PEMBAHASAN
Berbahasa Indonesia yang baik adalah berbahasa Indonesia yang sesuai dengan tempat
tempat terjadinya kontak berbahasa, sesuai dengan siapa lawan bicara, dan sesuai dengan topic
pembicaraan. Bahasa Indonesia yang baik tidak selalu perlu beragam baku. Yang perlu
diperhatikan dalam berbahasa Indonesia yang baik adalah pemanfaatan ragam yang tepat dan
serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa. Orang yang mahir menggunakan
bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apa pun jenisnya itu, dianggap
berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur
dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang harus
mengenai sasarannya tidak selalu perlu bergam baik (Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia,
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1988, halaman 19). Jadi jika kita berbahasa benar
belum tentu baik untuk mencapai sasarannya, begitu juga sebaliknya, jika kita berbahasa baik
belum tentu harus benar, kata benar dalam hal ini mengacu kepada bahasa baku. Contohnya jika
kita melarang seorang anak kecil naik ke atas meja, “Hayo adek, nggak boleh naik meja, nanti
jatuh!” Akan terdengar lucu jika kita menggunakan bahasa baku, “Adik tidak boleh naik ke atas
meja, karena nanti engkau bisa jatuh!”. Pemakaian bahasa Indonesia yang baik perlu
memperhatikan pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya .(Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, halaman 20).
Kalo kita cermati kutipan-kutipan di atas tentang apa itu bahasa Indonesia yang baik, erat
sekali hubungannya dengan ragam bahasa. Berarti untuk lebih memahaminya kita juga perlu
tahu apa saja ragam bahasa yang ada di dalam bahasa Indonesia. Sepertinya perlu pembahasan
tersendiri mengenai hal itu. Jadi yang penting dalam masalah “yang baik dan benar” kali ini
adalah kita tetap berbahasa sesuai keadaan, situasi, dengan siapa kita berbicara, dan untuk tujuan
apa kita berbahasa.
Penggunaan bahasa dengan baik menekankan aspek komunikatif bahasa. Hal itu berarti
bahwa kita harus memperhatikan sasaran bahasa kita. Kita harus memperhatikan kepada siapa
kita akan menyampaikan bahasa kita. Oleh sebab itu, unsur umur, pendidikan, agama, status
sosial, lingkungan sosial, dan sudut pandang khalayak sasaran kita tidak boleh kita abaikan. Cara
kita berbahasa kepada anak kecil dengan cara kita berbahasa kepada orang dewasa tentu berbeda.
Penggunaan bahasa untuk lingkungan yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah tentu
tidak dapat disamakan. Kita tidak dapat menyampaikan pengertian mengenai jembatan,
misalnya, dengan bahasa yang sama kepada seorang anak SD dan kepada orang dewasa. Selain
umur yang berbeda, daya serap seorang anak dengan orang dewasa tentu saja berbeda. Lebih
lanjut lagi, karena berkaitan dengan aspek komunikasi, maka unsur-unsur komunikasi menjadi
penting, yakni pengirim pesan, isi pesan, media penyampaian pesan, dan penerima pesan.
Mengirim pesan adalah orang yang akan menyampaikan suatu gagasan kepada penerima pesan,
yaitu pendengar atau pembacanya, bergantung pada media yang digunakannya. Jika pengirim
pesan menggunakan telepon, media yang digunakan adalah media lisan. Jika ia menggunakan
surat, media yang digunakan adalah media tulis. Isi pesan adalah gagasan yang ingin
disampaikan kepada penerima pesan.
Marilah kita gunakan contoh sebuah majalah atau buku. Pengirim pesan dapat berupa
penulis artikel atau penulis cerita, baik komik, dongeng, atau narasi. Isi pesan adalah
permasalahan atau cerita yang ingin disampaikan atau dijelaskan. Media pesan merupakan
majalah, komik, atau buku cerita. Semua bentuk tertulis itu disampaikan kepada pembaca yang
dituju. Cara artikel atau cerita itu disampaikan tentu disesuaikan dengan pembaca yang dituju.
Berarti, dalam pembuatan tulisan itu akan diperhatikan jenis permasalahan, jenis cerita, dan
kepada siapa tulisan atau cerita itu ditujukan.
Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar harus dalam kehidupan sehari-hari
harus sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya dalam situasi nonformal
seperti di warung, di pasar, di rumah dan lain- lain hendaknya menggunakan bahasa Indonesia
yang tidak terlalu terikat. Contohnya, “ Berapa nih, Bu, ikannya ? “.
