )   g2 
Diperoleh nilai eigen dari Persamaan (3.32) yaitu

x1  x12  4 y1
1, 2 
2
y1 adalah determinan dari matriks J P1 dan x1 adalah trace dari matriks J P1 .

Berdasarkan Teorema 2.2, bahwa:


(i) Jika y1  0 dan x12  4 y1  0 maka titik ekuilibrium P1 ( E1* ,0)

berupa node, dan jika x1  0 maka P1 ( E1* ,0) stabil asimtotik.

Jika x1  0 maka P1 ( E1* ,0) tidak stabil.

(ii) Jika y1  0 , x12  4 y1  0 dan x1  0 maka titik ekuilibrium

P1 ( E1* ,0) berupa fokus, dan jika x1  0 maka P1 ( E1* ,0) stabil

asimtotik. Jika x1  0 maka P1 ( E1* ,0) tidak stabil.


Bukti:
Perhatikan bahwa nilai eigen dari Persamaan (3.32) yaitu

x1  x12  4 y1
1, 2  .
2
(i) Diketahui bahwa y1  0 , x12  4 y1  0 dan x1  0 , maka nilai eigen
1, 2 berupa bilangan real negatif, sehingga berdasarkan Kasus II, titik

ekuilibrium P1 ( E1* ,0) berupa node. Berdasarkan Teorema 2.1 bahwa jika ℜ𝑒

( 1, 2 ) ≤ 0 maka P1 ( E1* ,0) stabil asimtotik. Dengan demikian titik ekuilibrium

P1 ( E1* ,0) berupa node dan stabil asimtotik, sehingga berdasarkan Definisi 2.12

titik ekuilibrium P1 ( E1* ,0) memiliki jenis titik sink node.

Sementara itu, jika x1  0 maka nilai eigen 1, 2 berupa bilangan real positif,

sehingga berdasarkan Kasus II, titik ekuilibrium P1 ( E1* ,0) berupa node.

Berdasarkan Teorema 2.1 bahwa jika ℜ𝑒 ( 1, 2 ) > 0 maka P1 ( E1* ,0) tidak stabil.

Dengan demikian titik ekuilibrium P1 ( E1* ,0) berupa node dan tidak stabil,

sehingga berdasarkan Definisi 2.12 titik ekuilibrium P1 ( E1* ,0) memiliki jenis
titik source node.

(ii) Diketahui bahwa y1  0 , x12  4 y1  0 dan x1  0 , maka nilai eigen 1, 2

berupa konjugat kompleks dengan bagian realnya negatif, sehingga


berdasarkan Kasus III titik ekuilibrium P1 ( E1* ,0) berupa fokus. Berdasarkan

Teorema 2.1 bahwa jika ℜ𝑒 ( 1, 2 ) ≤ 0 maka P1 ( E1* ,0) stabil asimtotik.

Dengan demikian titik ekuilibrium P1 ( E1* ,0) berupa fokus dan stabil asimtotik

sehingga berdasarkan Definisi 2.12 titik ekuilibrium P1 ( E1* ,0) memiliki jenis
titik fokus sink.
Sementara itu, jika x1  0 maka nilai eigen 1, 2 berupa konjugat kompleks

dengan bagian realnya positif, sehingga berdasarkan Kasus II, titik ekuilibrium
P1 ( E1* ,0) berupa node. Berdasarkan Teorema 2.1 bahwa jika ℜ𝑒 ( 1, 2 ) > 0

maka
P1 ( E1* ,0) tidak stabil. Dengan demikian titik ekuilibrium P1 ( E1* ,0) berupa
node dan tidak stabil, sehingga berdasarkan Definisi 2.12 titik ekuilibrium
P1 ( E1* ,0) memiliki jenis titik fokus source.
E. Kestabilan Global Titik Ekuilibrium Bebas Tumor

Kondisi kestabilan global dari titik ekuilibrium bebas tumor (𝑇 = 0) diselidiki dari
persamaan kedua pada (3.11) yaitu
dT e(t )T
 r2 (t )T (1  bT )  a(t ) (3.48)
dt T  g2

dengan r2 (t), a(t) dan e(t)  E(t) adalah sebarang fungsi positif.

