Anda di halaman 1dari 28

ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

KONSUMEN PENGGUNA OBAT KERAS

OLEH:
SITI MASITHA DEWI, S.H.
NPM. A2021151034

ABSTRACT

Health is a human right. Everyone has the right to live worthily, including getting
better health. Therefore, the government passed a law regulating the health service for the
society as regulated in Law Number 36 Year 2014 on Health. Today many people are
addicted to buying drugs other than over-the-counter and over-the-counter medicines without
having to go to see a doctor and many of the people who are addicted to antibiotics. Society
easy to find drugs according to complaints and not a few who come to the pharmacy to buy
hard drugs without a prescription. Pharmacists as one of the health professions should play
the role of informer regardless of merely profit. Consumers also have the right and should be
aware of the side effects they will receive if taking antibiotics carelessly so that consumers
are more critical in the purchase of antibiotics.
In this thesis the author uses normative legal research methods. Data analysis used
is qualitative analysis. Data collection in this study using literature study method and
documentation, which consists of written materials that researchers collect from various
sources of primary, secondary and tertiary data contained in the library or other electronic
media.
Severe drugs/Gevaarlijk drug can be purchased easily in pharmacies even without
recipe, one reason is the patient's lack of awareness of the dangers of the drug. The
opportunity provided by pharmacies that sell hard drugs freely and weak regulation and
existing sanctions leads to an increase in the use of hard drugs without a recipe. Pontianak
City Health Office, Drug and Food Control Center and the Association of Indonesian
Pharmacists have conducted guidance and supervision to pharmacies in the city of Pontianak.
However, the guidance and supervision conducted by the institution has not been
comprehensive.

Keywords: Consumer Protection, Severe Drugs/Gevaarlijk Drug, Antibiotics


ABSTRAK
Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup
layak, termasuk didalamnya mendapatkan kesehatan yang baik. Oleh kerena itu,
pemerintah mengeluarkan undang-undang yang mengatur tentang pelayanan kesehatan
bagi masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Kesehatan. Dewasa ini banyak masyarakat yang kecanduan membeli obat selain obat
bebas dan obat bebas terbatas tanpa memeriksakan dirinya dahulu ke dokter dan banyak
dari kalangan masyarakat yang kecanduan antibiotik. Masyarakat mudah mencari obat
sesuai keluhan dan tak sedikit yang datang ke apotek untuk membeli obat keras tanpa
resep dokter. Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan
sebagai pemberi informasi (drug informer) tanpa memperhatikan keuntung semata.
Konsumen juga berhak dan harus tahu atas efek samping yang akan mereka terima jika
mengkonsumsi antibiotik sembarangan agar konsumen lebih kritis dalam pembelian
antibiotik.
Obat keras dapat dibeli dengan mudah di apotek walau tanpa resep dokter, salah satu
alasannya adalah kurangnya kesadaran pasien akan bahaya dari obat keras tersebut.
Adanya peluang yang diberikan oleh apotek yang menjual obat keras secara bebas dan
lemahnya peraturan serta sanksi yang ada menyebabkan terjadinya peningkatan dalam
penggunaan obat keras tanpa resep dokter. Dinas Kesehatan Kota Pontianak, Balai
Pengawasan Obat dan Makanan serta Ikatan Apoteker Indonesia sudah melakukan
pembinaan dan pengawasan kepada apotek di Kota Pontianak. Namun pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan lembaga tersebut belum menyeluruh.

Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Obat Keras, antibiotik


1. PENDAHULUAN
Tujuan Negara Republik Indonesia secara jelas dituangkan dalam Undang-Undang

Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 bahwa negara bertujuan melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta dalam usaha perdamaian dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sehubungan dengan hal

tersebut maka sudah seyogianya masyarakat Indonesia mendapatkan perlindungan

terhadap keselamatan dan keamanan yang secara nyata dalam berbagai bidang kehidupan.

Jika dikaitkan dengan konsumen, dimana pun mereka berada semuanya mempunyai

hak-hak dasar sosialnya. Hak-hak dasar tersebut adalah Hak untuk mendapatkan Produk

yang aman, Hak untuk mendapatkan informasi tentang produk yang digunakan, Hak

untuk memilih barang dengan jelas dan terliti dan Hak untuk didegar sebagai

konsumen.1

Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup

layak, termasuk didalamnya mendapatkan kesehatan yang baik. Kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk memperhatikan derajat

kesehatan demi menaikkan kualitas hidupnya. Oleh kerena itu, pemerintah mengeluarkan

undang-undang yang mengatur tentang pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan.

Obat-obatan merupakan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat dan mempunyai

nilai yang sangat penting sebagai sebuah produk karena obat dapat menyembuhkan

penyakit yang diderita oleh seseorang. Konsumen obat-obatan merupakan kategori

konsumen kesehatan. Ketika seseorang sakit maka secara naluriah, ia akan berusaha

mencari obat untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut. Diawali dari pencegahan,

1
Perlindungan Konsumen kota Malang, 2011, Empat Hak Dasar Konsumen,
http://perlindungankonsumenkotamalang.blogspot.co.id/2011/12/empat-hak-dasar-konsumen.html, di akses
pada 12 Maret 2017.
diagnosa, pengobatan dan pemulihan, obat menjadi salah satu komponen pokok yang

harus selalu tersedia dan tidak tergantikan pada pelayanan kesehatan.

Berdasarkan hasil pra penelitian yang dilakukan oleh penulis, dewasa ini banyak

masyarakat yang kecanduan membeli obat selain obat bebas dan obat bebas terbatas tanpa

memeriksakan dirinya dahulu ke dokter dan banyak dari kalangan masyarakat yang

kecanduan antibiotik. Hal ini kemungkinan karena masyarakat menilai jika periksa

dahulu ke dokter baru menebus resep dan membeli obat biaya yang dikeluarkan akan jauh

lebih besar dibandingkan dengan hanya ke apotek dan membeli obat. Disisi lain banyak

apoteker sebagai pelaku usaha kadang hanya mengejar omset tanpa mempedulikan

pelayanan.