Sedangkan pada situasi formal seperti kuliah, seminar, rapat dan lain- lain, menggunakan
bahasa Indonesia yang resmi dan formal serta memperhatikan kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku, seperti kaidah ejaan, kaidah pembentukan kata, kaidah penyusunan kalimat dan kaidah
penataan penalaran. Jika kaidah – kaidah bahasa kurang ditaati, maka pemakaian bahasa
Indonesia tersebut tidak benar atau tidak baku. Jadi, berbahasa Indonesia yang baik dan benar
adalah pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan juga mengikuti kaidah
bahasa yang benar. Agar penggunaan bahasa Indonesia dapat digunakan dalam berkomunikasi di
lingkungan masyarakat, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain sebagai berikut :
1. Isi atau makna, yaitu berhubungan dengan pikiran, gagasan atau perasaan yang disampaikan
2. Keadaan pemakaian bahasa, yaitu yang berhubungan dengan suasana tempat, atau waktu
bahasa
3. Khalayak/sasaran, yaitu yang berkenaan dengan usia, kelamin, pendidikan, pekerjaan dan
kedudukan
4. Sarana saluran yang digunakan, umpamanya melalui telepon, radio, televisi
5. Cara berhubungan langsung atau tidak langsung, misalnya melalui forum rapat, televisi, radio,
dan surat
Untuk itu ada baiknya kita tetap harus selalu berbahasa Indonesia yang baik dan benar yang
berarti pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan di samping itu mengikuti
kaidah bahasa yang benar. Ungkapan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebaliknya mengacu
ke ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran.
Selain itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat kita menggunakan bahasa
Indonesia yaitu :
1. Tata bunyi (fonologi), fonologi pada umumnya dibagi atas dua bagian yang meliputi :
· Fonetik, adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai
dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap
manusia.
· Fonemik, adalah ilmu yang mempelajari bunyi atau ujaran yang dalam fungsinya sebagai
pembeda arti.
Kalau dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh alat ucap
serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik kita mempelajari dan
menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi-bunyi yang dapat mempunyi fungsi untuk
membedakan arti.
2. Tata bahasa (kalimat),
Masalah definisi atau batasan kalimat tidak perlu dipersoalkan karena sudah terlalu
banyak definisi kalimat yang telah dibicarakan oleh ahli bahasa. Yang lebih penting untuk
diperhatikan ialah apakah kalimat-kalimat yang klita hasilkan dapat memenuhi syarat sebagai
kalimat yang benar (gramatikal). Selain itu, apakah kita dapat mengenali kalimat-kalimat
gramatikal yang dihasilkan orang lain. Dengan kata lain, kita dituntut untuk memiliki wawasan
bahasa Indonesia dengan baik agar kita dapat menghasilkan kalimat-kalimat yang gramatikal
dalam komunikasi baik lisan maupun tulis, dan kita dapat mengenali kalimat-kalimat yang
dihasilkan orang lain apakah gramatikal atau tidak. Suatu pernyataan merupakan kalimat jika di
dalam pernyataan itu terdapat predikat dan subjek. Jika dituliskan, kalimat diawali dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda seru, atau tanda tanya. Pernyataan tersebut adalah
pengertian kalimat dilihat dari segi kalengkapan gramatikal kalimat ataupun makna untuk
kalimat yang dapat mandiri, kalimat yang tidak terikat pada unsure lain dalam pemakaian
bahasa. Dalam kenyataan pemakaian bahasa sehari-hari terutama ragam lisan terdapat tuturan
yang hanya terdiri dari atas unsur subjek saja, predikat saja, objek saja, atau keterangan saja.
3. Kosakata,
Dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, kita dituntut untuk memilih
dan menggunakan kosa kata bahasa yang benar. Kita harus bisa membedakan antara ragam
bahasa baku dan ragam bahasa tidak baku, baik tulis maupun lisan. Ragam bahasa dipengaruhi
oleh sikap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembaca (jika
dituliskan). Sikap itu antara lain resmi, akrab, dingin, dan santai. Perbedaan-perbedaan itu
tampak dalam pilihan kata dan penerapan kaidah tata bahasa. Sering pula raga mini disebut gaya.
Pada dasarnya setiap penutur bahasa mempunyai kemampuan memakai bermacam ragam bahasa
itu. Namun, keterampilan menggunakan bermacam ragam bahasa itu bukan merupakan warisan
melainkan diperoleh melalui proses belajar, baik melalui pelatihan maupun pengalaman.
