OLEH :
PEMBIMBING :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2018
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 10542058114
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepanitraan klinik Bagian Ilmu Psikiatri
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar
Pembimbing
(dr.Theodorus Singara.Sp.KJ(K))
LAPORAN KASUS PSIKIATRI
I. DATA IDENTIFIKASI
No. Rekam Medik : 00146761
Masuk RS : UGD RSKD Dadi
Nama : Tn. Amiruddin
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 30 tahun
Agama : Islam
Warga Negara : Indonesia
Pekerjaan/Pendidikan : SMP
Alamat : Lingkungan Rangas Barat Ds. Totoli Kec. Banggae Majene
Status Neurologis :
gejala klinis yang bermakna berupa perubahan pola tingkah laku yaitu mengamuk,
melempar barang, buang kotoran sembarangan, dan berbicara sendiri. Keadaan ini
seperti biasa (disability). Oleh karena itu dapat digolongkan sebagai Gangguan
Jiwa.
Pada pemeriksaan status mental ditemukan adanya hendaya berat dalam
gangguan otak, sehingga penyebab organik dapat disingkirkan dan pasien dapat
didiagnosis sebagai Gangguan Skizofrenia. Pada pasien ini gejala halusinasi dan
Paranoid (F20.0).
VII. PROGNOSIS
Dubia ad bonam.
Faktor Pendukung
Berdasarkan faktor – faktor diatas dapat disimpulkan bahwa prognosis pasien adalah Dubia
ad Bonam.
2. Psikoterapi
Supportif dengan dukungan keluarga agar lebih memperhatikan dan memberikan
dukungan kepada pasien serta lebih memperhatikan keteraturan pasien dalam meminum
obat.
3. Sosioterapi
Memberikan penjelasan kepada keluarga dan orang-orang terdekat pasien tentang
gangguan yang dialami pasien, sehingga tercipta dukungan sosial dalam lingkungan
yang kondusif sehingga membantu proses penyembuhan pasien serta melakukan
kunjungan berkala.
IX. DISKUSI
Skizofrenia adalah gangguan psikotik dan paling sering ditemukan. Hampir 1%
penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Gejala skizofrenia
biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Gejala skizofrenia yang paling
menonjol adalah waham dan halusinasi. Skizofrenia terbagi menjadi beberapa subtype
berdasarkan variabel kliniknya yaitu skizofrenia paranoid, skizofrenia disorganisasi,
skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, skizofrenia residual, skizofrenia simpleks,
depresi pasca skizofrenia, skizofrenia yang tak tergolongkan.1,2
Berdasarkan DSM V, kriteria diagnosis skizofrenia:
a. Didapatkan dua gejala atau lebih di bawah ini, setiap gejala spesifik dialami selama
kurang lebih 1 bulan. Di antaranya:
- Waham
- Halusinasi
- Inkoherensia
- Tingkah laku katatonik
- Gejala-gejala negative seerti emosi, dan lain-lain.
b. Untuk hasil yang lebih signifikan onset masalah tersebut, akan mengganggu fungsi level
satu atau dua lebih area seperti pekerjaan, hubungan dengan relasi atau diri sendiri.
c. Tanda yang berulang selama kira-kira 6 bulan
d. Gangguan skizoaktif dan depresi atau gangguan bipolar, tetapi tidak sering
e. Masalah yang menyangkut penggunaan zat ataupun obat-obatan.3
Skizofrenia ditandai adanya distorsi pikiran dan persepsi yan mendasar dan khas,
dan adanya efek yang tidak wajar atau tumpul. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ketiga (PPDGJ-III) membagi symptom skizofrenia
dalam kelompok-kelompok penting, dan yang sering terdapat secara bersama-sama untuk
diagnosis. Cara diagnosis pasien skizofrenia menurut PPDGJ III antara lain;3
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):3
a. Thought echo: isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya
(tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya
berbeda;
Thought insertion or withdrawal: isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawal)
Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya.
b. Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of
influence), atau “passivity”, yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau
pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensations)
khusus; persepsi delusional;
c. Halusinasi suara (auditorik) yang berkomentar secara terus-menerus terhadap
perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri, atau
jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar
serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau
politik, atau kekuatan dan kemampuan “manusia super” (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas dalam kurun
waktu satu bulan atau lebih;
a. Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas apabila disertai baik oleh waham
yang mengembang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (over valued ideas) yang
menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-
bulan terus-menerus;
b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme;
c. Perilaku katatonik, seperti keadaaan gaduh-gelisah (excitement), sikap tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativism, mutisme dan stupor;
d. Gejala-gejala negative seperti sikap sangat masa bodoh (apatis), pembicaraan yang
terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnyakinerja sosial,
tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neuroleptika;
e. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak
bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan
diri secara sosial.