Kemajuan teknologi semakin mempermudah masyarakat mencari informasi di

internet terkait dengan jenis obat-obatan. Masyarakat mudah mencari obat sesuai keluhan

dan tak sedikit yang datang ke apotek untuk membeli obat keras tanpa resep dokter.

Beberapa masyarakat beranggapan antibiotik merupakan salah satu obat wajib yang harus

diminum ketika sakit. Bahkan Kadang penyakit yang disebabkan virus seperti pilek yang

tidak memerlukan antibiotik tetap diberikan resep antibiotik.

Namun di sisi lain, obat dapat merugikan kesehatan bila tidak memenuhi persyaratan,

bila digunakan secara tidak tepat atau bila disalahgunakan. Oleh karena itu berbeda

dengan komoditas perdagangan lainnya, peredaran obat diatur sedemikian rupa agar

terjamin keamanan, mutu dan ketepatan penggunaannya. Ketepatan penggunaan ini

menjadi aspek penting dalam mengkonsumsi obat karena ketidaktepatan penggunaan obat

dapat menyebabkan banyak kerugian, baik itu kerugian dari sisi finansial maupun

kerugian bagi kesehatan.

Golongan obat yang dapat di beli tanpa resep dokter adalah obat bebas, obat bebas

terbatas dan obat wajib apotek (OWA). Golongan obat bebas dapat dibeli masyarakat
secara bebas tanpa resep dan tidak membahayakan bagi si pemakai dalam batas dosis

yang dianjurkan2. Sedangkan golongan obat bebas terbatas sebenarnya termasuk obat

keras, namun dapat diserahkan tanpa resep dokter dalam bungkus aslinya dari

produsen/pabriknya disertai dengan tanda peringatan pada kemasannya 3. Obat wajib

apotek (OWA) juga merupakan obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter,

namun dengan ketentuan yang lebih ketat, yaitu: yang menyerahkan harus apoteker di

apotek; apoteker tersebut diwajibkan untuk memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis

obat per pasien; membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan serta

memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping

dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien4.

Golongan obat yang harus dibeli dengan resepdokter adalah obat keras, Narkotika dan

Psikotopika. Golongan obat keras sering juga disebut dengan obat daftar G (dari kata

gevaarlijk yang berarti berbahaya) hanya dapat diserahkan oleh apotek atas dasar resep

dokter. Ketentuan tersebut bertujuan untuk mencegah penggunaan yang salah ataupun

penyalahgunaan obat dari golongan ini. Penggunaan yang tidak tepat dari obat golongan

ini memiliki risiko yang cukup tinggi bagi kesehatan sesuai dengan asal katanya yang

berarti berbahaya. Atas risiko tersebut maka undang-undang memberikan batasan-batasan

terhadap peredaran obat keras. Obat keras hanya dapat diperoleh di sarana-sarana

kesehatan tertentu, salah satunya adalah apotek, penyerahannya pun hanya boleh

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang yaitu Apoteker, dan Apoteker di apotek

hanya dapat mengeluarkan obat keras berdasarkan permintaan resep dokter. Dengan

dikeluarkannya Kepmenkes Nomor 347 Tahun 1990 tentang Obat Wajib Apotik,

beberapa obat keras diperbolehkan untuk diserahkan oleh Apoteker di Apotek tanpa

resep. Namun untuk obat keras yang tidak masuk dalam daftar Obat Wajib Apotek
2
Syamsuni, 2007, Ilmu Resep, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hlm. 17.
3
Ibid.
4
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotik.
penyerahannya harus tetap berdasarkan resep5.

Obat keras dapat dibeli dengan mudah di apotek walau tanpa resep dokter, salah satu

alasannya adalah persaingan bisnis antar apotek yang bertujuan untuk meningkatkan

omset apotek. Hal lain yang menyebabkan obat keras dapat dibeli bebas adalah

kurangnya kesadaran pasien akan bahaya dari obat keras tersebut. Adanya peluang yang

diberikan oleh apotek yang menjual obat keras secara bebas dan lemahnya peraturan serta

sanksi yang ada menyebabkan terjadinya peningkatan dalam penggunaan obat keras tanpa

resep dokter. Upaya masyarakat melakukan pengobatan sendiri dinilai seperti pedang

bermata dua. Di satu sisi akan mengurangi beban pelayanan di puskesmas atau rumah

sakit. Di sisi lain bila obat yang digunakan tidak diimbangi dengan pengetahuan yang

memadai, maka akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dan berdampak buruk

terhadap kesehatan.

Terdapat berbagai peraturan serta undang-undang yang mengatur mengenai obat

keras, yaitu Stablat Ordonansi Obat Keras yaitu St No. 419 tahun 1949, Kepmenkes No.

633/Ph/62/b Tahun 1962 Tentang Daftar Obat Keras, Kepmenkes No.

347/Menkes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotik, Permenkes No.

919/Menkes/Per/X/1993 Tentang Kriteria Obat Yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep,

Kepmenkes No. 924/Menkes/Per/X/1993 Tentang Daftar Obat Wajib Apotik No. 2,

Permenkes No. 925 /Menkes/Per/X/1993 Tentang Perubahan Golongan Obat Wajib

Apotik No.1, Kepmenkes No. 1176/Menkes/SK/X/1999 Tentang Daftar Obat Wajib

Apotek No. 3, UU No. 36 tahun 2014 Tentang Kesehatan, dan PP No. 51 tahun 2009

Tentang Pekerjaan Kefarmasian.

