Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN
Penggunaan terapeutik antimikroba bertujuan membasmi mikroba penyebab
infeksi. Antimikroba digunakan untuk mengobati penyakit infeksi dengan gejala
berat, telah berlangsung untuk beberapa waktu lamanya, lebih dari beberapa hari dan
dapat menimbulkan akibat cukup berat. Sedang untuk penyakit infeksi dengan gejala
klinik ringan, tidak perlu segera mendapatkan antimikroba karena menunda
pemberian antimikroba justru akan memberi kesempatan merangsang mekanisme
kekebalan tubuh. Sebagian besar infeksi yang terjadi pada hospes dapat sembuh
dengan sendirinya tanpa memerlukan antimikroba (Anonim, 2007).
Pemilihan antibiotik merupakan suatu kunci penting dalam pengobatan kasus-
kasus infeksi. Masalah global yang saat ini dihadapi adalah tingginya angka
penggunaan antibiotik yang tidak tepat indikasinya. Beragam penyebab yang
menyebabkan penyalahgunaan antibiotik. Sebelum pemberian antimikroba dimulai,
selalu harus dipertanyakan lebih dulu apakah ada kerasionalan penggunaan antibiotik
yang menyangkut obat yang akan digunakan, dosis, frekuensi, cara, dan lama
pemberian. Pemilihan antimikroba ditentukan oleh keadaan klinis pasien, kuman
yang berperan dan sifat antibiotik itu sendiri. Dampak pada pengobatan adalah
terjadinya resistensi antibiotik. Dengan penggunaan antibiotik secara rasional akan
memberikan optimalisasi terapi antibiotik ini sehingga memberikan hasil yang
optimal juga. (Zulkifli, 2014 ; Anonim, 1999).
Konsekuensi yang tidak terhindarkan akibat meluasnya penggunaan senyawa
antibiotika adalah timbulnya patogen yang resisten antibiotika, dan peningkatan efek
samping (Goodman, Gilmann, 2008). Berdasarkan survey penggunaan antibiotika di
beberapa rumah sakit dan Puskesmas, banyak dijumpai adanya penggunaan obat yang
tidak rasional seperti : penggunaan dalam dosis yang kurang, cara pemakaian, waktu
dan lama pemberian antibiotika yang tidak memadai (Setiabudy, et all., 1995).
Penggunaan obat secara rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai
kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode
waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh kebanyakan masyarakat.
(Depkes RI, 2008)
II. PRINSIP KERJA ANTIBIOTIK
Dalam penggunaan antibiotik pada kasus infeksi maka terdapat tiga aspek yang
saling berkaitan, yaitu aspek antibiotik, kuman dan host. Penggunaan antimikroba
secara prinsip berbeda dengan obat pada umumnya oleh karena target antimikroba
adalah sel kuman sedangkan obat lain adalah sel host. Dalam penggunaannya,
antibiotik diharapkan mampu mencapai lokasi infeksi dengan kadar yang cukup
(melebihi kadar hambat minimal/KHM), masuk/penetrasi ke dalam sel bakteri dan
bekerja mengganggu proses metabolisme bakteri sehingga bakteri tersebut menjadi
tidak aktif atau mati; namun efek toksik pada sel host diharapkan seminimal mungkin
(Pohan, 2005).
Keberhasilan pengobatan antibiotik dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor. Selain
jenis antibiotik dan spektrum antimikroba, aspek farmako-logis yaitu farmakokinetik
dan farmakodinamik merupakan faktor yang sangat penting. Aspek farmakokinetik
mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Sedangkan aspek
farmakodinamik mencakup sifat bakteriostatik/bakterisid, timedependent/
concentration dependent dan post-antibiotic effect (PAE) antibiotic (Pohan, 2005).
a. Aspek Farmakologi (Pohan, 2005).
 Farmakokinetik
Farmakokinetik merupakan aspek yang menjelaskan mengenai perjalanan
dan apa yang terjadi pada obat saat berada di dalam tubuh. Di antaranya
termasuk absorpsi, distribusi, metabolism dan ekskresi. Proses absorpsi
umumnya dikaitkan dengan penyerapan obat di saluran cerna pada pemberian
oral. Setelah mencapai kadar puncak dalam darah, konsentrasi obat akan
menurun secara cepat dalam fase yang disebut dengan fase alfa (α). Pada fase
selanjutnya yaitu fase beta (β) maka konsentrasi antibiotik akan menurun
secara perlahan dan stabil. Pada fase beta ini yang menentukan waktu paruh
(t1/2) dari suatu antibiotik. Pada proses absorpsi ini, tidak semua obat akan
mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh/aktif, dan jumlah persentase
obat yang mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh atau aktif disebut
bioavailabilitas. Sedangkan kesetaraan jumlah obat dalam sediaan dengan
kadar obat dalam darah atau jaringan disebut bioekuivalensi.
Setelah diabsorpsi, obat akan berkaitan dengan albumin sebagai protein
dominan dalam serum dan kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh melalui
sirkulasi darah. Persentase antibiotik yang terikat secara reversibel terhadap
albumin serum digambarkan dengan istilah protein binding. Obat kemudian
akan melepaskan diri dari ikatannya dengan albumin, dan menembus beberapa