Solusi dari Persamaan (3.48) harus memenuhi kondisi T (t )  [0, b 1 ] . Kestabilan


global asimtotik dari titik ekuilibrium bebas tumor akan ditunjukkan dengan
menurunkan kondisi dari fungsi r2 (t), a(t) dan e(t).
Teorema (3.1)
Misal salah satu dari kedua kondisi berikut memenuhi
Kondisi 1: Terdapat t 0  0 dan   0 sehingga

a(t )e(t ) (1  bg 2 ) 2 
 g2   , t  t 0 (3.49)
r2 (t ) 4b r2 (t )
atau
Kondisi 2: g 2  b 1 dan terdapat t0  0 dan  0 sehingga

a(t )e(t ) 
 g2  , t  t 0 (3.50)
r2 (t ) r2 (t )

maka setiap solusi dari (3.48) memenuhi l im T (t )  0 yang konvergen


t  

eksponensial.
Bukti:
(i) Bukti untuk kondisi 1
Perhatikan Persamaan (3.48),
dT e(t )T
 r2 (t )T (1  bT )  a(t )
dt T  g2
dT
(T  g 2 )  r2 (t )T (1  bT )(T  g 2 )  a(t )e(t )T
dt
dT
(T  g 2 )  r2 (t )T (bT 2  (1  bg 2 )T  g 2 )  a(t )e(t )T
dt
(T  g 2 ) dT a(t )e(t )
 bT 2  (1  bg 2 )T  g 2  T
r2 (t ) dt r2 (t )

dT r (t )T  a(t )e(t ) 
 2   bT 2  (1  bg 2 )T  g 2  
dt (T  g 2 )  r2 (t ) 
dengan demikian Persamaan (3.48) dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut
dT r (t )T
 2 V (T ) (3.51)
dt (T  g 2 )
dimana 𝑉(𝑇) adalah polinomial kuadrat yaitu
a(t )e(t )
V (T )  bT 2  (1  bg 2 )T  g 2  (3.52)
r2 (t )
Diskriminan dari 𝑉 (𝑇) yaitu
 a(t )e(t ) 
D  (1  bg 2 ) 2  4b g 2  . (3.53)
 r2 (t ) 

Pandang kondisi 1, Persamaan (3.53) dapat ditulis dalam bentuk,


a(t )e(t ) (1  bg 2 ) 2 
 g2  
r2 (t ) 4b r2 (t )
4ba(t )e(t ) 4b
 4bg 2  (1  bg 2 ) 2 
r2 (t ) r2 (t )

 a(t )e(t )  4b


4b  g 2   (1  bg 2 ) 2 
 r2 (t )  r2 (t )

 a(t )e(t )  4b


(1  bg 2 ) 2  4b  g 2   
 r2 (t )  r2 (t )

 a(t )e(t )  4b


(1  bg 2 ) 2  4b g 2     (3.54)
 r2 (t )  r2 (t )
dapat dilihat bahwa ruas kiri dari Pertidaksamaan (3.54) merupakan diskriminan 𝑉(𝑇),
sehingga Pertidaksamaan (3.53) dapat ditulis dalam bentuk
4b
D (3.55)
r2 (t )
Hal ini menunjukkan bahwa kondisi 1 ekuivalen dengan Pertidaksamaan (3.55).
Selanjutnya dari Pertidaksamaan (3.55) dapat dituliskan sebagai berikut
D
r2 (t )  
4b
D
karena koefisien T 2 dari 𝑉(𝑇) adalah bilangan negatif yaitu  b  0 , maka
4b
merupakan nilai maksimum dari 𝑉(𝑇) , oleh karena itu diperoleh
r2 (t )V (T )   , T (3.56)
Persamaan (3.51) dapat dituliskan dalam bentuk:
dT
  T (t )T (3.57)
dt
r2 (t )V (T )
untuk setiap solusi tetap 𝑇(𝑡) , dimana  T (t )   .
T  g2

Karena 𝑇(𝑡) terbatas atas oleh b 1 dan karena berlaku Pertidaksamaan (3.56), maka
dipenuhi  T (t )   0  0 . Dengan demikian, terbukti bahwa 𝑇(𝑡) menyatakan fungsi

eksponensial yang konvergen menuju 0 untuk 𝑡 → ∞.

(ii) Bukti untuk kondisi 2


Diasumsikan bahwa Persamaan (3.52) mempunyai dua akar real 𝐴 dan 𝐵, dengan 𝐴 <
𝐵. Polinomial kuadrat 𝑉(𝑇) memiliki titik ekstrim pada bagian absisnya yaitu
(1  bg 2 ) 1 a(t )e(t )
C  b 1 . Juga berlaku V (b )    0 . Kedua akar dari 𝑉(𝑇) akan
2b r2 (t )
bernilai negatif, yaitu 𝐴 < 0 dan 𝐵 < 0 jika dan hanya jika 𝐶 < 0 dan 𝑉 (0) < 0.
Selanjutnya diasumsikan bahwa
r2 (t )V (0)   ,  0 (3.58)
sehingga kondisi 2 ekuivalen dengan Pertidaksamaan (3.58), yaitu
r2 (t )V (0)  

 a(t )e(t ) 
r2 (t ) g 2    
 r2 (t ) 
a (t )e(t )  
g2  
r2 (t ) r2 (t )
a (t )e(t ) 
 g2  .
r2 (t ) r2 (t )

Karena 𝑇(𝑡) terbatas atas oleh b 1 dan karena memenuhi Pertidaksamaan (3.58)
dan Pertidaksamaan (3.57), maka dipenuhi  T (t )   0  0 . Dengan demikian,
terbukti bahwa 𝑇(𝑡) merupakan fungsi eksponensial yang konvergen menuju 0
untuk 𝑡 → ∞.
Berdasarkan Teorema 3.1, kedua kondisi dapat terpenuhi, yaitu 𝑇(𝑡) merupakan
fungsi eksponensial yang konvergen menuju 0 untuk 𝑡 → ∞. Hal ini berarti
bahwa sel tumor akan menghilang seiring bertambahnya waktu 𝑡.

