Anda di halaman 1dari 8

PART 1

-Menunjuk 2 perwira tinggi polri menempati posisi sebagai pelaksana tugas gubernur jawa barat dan
sumatra utara dianggap banyak pihak menabrak ketentuan undang-undang yang sudah ada.
mayoritas partai politik sepakat, langkah mendagri dinilai tak bijak meski masih menunggu restu
presiden. Penunjukkan 2 perwira tinggi aktif polri bukan saja dianggap tidak memiliki urgency namun
juga memunculkan banyak spekulasi.

-Uu 34 tahun 2004 tni harus netral

-Menurut uu kepolisian, polisi aktif harus mengundurkan diri jika menjabat di luar kepolisian kecuali
untuk tugas tugas di instansi pemerintah pusat tapi tidak di daerah,

+Mendagri berpedapat boleh karena mendagri telah mengeluarkan permendagri no 1 tahun 2018.

+Apapun kebijakan pasti ada regulasinya yang menjadi bahan pertimbangan.

+10/2016pasal 201 – pasal 19 uu asn

+Pasal 10 uu 10/2016 – pp no 21 tahun 2002 perubahan atas pp no 15 – tidak perlu mundur

+Pendekatan polemik mengenai penjabat gubernur ini dengan berbagai regulasi baik asn, maupun
reguluasi yang terkait pilkada atau uu 2 tahun 2002. Memang tidak ada kesempurnaan pengaturan yang
kelak perlu disempurnakan

+Pergeseran 74/2016 – yg menjabat selalu pejabat eselon 1 kemendagri dan yang setara diperluas
dengan permendagri 1/2018 jadi jabatan tinggi madya tapi pemerintah pusat dan yang setara

PART 2

+Mendagri meminta pati polri berpangkat eselon 1

-Jika ada wagubnya maka ditunjuk wagubnya, jika ada pejabat eselon 1 kemendagri boleh atau
kemenpolhukam

+Uu no 2 tahun 2002 pasal 28 ayat 3, mengundurkan diri/pensiun dini. BACA PENJELASAN apabila tidak
terkait dengan tugas2 kepolisian atau tidak ada persetujuan dari kapolri

-Peraturan kapolri no 1 tahun 2013, pasal 7 disebut anggota polri dapat menempati jabatan fungsional
dan struktural dimana saja? Kementrian, lembaga, komisi, badan, bumd, instansi tetentu dgn
persetujuan kapolri. Artinya bisa tetapi menurut asn itu di pusat bukan di daerah, jika ingin didaerah
maka ia harus mundur.

+Pasal 28 ayat 3 Apakah plt gubernur terkait tugas kepolisian?

-Tugas polri dibidang yang jelas disebutkan secara spesifik pada pasal 2 uu kepolisian, sementara pemda
memiliki tugas yang lebih luas lagi sebagai kepala daerah. Polri bertugas untuk negara, merupakan
bagian negara sudah tidak dipungkiri lagi, namun tidak untuk menjadi kepala daerah

PART 3
-Sebuah sinyal kemunduran demokrasi, bahwa didalam sistem yang telah kita pilih yaitu sistem yang
demokratis, supremasi itu harus ada pada sipil dan itu melalui suatu proses yang demokratis

-Kemudian mendagri cahyo kumolo membuat suatu kebijakan meskipun masih wacana yang
menimbulkan kegaduhan. Dan tidak terkoodinasi diantara pemerintah sendiri yang akhirnya sekarang
diambil alih menkopolhukam. Itu artinya tidak ada koordinasi, ini menunjukkan keamburaldulan sistem
saat ini.

-Argunmentasinya mudah dipatahkan:


“keterbatasan pejabat eselon 1 dalam lingkup kemendagri.” Aturan jelas mengatakan bahwa pemimpin
tinggi madya harus sipil

“Di instansi kemendragri pernah dilakukan, yaitu menunjuk irjen pol carlobriksteu sebagai plt gubernur
sulawesi barat”. Bantahannya bahwa ketika itu adalah fungsinya sebagai staff ahli yang sudah
diperbantukan disana bukan sebagai irjen pol

“Alasan pengangkatan polri jadi plt : penempatannnya karena tingkat kerawanan dan menjaga stabilitas
tata kelola pemerintahan”. Ini merupakan 2 urusan yang sangat berbeda. 1 fungsi polri tentu saja
menjaga keamanan dan tentu menjamin terhadap adanya potensi kerawanan tersebut menjadi aman,
sementara fungsi plt atau penjabat gubernur adalah melanjutkan pemerintahan. Jadi ini berbeda sekali
tujuannya.

-Dapat terjadi dwifungsi kepolisian, ini seperti asas penugas karya dijaman dwifungsi abri. Asas ini
membebaskan seseorang militer/polisi untuk menjabat bupati, gubernur, dll. Dan jika ini terjadi, ini
merupakan suatu kemunduran dalam sistem demokrasi kita.

-Pasal 147 PP 11 tahun 2017 ttg manajemen pns, disebut di instansi pusat. Dan diaturan lainnya jelas, plt
gubernur adalah jabatan sipil. Jadi tidak dibenarkan polisi/tni aktif menduduki jabatan tersebut.
Melanjutkan pemerintahan itu harus netral.

Tanggapan

-Sebaiknya ide tersebut ditolak untuk memiliki polri yang profesional.

PART 4

-pati polri tidak dibawah kendali/pengaruh mendagri tapi kapolri

“pasal 201 ayat 9 dan 10 dan 10 uu 10/2016 ttg pilkada” dikaitkan dgn uu asn pasal 19 ayat 1, 2, 3”

+Bukan hal baru – pj gubernur jawa timur mayor jendral tni h setia purwaka. Penjabat gubernur 2008-
2009, irjen dr anes karlobicksteu.

-Masa jabatan gubernur sampai jawa barat 13 juni, sumut 17 juni. Pilkada 27 juni. Tidak ada urgensi
yang terlau besar untuk mengganti plt

PART 5

PART 6
BAHAN

http://nasional.kompas.com/read/2018/01/29/12111471/menurut-gerindra-penjabat-gubernur-dari-
polri-akan-melanggar-dua-uu

langkah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menunjuk jenderal polisi aktif sebagai penjabat gubernur
telah melanggar dua undang-undang. Pertama, Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Pasal 28 ayat 3 UU Kepolisian menyatakan, anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun
dari dinas kepolisian. "Ini memberikan pengertian tidak diperbolehkan menduduki jabatan seperti PLT
gubernur bila mana masih aktif”

Selain itu, Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
menyebutkan bahwa anggota Polri atau prajurit TNI hanya diperbolehkan mengisi jabatan ASN tertentu
sesuai yang diatur UU TNI atau UU Kepolisian. "Yaitu, jabatan yang ada pada instansi pemerintah pusat
dan tidak termasuk jabatan pada instansi daerah," kata Nizar.

Sementara itu, tugas gubernur lebih pada menjalankan roda pemerintahan dan birokrasi setempat
sehingga tugas pelayanan publik tetap berjalan dan terlayani," kata dia. Oleh karena itu, kata Nizar,
penunjukan petinggi Polri sebagai penjabat gubernur harus ditolak karena rawan bermuatan politis dari
pihak tertentu untuk memenangkan pilkada.

http://nasional.kompas.com/read/2018/02/23/15520991/kompolnas-dukung-wiranto-ubah-usulan-
penjabat-gubernur-dari-polri

Sebelumnya, usulan agar dua pejabat tinggi Polri menjadi penjabat gubernur Jabar dan Sumut mendapat
reaksi negatif dan tentangan dari masyarakat.

Usulan agar dua pejabat tinggi polisi itu menjadi Pj Gubernur Jabar dan Sumut sebelumnya mendapat
reaksi negatif dan tentangan dari kalangan masyarakat.

https://news.detik.com/berita/d-3838160/pakar-hukum-usulan-pejabat-polri-jadi-pj-gubernur-
melanggar-uu

Rencana usulan Pejabat Polri untuk menjadi Penjabat Gubernur (Pj) menuai polemik. Pakar hukum tata
negara, Irmanputra Sidin, menilai pengisian Pj Gubernur dari unsur Polri melanggar UU.

"Bahwa yang dapat menduduki Pj Gubernur, hanya orang yang telah menduduki jabatan pimpinan tinggi
madya, tidak boleh kepada orang yang menduduki jabatan setingkat karena hal ini bisa menyeret
institusi Polri dan TNI menyalahi konstitusi, karena konstitusi sudah memberikan batasan tegas peran
dan otoritas institusi Polri dan TNI yaitu menjaga kedaulatan Negara, keamanan, ketertiban serta
penegakan hukum," kata Irman kepada detikcom, Senin (29/1/2018).

"Rencana usulan pejabat Polri untuk menjadi PJ Gubernur Jawa barat dan Gubernur Sumatera Utara
sesungguhnya bertentangan dengan UU No 10/2016 tentang Pilkada," sambungnya.
Irman menjelaskan, pimpinan tinggi madya yang dimaksud sudah diatur dalam pasal UU Aparatur Sipil
Negara (ASN). Menurutnyam dalam pasal 1 angka 7 dan 8 UU ASN, jabatan pimpinan tinggi adalah
sekelompok jabatan tinggi pada instansi pemerintah dan pejabat pimpinan tinggi adalah Pegawai ASN
yang menduduki jabatan pimpinan tinggi.

"Artinya bahwa hanya orang yang berada dalam jabatan ASN saja yang tergolong pimpinan tinggi madya
yang dapat menjadi PLT Gubernur. Pertanyaaanya dapatkah anggota Polri dan TNI menduduki jabatan
dalam jabatan ASN?" ungkapnya.

Lebih lanjut Irman menjelaskan, jabatan ASN boleh diisi oleh anggota Polri-TNI haruslah berada di
instansi pusat. Artinya perwira Polri yang dapat menjadi Penjabat gubernur, harus terlebih dahulu telah
menduduki jabatan pimpinan tinggi madya di instansi pusat, bukan jabatan setingkat yang bisa dicaplok
secara langsung dari Polri.

"Perlu juga dicermati bahwa jikalau kemudian Kemendagri memudahkan anggota Polri untuk dijadikan
personel pemerintahan maka hal ini jangan sampai akan menjadi eskalasi metamorfosa Polri akan
dijadikan institusi di bawah Kemendagri, tentunya ini bertentangan dengan konstitusi," tuturnya.

http://kabar24.bisnis.com/read/20180223/15/742423/penjabat-gubernur-dari-polri-wiranto-siapkan-
dua-opsi

Seperti diketahui, sejumlah pihak meminta rencana pj gubernur berasal dari pati Polri ditinjau ulang.
Namun, pihak tertentu memandang hal tersebut bukan bentuk pelanggaran regulasi.

Dalam praktiknya, istilah penjabat ini sering digunakan ketika ada kekosongan sementara pada jabatan
struktural pemerintahan di pusat dan daerah.

http://www.bbc.com/indonesia/majalah-42828544

pemilihan petinggi polisi sebagai pejabat gubernur bertentangan dengan fungsi polisi itu sendiri.

"Polri diciptakan tidak untuk bidang pemerintahan. Polri adalah aparat negara untuk menjaga
keamanan, ketertiban, serta penegakan hukum,

http://news.liputan6.com/read/3281507/ombudsman-penjabat-gubernur-dari-tni-polri-
maladministrasi

Ombudsman Republik Indonesia (RI) menilai, langkah pemerintah yang akan mengisi posisi gubernur
dengan penjabat gubernur dari unsur TNI dan Polri sebagai bentuk maladministrasi. Perlu ada dasar
hukum yang jelas yang mengatur penjabat gubernur dari kedua instansi tersebut.

"Kalau meminta presiden untuk menetapkan penjabat gubernur dari unsur TNI-Polri maka keadaan
genting seperti apa indikatornya harus jelas. Ini sudah sampai maladministrasi. Melanggar undang-
undang. Kalau udah seperti itu, jangan lagi (dilanggar)," ujar Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida, di
Gedung Ombudsman RI, Jalan Rasuna Said Kav C- 19 Kuningan, Jakarta Selatan, Senin 12 Februari 2018.
Kalau pun mesti menjabat, mesti melalui sebuah prosedur, misalnya harus keluar dulu dari TNI atau Polri
untuk bisa masuk di jabatan sipil. Karena yang bisa menjadi gubernur di aturannya adalah pejabat eselon
satu," kata Ida.

Wacana Mendagri Tjahjo Kumolo yang mengusulkan dua pati Polri untuk Pejabat Gubernur di Sumatera
Utara dan Jawa Barat menuai pro kontra. Mendagri dianggap melanggar sejumlah aturan apabila usulan
tersebut benar dijalankan.

Namun belakangan, Tjahjo memastikan bahwa pihaknya tak melanggar aturan dengan mengusulkan dua
jenderal polisi menjadi gubernur sementara di Jawa Barat dan Sumatera Utara.

https://www.merdeka.com/peristiwa/menkopolhukam-batalkan-usulan-pati-polri-jadi-penjabat-
gubernur.html

Usulan ini langsung menuai polemik. Sebab, berdasarkan UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia dan UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, anggota TNI dan
Polri aktif tidak boleh berpolitik dan menempati jabatan sipil.

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/18/01/29/p3avex354-pakar-plt-gubernur-dari-
polri-bertentangan-uu

Rencana menempatkan pejabat Polri sesungguhnya bertentangan dengan UU No 10 Tahun 2016


tentang Pilkada. Dalam Pasal 201 Ayat (10) UU Pilkada menyatakan untuk mengisi kekosongan jabatan
gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan
pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, karena itu harus
dibatalkan,"

Kemudian, dalam Pasal 4 ayat (2) Permendagri No. 11 Tahun 2018 menyatakan penjabat gubernur
berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat atau pemerintah
daerah provinsi.

Adanya penambahan norma setingkat dalam Permendagri No. 11 Tahun 2018 yang menjadi dasar
Mendagri mengusulkan pati Polri menjadi plt gubernur adalah bertentangan dengan ketentuan Pasal
201 ayat (1) UU Pilkada cq UUD 1945, karena intensi konstitusi sudah sesuai dengan UU Pilkada yaitu
bahwa yang dapat menduduki penjabat gubernur, hanya orang yang telah menduduki jabatan pimpinan
tinggi madya, tidak boleh kepada orang yang menduduki jabatan setingkat karena hal ini bisa menyeret
institusi Polri dan TNI menyalahi konstitusi, karena konstitusi sudah memberikan batasan tegas peran
dan otoritas institusi Polri dan TNI yaitu menjaga kedaulatan negara, kemananan, ketertiban serta
penegakan hukum (Pasal 30 UUD 1945)," jelasnya.

Menurut Irmanputra, pimpinan tinggi madya yang dimaksud adalah dikenal dalam rezim jabatan
aparatur sipil negara (Pasal 19 UU ASN). Dalam Pasal 1 angka 7 dan angka 8 UU ASN disebutkan bahwa
jabatan pimpinan tinggi adalah sekelompok jabatan tinggi pada instansi pemerintah dan pejabat
pimpinan tinggi adalah pegawai ASN yang menduduki jabatan pimpinan tinggi.
"Artinya bahwa hanya orang yang berada dalam jabatan ASN saja yang tergolong pimpinan tinggi madya
yang dapat menjadi plt gubernur. Pertanyaaanya dapatkah anggota Polri dan TNI menduduki jabatan
dalam jabatan ASN," kata Irmanputra.

Sementara pengisian jabatan ASN oleh anggota Polri diatur dalam 20 UU ASN yang berbunyi:

(1) Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN.

(2) Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari:

a. prajurit Tentara Nasional Indonesia; dan

b. anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(3) Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan Polri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam UU TNI dan UU Polri .

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota
Polri dan tata cara pengisian jabatan ASN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

"Oleh karenanya, terkait dengan Jabatan ASN yang dapat diisi oleh anggota Polri adalah sebatas jabatan
ASN tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017, Pasal 147 dinyatakan jabatan ASN
tertentu di lingkungan instansi pusat tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri sesuai
dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan." kata Irmanputra.

Selanjutnya dalam Pasal 148 ayat (2) dikatakan bahwa jabatan ASN tertentu Sebagaimana Dimaksud
Pada ayat (1) berada di instansi pusat dan sesuai dengan UU TNI dan UU Polri.

Artinya, jabatan ASN tertentu yang dapat diisi oleh anggota Polri adalah hanya berada di instansi pusat.
Oleh karenanya artinya perwira Polri yang dapat menjadi penjabat gubernur, harus terlebih dahulu telah
menduduki jabatan pimpinan tinggi madya di instansi pusat, bukan jabatan setingkat yang bisa dicaplok
secara langsung dari Polri, karena jabatan setingkat tidak dibolehkan oleh UU cq konstitusi.

"Oleh karenanya bahwa rencana penunjukan pati Polri yang sedang menduduki jabatan di Kepolisian
Negara RI yang tidak tergolong jabatan pimpinan tinggi madya seperti dimaksud UU Pilkada cq UU ASN
adalah inkonstitusional," katanya.

Oleh karenanya, tambah Irmanputra, rencana itu harus dibatalkan dan perlu diingat bahwa jantung
konstitusi dan refomasi adalah berada pada Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian 2002 bahwa anggota Polri
dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas
kepolisian.

Perlu juga dicermati bahwa jika kemudian Kemendagri memudahkan anggota Polri untuk dijadikan
personel pemerintahan, maka hal ini jangan sampai akan menjadi eskalasi metamorfosa Polri akan
dijadikan institusi di bawah Kemendagri, tentunya ini bertentangan dengan konstitusi.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/18/01/27/p37ctt440-ada-apa-pati-
polri-jadi-plt-gubernur-sumut-dan-jabar

Dinamika politik Indonesia memang tidak ada habisnya. 'Cuaca panas' politik menjelang pilkada serentak
2018 terjaga dengan baik. Jagad maya dan jagad nyata pun bereaksi. Kali ini, soal rencana atau wacana
masuknya perwira tinggi (pati) Polri menjadi pejabat (pj) gubernur Sumut dan Jabar.

http://perludem.org/2018/02/01/perludem-plt-gubernur-dari-polri-melanggar-uu-pilkada/

Undang-Undang Pilkada pasal 201 ayat 10 mengatur bahwa pengisian kekosongan jabatan gubernur
adalah dengan mengangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai
dengan pelantikan gubernur baru.

Menurut Fadli, ketentuan ini secara jelas menyebutkan sekretaris jenderal kementerian, sekretaris
utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga non-struktural,
direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, kepala
sekretariat presiden, kepala sekretariat wakil presiden, sekretaris militer presiden, kepala sekretariat
dewan pertimbangan presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.

Ketentuan itu, kata Fadli, sudah jelas. Jika Mendagri menunjuk selain jabatan yang disebut undang-
undang, artinya tidak sesuai dan berpotensi melanggar UU Pilkada.

Pasal 28 Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, ujar Fadli, juga tegas mengatur anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polisi dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah
mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Oleh karena itu menunjuk anggota polisi aktif
menjadi penjabat gubernur juga berpotensi melanggar UU Kepolisian.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a6ee439b8d04/polisi-jabat-plt-gubernur--ini-uu-yang-
potensi-dilanggar-mendagri

Acuan Mendagri akan menunjuk anggota Polri aktif menjadi pelaksana tugas gubernur merujuk pada
Permendagri No.1 Tahun 2018 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara bagi Kepala Daerah. Pasal 4 ayat
(2) Permendagri memuat norma yang menyatakan bahwa yang menjadi penjabat gubernur berasal dari
pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat/provinsi.

Padahal, kata Mustafa, Permendagri tersebut justru bertentangan dengan materi muatan UU Pilkada.
“Dasar aturan itulah kemudian Mendagri mengasumsikan bahwa perwira tinggi Polri merupakan jabatan
yang setingkat dengan pimpinan tinggi madya. Padahal, dalam ketentuan UU Pilkada telah diatur secara
limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang dapat menjadi penjabat Gubernur,”
ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, langkah rencana penunjukan itu pun melanggar UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian, khususnya Pasal 28 ayat (3). Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian menyebutkan, “Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar Kepolisian setelah
mengundurkan diri atau pensiun dari dinas Kepolisian.”
Merujuk pasal itu, terangnya, apabila anggota Polri aktif yang ingin menduduki jabatan di luar
kepolisian, maka terlebih dahulu mesti mengundurkan diri atau pensiun dari korps bhayangkara. Dengan
begitu, netralitas institusi dapat terjaga dan tidak menimbulkan ‘dwifungsi’ Polri sebagaimana ABRI di
era orde baru. “(Amanat reformasi) Mestinya Polri bersikap netral di tengah berkehidupan politik,”
ujarnya mengingatkan.

Anda mungkin juga menyukai