membran sel sesuai dengan gradien konsentrasi dan mencapai tempat infeksi
lalu berikatan de-ngan protein jaringan. Distribusi obat antara lain dipengaruhi
oleh aliran darah, pH, protein bin-ding, dan volume distribusi.
Pasca distribusi obat, obat kemudian akan mengalami metabolisme oleh
berbagai enzim dan yang terpenting di antaranya adalah enzim sitokrom P450,
sehingga pemberian obatobatan yang dapat meningkatkan atau menghambat
kerja enzim ini dapat mempengaruhi aktivitas antibiotik.
Obat yang dalam keadaan aktif akan ditingkatkan kelarutannya sehingga
lebih mudah diekskresikan, dan umumnya obat menjadi inaktif. Sedangkan
untuk obat dalam bentuk prodrug, enzim akan mengaktivasi obat tersebut
menjadi bentuk yang aktif.
Antibiotik umumnya dieliminasi melalui ginjal dan diekskresikan melalui
urin dalam bentuk metabolit aktif dan inaktif. Antibiotik juga dapat
dieliminasi melalui empedu dan diekskresikanke dalam usus. Dari dalam usus
sebagian obat akan dibuang melalui feses, dan sebagian akan kembali diserap
dan dibuang melalui ginjal. Sebagian kecil obat juga diekskresikan melalui
keringat, liur, air mata, dan air susu.
 Farmakodinamik
Farmakodinamik menggambarkan efek kerja suatu obat. Secara umum,
aktivitas antibiotic dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bakteriostatik
(menghambat pertumbuhan mikroba) dan bakterisidal (membunuh mikroba).
Contoh antibiotik yang bersifat bakterisidal antara lain aminoglycoside, beta-
lactam, metronidazole, kuinolon, rifampicin, pirazinamide, vancomycin,
isoniazide, dan bacitracin. Sedangkan antibiotic yang memiliki sifat
bakteriostatik antara lain chloramphenicol, clindamycin, ethambutol,
macrolide, sulfonamide, tetracycline dan trimethoprim. Namun sifat
bakteriostatik dan bakterisid dari antimikroba tidak mutlak karena antibiotic
dengan sifat bakteriostatik dapat pula bersifat bakterisid bila kadarnya
ditingkatkan.
Kadar antibiotik minimal yang diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan atau membunuh mikroba dikenal dengan istilah kadar hambat
minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Fungsi antibiotik terhadap
KHM dapat dibagi menjadi fungsi terhadap konsentrasinya (concentration
dependent) dan terhadap waktu (time dependent). Pada antibiotik golongan
concentration dependent maka semakin tinggi kadar obat dalam darah maka
semakin tinggi pula daya kerjanya sehingga kecepatan dan efektivitas
kerjanya dapat ditingkatkan dengan menaikkan kadar obat dalam darah hingga
jauh di atas KHM. Sedangkan pada antibiotik jenis time dependent, selama
kadarnya dapat dipertahankan sedikit di atas KHM sepanjang masa kerjanya,
kecepatan dan efektivitas kerja obat tersebut akan mencapai nilai maksimal.
Contoh antibiotic golongan concentration dependent adalah quionolone dan
aminoglycoside, sedangkan contoh antibiotik golongan time dependent adalah
beta-lactam.
Beberapa golongan antibiotik masih dapat menunjukkan aktifitas dalam
menghambat pertumbuhan mikroorganisme meskipun kadarnya lebih rendah
dari KHM. Fenomena ini disebut post-antibiotic effect. Efek ini dipengaruhi
oleh jenis antibiotik dan mikrooragnismenya sendiri, contohnya quionolone
dan aminoglycoside yang memiliki post-antibiotic effect yang memiliki post-
antibiotic effect yang cukup lama terhadap kuman gram negatif.
 Cara Kerja Antibiotik
Antibiotik memiliki cara kerja yang berbedabeda dalam membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Klasifikasi berbagai antibiotik
dibuat berdasarkan mekanisme kerja tersebut, yaitu :
1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Contohnya
adalah penicilin, cephalosporin, carbapenem, monobactam dan vancomycin.
2. Antibiotik yang bekerja dengan merusak membrane sel mikroorganisme.
Antibitoik golongan ini merusak permeabilitas membran sel sehingga terjadi
kebocoran bahan-bahan dari intrasel. Contohnya adalah polymyxin.
3. Antibiotik yang menghambat sintesis protein mikroorganisme dengan
mempengaruhi subunit ribosom 30S dan 50S. Antibiotik ini menyebabkan
terjadinya hambatan dalam sintesis protein secara reversibel. Contohnya
adalah chloramphenicol yang bersifat bakterisidal terhadap mikroorganisme
lainnya, serta macrolide, tetracycline dan clindamycine yang bersifat
bakteriostatik.
4. Antibiotik yang mengikat subunit ribosom 30S. Antibiotik ini
menghambat sintesis protein dan mengakibatkan kematian sel. Contohnya
adalah aminoglycoside yang bersifat bakterisidal. 5. Antibiotik yang
menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba. Contohnya adalah rifampicin
yang menghambat sintesis RNA polimerase dan kuinolon yang menghambat
topoisomerase. Keduanya bersifat bakterisidal.
6. Antibiotik yang menghambat enzim yang berperan dalam metabolisme
folat. Contohnya adalah trimethoprime dan sulfonamide. Keduanya bersifat
bakteriostatik.