F. Simulasi Numerik
Diberikan tiga simulasi untuk melihat dinamika sel efektor dan sel tumor, yaitu
simulasi pertama menggunakan parameter baseline, simulasi kedua dan simulasi
ketiga menggunakan parameter dengan nilai yang berbeda. Pada simulasi kedua dan
simulasi ketiga, parameter s1, c, r2 dan 𝑎 diubah untuk melihat pertumbuhan sel
efektor dan sel tumor, sedangkan untuk parameter yang lain konstan pada nilai
parameter basaline. Nilai awal yang digunakan pada ketiga simulasi adalah E (0) = T
(0) = 103.

Berikut ini adalah nilai parameter yang akan digunakan dalam simulasi numerik yang
tertera pada Tabel 4.

 Simulasi 1
a. Titik ekuilibrium bebas tumor 𝑃1 (𝐸1∗ , 𝑇1∗ ) = 𝑃1 (𝐸1∗ , 0)
Nilai-nilai parameter simulasi 1 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸1∗ ,
maka diperoleh nilai 𝐸1∗ = −0.0008892867529 , sehingga titik ekuilibrium
menjadi 𝑃1 (−0.0008892867529,0). Berdasarkan parameter yang digunakan,
menyebabkan syarat keberadaan titik ekuilibrium 𝑃1 tidak terpenuhi, sehingga
titik ekuilibrium 𝑃1 tidak ada. Hal ini dikarenakan titik ekuilibrium merupakan
banyaknya sel pada kondisi seimbang, sehingga nilainya harus bilangan bulat non
negatif.
b. Titik ekuilibrium bebas tumor 𝑃2 (𝐸2∗ , 𝑇1∗ ) = 𝑃2 (𝐸2∗ , 0)
Nilai-nilai parameter simulasi 1 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸2∗ ,
maka diperoleh nilai 𝐸2∗ = 37.48322262 ≈ 38 , sehingga titik ekuilibrium
menjadi 𝑃2 (38,0). Berdasarkan parameter yang digunakan, menyebabkan syarat
keberadaan titik ekuilibrium 𝑃2 terpenuhi, sehingga titik ekuilibrium 𝑃2 ada.
Dengan demikian dapat dilakukan analisi kestabilan pada titik ekuilibrium 𝑃2 .
Subtitusikan nilai-nilai parameter simulasi 1 dari Tabel 4 kedalam (3.33),
diperoleh matriks jacobian dari titik ekuilibrium 𝑃2 yaitu
−0.02999991140 0.05
𝐽𝑃2 = [ ] (3.59)
0 0.1796251678

Persamaan karakteristik dari (3.59) yaitu |𝐽𝑃2 − 𝜆𝐼| = 0, dengan 𝐼 matriks


identitas dan 𝜆 nilai eigen adalah :

𝜆2 − 0.149625564𝜆 − 0.005388739119 = 0 (3.60)

Dari persamaan (3.60) diperoleh nilai eigen yaitu

𝜆1 = −0.02999991140 dan 𝜆2 = 1.1796251678

Nilai eigen tersebut memenuhi kondisi 𝜆1 > 0 > 𝜆2 , sehingga berdasarkan


Teorema 2.1 titik ekuilibrium 𝑃2 (𝐸2∗ , 0) tidak stabil dan berdasarkan Teorema
2.2 titik ekuilibrium 𝑃2 (𝐸2∗ , 0) memiliki tipe titik saddle.

c. Titik ekuilibrium terinfeksi tumor 𝑃3 (𝐸3∗ , 𝑇2∗ )