Keterbatasan penguasaan ragam/gaya menimbulkan kesan bahwa penutur itu kurang luas
pergaulannya. Jika terdapat jarak antara penutur dengan kawan bicara (jika lisan) atau penulis
dengan pembaca (jika ditulis), akan digunakan ragam bahasa resmi atau apa yang dikenal bahasa
baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara, akan makin resmi dan berarti makin tinggi
tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya,
makin rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
4. Ejaan,
Dalam bahasa tulis kita menemukan adanya bermacam-macam tanda yang digunakan
untuk membedakan arti sekaligus sebagai pelukisan atas bahasa lisan. Segala macam tanda
tersebut untuk menggambarkan perhentian antara , perhentian akhir, tekanan, tanda Tanya dan
lain-lain. Tanda-tanda tersebut dinamakan tanda baca. Ejaan suatu bahasa tidak saja berkisar
pada persoalan bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran serta bagaimana menempatkan
tanda-tanda baca dan sebagainya, tetapi juga meliputi hal-hal seperti: bagaimana memotong-
motong suku kata, bagaimana menggabungkan kata-kata, baik dengan imbuhan-imbuhan
maupun antara kata dengan kata. Pemotongan itu harus berguna terutama bagaimana kita harus
memisahkan huruf-huruf itu pada akhir suatu baris, bila baris itu tidak memungkinkan kita
menuliskan seluruh kata di sana. Kecuali itu, penggunaan huruf kapital juga merupakan unsur
penting yang harus diperhatikan dalam penulisan dengan ejaan yang tepat. Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambing-lambang
bunyi-ujaran dan bagaimana inter-relasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya,
penggabungannya) dalam suatu bahasa disebut ejaan.
5. Makna,
Pemakaian bahasa yang benar bertalian dengan ketepatan menggunakan kata yang sesuai
dengan tuntutan makna. Misalnya, dalam bahasa ilmu tidak tepat digunakan kata-kata yang
bermakna konotatif (kata kiasan tidak tepat digunakan dalam ragam bahasa ilmu). Jadi,
pemakaian bahasa yang benar adalah pemakaian bahasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah
bahasa. Kriteria pemakaian bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahsa yang sesuai
dengan kebutuhan komunikasi. Pemilihan ini bertalian dengan topik apa yang dibicarakan,
tujuan pembicaraan, orang yang diajak berbicara (kalau lisan) atau orang yang akan membaca
(kalau tulis), dan tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik itu bernalar, dalam arti bahwa
bahasa yang kita gunakan logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat kita.
Kesalahan pengunaan bahasa Indonesia sehari hari pada kalangan remaja umum nya
menggunakan bahasa yang salah atau menyimpang. Dan sedikit sekali orang yang menggunakan
bahasa indonesia yang baku ata benar. Kesalahan ini di sebabkan oleh beberapa banyak faktor
diantara nya lingkungan, budaya (kebiasaan), pendidikan yang salah, mungkin juga masuknya
budaya asing dan mencampurnya dengan bahasa indonesia agar terihat menjadi mudah bagi yang
menciptakan nya. Lingkungan sangat mempengaruhi penggunaan bahasa sehari – hari kita, di
lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, lingkungan bermain, dan forum – forum lain nya,
banyak sekali pengucapan – pengucapan yang salah dan menjadi kebiasaan di kalangan remaja.
Biasanya saya sebagai anak remaja juga merasakan bagaimana penggunaan bahasa yang salah ini
sudah menjadi kebiasaan di dalam Kehidupan kita sehari – hari. Misalnya dengan
mencampurkan bahsa inggris dengan bahasa indonesia dan dicampurkan lagi dengan bahasa
betawi, contoh “gua lagi OTW nih, kamu dimana ?”. Menurut mereka, bila orang asing saja
melakukan hal ini, berarti hal ini sudah mendunia dan keren jika dilakukan.
Bisa dikatakan ini adalah faktor psikologi. Ada juga karena bahasa campur lebih mudah
diucapkan dan lebih familier. Tidak perlu belajar kusus untuk bisa berbahasa campur gaul
ini. Namun menurut saya pribadi yang pernah mengajar bahasaindonesia di ponpes ini, faktor
psikologilah yang paling mempengaruhi pencmpuran bahasa asing dengan bahasa Indonesia.
Banyak orang Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia dengan nyeleneh. Alasannya
bahasa adalah alat komunikasi jadi tidak perlu dipersulit bagaimana cara menggunakannya.