 Kombinasi Antibiotik .(Nelwan, 2010)


Kombinasi antimikroba digunakan pada infeksi berat yang belum
diketahui dengan jelas kumankuman penyebabnya. Dalam hal ini pemberian
kombinasi antimikroba ditujukan untuk mencapai spektrum antimikrobial
yang seluas mungkin. Selain itu, kombinasi antimikroba juga digunakan untuk
mencapai efek sinergistik dan juga untuk menghambat timbulnya resistensi
terhadap obat-obatan antimikroba yang digunakan

 Efek Samping Antibiotik (Nelwan, 2010)


Efek samping dapat berupa efek toksik, alergi, atau biologis. Efek
samping seperti paralisis respiratorik dapat terjadi setelah instilasi neomicin,
gentamicin, tobramycin, streptomycin atau amikacin secara intraperitoneal
atau intrapleural. Erithromycin estolac sering menyebabkan hepatitis
kolestatik. Antibiotik seperti rifampicin, cotrimoxazole dan isoniazide
potensial hematotoksik dan hepatotoksik. Pemakaian chloramphenicol yang
melampaui batas keamanan akan menekan fungsi sumsum tulang dan
berakibat anemia dan neutropenia. Anemia aplastik secara eksplisit
merupakan efek samping yang dapat mengakibatkan kematian pasien setelah
pemakaian chloramphenicol.
Efek samping alergi terutama disebabkan oleh penggunaan penicilin dan
cephalosporin. Keadaan yang paling jarang adalah kejadian syok anafilaktik.
Kejadian yang lebih sering timbul adalah ruam dan urtikaria. Efek samping
biologis disebabkan karena pengaruh antibiotik terhadap flora normal di kulit
maupun di selaputselaput lendir tubuh. Biasanya terjadi pada penggunaan
obat antimikroba berspektrum luas.
Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan penyebaran dari jenis
kuman Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Enterokolitis
yang berat dan yang membutuhkan pengobatan intensif dapat juga
disebabkan oleh penggunaan antibiotik seperti clindamycin, tetracycline dan
obat antibiotik berspektrum luas lainnya