Nilai-nilai parameter simulasi 1 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸3∗
dan 𝑇3∗ , diperoleh nilai 𝐸3∗ = −1.376561887 × 1010 dan 𝑇3∗ =
−8.259371342 × 109 , sehingga titik ekuilibrium menjadi
𝑃3 (−1.376561887 × 1010 , −8.259371342 × 109 ) . berdasarkan nilai
parameter yang digunakan menyebabkan syarat keberadaan titik ekuilibrium
𝑃3 tidak terpenuhi, sehingga titik ekuilibrium 𝑃3 tidak ada. Hal ini
dikarenakan titik ekuilibrium merupakan banyaknya sel pada kondisi
seimbang, sehingga nilainya harus bialngan bulat non negatif.
d. Titik ekuilibrium terinfeksi tumor 𝑃4 (𝐸4∗ , 𝑇2∗ )
Nilai-nilai parameter simulasi 1 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸4∗
dan 𝑇2∗ , diperoleh nilai 𝐸4∗ = −0.001000024906 dan 𝑇3∗ =
−1.000000056 × 105 , sehingga titik ekuilibrium menjadi
𝑃4 (−0.001000024906, −1.000000056 × 105 ). berdasarkan nilai parameter
yang digunakan menyebabkan syarat keberadaan titik ekuilibrium 𝑃4 tidak
terpenuhi, sehingga titik ekuilibrium 𝑃4 tidak ada. Hal ini dikarenakan titik
ekuilibrium merupakan banyaknya sel pada kondisi seimbang, sehingga
nilainya harus bialngan bulat non negatif.
e. Titik ekuilibrium terinfeksi tumor 𝑃5 (𝐸5∗ , 𝑇3∗ )
Nilai-nilai parameter simulasi 1 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸5∗
dan 𝑇3∗ , diperoleh nilai 𝐸5∗ = −0.0009999999975 dan 𝑇3∗ =
1.000000000 × 109 , sehingga titik ekuilibrium menjadi
𝑃5 (−0.0009999999975,1.000000000). berdasarkan nilai parameter yang
digunakan menyebabkan syarat keberadaan titik ekuilibrium 𝑃5 tidak
terpenuhi, sehingga titik ekuilibrium 𝑃5 tidak ada. Hal ini dikarenakan titik
ekuilibrium merupakan banyaknya sel pada kondisi seimbang, sehingga
nilainya harus bialngan bulat non negatif.
f. Titik ekuilibrium terinfeksi tumor 𝑃6 (𝐸6∗ , 𝑇3∗ )
Nilai-nilai parameter simulasi 1 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸6∗
dan 𝑇3∗ , diperoleh nilai 𝐸6∗ = 20174.56059 ≈ 20175 dan 𝑇3∗ =
12082.24635 ≈ 12083 , sehingga titik ekuilibrium menjadi
𝑃6 (201755,12083) . berdasarkan nilai parameter yang digunakan
menyebabkan syarat keberadaan titik ekuilibrium 𝑃6 terpenuhi, sehingga titik
ekuilibrium 𝑃6 ada. . Dengan demikian dapat dilakukan analisi kestabilan
pada titik ekuilibrium 𝑃6 . Subtitusikan nilai-nilai parameter simulasi 1 dari
Tabel 4 kedalam (3.45), diperoleh matriks jacobian dari titik ekuilibrium 𝑃6
yaitu
−0.03000000000 0.05
𝐽𝑃6 = [ ] (3.61)
−0.1077980388 0.1940123775

Persamaan karakteristik dari (3.61) yaitu |𝐽𝑃6 − 𝜆𝐼| = 0, dengan 𝐼 matriks


identitas dan 𝜆 nilai eigen adalah :

𝜆2 + 0.01059876225𝜆 + 0.004807864808 = 0 (3.62)

Dari persamaan (3.62) diperoleh nilai eigen yaitu

𝜆1 = −0.005299381125 + 0.06913596291𝑖

dan 𝜆2 = −0.005299381125 − 0.06913596291𝑖


dengan nilai eigen berupa konjugat kompleks yang memenuhi kondisi 𝜆1,2 =
𝑎 ± 𝑖𝑏 dengan 𝑎 < 0, sehingga berdasarkan Teorema 2.1 titik ekuilibrium
𝑃2 (𝐸2∗ , 0) stabil asimtotik dan berdasarkan titik ekuilibrium 𝑃6 (𝐸6∗ , 𝑇3∗ )
memiliki tipe titik fokus sink.

Berikut ini diberikan ilustrasi hasil analisis model dengan menggunakan


nilai-nilai parameter simulasi 1 dari Tabel 4. Pengaruh terapi gen terhadap
dinamika sel efektor dan sel tumor dapat digambarkan secara numeric dengan
menggunakan MAPLE 15 dengan S: jumlah populasi sel dan t:waktu.

Gambar 10 menunjukkan interaksi antara sel efektor (E) dan sel tumor (T)
dalam kondisi baseline selama 200 hari, dimana populasi sel efektor dan
populasi sel tumor bergerak secara fluktuatif yang seiring bertambahnya
waktu t, konstan pada titik ekuilibrium.