Obat-obat yang termasuk dalam obat keras, seperti antibiotik, antidiabetes, hormon

5
Yustina Sri Hartini dan Sulasmono, 2010, Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-
Undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek Rakyat Edisi Revisi
Cetakan Ketiga, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hlm. 71.
dan antihipertensi menurut undang-undang tidak dapat diberikan tanpa resep dokter.

Namun, penggunaan obat keras, seperti antibiotik tanpa resep dokter sudah merupakan

hal yang umum dijumpai dalam masyarakat. Penggunaan obat keras tanpa resep dokter

dapat menimbulkan masalah, dimana masyakarat tidak tahu dalam prosedur penggunaan

obatnya.

Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki

khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya

bagimanusia relatif kecil.6 Pemberian antibiotik merupakan pengobatan utama dalam

penatalaksanaan penyakit infeksi. Manfaat penggunaan antibiotik tidak perlu diragukan

lagi, akan tetapi penggunaannya yang berlebihan akan segera diikuti dengan munculnya

kuman kebal antibiotik, sehingga manfaatnya akan berkurang. Kuman-kuman kebal

terhadap antibiotik telah menjadi masalah kesehatan yang sangat besar. Infeksi oleh

kuman kebal terhadap berbagai antibiotik akan menyebabkan meningkatnya angka

kesakitan dan angka kematian, diperlukan antibiotik pilihan ke dua atau bahkan ke tiga,

yang mana efektifitasnya lebih kecil dan mungkin mempunyai efek samping lebih banyak

serta biaya yang lebih mahal dibanding dengan pengobatan standar.7 Untuk itulah

penggunaan antibiotik harus dikendalikan. Dalam pembelian antibiotik, konsumen harus

membawa resep dokter.

Dalam prakteknya, apoteker sering menyalahgunakan haknya dengan melakukan

swamedikasi obat keras non OWA. Swamedikasi adalah upaya yang dilakukan oleh

individu yang bertujuan untuk mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-

6
Drs. Tan Hoan Tjay dan Drs. Kirana Rahardja, 2002, Obat-Obat Penting, PT. Alex Media Komputindo,
Jakarta, hlm 63.
7
Murda, Sulistya. 2015. Farmasi Wajib Memerangi Penyalahgunaan Antibiotik Demi Indonesia Sehat.
http://www.kompasiana.com/dasulistya/farmasis-wajib-memerangi-penyalahgunaan-antibiotik-demi-
indonesia-sehat_54f89266a33311d0098b4666. Diakses pada 20 Januari 2017.
obatan yang dapat dibeli bebas di apotek atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter.8

Dalam hal ini masyarakat merasa butuh akan penyuluhan yang jelas dan tepat mengenai

penggunaan secara aman dari obat-obatan yang dapat mereka beli secara bebas tanpa

resep dokter di apotek. Salah satu yang sering dijual adalah obat-obatan antibiotik.

Apoteker dan masyarakat sendiri beranggapan antibiotik merupakan obat yang sudah

lumrah dan aman-aman saja dikonsumsi, meskipun tanpa resep dokter.

Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai

pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam

swamedikasi tanpa memperhatikan untung semata. Konsumen juga berhak dan harus tahu

atas efek samping yang akan mereka terima jika mengkonsumsi antibiotik sembarangan

agar konsumen lebih kritis dalam pembelian antibiotik. Sebagaimana dituangkan dalam

Kode Etik Apoteker Indonesia pada Pasal 5 yaitu di dalam menjalankan tugasnya seorang

Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang

bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian. Pada pasal 9 yaitu

seorang apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan

kepentingan masyarakat, menghormati hak asasi dan melindungi makhluk hidup insani.

Selain itu, kewajiban ini juga tertuang dalam Pasal 1 Peraturan pemerintan No. 51 Tahun

2009 tentang Pekerja Kefermasian dan jika dilihat dari sisi apoteker sebagai pelaku usaha,

kewajiban ini juga ada dalam pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen.

Meskipun telah ada berbagai peraturan yang mengatur mengenai penjualan obat keras

tanpa resep dokter, namun kenyataan yang ada tidak sesuai dengan peraturan yang

berlaku. Oleh karena hal tersebut artikel ini akan difokuskan pada Perlindungan Hukum

terhadap Konsumen Pengguna Obat Keras (Studi Pengguna Antibiotik di Kota

8
Pharmacy Care, 2016, Swamedika, http://www.mipa-farmasi.com/2016/05/swamedikasi.html, diakses
pada 12 April 2017.
Pontianak).

2. PEMBAHASAN
A. Perlindungan Konsumen Pengguna Antibiotik Tanpa Resep Dokter di Kota

Pontianak

Di Kota Pontianak terdapat 126 Apotek dan 12 apotek diantarnya adalah apotek

yang dimiliki oleh Apoteker itu sendiri.9 Bagi apoteker sebagai penanggung jawab

dan sebagai pemiliki apotek tersebut maka apoteker tersebut dapat disebut sebagai

pelaku usaha.

Apoteker sebagai pelaku usaha harus melakukan kewajiban sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satu

kewajiban pelaku usaha yang tertuang dalam pasal 7 Undang-undang No 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan konsumen adalah memberikan informasi yang benar, jelas

dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Oleh karena itu dalam pemberian

Antibiotik, Apoteker seharusnya menjelaskan dan/atau memberikan informasi bahwa

dalam memberian obat keras khususnya antibiotik harus menggunakan resep dokter.

Penyerahan obat keras oleh apoteker harus dengan resep dokter ini diatur dalam pasal

24 Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2009 tentang Pekerja Kefarmasian.