b. Aspek Mikrobiologi Kuman (Pohan, 2005).


Jenis kuman patogen hendaknya diidentifikasi sebelum dimulainya terapi.
Pemeriksaan biakan dan resistensi sebaiknya dilakukan sebelum pemberian terapi,
namun karena hasilnya membutuhkan waktu lama maka terapi empirik dapat
diberikan dengan panduan pemeriksaan yang lebih sederhana seperti pewarnaan
gram.
Dalam pemilihan antibiotik untuk terapi empirik, data mikrobiologi
khususnya mengenai pola kepekaan kuman dan data patogen resisten di rumah
sakit setempat merupakan hal yang sangat penting. Pola kepekaan kuman yang
berasal dari komunitas atau kuman nosocomial terhadap tiap jenis antibiotik
merupakan panduan untuk menentukan antibiotic yang akan diberikan dalam
terapi empirik. Semakin luas cakupan suatu antibiotik terhadap patogen akan
meningkatkan probabilitas keberhasilan pengobatan.
Selain data mengenai pola kepekaan, data surveilans patogen resisten baik
yang berasal
dari komunitas (misalnya penicillin resistance S.pneumoniae/PRSP) atau
kuman nosocomial (methicillin resistance S.aureus/MRSA), extended spectrum
beta-lactamase/ESBL juga merupakan pertimbangan dalam menentukan pilihan
antibiotik.

c. Aspek Pasien
Beberapa aspek dari penderita perlu diperhatikan dalam pemberian
antibiotik, antara lain derajat infeksi, tempat infeksi, usia, berat badan, faktor
genetik, penyakit komorbid, status imunitas, adanya kehamilan atau laktasi,
riwayat alergi dan faktor sosio ekonomi.
Dari segi derajat infeksi pada penderita, perlu diperhatikan berat ringannya
infeksi dari gejala klinik, jenis dan patogenitas mikroba, serta status imunitas
penderita. Pada infeksi ringan,
pemberian antibiotik tidak perlu diberikan seketika. Penundaan pemberian
antibiotik justru akan memberikan kesempatan kepada tubuh untuk merangsang
timbulnya mekanisme kekebalan tubuh. Namun pada infeksi yang berat dan atau
telah berlangsung lama, terapi antibiotik dapat segera dimulai.
Tempat infeksi juga mempengaruhi pertimbangan pemberian antibiotik
seperti organ yang memiliki vaskularisasi sedikit seperti tulang, atau organ yang
memiliki sawar khusus seperti susunan saraf pusat. Pada organ tersebut,
pemberian antibiotik harus meliputi antibiotic yang dapat menembus lapisan
tersebut sehingga obat dapat bekerja secara efektif. Selain itu adanya abses,
jaringan nekrotik, mucus yang banyak, benda asing, dan sebagainya juga dapat
mengurangi efektifitas kerja antibiotic sehingga diperlukan tindakan seperti
pembersihan luka insisi dan sebagainya sebelum antibiotic diberikan.
Usia juga mempengaruhi pertimbangan dalam pemberian antibiotik. Pada
neonatus karena
kerja berbagai organ seperti hepar dan ginjal yang belum sempurna akan
meningkatkan risiko terjadinya toksisitas dari obat. Demikian pula pada usia
lanjut dengan adanya penurunan berbagai fungsi organ karena proses penuaan.
Adanya penyakit komorbid seperti kelainan hati atau ginjal juga harus
diperhatikan karena dapat menurunkan efektifitas obat dan memperberat efek
toksisitas. Selain itu, kelainan genetic seperti defisiensi enzim Glucose-6-
Phospate Dehydrogenase (G6PD) juga dapat menimbulkan anemia hemolitik
pada pemberian antibiotic tertentu seperti chloramphenicol dan sulfonamide.
Status imunitas baik imunitas selular maupun humoral pada penderita harus
menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis antibiotik. Pada penderita yang
imunokompeten, antibiotik
dengan efek bakteriostatik mungkin cukup efektif untuk mengendalikan
infeksi tertentu, sedangkan pada pasien dengan penurunan status imun, pada
infeksi yang sama mungkin diperlukan antibiotik dengan efek bakterisidal untuk
mengatasinya.
Adanya kehamilan dan laktasi akan mempengaruhi pemilihan antibiotik
karena beberapa antibiotik dapat menembus sawar darah plasenta dan masuk ke
peredaran darah janin
serta menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti efek teratogenik dan
sebagainya. Ibu hamil juga pada umumnya lebih peka terhadap pengaruh obat
obat tertentu, termasuk antibiotik. Demikian pula dengan laktasi, karena beberapa
antibiotik juga dapat ditemukan dalam air susu. Untuk itu, pertimbangan baik
untuk ibu maupun janin harus diperhatikan untuk menghindari efek yang tidak
diinginkan.
Dalam pertimbangan biaya, selain harga obat harus pula diperhatikan lama
dan interval pemberian obat, sehubungan dengan jumlah obat yang diperlukan.
Biaya pengobatan tersebut merupakan salah satu aspek sosioekonomi dari suatu
penyakit.
d. Pola Pemberian Antibiotik