 Simulasi 2
a. Titik ekuilibrium bebas tumor 𝑃1 (𝐸1∗ , 𝑇1∗ ) = 𝑃1 (𝐸1∗ , 0)

Nilai-nilai parameter simulasi 2 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸1∗ ,


maka diperoleh nilai 𝐸1∗ = −0.0009998371765, sehingga titik ekuilibrium
menjadi 𝑃1 (0.0009998371765,0). Berdasarkan parameter yang digunakan,
menyebabkan syarat keberadaan titik ekuilibrium 𝑃1 tidak terpenuhi,
sehingga titik ekuilibrium 𝑃1 tidak ada. Hal ini dikarenakan titik ekuilibrium
merupakan banyaknya sel pada kondisi seimbang, sehingga nilainya harus
bilangan bulat non negatif.

b. Titik ekuilibrium bebas tumor 𝑃2 (𝐸2∗ , 𝑇1∗ ) = 𝑃2 (𝐸2∗ , 0)


Nilai-nilai parameter simulasi 2 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸2∗ ,
maka diperoleh nilai 𝐸2∗ = 25487.72333 ≈ 25487 , sehingga titik
ekuilibrium menjadi 𝑃2 (25487,0). Berdasarkan parameter yang digunakan,
menyebabkan syarat keberadaan titik ekuilibrium 𝑃2 terpenuhi, sehingga titik
ekuilibrium 𝑃2 ada. Dengan demikian dapat dilakukan analisis kestabilan
pada titik ekuilibrium 𝑃2 . Subtitusikan nilai-nilai parameter simulasi 2 dari
Tabel 4 kedalam (3.33), diperoleh matriks jacobian dari titik ekuilibrium 𝑃2
yaitu
−0.030000000000 0.3710
𝐽𝑃2 = [ ] (3.63)
0 −9.684054374

Persamaan karakteristik dari (3.63) yaitu |𝐽𝑃2 − 𝜆𝐼| = 0, dengan 𝐼 matriks


identitas dan 𝜆 nilai eigen adalah :

𝜆2 + 9.714054374𝜆 − 0.290521632 = 0
(3.64)

Dari persamaan (3.64) diperoleh nilai eigen yaitu

𝜆1 = −0.0300000000000dan 𝜆2 = −9.684054374

Nilai eigen tersebut memenuhi kondisi 𝜆2 > 𝜆1 > 0, sehingga berdasarkan


Teorema 2.1 titik ekuilibrium 𝑃2 (𝐸2∗ , 0) stabil asimtotik dan berdasarkan
Teorema 2.2 titik ekuilibrium 𝑃2 (𝐸2∗ , 0) memiliki tipe titik sink node.

c. Titik ekuilibrium terinfeksi tumor 𝑃3 (𝐸3∗ , 𝑇2∗ )