Selain Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan

Peraturan pemerintah No 51 tahun 2009 tentang Pekerja kefarmasian, ketentuan

perundang-undangan yang lain yang mengatur tentang peredaran obat keras

khususnya antibiotik adalah Pasal 108 Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang

Kesehatan, Pasal 3 Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949),

9
Data Pelayanan Kefarmasian Di apotek Provinsi Kalimatan Barat Tahun 2017, Dinas Kesehatan Kota
Pontianak
Keputusan Menteri Kesehatan No. 633/Ph/62/b Tahun 1962 Tentang Daftar Obat

keras, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek serta Peraturan Menteri Kesehatan

No. 9 Tahun 2017 tentang Apotek.

Upaya pengamanan sediaan farmasi yang berupa obat keras, sepanjang belum

diatur dalam peraturan pelaksanaan Ordonansi Obat Keras, dilakukan berdasarkan

pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam

Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 1998. Hal ini disebabkan karena pengaturan,

pembinaan dan pengawasan dalam peraturan pelaksanaan Ordonansi Obat Keras

dirasakan belum mencukupi dalam kaitannya dengan pengamanan sediaan farmasi

dan alat kesehatan secara keseluruhan.

Jika dilihat dari komponen struktur, sesuai dengan Peraturan Menteri

Kesehatan No 9 Tahun 2017 tentang Apotek, lembaga yang berfungsi melakukan

pengawasan dan pembinaan terhadap peredaran antibiotik dan apoteker adalah

Menteri kesehatan, Dinas Kesehatan, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Dimana Balai Pengawasan Obat dan Makanan

(BPOM) dapat melakukan pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan

terhadap pengelolaan sediaan farmasi di instansi pemerintah dan masyarakat di bidang

pengawasan sediaan farmasi. Pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan

provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota dan pengawasan yang dilakukan Balai

Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dilaporkan secara berkala kepada Menteri.

Laporan disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

Biarpun telah ada pembinaan dan pengawasan dari berbagai lembaga,

peredaran antibiotik secara bebas tetap sering terjadi. Dari hasil wawancara yang
dilakukan penulis kepada lembaga-lembaga tersebut didapatkan fakta sebagai berikut

Dinas kesehatan kota Pontianak berfungsi pada pembinaan, evaluasi dan

monitoring apotek. Fungsi pengawasan terhadap obat keras khususnya antibiotik

Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) lebih berwenang.

Dalam pembinaan apotek, Dinas Kesehatan sering mengadakan Bimtek dan

uji petik untuk monitoring dan evaluasi. Akan tetapi pembinaan dari Dinas Kesehatan

lebih fokus terhadap berizinan Apotek. Dalam pengawasan Dinas Kesehatan lebih

cenderung pada tempat apotek, Sanitasi, Pengolahan limbah, tata graha dan perizinan

Apoteker. Dalam pengawasan ini pun tidak rutin dilakukan. Biasanya dilakukan uji

petik atau jika ada apotek akan habis masa izinnya, maka Dinas kesehatan akan

mendatangi apotek tersebut.

Dinas Kesehatan Kota Pontianak juga memiliki wewenang untuk memberikan

sanksi. Sanksi yang dilakukan oleh dinas kesehatan Kota Pontianak harus sesuai

dengan rekomendasi dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Sanksi

hanya dapat dilakukan oleh Dinas Kesehatan karena Dinas kesehatan adalah lembaga

yang mengeluarkan izin untuk Apotek. Dalam penutupan apotek, Dinas Kesehatan

akan menyurati Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T). Sanksi yang

direkomendasikan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) pun tidak

harus diterima atau dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Jadi Dinas Kesehatan memiliki

hak menolak atau menerima rekomendasi dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan

(BPOM).

Ini merupakan salah satu faktor mengapa apoteker masih sering menyerahkan

antibiotik tanpa resep dokter. Jarang adanya pembinaan yang berfokus pada

penyerahan antibiotik serta tidak meratanya pembinaan yang diberikan oleh Dinas
Kesehatan. Sanksi yang diberikan oleh Dinas Kesehatan pun terlalu ringan. Dinas

Kesehatan juga seharusnya tidak hanya melakukan pembinaan kepada apotek tapi

kepada Konsumen juga. Agar konsumen mengetahui efek samping dari penggunaan

antibiotik yang sembarangan dan tidak membeli antibiotik secara bebas.

Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memiliki fungsi untuk

pengawasan terhadap obat, termasuk didalamnya obat keras. Menurut hasil

wawancara dengan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) hampir semua

apotek dikota Pontianak memberikan antibiotik tanpa resep dokter. Antibiotik yang

paling sering diberikan oleh Apoteker tanpa resep dokter adalah Amoxicilin.

Dalam berita acara pengawasan yang dilakukan oleh Balai Pengawasan Obat

dan Makanan (BPOM) secara tegas dicantumkan untuk semua obat keras harus

dengan resep dokter khususnya antibiotik karena antibiotik memiliki efek panjang

pada tumbuh pasien yaitu resitensi. Jika ada temuan atas pelanggaran yang dilakukan

oleh apotek maka Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) akan meyurati

Dinas Kesehatan untuk rekomendasi sanksi yang harus dilakukan.

Adapun ada 3 jenis sanksi yang dapat direkomendasikan oleh Balai

Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) kepada Apotek sesuai dengan standar

pemberian sanksi Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yaitu Pedoman

Pengawas dan Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Fasilitas, Distribusi Obat, Bahan

Obat dan Fasilitas Pelayanan, Antara lain :

1. Peringatan

Jika ditemukan pelanggaran sedang mayor atau pelanggaran minnor sebanyak

3 kali inspeksi.

2. Pemberhentian Sementara
Jika ditemukan pelanggaran berat mayor atau pelanggaran sedang sebanyak 3

kali per 3 tahun.

3. Pencabutan Izin dan Pidana

Dalam tahun 2017, target Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) ada 141

apotek dari 14 kabupaten/kota di Kalimatan Barat yang akan diawasi. Dari 141

Apotek yang akan diawasi, hampir semua apotek yang ada di kota Pontianak akan

didatangi. Saat melalukan pengawasan ke apotek, Balai Pengawasan Obat dan

Makanan (BPOM) juga melakukan pembinaan dengan memberikan informasi-

informasi, kewajiban apotek dan Apoteker serta peraturan-peraturan terbaru.

Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sudah mengoptimalkan

pengawasan kehampir semua apotek di Kota Pontianak. Sayangnya rekomendasi

sanksi yang diberikan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terlalu ringan

sehingga tidak ada efek jera bagi apoteker. Balai Pengawasan Obat dan Makanan

(BPOM) juga harus lebih tegas dalam pelaksanaan sanksi yang direkomendasikan

olehnya. Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) harus memonitoring apakah

rekomendasi sanksi yang mereka berikan ke Dinas Kesehatan dilakukan.

Adapun upaya preventif yang telah dilakukan oleh Balai Pengawasan Obat dan

Makanan (BPOM) adalah :

1. Pengawasan ke Lapangan

2. Melalui Layanan Informasi Konsumen YLKI

3. Penyebaran brosur, Pemasangan Videotron dan lain-lain


Adapun hambatan dalam pengawasan yang dilakukan Balai Pengawasan Obat dan

Makanan (BPOM) adalah Sumber Daya Manusia yang di miliki oleh BPOM masih

kurang untuk pengawasan Apotek, Letak Georafis dan Masyarakat.

Peran Ikatan Apoteker Indonesia ke anggotanya mengenai pemberian antibiotik

tanpa resep dokter adalah sekedar mengingatkan. Saling mengingatkan juga tidak

pada acara formal yang dilaksanakan oleh IAI, tapi pada saat bertemu saja. Hal ini

dikarenakan IAI tidak hanya organisasi profesi yang tidak memiliki wewenang penuh

untuk melakukan pengawasan terhadap Apoteker. Upaya preventif dari IAI untuk

mengurangi pemberian Antibiotik tanpa resep dokter oleh apoteker adalah dengan

selalu mengingatkan para anggotanya serta memberikan informasi tentang peraturan-

peraturan terbaru tentang prosedur pemberian obat. IAI berharap pemerintah dapat

menambah daftar Obat Wajib Apotek agar apotek sebagai sarana pelayanan obat

dapat membantu pasien secara optimal.

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan beberapa Apoteker

sebagai Pelaku usaha, ditemukan fakta-fakta bahwa sering ada konsumen yang

membeli antibiotik tanpa resep dokter. Antibiotik yang sering dibeli oleh konsumen

tanpa resep dokter adalah Amocixilin. Dalam 1 (satu) hari minimal ada 3 – 4 pasien

yang membeli antibiotik khususnya amoxicilin tanpa resep dokter.

Dalam pemberiannya apoteker memberikan edukasi kepada pasien tentang aturan

konsumsi obat tersebut, tapi sebagian apoteker tidak memberitahuan kepada

konsumen bahwa Antibiotik tersebut termasuk obat keras dengan alasan konsumen

belum memahami tentang jenis-jenis obat. Apoteker juga tetap memberikan antibiotik

tanpa resep dokter kepada pembeli karena sebagian besar dari konsumen tetap

memaksa untuk memperoleh antibiotik tersebut. Dalam penyerahan antibiotik pun


sebagian apoteker sebelumnya telah menawarkan kepada konsumen alternatif obat

lain atas gejala penyakit yang mereka rasakan.

Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek pada

lampiran BAB III Layanan Farmsi Klinik dimana Apoteker di Apotek juga dapat

melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan

edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan

dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai. Pelayanan Informasi

Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi

mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti

terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien

atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas dan

herbal.

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda

pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan

penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas,

ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.

Menurut beberapa apoteker mengkonsumsi antibiotik tidak menyebabkan

kematian atau keracunan karena itu jika dikonsumsi secara tanpa resep dokter asal

sesuai dengan aturan pakai tidak akan ada masalah pada konsumen. Sejauh ini juga

konsumen hanya membeli antibiotik dengan kadar yang ringan. Hal ini juga salah satu

alasan kenapa apoteker tetap memberikan antibiotik secara bebas. Biarpun tidak ada

efek mematikan tapi tujuan konsumen membeli obat untuk kesembuhannya tidak

tercapai sehingga hak konsumen tidak terlaksana.


Jika seorang apoteker tidak memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada

konsumen maka apoteker tersebut juga sudah melanggar Pasal 7 Kode Etik Apoteker

Indonesia yaitu seorang apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai profesinya

serta Pasal 9 Kode Etik Apoteker indonesia yaitu seorang apoteker dalam melakukan

praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak

asasi pasien dan melindungi mahluk hidup insani.

Pernah ada pembinaan dan pengawasan dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan

(BPOM) tapi tidak fokus mengenai penyerahan antibiotik. Sejauh ini juga apotek

yang menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter tidak pernah diberikan sanksi biarpun

ada temuan dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) karena hal ini lah

pemberian antibiotik tanpa resep dokter oleh apoteker sudah menjadi hal wajar.

Apoteker juga mengetahui aturan hukum tentang penyerahan antibiotik, tapi

akibat hukum yang akan mereka terima atas pemberian antibiotik tanpa resep dokter

apoteker belum mengetahui secara detail. Dikarenakan kurangnya informasi kepada

apoteker tentang akibat hukum atau sanksi yang akan diterima apoteker jika

memberikan antibiotik tanpa resep dokter maka apoteker tidak senggan dalam

memberikan antibiotik kepada konsumen secara bebas.

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan beberapa Konsumen

yang pernah membeli antibiotik tanpa resep dokter, ditemukan fakta-fakta bahwa

antibiotik yang sering dibeli oleh konsumen tanpa resep dokter adalah Amoxicilin.