Padahal bahasa lebih dari sekedar alat komunikasi. Jauh dari itu Bahasa Indonesia adalah bahasa
persatuan. Oelh karna itu sikap bangga terhadap bahasa Indonesia harus ditumbuhkan di setiap
dada orang Indoensia. Namun kenyataan yang terjadi adalah banyak diantara Mereka
menggunakan bahasa Indonesia “asal orang mengerti”. Muncullah pemakaian bahasa Indonesia
sejenis bahasa prokem, bahasa plesetan, dan bahasa jenis lain yang tidak mendukung
perkembangan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bila begitu keadaanya bahwa
menggunakan bahasa cukup dengan asal nyambung dianggap sebagai sebuah kebenaran. Lalu
untuk apa di buat aturan bahasa baku (bahasa lisan) dan Ejaan Yang Disempurnakan (bahasa
tulis). Bukankah itu adalah hal yang mubazir jika tidak diaplikasikan dalam kehidupan sehari-
hari. Saya pikir saat ini sudah saatnya menggunakan bahasa berpedoman pada aturan seperti
halnya aturan bahasa baku maupun EYD.
Masalah yang tidak kalah besar yang dihadapi bahasa Indonesia saat ini adalah merebaknaya
penggunaan bahasa asing. Penggunaan bahasa asing yang cukup dominan di negeri ini
menyebabkan kita bertanya-tanya, apa kekurangan bahasa Indonesia sehingga kita harus
menggunakan bahasa asing dengan mentah-mentah. Penggunaan bahasa asing ini bukan hanya
pada bahasa tulis seperti yang banyak tertera pada nama-nama mal, perumahan, berbagai merk
produk, dan lain sebagainya. Namun juga penggunaan bahasa asing dalam berbahasa lisan. Kita
bisa melihat setiap hari ditelevisi banyak tokoh publik menggunakan bahasa asing. Hal ini tentu
sangat memprihatinkan. Tokoh publik adalah figur bagi masyarakat yang senantiasa menjadi
tiruan masyarakat. Kalau sudah begini lalu bagaimana?. Diperlukan kesadaran semua pihak
untuk untuk kembali menggunakan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa.
Dengan sedemikian kencangnya arus perubahan zaman. Pengguna bahasa Indonesia belum
sampai pada titik kesadaran menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seperti yang
dikatakankan oleh Sitor Situmorang bahwa orang Indonesia ’malas’ untuk mencari padanan kata
dan istilah asing, istilah yang ada diserap mentah-mentah. Hal ini ditegaskan lagi oleh
pernyataan Franz Magnis Suseno S.J., menurutnya salah satu faktor yang menyebabkan rata-rata
orang Indonesia buruk dalam berbahasa Indonesia adalah sifat malas berpikir untuk mencari
kata-kata yang tepat dan benar sesuai kaidah dalam bahasa Indonesia. Keadaan ini menyebabkan
bahasa Indonesia mengalami perkembangn yang tidak menggembirakan. Bila sikap ini tidak
segera diubah maka bukan tidak mungkin kedepannya bahasa Indonesia akan menjadi bahasa
pasaran yang tidak memiliki identitas.
Krisis berbahasa ini bukan timbul dengan sendirinya. Ada faktor-faktor yang menyebabkan sikaf
negatif berbahasa ini terjadi. Faktor-faktor itu antara lain ; 1) Era globalisasi yang tidak
terbendung yang menyebabkan bahasa terpengaruh secara global. Pengaruh global ini
menyebabkan bahasa kehilangan identitasnya yang orisinil sebagai produk budaya. 2)
Kemalasan berfikir sebagai sebuah karakter yang dihasilkan dari pengguna bahasa yang
menggunakan bahasa “asal nyambung”. 3) Tuntutan dunia kerja menjadi salah satu faktor yang
membuat pengguna bahasa Indonesia berlomba-lomba menguasai bahasa asing dan melupakan
bahasa sendiri. 4) Sikap rendah diri sebagai anak bangsa dan cendrung bangga akan hal-hal
berbau luar negeri merupakan salah satu faktor yang dalam berbahasa secara negatif. 5)
Kemiskinan moral sebagai dampak dari kurangnya penanaman nilai-nilai pancasila.
Kelima faktor itu tentunya merupakan serangkaian masalah yang komplek. Artinya untuk
menyelesaikan masalah itu diperlukan strategi yang matang dan terarah. Bahasa Indonesia adalah
bahasa yang unik, bahasa yang memiliki ciri khas dan identitas. Untuk itu secara bersama-sama
kita harus bersama-sama membangun kembali bahasa yang Indonesia yang berciri khas dan
beridentitas guna membangun karakter bangsa yang benar-benar menunjukkan kita sebagai
sebuah bangsa beradab dan memiliki nilai-nilai yang luhur. Adapun faktor-faktor yang akan
membuat kita menjadi bangsa yang berkarakter melalui penggunaan bahasa adalah dengan cara
menamkan sikap positif berbahasa. Sikap positif berbahasa itu perlu dilakukan agar kita
memiliki cerminan karakter bangsa melalui bahasa. Dengan sikap positif berbahasa karakter
bangsa yang berbudi luhurpun akan terbentuk.