Nilai-nilai parameter simulasi 2 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸3∗
dan 𝑇3∗ , diperoleh nilai 𝐸3∗ = −2.526996603 × 1015 dan 𝑇3∗ =
−2.043393479 × 1014 , sehingga titik ekuilibrium menjadi
𝑃3 (−2.526996603 × 1015 , −2.043393479 × 1014 ) . berdasarkan nilai
parameter yang digunakan menyebabkan syarat keberadaan titik ekuilibrium
𝑃3 tidak terpenuhi, sehingga titik ekuilibrium 𝑃3 tidak ada. Hal ini
dikarenakan titik ekuilibrium merupakan banyaknya sel pada kondisi
seimbang, sehingga nilainya harus bialngan bulat non negatif.
d. Titik ekuilibrium terinfeksi tumor 𝑃4 (𝐸4∗ , 𝑇2∗ )
Nilai-nilai parameter simulasi 2 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸4∗
dan 𝑇2∗ , diperoleh nilai 𝐸4∗ = −0.001000003426 dan 𝑇3∗ =
−1.000165219 × 105 , sehingga titik ekuilibrium menjadi
𝑃4 (−0.001000003426, −1.000165219 × 105 ). berdasarkan nilai parameter
yang digunakan menyebabkan syarat keberadaan titik ekuilibrium 𝑃4 tidak
terpenuhi, sehingga titik ekuilibrium 𝑃4 tidak ada. Hal ini dikarenakan titik
ekuilibrium merupakan banyaknya sel pada kondisi seimbang, sehingga
nilainya harus bialngan bulat non negatif.
e. Titik ekuilibrium terinfeksi tumor 𝑃5 (𝐸5∗ , 𝑇3∗ )
Nilai-nilai parameter simulasi 2 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸5∗
dan 𝑇3∗ , diperoleh nilai 𝐸5∗ = 5.927304029 dan 𝑇3∗ = −2060.522533 ,
sehingga titik ekuilibrium menjadi 𝑃5 (5.927304029, −2060.522533) .
berdasarkan nilai parameter yang digunakan menyebabkan syarat keberadaan
titik ekuilibrium 𝑃5 tidak terpenuhi, sehingga titik ekuilibrium 𝑃5 tidak ada.
Hal ini dikarenakan titik ekuilibrium merupakan banyaknya sel pada kondisi
seimbang, sehingga nilainya harus bialngan bulat non negatif.
f. Titik ekuilibrium terinfeksi tumor 𝑃6 (𝐸6∗ , 𝑇3∗ )
Nilai-nilai parameter simulasi 2 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸6∗
dan 𝑇3∗ , diperoleh nilai 𝐸6∗ = −0.0009999999997 dan 𝑇3∗ = 1.000000017,
sehingga titik ekuilibrium menjadi 𝑃6 (−0.0009999999997,1.000000017).
berdasarkan nilai parameter yang digunakan menyebabkan syarat keberadaan
titik ekuilibrium 𝑃6 tidak terpenuhi, sehingga titik ekuilibrium 𝑃6 tidak ada. .
Hal ini dikarenakan titik ekuilibrium merupakan banyaknya sel pada kondisi
seimbang, sehingga nilainya harus bialngan bulat non negatif.
Berikut ini diberikan ilustrasi model dengan menggunakan nilai-nilai
parameter simulasi 2 dari Tabel 4. Pengaruh terapi gen terhadap dinamika sel
efektor dan sel tumor dapat digambarkan secara numeric dengan
menggunakan MAPLE 15 , dengan S:jumlah pupolasi sel dan t: waktu.
Gambar 11 menunjukkan perilaku dinamik dari pertumbuhan sel tumor dan sel
efektor terhadap waktu selama 10 hari, dimana jumlah populasi sel tumor
mulai mengalami penurunan dan akan menghilang setelah t = 4 , sementara itu
jumlah populasi sel efektor meningkat menuju titik ekuilibrium seiring
bertambahnya waktu t.
 Simulasi 3
a. Titik ekuilibrium bebas tumor 𝑃1 (𝐸1∗ , 𝑇1∗ ) = 𝑃1 (𝐸1∗ , 0)
Nilai-nilai parameter simulasi 3 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸1∗ ,
maka diperoleh nilai 𝐸1∗ = −0.0009987565485, sehingga titik ekuilibrium
menjadi 𝑃1 (−0.0009987565485,0). Berdasarkan parameter yang digunakan,
menyebabkan syarat keberadaan titik ekuilibrium 𝑃1 tidak terpenuhi,
sehingga titik ekuilibrium 𝑃1 tidak ada. Hal ini dikarenakan titik ekuilibrium
merupakan banyaknya sel pada kondisi seimbang, sehingga nilainya harus
bilangan bulat non negatif.
b. Titik ekuilibrium bebas tumor 𝑃2 (𝐸2∗ , 𝑇1∗ ) = 𝑃2 (𝐸2∗ , 0)
Nilai-nilai parameter simulasi 3 dari Tabel 4 disubtitusikan kedalam titik 𝐸2∗ ,
maka diperoleh nilai 𝐸2∗ = 3337.483332 ≈ 3338, sehingga titik ekuilibrium
menjadi 𝑃2 (3338,0). Berdasarkan parameter yang digunakan, menyebabkan
syarat keberadaan titik ekuilibrium 𝑃2 terpenuhi, sehingga titik ekuilibrium
𝑃2 ada. Dengan demikian dapat dilakukan analisis kestabilan pada titik
ekuilibrium 𝑃2 . Subtitusikan nilai-nilai parameter simulasi 3 dari Tabel 4
kedalam (3.33), diperoleh matriks jacobian dari titik ekuilibrium 𝑃2 yaitu
−0.02999999998 0.05
𝐽𝑃2 = [ ] (3.65)
0 −0.0144449666664

Persamaan karakteristik dari (3.65) yaitu |𝐽𝑃2 − 𝜆𝐼| = 0, dengan 𝐼 matriks


identitas dan 𝜆 nilai eigen adalah :

𝜆2 + 0.04444966662𝜆 − 0.0004334899989 = 0 (3.66)

Dari persamaan (3.66) diperoleh nilai eigen yaitu

𝜆1 = −0.02999999998 dan 𝜆2 = −0.01444966664

Nilai eigen tersebut memenuhi kondisi 𝜆2 < 𝜆1 < 0, sehingga berdasarkan


Teorema 2.1 titik ekuilibrium 𝑃2 (𝐸2∗ , 0) stabil asimtotik dan berdasarkan
Teorema 2.2 titik ekuilibrium 𝑃2 (𝐸2∗ , 0) memiliki tipe titik sink node.

c. Titik ekuilibrium terinfeksi tumor 𝑃3 (𝐸3∗ , 𝑇2∗ )