Berdasarkan ketiga aspek tersebut maka antibiotic dapat diberikan


berdasarkan beberapa pola tertentu, antara lain : direktif, kalkulatif, interventif,
omnisprektif dan profilaktif. Pada terapi antibiotik direktif, kuman penyebab
infeksi sudah diketahui dan kepekaan terhadap antibiotic sudah ditentukan,
sehingga dapat dipilih obat antibiotik efektif dengan spektrum sempit. Kesulitan
yang akan dihadapi adalah tersedianya fasilitas pemeriksaan mikrobiologis yang
cepat dan tepat. Terapi antibiotik kalkulatif memberikan obat secara best guess.
Dalam hal ini, pemilihan harus didasarkan pada antibiotik yang diduga akan
ampuh terhadap mikroba yang sedang menyebabkan infeksi pada jaringan atau
organ yang dikeluhkan. Penilaian keadaan klinis yang tepat dan kemungkinan
kuman penyebab sangat penting dalam penerapan terapi antibiotik kalkulatif.
Pada infeksi tertentu metoda penggunaan antibiotik harus selalu
berpedoman pada sebuah protocol pemberian antibiotik dan dapat menambah
kelompok obat antibiotik lainnya. Bila respon yang didapat tidak memuaskan,
maka protokol-protokol ini akan menyesuaikan dengan perkembangan dan
pengalaman terkini tentang penggunaan berbagai jenis antibiotik baru. Cara
pengobatan ini dikenal sebagai terapi antimikrobial interventif.
Terapi antibiotik omnispektrif diberikan bila hendak dijangkau spektrum
antibiotik seluas-luasnya dan dapat diberikan secara empirik. Beberapa keadaan
yang membutuhkan terapi ini yaitu infeksi pada leukemia, luka bakar, peritonitis
dan syok septik. Sebagai terapi profilaksis, obat antibiotic dapat digunakan untuk
mencegah infeksi baru pada seseorang atau untuk mencegah kekambuhan dan
terutama digunakan untuk mencegah komplikasikomplikasi serius pada waktu
dilakukan tindakan pembedahan