Konsumen mengetahui bahwa obat keras harus dibeli dengan resep dokter, tapi

mereka tidak mengetahui bahwa semua antibiotik termasuk obat keras karena sering

membeli antibiotik secara bebas.

Ketika membeli antibiotik tersebut beberapa apotek langsung memberikan tanpa

menjelaskan bahwa obat tersebut termasuk obat keras. Ada beberapa apotek yang
memberikan edukasi tentang prosedur konsumsi antibiotik tersebut serta menanyakan

gejala penyakit yang dirasakan oleh konsumen. Konsumen mengetahui antibiotik

tersebut dari beberapa kerabat dan internet. Konsumen juga beralasan membeli

antibiotik tanpa resep dokter karena menurut mereka, mereka akan mengeluarkan

uang dan waktu yang lebih besar jika harus kedokter terlebih dahulu baru menebus

obat, karena itu mereka memilih untuk langsung membeli saja obat tersebut ke

apotek. Kebanyakan dari konsumen tidak mengetahui tentang bahaya dari

penggunaan antibiotik secara sembarangan.

Tidak adanya pembinaan atau informasi dari Dinas Kesehatan dan apoteker

membuat kurangnya pengetahuan konsumen tentang antibiotik. Konsumen mengira

antibiotik merupakan obat bebas yang mereka dapat beli secara sembarangan. Jika

konsumen mengetahui tentang dampak yang mereka terima jika mengkonsumsi

antibiotik secara sembarangan maka meraka akan lebih berhati-hati dalam pembelian

antibiotik.

Dari hasil penelitian diatas, dapat diketahui bahwa sudah banyak aturan

hukum yang mengatur tentang jual-beli atau penyerahan antibiotik. Sayangnya, untuk

melaksanakan aturan hukum yang sudah ada, lembaga pemerintahan serta organisasi

profesi kurang maksimal dalam menjalankan tugas pengawasan dan pembinaannya.

Sanksi administrasi yang diberikan oleh Dinas Kesehatan dianggap terlalu ringan dan

tidak membuat efek jera bagi Apoteker selaku pelaku usaha. Dinas Kesehatan juga

kurang dalam melakukan pembinaan, baik pembinaan kepada Apoteker maupun

kepada konsumen.

Apoteker sebagai tenaga kefarmasian sudah cukup mengetahui bahaya

mengkonsumsi antibiotik secara sembarangan. Apoteker seharusnya lebih tegas dalam

penyerahan antibiotik kepada pasien. Selain tidak menyerahkan antibiobik tersebut


kepada konsumen, apoteker seharusnya dapat mengedukasi atau memberikan

informasi kepada pasien mengenai bahaya mengkonsumsi antibiotik secara

sembarangan.

Kurangnya pengetahuan konsumen mengenai bahaya mengkonsumsi

antibiotik secara sembarangan merupakan faktor utama penyebab banyak konsumen

yang selalu membeli antibiotik tanpa resep dokter. Dengan adanya pembinaan dari

Dinas Kesehatan, BPOM dan apoteker diharapkan konsumen tidak membeli antibiotik

tanpa resep dokter.

B. Akibat Hukum bagi Apoteker sebagai Pelaku Usaha Terkait dengan Jual-Beli

Antibiotik Tanpa Resep Dokter

Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari

pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan. Ini menunjukkan bahwa apoteker

bertindak juga sebagai pelaku usaha dan pasien bertindak sebagai konsumen, yakni

pemakai jasa layanan kesehatan. Oleh karena itu, hubungan hukum yang terjadi di

antara keduanya adalah hubungan pelaku usaha dan konsumen yang dilindungi oleh

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Terkait pemberian antibiotik tanpa resep dokter sebagai pelaku usaha,

apoteker salah satunya dilarang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar

yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dimana hal ini

tertuang pada pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak dipenuhi oleh apoteker

sebagai pelaku usaha jika memberikan antibiotik tanpa resep dokter adalah Peraturan

Pemerintah No 51 Tahun 2009 tentang Pekerja Kefarmasian. Dalam Peraturan


Pemerintah No 51 tahun 2009 pasal 24 huruf c, dalam melakukan pekerjaan

kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan obat

keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai

dengan ketentuan peraturan. Secara tidak langsung pada pasal ini dijelaskan seorang

apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras dengan resep dokter.

Selain Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2009 tentang Pekerja Kefarmasian,

ketentuan Perundang-undangan yang dilanggar jika apoteker menyerahkan antibiotik

tanpa resep dokter adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Standar Pelayanan

Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga

kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.

Jika pelaku usaha melanggar Pasal 8 Undang-undang No 8 Tahun 1999 ini,

maka ia dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana

denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sebagaimana diatur

dalam Pasal 62 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Di samping itu, profesi apoteker juga mengacu pada Kode Etik Apoteker

Indonesia dan apabila apoteker lalai dalam melaksanakan kewajiban dan tugasnya

maka apoteker dapat dikenakan sanksi oleh Ikatan Apoteker Indonesia. Pasal 9 Kode

Etik Apoteker Indonesia: “Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian

harus mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak pasien, dan

melindungi makhluk hidup insani.”

Salah satu penjabaran pasal ini adalah seorang apoteker harus yakin bahwa obat

yang diserahkan kepada pasien adalah obat yang terjamin mutu, keamanan, khasiat,

dan cara pakai obat yang tepat. Apabila apoteker melakukan pelanggaran kode etik

ini, sesuai dengan jabaran Pasal 15 Kode Etik Apoter maka terhadap apoteker tersebut
dapat dikenakan sanksi organisasi, berupa: pembinaan, peringatan, pencabutan

keanggotaan sementara, dan pencabutan keanggotaan tetap.

Selain sanksi tersebut diatas, Dinas Kesehatan atas rekomendasi dari Balai

Pengawasan Obat dan Makanan juga dapat menjatuhkan sanksi apabila ada Apoteker

yang ketahuan memberikan antibiotik tanpa resep dokter.