Nilai-nilai parameter simulasi 3 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸3∗
dan 𝑇3∗ , diperoleh nilai 𝐸3∗ = −1.045582675 × 1011 dan 𝑇3∗ =
−6.273496253 × 1010 , sehingga titik ekuilibrium menjadi
𝑃3 (−1.045582675 × 1011 , −6.273496253 × 1010 ) . berdasarkan nilai
parameter yang digunakan menyebabkan syarat keberadaan titik ekuilibrium
𝑃3 tidak terpenuhi, sehingga titik ekuilibrium 𝑃3 tidak ada. Hal ini
dikarenakan titik ekuilibrium merupakan banyaknya sel pada kondisi
seimbang, sehingga nilainya harus bialngan bulat non negatif.
d. Titik ekuilibrium terinfeksi tumor 𝑃4 (𝐸4∗ , 𝑇2∗ )
Nilai-nilai parameter simulasi 3 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸4∗
dan 𝑇2∗ , diperoleh nilai 𝐸4∗ = −0.001000025409 dan 𝑇3∗ =
−1.000000382 × 105 , sehingga titik ekuilibrium menjadi
𝑃4 (−0.001000025409, −1.000000382 × 105 ). berdasarkan nilai parameter
yang digunakan menyebabkan syarat keberadaan titik ekuilibrium 𝑃4 tidak
terpenuhi, sehingga titik ekuilibrium 𝑃4 tidak ada. Hal ini dikarenakan titik
ekuilibrium merupakan banyaknya sel pada kondisi seimbang, sehingga
nilainya harus bialngan bulat non negatif.
e. Titik ekuilibrium terinfeksi tumor 𝑃5 (𝐸5∗ , 𝑇3∗ )
Nilai-nilai parameter simulasi 3 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸5∗
dan 𝑇3∗ , diperoleh nilai 𝐸5∗ = 2603.484708 dan 𝑇3∗ = −440.3991741 ,
sehingga titik ekuilibrium menjadi 𝑃5 (2603.484708 , −440.3991741) .
berdasarkan nilai parameter yang digunakan menyebabkan syarat keberadaan
titik ekuilibrium 𝑃5 tidak terpenuhi, sehingga titik ekuilibrium 𝑃5 tidak ada.
Hal ini dikarenakan titik ekuilibrium merupakan banyaknya sel pada kondisi
seimbang, sehingga nilainya harus bialngan bulat non negatif.
f. Titik ekuilibrium terinfeksi tumor 𝑃6 (𝐸6∗ , 𝑇3∗ )
Nilai-nilai parameter simulasi 3 dari Tabel 4 disubtitusikan ke dalam titik 𝐸6∗
dan 𝑇3∗ , diperoleh nilai 𝐸6∗ = −0.0009999999975 dan 𝑇3∗ = 1.000000000,
sehingga titik ekuilibrium menjadi 𝑃6 (−0.0009999999975,1.000000000).
berdasarkan nilai parameter yang digunakan menyebabkan syarat keberadaan
titik ekuilibrium 𝑃6 tidak terpenuhi, sehingga titik ekuilibrium 𝑃6 tidak ada. .
Hal ini dikarenakan titik ekuilibrium merupakan banyaknya sel pada kondisi
seimbang, sehingga nilainya harus bialngan bulat non negatif.
Berikut ini diberikan ilustrasi model dengan menggunakan nilai-nilai
parameter simulasi 3 dari Tabel 4. Pengaruh terapi gen terhadap dinamika sel
efektor dan sel tumor dapat digambarkan secara numeric dengan
menggunakan MAPLE 15 , dengan S:jumlah pupolasi sel dan t: waktu.

Gambar 12 menunjukkan perilaku dinamik dari pertumbuhan sel tumor dan sel
efektor terhadap waktu selama 600 hari, dimana jumlah populasi sel tumor
mulai mengalami penurunan dan akan menghilang setelah t = 250. Adapun
jumlah populasi sel efektor konstan berada pada titik ekuilibrium setelah t =
250. Sementara itu, baik jumlah sel efektor maupun sel tumor masing-masing
mencapai nilai puncak, dimana sel efektor mencapai nilai puncak pada lebih
dari 4000 sel dan sel tumor mencapai nilai puncak pada lebih dari 1000 sel.

G. Interpretasi Solusi

a. Nilai parameter yang digunakan pada simulasi 1 menyebabkan syarat


keberadaan titik ekuilibrium P2 dan P6 terpenuhi, sedangkan untuk

titik ekuilibrium P1 , P3 , P4 , dan P5 tidak terpenuhi, sehingga titik-titik


tersebut tidak ada. Hal tersebut dikarenakan titik ekuilibrium
merupakan banyaknya sel pada kondisi setimbang, sehingga nilainya
harus bilangan bulat non negatif. Dari kedua titik ekuilibrium yang
terpenuhi, titik ekuilibrium P2 tidak stabil dan mempuntai titik

saddle. Titik ekuilibrium P6 stabil asimtotik dan mempunyai jenis


titik focus sink. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 10, dimana populasi
sel efektor dan populasi sel tumor menuju ke titik ekuilibrium
P6 (20175 , 12083) . Dalam kasus ini populasi sel efektor dan sel tumor
akan tumbuh secara beriringan.
b. Nilai parameter yang digunakan pada simulasi 2 menyebabkan syarat
keberadaan titik ekuilibrium P2 terpenuhi, sedangkan untuk titik