III. KRITERIA PENGGUNAAN OBAT RASIONAL

WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia
diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien
menggunakan obat secara tidak tepat. Kriteria rasionalitas penggunaan obat menurut
kemenkes 2011 yaitu tepat indikasi penyakit, tepat pemilihan obat, tepat interval
waktu pemberian,tepat dosis, tepat lama pemberian, dan tepat penilaian kondisi
pasien dengan menggunakan standar acuan. (Kemenkes, 2011)
Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:
a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika
diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa
mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga
tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
b. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifi k. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
c. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan
dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi
sesuai dengan spektrum penyakit.
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat.
Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang
terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya
dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang
diharapkan.
e. Tepat Cara Pemberian
Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik
tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga
menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.
f. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar
mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang
harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum
dengan interval setiap 8 jam.
g. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masingmasing. Untuk
Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama
pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat
yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh
terhadap hasil pengobatan.
f. Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan
yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka merah
setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan
vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan
pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan
tulang yang sedang tumbuh.
h. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat
pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita
dengan kelainan ginjal, resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini
meningkat secara bermakna. Beberapa kondisi berikut harus dipertimbangkan
sebelum memutuskan pemberian obat.
- β-bloker (misalnya propranolol) hendaknya tidak diberikan pada penderita
hipertensi yang memiliki riwayat asma, karena obat ini memberi efek
bronkhospasme.
- Antiinfl amasi Non Steroid (AINS) sebaiknya juga dihindari pada penderita
asma, karena obat golongan ini terbukti dapat mencetuskan serangan asma.
- Peresepan beberapa jenis obat seperti simetidin, klorpropamid, aminoglikosida
dan allopurinol pada usia lanjut hendaknya ekstra hati-hati, karena waktu paruh
obatobat tersebut memanjang secara bermakna, sehingga resiko efek toksiknya
juga meningkat pada pemberian secara berulang.
- Peresepan kuinolon (misalnya siprofloksasin dan ofloksasin), tetrasiklin,
doksisiklin, dan metronidazol pada ibu hamil sama sekali harus dihindari, karena
memberi efek buruk pada janin yang dikandung.
i. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia
setiap saat dengan harga yang terjangkau Untuk efektif dan aman serta terjangkau,
digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat
esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan
harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu,
obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan
Obat yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia
harus dan telah menerapkan CPOB.
j. Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapi
k. Tepat tindak lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya
tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami
efek samping. Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering memberikan gejala
takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja
obatnya diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafi laksis,
pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika pada
pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yang
diharapkan.
l. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan
pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat
penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang
dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien.
Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien
mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas
harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.
m. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan,
ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
- Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
- Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
- Jenis sediaan obat terlalu beragam
- Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
- Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara
minum/menggunakan obat
- Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek
ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin ) tanpa diberikan
penjelasan terlebih dahulu.

IV. DAFTAR PUSTAKA


Anonim.1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Balai Penerbit FKUI.Jakarta.
Anonim. 2007. Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia. Gaya Baru. Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008, Materi pelatihan Peningkatan
Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan,
Direktorat Bina Penggunaan Obat Tradisional Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Goodman& Gilmann, 2008. Dasar Farmakologi Terapi. Edisi 10, Penerbit Buku
Kedokteran EGC , Jakarta
Kementrian Kesehatan RI., 2011, Modul Penggunaan Obat Rasional, Kemenkes RI,
Jakarta
Nelwan RHH. Pemakaian Antimikroba Secara Rasional Di Klinik. Dalam : Sudoyo
AW et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing.
Cetakan kedua 2010:2896-2900.
Pohan HT. Dasar-dasar Pemilihan Antibiotik pada Infeksi Komunitas. Dalam : Setiati
et al. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia 2005:50-55.
Setiabudy,S.G., Suyana, F.D., Purwatyastuti., 1995. Farmakologi dan Terapi, Edisi
4,Penerbit Ganiswara, Jakarta.
Zulkifli L., 2014, Pemilihan Antibiotik Yang Rasional, Medical Review Medicinus.
Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai