Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MANDIRI ORAL MEDICINE 1

PERAN VITAMIN DAN MINERAL DALAM PENYEMBUHAN LESI


ULSERATIF

Kelompok A4:
Ni Nyoman Astari 021511133042
Dida Devina 021511133043
Nabilah Khansa S. 021511133044
Victor Gradiyanto 021511133045
Sofia Dwi N. 021511133046
Nur Azizah Hadi 021511133047
Adriani Sari Fadillah 021511133048
Aisyah Rachmadani 021511133049
Halida Dwi Pramesti 021511133050
Fridaniyanti K. 021511133051
Lintang Maudina S. 021511133052
Nancy Cynthia S. 021511133053
I Ketut Brahma P. 021511133054
Widya Rizky R. 021511133055

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS AIRLANGGA
2018

1
1.1 Anatomi Mukosa Mulut
Jaringan lunak mulut terdiri dari mukosa pipi, bibir, ginggiva, lidah, palatum, dan
dasar mulut. Struktur jaringan lunak mulut terdiri dari lapisan tipis jaringan mukosa
yang licin, halus, fleksibel, dan berkeratin atau tidak berkeratin. Jaringan lunak mulut
berfungsi melindungi jaringan keras di bawahnya; tempat organ, pembuluh darah,
saraf, alat pengecap, dan alat pengunyah. Secara histologis jaringan mukosa mulut
terdiri dari 3 lapisan (Avery & Chiego, 2006; Balogh & Fehrenbach, 2006)

1. Lapisan epitelium, yang melapisi di bagian permukaan luar, terdiri dari berlapis–
lapis sel mati yang berbentuk pipih atau datar dimana lapisan sel–sel yang mati ini
selalu diganti terus–menerus dari bawah, dan sel–sel ini disebut dengan stratified
squamous epithelium. Struktur stratified squamous epithelium dari mukosa mulut
meliputi kedua permukaan, yaitu mukosa mulut tidak berkeratin seperti pada mukosa
pipi, bibir, palatum mole, dasar rongga mulut, serta mukosa berkeratin seperti palatum
dan alveolar ridges. Terdiri dari stratum corneum, stratum granulosum, stratum
spinosum dan stratum basale.

2. Membrana basalis, yang merupakan lapisan pemisah antara lapisan epitelium dengan
lamina propria, berupa serabut kolagen dan elastis. Terdiri dari lamina lucida dan
lamina densa.

3. Lamina propria, pada lamina propria ini terdapat ujung–ujung saraf rasa sakit, raba,
dan suhu. Selain ujung–ujung saraf tersebut terdapat juga pleksus kapiler, jaringan
limfa, dan elemen–elemen penghasil sekret dari kelenjar–kelenjar ludah kecil. Kelenjar
ludah yang halus terdapat di seluruh jaringan mukosa mulut, tetapi tidak terdapat di
jaringan mukosa gusi kecuali di mukosa gusi daerah retromolar. Disamping itu lamina
propria ini sebagian besar terdiri dari serabut kolagen, serabut elastin dan sel–sel
fibroblast & makrofag, sel mast, sel inflamatori serta sel– sel darah yang penting untuk
pertahanan melawan infeksi. Jadi mukosa ini menghasilkan sekret, bersifat protektif,
dan sensitif (Nanci, 2008).

2
1.2 Struktur Histologi Mukosa Mulut
Secara histologis mukosa mulut terdiri dari 2 lapisan. Yang pertama adalah lapisan
epitelium, yang melapisi di bagian permukaan luar, terdiri dari berlapis-lapis sel mati
yang berbentuk pipih dimana lapisan sel-sel yang mati ini selalu diganti terus-menerus
dari bawah, dan sel-sel ini disebut dengan stratified squamous epithelium.
Struktur epitel rongga mulut dari arah luar ke dalam adalah stratum
korneum,stratum granulosum,stratum spinosum,stratum basalis. Yang kedua adalah
lamina propria ini terdapat ujung-ujung saraf rasa sakit, raba, suhu dan cita rasa.

Stratum Korneum

Gambar 1.2.1 Struktur histologi mukosa rongga mulut

Gambar 1.2.2 Mukosa rongga mulut sehat

3
1.3 Stomatitis aftosa
Stomatitis aftosa adalah radang yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya
bentuknya berupa ulser dengan warna putih kekuningan. Lesi ini dapat berupa lesi
tunggal maupun berkelompok. Stomatitis aftosa dapat menyerang selaput lendir
pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah, gusi serta langit–langit dalam rongga
mulut (Scully, 2006). Munculnya radang mukosa mulut ini disertai rasa sakit dan
merupakan penyakit mulut yang paling sering ditemukan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 10% dari populasi menderita penyakit ini, dan wanita
lebih mudah terserang dibandingkan pria (Scully, 2006).
Stomatitis aftosa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain defisiensi
vitamin seperti zat besi, asam folat, vitamin B12 atau B kompleks, psikologis,
trauma, endokrin, herediter, alergi, imunologi, dan lain–lain (Lewis & Jordan,
2012). Sumber lain menyebutkan penyebab radang mukosa mulut sesungguhnya
sangat beragam, mulai dari tergigit, luka ketika menyikat gigi, alergi terhadap
makanan ataupun adanya infeksi oleh bakteri.
Ulser merupakan suatu keadaan patologis yang menimbulkan kerusakan seluruh
lapisan epitel dan jaringan dibawahnya, dilapisi oleh jendalan fibrin sehingga
berwarna putih kekuningan (Burket dkk, 2008). Patogenesis ulserasi berhubungan
dengan banyak faktor dan melibatkan 5 fase biologis, yaitu inisiasi, primary damage
response, amplifikasi sinyal, ulserasi dan penyembuhan. Epitel oral
mempertahankan integritas struktural oleh proses pembaharuan sel terus-menerus
di mana sel-sel yang dihasilkan oleh pembelahan mitosis dalam lapisan terdalam
bermigrasi ke permukaan untuk menggantikan sel yang membuka. Pembaharuan
sel yang berlangsung cepat maka penyembuhan luka akan cepat terjadi, namun
kemungkinan untuk mutasi sel dan kerusakan pada sel juga tinggi, disebabkan
suplai darah yang melimpah dan kerapuhan sel epitel, risiko untuk terjadinya
infeksi, inflamasi, dan trauma meningkat (Sunarjo et al, 2015).
Biasanya, ulser yang perih ini timbul kembali dalam interval waktu 3 hingga 4
minggu atau terkadang tidak kunjung sembuh. Kekambuhan selama satu bulan dapat
terjadi, namun hal tersebut sulit diprediksi. Stomatitis aftosa tipe minor secara
individual berlangsung selama 7–14 hari kemudian pulih tanpa meninggalkan bekas.
Stomatitis aftosa secara tipikal dapat mengenai daerah mukosa yang tak berkeratin,

4
seperti mukosa bukal, mukosa labial, sulkus atau batas lateral lidah. Stomatitis aftosa
sering kali timbul pada masa kanak–kanak, namun mencapai puncaknya pada masa
remaja atau dewasa. Waktu timbulnya dapat bervariasi, kadang–kadang memiliki
interval waktu yang relatif teratur. Kebanyakan orang yang mengalaminya tampak
sehat, sebagian besar penderitanya bukan perokok, dan sebagian kecil mengalami
gangguan hematologis (Cawson & Odell, 2005).

Gambar 1.3.1 Mekanisme pembentukan lesi ulser mukosa . Ulser dapat terjadi akibat dari (a)
trauma eksternal yang berbeda (mekanik, termal, kimia, berseri-seri), (B) proses inflamasi yang
mengarah ke atrofi lapisan mukosa , (c) pecahnya vesikula atau bula yang berbeda asal yang
mempengaruhi mukosa, dan (d) gangguan epitelial proliferasi dan diferensiasi, mengarah ke
arsitektur kelainan mukosa (Lodi et al, 2017)

Gambar 1.3.2 Stomatitis (Sumber: Cawson & Odell, 2008).