ekuilibrium P1 , P3 , P4 , P5 dan P6 tidak terpenuhi, sehingga titik-titik


tersebut tidak ada, hal tersebut dikarenakan titik ekuilibrium
merupakan banyaknya sel pada kondisi siembang, segingga nilainya
harus bilangan bulat non negatif. Titik ekuilibrium P2 stabil
asimtotik dan mempunyai jenis titik sink mode. Hal ini ditunjukkan
oleh Gambar 11 dimana populasi sel efektor dan populasi sel tumor
menuju ke titik ekuilibrium P2 (25488 , 0) . Dalam kasus ini, populasi
sel efektor akan meningkat sedangkan populasi sel tumor akan
menghilang seiring bertambahnya waktu t.
c. Nilai parameter yang digunakan pada simulasi 3 menyebabkan syarat
keberadaan titik ekuilibrium P2 terpenuhi, sedangkan untuk titik

ekuilibrium P1 , P3 , P4 , P5 dan P6 tidak terpenuhi, sehingga titik tersebut


tidak ada, hal tersebut dikarenakan titik ekuilibrium merupakan
banyaknya sel pada kondisi siembang, segingga nilainya harus
bilangan bulat non negatif. Titik ekuilibrium P2 stabil asimtotik dan
mempunyai jenis titik sink mode. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 12,
dimana populasi sel efektor dan populasi sel tumor menuju ke titik
ekuilibrium P2 (3338 , 0) setelah pupolasi sel efektor dan sel tumor
masing-masing mencapai nilai puncaknya. Dalam kasus ini, populasi
sel efektor akan konstan pada titik ekuilibrium sedangkan populasi sel
tumor akan menghilang seiring bertambahnya waktu t.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada Bab III, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Model terapi gen dikembangkan dari model Lotka-Volterra dan model Kirschner
dan Panneta dimana molekul efektor digantikan oleh perkembangbiakan sel
sendiri (self proliferation) pada sel imun efektor. Kondisi bebas penyakit untuk
model terapi gen adalah kondisi titik ekuilibrium bebas kanker, T=0. Selanjutnya
dianalisa kestabilan titik ekuilibrium bebas kanker stabil asimtotik global.
Dengan nilai parameter yang diberikan dilakukan simulasi model terapi gen.
Diperoleh model matematika tentang pengaruh terapi gen terhadap dinamik
pertumbuhan sel efektor dan sel kanker menghasilkan suatu sistem persamaan
diferensial non linear berikut :

 EC
E  cT   2 E  p1  s1
g1  C
 aET
T  r2T (1  bT ) 
g2  T

2. Diperoleh enam titik ekulibrium yaitu dua titik ekuilibrium bebas tumor
P1 ( E1* , T1* ) dan P2 ( E2* , T1* ) , dan empat titik ekuilibrium terinfeksi tumor

P3 ( E3* , T2* ) , P4 ( E4* , T2* ) , P5 ( E5* , T3* ) dan P6 ( E6* , T3* ) , dengan

T1* , T2* , T3* , E1* , E2* , E3* , E4* , E5* dan E6* seperti pada persamaan (3.14), (3.16),
(3.17), (3.21),(3.22), (3.24), (3.25),(3.27) dan (3.28). Berdasarkan pada simulasi
1, terdapat dua titik ekuilibrium yang memenuhi syarat keberadaan yaitu P2 dan

P6 . Kondisi kestabilan titik ekuilibrium pada simulasi 1 yaitu P2 tidak stabil dan

mempunyai jenis titik saddle , sedangkan P6 stabil asimtotik dan mempunyai


jenis titik fokus sink, artinya populasi sel efektor dan sel tumor akan tumbuh
secara beriringan. Berdasarkan simulasi 2, terdapat satu titik ekuilibrium yang
memenuhi syarat keberadaan yaitu P2 . Kondisi kestabilan titik ekuilibrium P2
pada simulasi 2 stabil asimtotik dan mempunyai jenis titik sink node, artinya
populasi sel efektor akan meningkat sedangkan populasi sel tumor akan
menghilang seiring bertambahnya t. Berdasarkan simulasi 3, terdapat satu titik
ekuilibrium yang memenuhi syarat keberadaan yaitu P2 . Kondisi kestabilan titik
ekuilibrium P2 pada simulasi 3 stabil asimtotik mempunyai jenis titik sink node,
artinya populasi sel efektor akan konstan pada titik ekuilibrium sedangkan
populasi sel tumor akan menghilang seiring bertambahnya t. Kestabilan global
titik ekuilibrium bebas tumor dipenuhi oleh T(t) yang merupakan fungsi
eksponensial yang konvergen menuju 0 untuk t   . Hal ini berarti bahwa sel
tumor akan menghilang seiring bertambahnya t.

B. Saran

Penulis melakukan analisis model matematika untuk melihat pengaruh


penggunaan terapi gen dalam pengobatan kanker. Pada penelitian selanjutnya
disarankan untuk:

1. Membahas model terkait dengan menambahkan variabel seperti


kombinasi dengan terapi kanker lainnya.
2. Membahas kestabilan global untuk titik ekuilibrium terinfeksi kanker.

Anda mungkin juga menyukai