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang memenuhi persyaratan gejala tersebut tetapi
yang lamanya kurang dari satu bulan (baik diobati atau tidak) harus didiagnosis pertama
kali sebagai gangguan psikosis fungsional.
Diagnosis pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan status
mental. Dari anamnesis ditemukan gejala-gejala yang mengarah dengan diagnosis
Skizofrenia Paranoid. Skizofrenia paranoid adalah tipe paling stabil dan paling sering.
Berdasarkan PPDGJ III, kriteria diagnosis skizofrenia paranoid:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia dan sebagai tambahan:
1. Halusinasi yang harus menonjol yaitu suara-suara halusinasi yang mengancam
pasien atau member perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal
berupa bunyi peluit, mendengung, atau bunyi tawa.
2. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual atau lain-lain
perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
3. Waham dapat berupa hamper setiap jenis, tetapi waham dikendalikan atau
“passivity” dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam adalah yang
paling khas.
Gejala terlihat sangat konsisten, sering paranoid, pasien dapat atau tidak bertindak
sesuai dengan wahamnya.3
Pada pasien ini gejala positif lebih menonjol sehingga digunakan obat anti-psikosis
tipikal yaitu Haloperidol merupakan obat golongan butyrophenon yang menurunkan
ambang rangsang konvulsi, memperlambat dan menghambat jumlah gelombang teta dan
sama-sama memiliki efek sedatif. Haloperidol selain menghambat efek dopamine juga
bisa meningkatkan turn over ratenya, efek sampingnya dapat menimbulkan reaksi
ekstrapiramidal syndrome yang insidensnya cukup tinggi. Clozapine yang merupakan
antipsikotik atipikal golongan benzodiazepine memiliki efek samping sedative yag tinggi
sehingga digunakan utnuk menenangkan pasien.5
Pasien ini masuk dengan keluhan mengamuk yang tidak diketahui penyebabnya,
pasien sering mendengar suara-suara yang mengganggunya sehingga pemberian obat ini
dapat menenagkan pasien agar suara-suara yang didengar berkurang atau hilang dan
pasien dapat tenang beristirahat.4,5
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam, dinilai dari faktor pendukung ke
prognosis buruk yaitu onset kronik dan sering kambuh, pasien usia muda, dan pernah
putus obat sebelumnya. Faktor pendukung ke prognosis baik yaitu tidak ada kelainan
organik dan riwayat yang sama dalam keluarga tidak ada.
AUTOANAMNESIS
DM : Assalamualaikum pak.
P : Waalaikumsalam dok.
DM : Permisi, pak saya dokter muda yang bertugas disini, nama saya Andi Suci. Siapa nama
ta pak?
P : Amiruddin dok.
P : Karena saya sering onani di kamar dok. Setiap lihat film porno dengan temanku, saya
tidak tau apa yang harus saya lakukan. Saya sakit jiwa toh, terus habis obatku jadi saya
kesini untuk berobat, putus-putus ka berobat di rumah tapi jangka 1 bulan ji.
P : Saya pernah melempar barang di polsek di lingkungan Rangas Barat, saya pura-pura ji
P : Rumahku kan bersampingan dengan polsek, terus melempar ka di polsek biar bisa ditau
P : Iya, setiap saat, dia bilang jangan dengarkan omongan setan, omongannya orang lain,
DM : Lalu pernah tidak kita lihat sesuatu yang orang lain tidak bisa lihat Pak?
P : Iya, saya biasa lihat orang turun dari pohon, dari langit, tapi saya lupa bagaimana
pakaiannya.
DM : Pernah kita rasa badan ta bergerak sendiri yang bukan kita yang kendalikan?
P : Iya, kayak sekarang ini saya bicara bukan saya yang kendalikan
DM : Pak, ada kita rasa orang yang kejar-kejar atau buntuti kita?
P : Iye, ada organisasi sistem teknologi canggih dari Jepang yang kejar-kejar ka
P : Karena dia musuhan sama saya, mungkin dia tidak suka saya atau mau bunuh saya
P : Saya sedih karena saya ingin pulang tapi belum ada penjemputku. Saya mau pulangmi,
P : Baikji dok
P : Baik-baikji
DM : Pak makan apa ki tadi pagi? Coba sebutkan
DM : Pak kalau misalnya toh kita lagi berada di tengah jalan, terus lihatki paku di tengah jalan
dan banyak orang yang mau lewat di jalan itu, apa yyang akan kita lakukan Pak?
P : Iye, pengantin
1. Kaplan & Sadock. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran ECG.
2. Elvira S, Hadisukanto G. (2010). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
4. Maslim, R. (2014). Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik, edisi 3. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
5. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. (2011). Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.