5
1.4 Faktor Predisposisi Stomatitis aftosa
Etiologi radang mukosa mulut masih belum diketahui secara pasti (Hudson,
2014), dari seluruh kasus yang ada, faktor penyebab baru dapat teridentifikasi
sekitar 30%. Menurut Cawson dan Odell, bahwa faktor predisposisi radang mukosa
mulut antara lain:
1. Trauma
Adanya riwayat trauma pada penderita sebagai gejala awal misalnya
tergigit, trauma sikat gigi, pemakaian peralatan gigi, sehingga terjadi ulser
pada mukosa mulut.
2. Infeksi
Belum adanya bukti bahwa radang mukosa mulut secara langsung
disebabkan oleh mikroba, diduga yang berperan penting untuk terjadinya
radang mukosa mulut adalah adanya reaksi silang antigen dari
Streptococcus yang terbanyak adalah S.Sanguinis dan S.Mitis (Jurge et al,
2006)
3. Gangguan Imunologik
Sampai saat ini etiologi radang mukosa mulut belum diketahui, radang
mukosa mulut cenderung dikaitkan dengan proses autoimun. Peneliti lain
mengemukakan adanya perubahan perbandingan antara limfosit T helper
dan T supressor.
4. Gangguan Pencernaan
Radang mukosa mulut sebelumnya dikenal dengan nama dyspeptic ulcer
namun jarang berkaitan dengan penyakit gastrointestinal. Adanya hubungan
dengan penyakit ini biasanya karena terjadi defisiensi, terutama defisiensi
vitamin B12 atau asam folat yang terjadi secara sekunder akibat
malabsorbsi.
5. Defisiensi Nutrisi
Defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat, telah dilaporkan pada lebih
dari 20% penderita dengan radang mukosa mulut. Pemberian vitamin B12
atau asam folat akan mempercepat penyembuhan radang mukosa mulut
(Jurge et al, 2006).

6
6. Kelainan Hormonal
Pada beberapa wanita, radang mukosa mulut berkaitan erat dengan fase
luteal dari siklus menstruasi, progesterone yang tinggi menyebabkan
gangguan pada turn over epitel (Femiano et al, 2007).
7. Infeksi HIV
Radang mukosa mulut dapat dijumpai sebagai salah satu kelainan dari
infeksi HIV. Kekambuhan dan keparahannya berhubungan dengan derajat
penurunan imunitas pertahanan tubuh.
8. Faktor Genetik
Terdapat sejumlah bukti tentang adanya pengaruh faktor genetik. Riwayat
medis keluarga kadang dijumpai adanya anggota keluarga yang menderita
stomatitis aptous sebanyak 42% dan kelainan ini tampaknya lebih banyak
mempengaruhi pasangan saudara kembar yang identik dibandingkan
dengan non identik. Pendapat lain mengatakan bahwa bila kedua oran gtua
terserang stomatitis aptous maka kemungkinan besar 90% pada beberapa
anaknya dapat ditemukan adanya kelainan tersebut (Femiano et al, 2007).
9. Faktor Psikologis
Respons stres mengakibatkan hipotalamus mengeluarkan CRH kemudian
CRH stimulasi kelenjar pituitari melepas ACTH, ACTH stimulasi korteks
adrenal memproduksi kortisol. Glukokortikoid termasuk kortisol menekan
fungsi imun seperti fungsi SIgA, IgG dan fungsi neutrophil (Hernawati,
2013).

1.5 Klasifikasi Stomatitis aftosa


Berdasarkan gejala klinis stomatitis aftosa dapat diklasifikasikan menjadi 4 bentuk
klinis (Wray dkk., 2003).

1. Bentuk Minor
a. Sebagian besar pasien (85%) menderita ulser bentuk minor, yang ditandai
dengan ulser bentuk bulat atau oval, disertai rasa nyeri dengan diameter
antara 2−4 mm, kurang dari 1 cm dan dikelilingi oleh pinggiran yang
eritematous. Ulser ini cenderung mengenai daerah non keratin, seperti
mukosa labial, mukosa bukal, dan dasar mulut. Ulsernya bisa tunggal atau

7
merupakan kelompok yang terdiri dari empat sampai lima dan menyembuh
dalam waktu 7−14 hari tanpa disertai pembentukan jaringan parut.

Gambar 1.5.1 Stomatitis aftosa Minor

2. Bentuk Mayor
b. Stomatitis aftosa tipe mayor dijumpai pada kira-kira 10% penderita, ulser
bentuk mayor ini lebih besar dari bentuk minor. Ulsernya berdiameter 1−3
cm, sangat sakit dan disertai dengan demam ringan, terlihat adanya
limfadenopati submandibula. Ulser ini dapat terjadi pada bagian mana saja
dari mukosa mulut termasuk daerah berkeratin. Berlangsung selama 4
minggu atau lebih dan sembuh disertai pembentukan jaringan parut. Lesi
ini menyebabkan nyeri dan disfagia yang signifikan.

Gambar 1.5.2 Stomatitis aftosa Mayor


3. Bentuk Herpetiformis
Bentuk Herpetiformis mirip dengan ulser yang terlihat pada infeksi herpes primer,
sehingga dinamakan herpetiformis. Gambaran yang paling menonjol adalah adanya
ulser kecil berjumlah banyak dari puluhan hingga ratusan dengan ukuran mulai sebesar

8
kepala jarum (1−2 mm) sampai gabungan ulser kecil menjadi ulser besar yang tidak
terbatas jelas sehingga bentuknya tidak teratur. menyebabkan rasa sakit,
menyebabkan kesulitan saat makan dan berbicara.

Gambar 1.5.3 Stomatitis aftosa bentuk herpetiform

4. Bentuk Sindrom Behcet


Sindrom Behçet merupakan sindrom yang mempunyai tiga gejala yaitu aphthae
dalam mulut, ulser pada genital dan radang mata. Aphthae dalam mulut dari sindrom
behcet mirip dengan radang mukosa mulut dan biasanya merupakan gejala awal dari
sindrom Behçet.

1.6 Peran Vitamin dan Mineral


1. Zinc
Zinc berperan dalam proses hemostasis pada penyembuhan stomatitis aftosa
melalui interaksinya dengan trombosit, dan diperlukan untuk produksi antibodi dan
mengembalikan fungsi sel kekebalan. Zinc juga berperan dalam proses inflamasi,
memicu proliferasi dari sel inflamasi dan memodulasi peradangan dengan cara
meningkatkan ekspresi sitokin proinflamatori yang berperan sebagai respon imun
tubuh terhadap adanya infeksi/ulser yang kemudian menurunkan stress oksidatif di
jaringan dan memicu penurunan sitokin sehingga dapat berperan sebagai
antioksidan. Zinc yang dapat meningkatkan infiltrasi neutrofil sebagai respon imun
ketika terjadi ulser, infiltrasi neutrofil ke jaringan yang terinflamasi kemudian
meningkatkan sitokin-sitokin proinflamatori sehingga terjadi perubahan ekspresi
inhibitor RNA, IL-1α dan TNF-α kemudian terjadi proses proliferasi. Pada fase
proliferasi, zinc memicu sintesis kolagen yang akan diperlukan dalam proses

9
proliferasi fibroblas dan keratinosit dan mempercepat proses re-epitelialisasi, selain
itu zinc juga menghambat pertumbuhan bakteri sehingga ketika proses inflamasi
terjadi, maka tidak terjadi infeksi berulang oleh karena bakteri disekitar jaringan
atau dari luar jaringan. Zinc dapat diperoleh dengan mengonsumsi makanan atau
minuman seperti daging sapi, gandum (Bradbury, 2006).

2. Zat Besi (Fe)


Zat besi dapat mempengaruhi aktivasi makrofag proinflamasi yang tidak
terkendali pada proses inflamasi ketika terjadi ulser. Defisiensi besi tanpa
peradangan kemungkinan akan mempengaruhi salah satu tahap penyembuhan luka
seperti remodeling. Besi adalah target terapi yang potensial di kulit dengan aplikasi
chelators besi topikal dan agen farmakologis baru lainnya, dan dalam penyembuhan
luka kutan yang tertunda dengan pengobatan defisiensi besi.
Kadar zat besi dalam tubuh penting dalam mempercepat fase awal inflamasi,
dan proliferasi sel dan infiltrasi sel radang ke jaringan melalui Hypoxia-inducible
factor-1 (HIF-1) yang berperan terhadap semua tahap penyembuhan luka (melalui
perannya dalam migrasi sel, kelangsungan hidup sel di bawah kondisi hipoksia,
pembelahan sel, pelepasan faktor pertumbuhan, dan sintesis matriks) dan regulator
positif HIF-1, seperti inhibitor prolyl-4-hydroxylase sehingga apat mempercepat
proses remodelling jaringan dengan memicu kontraksi gel kolagen yang dimediasi
fibroblast dan terjadi proses regenerasi jaringan yang rusak. Mineral ini dapat
diperoleh dengan mengonsumsi makanan atau minuman sepertisayur bayam,
daging merah, dan kuning telur (Josephine A.etal, 2014).

3. Vitamin A
Menurut Demling, vitamin A mampu menstimulasi onset dari proses
penyembuhan luka serta menstimulasi proses epitelialisasi dan deposisi fibroblas
dari kolagen. Sementara sifat biologis vitamin A adalah sebagai anti-oksidan,
meningkatkan proliferasi fibroblas, memodulasi diferensiasi dan proliferasi seluler,
meningkatkan. Sintesis kolagen dan hyaluronate, serta menurunkan degradasi
MMP-matriks ekstraseluler (Burgess, 2008).

10
4. Vitamin B2 (Riboflavin)
Berguna pada proses fosforilatif oksidasi untuk produksi adenosintrifosfat.

5. Vitamin B3 (Niasin)
Vitamin B3 ini berpengaruh pada reaksi transfer elektron untuk memproduksi
energi sehingga menjadi sumber energi.

6. Vitamin B6
Vitamin B6 ini mampu melakukan proses transaminase untuk produksi dan
pemecahan glukosa. Jika asam folat, ia bekerja dengan mentransfer 1 reaksi karbon
yang diperlukan untuk semua metabolisme macronutrient. Vitamin B6 adalah
kofaktor untuk enzim yang terlibat dalam metabolisme yang dapat menurunkan
stres oksidatif, sehingga mengurangi aktivitas peradangan yaitu penurunan
produksi TNF-α, dan efektif dalam meningkatkan sitokin proinflamasi pada proses
inflamasi (Mochizuki, 2016)

7. Vitamin B12
Berperan pada reaksi koenzim A untuk penggunaan seluruh nutrient. (Demling
RH, 2009). Vitamin B12 dapat menurunkan tingkat nyeri yang disebabkan oleh
ulkus aphthous dan dapat secara signifikan mengurangi intensitas rasa sakit selama
penyembuhan. (Liu et al, 2015).

8. Vitamin C
Vitamin c dapat meningkatkan mekanisme perlindungan sistem kekebalan
tubuh untuk proses penyembuhan. Vitamin c memiliki peran untuk menurunkan
stres oksidatif yang terjadi pada jaringan yang mengalami kerusakan sebagai respon
imun mukosa kemudian memicu proliferasi jaringan dan pembentukan kolagen
pada jaringan yang rusak (Sarpooshi, 2017).

10. Vitamin D
Peran kompleks vitamin D dalam pengaturan fungsi sistem kekebalan
tubuh, kekurangan vitamin D pada gangguan autoimun, dan studi epidemiologi

11
menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D merupakan faktor lingkungan yang
penting dalam patogenesis gangguan mediasi kekebalan. Hubungan antara
disregulasi sistem kekebalan tubuh dan patogenesis RAS, dan peran defisiensi
vitamin D dalam patogenesis RAS.

Pengobatan dengan vitamin D meningkatkan produksi hCAP18 pada


keratinosit manusia in vitro dengan mengikat elemen vitamin D-responsif dalam
promotor gen hCAP18. Pengamatan ini menyiratkan bahwa vitamin D sebenarnya
terkait dengan regenerasi kulit.
Gangguan penyembuhan luka ulcer kronis adalah masalah klinis, dan terlepas
dari penyebab yang mendasari, ulcer tersebut ditandai dengan peradangan kronis
(Bollag, 2007). Peradangan persisten menciptakan lingkungan dengan tingkat
tinggi protease dan sitokin. Selain itu, ada ketidakseimbangan dalam enzim
proteolitik dan inhibitor endogennya (Gniadecki, 1996). Semua faktor ini
menghambat penyembuhan luka (Peters et al., 2009).

12
DAFTAR PUSTAKA

Avery, J.K. dan Chiego, D.J. 2006. Essentials of Oral Histology And Embryology., A
Clinical Aproach. 3 ed. By Mosby, Inc. Hal 177-183
Balogh, M.B. Fehrenbach, M.J. 2006. Dental Embryology, Histology, and Anatomy.
Second Edition. Certified Medical Illustrator, AMI. Oak Park, Illinois. Hal 105-114.
Berer A, Sto¨ckl J, Majdic O, Wagner T, Kollars M, Lechner K, et al. 1,25-
Dihydroxyvitamin D3 inhibits dendritic cell differentiation and maturation in vitro.
Exp Hematol 2000;28(5):575–83.
Burgess, C. (2008). Topical vitamins. Journal of drugs in dermatology: JDD, 7(7 Suppl),
s2-6.
Cantorna MT, Zhu Y, Froicu M, Wittke A. Vitamin D status, 1,25-dihydroxyvitamin D3,
and the immune system. Am J Clin Nutr 2004;80(6):1717S–20S.
Cawson RA, Odell EW, Porter S. 2005, Cawson’s essentials of oral pathology and oral
medicine. 7th ed. New York: Churchill living stone;. p. 192-3.
Cawson, R.A. ; E.W. Odell. 2002. Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine. 7th ed.
Churchill Livingstone : Edinburg.
Chakhtoura M, Azar ST. The role of vitamin D deficiency in the incidence, progression,
and complications of type 1 diabetes mellitus. Int J Endocrinol 2013;2013.
D’Ambrosio D, Cippitelli M, Cocciolo MG, Mazzeo D, Di Lucia P, Lang R, et al. Inhibition
of IL-12 production by 1,25- dihydroxyvitamin D3. Involvement of NF-kappaB
downregulation in transcriptional repression of the p40 gene. J Clin Invest
1998;101(1):252.
Do JE, Kwon SY, Park S, Lee E-S. Effects of vitamin D on expression of Toll-like receptors
of monocytes from patients with Behcet’s disease. Rheumatology 2008;47(6):840–
8
Femiano, Felice MD, PhD, Alessandro Lanza, DD, Curzio Buonaiuto, MD, Fernando
Gombos, MD, Monica Nunziata, DD, Silvia Piccolo, DD, and Nicola Cirillo, DD.
2007. Guidelines for diagnosis and management of aphthous stomatitis. Pediatr Infect
Dis J 26(8) :728-32.
Griffin MD, Lutz WH, Phan VA, Bachman LA, McKean DJ, Kumar R. Potent inhibition
of dendritic cell differentiation and maturation by vitamin D analogs. Biochem
Biophys Res Commun 2000;270(3):701–8.
Griffin MD, Xing N, Kumar R. Vitamin D and its analogs as regulators of immune
activation and antigen presentation. Annu Rev Nutr 2003;23(1):117–45.
Haisraeli-Shalish, M., Livneh, A., Katz, J., Doolman, R., & Sela, B. A. (1996). Recurrent
aphthous stomatitis and thiamine deficiency. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral
Pathology, Oral Radiology, and Endodontology, 82(6), 634-636.
Hayes C, Nashold F, Spach K, Pedersen L. The immunological functions of the vitamin D
endocrine system. Cell Mol Biol (ParisWegmann) 2003;49(2):277–300.
Hernawati, Sri. 2013. Mekanisme selular dan molekular stres terhadap terjadinya rekuren
aptosa stomatitis. Jurnal PDGI Vol. 62, No. 1, Hal. 37- 40.
Hudson, Jillian. 2014. Recurrent Aphthous Stomatitis: Diagnosis and Management in
Primary Care. Patient-Centered Res Rev 1:197-200.
Hyppo¨nen E, La¨a¨ra¨ E, Reunanen A, Ja¨rvelin M-R, Virtanen SM. Intake of vitamin D
and risk of type 1 diabetes: a birth-cohort study. Lancet 2001;358(9292):1500–3.

13
Jurge, S Kuffer R, Scully C, Porter SR. 2006. Mucosal Disease Series : Reccurent
Aphthous Stomatitis 12(4) : 1-21
Lewis, Michael A.O., and Jordan, Richard C.K.2012. A Color Handbook of Oral Medicine.
Ed. 2ndISBN : 1-58890-274-9. Sevent Avenue. USA : New York
Liu, H. L., & Chiu, S. C. (2015). The Effectiveness of Vitamin B12 for Relieving Pain in
Aphthous Ulcers: A Randomized, Double-blind, Placebo-controlled Trial. Pain
Management Nursing, 16(3), 182-187.
Mazdeh M, Seifirad S, Kazemi N, Seifrabie MA, Dehghan A, Abbasi H. Comparison of
vitamin D3 serum levels in new diagnosed patients with multiple sclerosis versus
their healthy relatives. Acta Med Iran 2013;51(5):289–92.
Mochizuki, S., Takano, M., Sugano, N., Ohtsu, M., Tsunoda, K., Koshi, R., & Yoshinuma,
N. (2016). The effect of B vitamin supplementation on wound healing in type 2
diabetic mice. Journal of clinical biochemistry and nutrition, 58(1), 64-68. Mouli V,
Ananthakrishnan A. Review article: vitamin D and inflammatory bowel diseases.
Aliment Pharmacol Ther 2014;39(2):125–36.
Mouli V, Ananthakrishnan A. Review article: vitamin D and inflammatory bowel diseases.
Aliment Pharmacol Ther 2014;39(2):125–36.
Nanci, A., 2008, Ten cate’s oral histology development, structure, and function.
Philadelphia: Elsevier.
Penna G, Adorini L. 1a,25-Dihydroxyvitamin D3 inhibits differentiation, maturation,
activation, and survival of dendritic cells leading to impaired alloreactive T cell
activation. J Immunol 2000;164(5):2405–11.
Rigby W, Waugh M, Graziano R. Regulation of human monocyte HLA-DR and CD4
antigen expression, and antigen presentation by 1,25-dihydroxyvitamin D3. Blood
1990;76(1):189–97.
Scully, C. 2006. Clinical Practise. Aphthous Ulceration. N Engl J Med 355(2): 165-172.
Tarakji B, Gazal G, Al-Maweri SA, Azzeghaiby SN, AlAizari NA. Guideline for the
Diagnosis and Treatment of Recurrent Aphthous Stomatitis for Dental Practitioners.
JInt Oral Health 2015;7(5):74-80.
Wray, D. Lowe, G.D.O. Dagg, J.H. Felix, D.H dan Scully, C. 2003.Oral Ulceration,
Textbook of General and Oral Medicine, Churchill Livingstone. Hal. 225 – 227
Bollag WB. Differentiation of human keratinocytes requires the vitamin d receptor and its
coactivators. J Invest Dermatol. 2007;127(4):748-50.
Gniadecki R. Stimulation versus inhibition of keratinocyte growth by 1,25-
Dihydroxyvitamin D3: dependence on cell culture conditions. J Invest Dermatol.
1996;106(3):510-6.
Peters BS, dos Santos LC, Fisberg M, Wood RJ, Martini LA. Prevalence of vitamin D
insufficiency in Brazilian adolescents. Ann Nutr Metab. 2009;54(1):15-21.

14

Anda mungkin juga menyukai