Adapun ada 3 jenis sanksi yang dapat direkomendasikan oleh Balai

Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) kepada Apotek sesuai dengan standar

pemberian sanksi Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yaitu Pedoman

Pengawas dan Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Fasilitas, Distribusi Obat, Bahan

Obat dan Fasilitas Pelayanan, Antara lain :

1. Peringatan

Jika ditemukan pelanggaran sedang mayor atau pelanggaran minnor sebanyak

3 kali inspeksi.

2. Pemberhentian Sementara

Jika ditemukan pelanggaran berat mayor atau pelanggaran sedang sebanyak 3

kali per 3 tahun.

3. Pencabutan Izin dan Pidana

Untuk pemberian antibiotik tanpa resep dokter termasuk dalam pelanggaran

minnor. Jadi jika selama pengawasan apotek ketahuan memberikan antbiotik tanpa

resep dokter setelah 3 kali ketahuan melakukan pelanggaran minnor lalu Balai

Pengawasan Obat dan Makanan dapat merekomendasikan sanksi peringatan.

Sesuai keputusan menteri kesehatan RI No.1332/Menkes/SK/X/2002 ada pun

penyebab pencabutan izin apotek adal sebegai berikut :


1. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagai apoteker

pengelola apotek.

2. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam menyediakan, menyimpan dan

menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan terjamin keabsahanya

serta tidak memenuhi kewajiban dalam memusnahkan perbekalan farmasi yang

tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan dan mengganti obat generik

yang ditulis dalam resep dengan obat paten.

3. Apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun

secara terus menerus.

4. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan

mengenai narkotika, obat keras, psikotropikaa, serta ketentuan peraturan

perundang-undangan lainya.

5. Surat izin kerja apoteker pengelola apotek di cabut

6. Pemilik sarana apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-undangan di

bidang obat.

7. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai apotek.

Jika berdasarkan Sesuai keputusan menteri kesehatan RI

No.1332/Menkes/SK/X/2002 seharusnya sanksi yang tepat bagi apotek yang

menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter adalah pencabutan izin apotik karena

menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter ke konsumen telah menyalahi peraturan

perundang-undangan tentang obat keras, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2009 tentang

Pekerja Kefarmasian dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.


Sanksi administratif yang diberikan menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI

No. 1332/MENKES/SK/X/2002 dan Permenkes No.922/MENKES/PER/X/1993

adalah :

a. Peringatan secara tertulis kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA) secara 3

kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 bulan.

b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan sejak

dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan Surat

Izin Apoteker (SIA) disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Menteri Kesehatan dan Kepala Dinas

Kesehatan Propinsi setempat. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan

kembali apabila apotek tersebut dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan

yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan RI dan Permenkes tersebut

telah dipenuhi.

Dengan ringannya sanksi yang diberikan kepada apoteker yang memberikan

antibiotik tanpa resep dokter maka praktek penyerahan antibiotik tanpa resep dokter

akan sering terjadi dan menjadi hal biasa dimasyarakat. Dampaknya kepada

konsumen akan banyak konsumen mengalami resistensi pada antibiotik yang sering ia

konsumsi secara sembarangan. Selain itu konsumen juga dapat menderita efek

samping dari konsumsi antibiotik yang sembarangan yaitu reaksi alergi

(hipersensitifitas), superinfeksi dan toksisitas organ.

Pasien yang dirugikan dapat melaporkan apoteker yang bersangkutan kepada

pihak berwajib untuk diproses secara pidana atau melakukan gugatan kepada Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”), yakni badan yang bertugas menangani

dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.


3. PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dibuat penulis dapat menyimpulkan

beberapa hal tentang Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Pengguna Obat Keras

(Studi Pengguna Antibiotik di Kota Pontianak) Kesimpulan yang dibuat penulis

adalah sebagai berikut :

1. Upaya perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna antibiotik di Kota

Pontianak sudah dilakukan pengawasan dan pembinaan oleh Balai

Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) serta Dinas Kesehatan Kota

Pontianak kepada apotek. Selain BPOM dan Dinas Kesehatan Kota Pontianak,

Ikatan Apotker Indonesia cabang Pontianak juga melakukan pembinaan

kepada Apoteker. Namun upaya perlindungan hukum yang dilakukan oleh

BPOM, dinas Kesehatan serta Ikatan Apoteker Indonesia kurang maksimal

karena dalam pembinaan dan pengawasan belum menyeluruh.

2. Sanksi yang direkomendasikan oleh BPOM dan dijatuhkan oleh dinas

kesehatan terlalu ringan sehingga tidak ada efek jera dari apoteker.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang dibuat, maka penulis dapat memberikan saran-

saran yang dapat digunakan beberapa pihak dalam mengembangkan Perlindungan

Hukum terhadap Konsumen Pengguna Obat Keras (Studi Pengguna Antibiotik di

Kota Pontianak). Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut :

1. Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan harus

lebih rutin memberikan pembinaan serta pengawasan mengenai pemberian

antibiotik tanpa resep dokter, baik kepada apoteker maupun konsumen.


2. Ikatan Apoteker Indonesia cabang Pontianak membuat agenda rutin sosialisasi

tentang akibat hukum yang akan diterima oleh apoteker jika memberikan

antibiotik tanpa resep dokter agar para anggotanya lebih ketat dalam

pemberian antibiotik.

3. Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) serta Dinas Kesehatan

memberikan sanski yang lebih berat kepada apotker yang memberikan

antibiotik tanpa resep dokter agar ada efek jera bagi apoteker.
DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU
Anwar, Saiful, 2004, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press.
Arikunto, Suharmini, 1998, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka
Cipta, Jakarta.
Friedman, Lawrence M, 1986, The Legal System : A Social Science Perspective, New
York: Russel Sage Foundation, Hal. 17 Didalam buku Esmi Warassih, 2015, Pranata
Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, CV. Elangtuo Kinasih, Demak.
Gunawan, Sulistia Gan, 2009, Famakologi dan Terapi, Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
Hadjon, Philipus M, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya.
Hartini, Yustina Sri dan Sulasmono, 2010, Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan
Perundang-Undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes
tentang Apotek Rakyat Edisi Revisi Cetakan Ketiga, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Hartono, Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung.
Huijbers, Theo 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Jakarta.
Joyce L. Kee, Evelyn R. Hayes, 1996, Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan,
E, Alih Bahasa Peter Anugerah, EGC: Jakarta.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika:
Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1986, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2005, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
M. Sadar., Moh. Taufik Makarao., Hobloel Mawadi. 2012. Hukum Perlindungan
Konsumen di Indonesia. Akademia: Jakarta.
Naingggolan, Bernard, 2011, Perlindungan Hukum Seimbang Debitor, Kreditor dan
Pihak-Pihak Berkepentingan dalam Kepailitan, Cetakan I, PT Alumni, Bandung.
Nasution, Az, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar. Daya Widya,
Jakarta.
Paton, George Whitercross, 1951, A Text-Book of Jurisprudence, Second Edition.
Prasetyo, Teguh, 2012, Filfasat, Teori dan Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Prayudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Priyanto, 2010, Farmakologi Dasar, Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi
(Leskonfi): Depok.
Raharjo, Satijipto, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rasjidi, Lili dan I B Wysa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rusdakarya, Bandung.
Sartono. 2000. Apa yang Sebaiknya Anda Ketahui tentang Obat Wajib Apotek Edisi
Tiga. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Setiono, 2004, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Surakarta, Magister Ilmu Hukum
Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret.
Shofie, Yusuf, 2002, Pelaku usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, cet. 1,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sidabalok, Janus, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Sidharta, B. Arief, 2000, Hukum dan Logika, PT. Alumni, Bandung.
______________, 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Grasindo:
Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
________ Soerjono dan Sri Mamudji, SH, MLL, 2004, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan 8, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Susanto, Happy, 2008, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Cet.1, Visimedia, Jakarta.
Syamsuni, 2007, Ilmu Resep, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Tjay, Tan Hoan dan Drs. Kirana Rahardja, 2002, Obat-Obat Penting, PT. Alex Media
Komputindo, Jakarta.
Zulham. 2013. Hukum Perlindungan Konsumen. Kencana Prenada Group: Jakarta.
2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan,
Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949)
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen;
Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian;
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2017 tentang Apotek
Keputusan Menteri Kesehatan No. 633/Ph/62/b Tahun 1962 Tentang Daftar Obat
keras;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 2380/A/SK/VI/1983 tentang Tanda Khusus
Untuk Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib
Apotik.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 189/Menkes/SK/III/2006
tentang Kebijakan Obat Nasional.
3. INTERNET
Adnanblogspot//Pengertian Apoteker//. Diakses Tanggal 13 Mei 2017.
http://infodanpengertian.blogspot.co.id/2016/02/pengertian-pembinaan-menurut-para-
ahli.html, di akses pada tanggal 29 Agustus 2017
Argianti, Putu. 2013. Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Keras dan Obat
Psikotropika Narkotika. http://argiantiputu.blogspot.co.id/2013/11/obat-bebasobat-
bebas-terbatasobat-keras.html. Diakses pada 25 Januari 2017.
Mediskus, Jenis-jenis Golongan Antibiotik dan fungsinya,
http://mediskus.com/dasar/jenis-jenis-golongan-antibiotik-dan-fungsinya, Diakses 28
April 2017.
Perlindungan Konsumen kota Malang, 2011, Empat Hak Dasar Konsumen,
http://perlindungankonsumenkotamalang.blogspot.co.id/2011/12/empat-hak-dasar-
konsumen.html, di akses pada 12 Maret 2017.
Pharmacy Care, 2016, Swamedika, http://www.mipa-
farmasi.com/2016/05/swamedikasi.html, diakses pada 12 April 2017.
Silmin, Mika. 2015. Obat dan Penggolongan Obat.
http://mikasilmin.blogspot.co.id/2015/11/obat-dan-penggolongan-obat.html. Diakses
pada 20 Januari 2017.
Sulistya, Murda. 2015. Farmasi Wajib Memerangi Penyalahgunaan Antibiotik Demi
Indonesia Sehat. http://www.kompasiana.com/dasulistya/farmasis-wajib-memerangi-
penyalahgunaan-antibiotik-demi-indonesia-sehat_54f89266a33311d0098b4666.
Diakses pada 20 Januari 2017.
4. SKRIPSI
Mustafa, Muhammad Hasyim, 2014, Analisis Yuridis Perlindungan Konsumen
Terhadap Peredaran Makanan Berbahan Pewarna Tektil Di Dinas Kesehatan Sleman,
Skripsi, Fakultas Syari’at dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Yogyakata.
5. LAIN-LAIN
Anthony R. Patten, 1988, The United Nation and Consumer Protection, makalah pada
Seminar Perlindungan Konsumen Menuju Terwujudnya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen di Indonesia, YLKI, 16 Juni 1988, Jakarta.
Az Nasution, 1998, “Satu Sisi Kondisi Konsumen Dengan Adanya Undang-undang
No. 8 tahun 1999”. Makalah bahan kuliah Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas
Universitas Indonesia, Depok.
Mariam Darus Badrulzaman, 1980, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari
Sudut Perjanjian Baku (standar), Makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum
Masalah Perlindungan Konsumen, BPHN, 16-18 Oktober, Binacipta, Jakarta.
Moh. Mahfud MD, Bahan Kuliah Politik Hukum, Program Pascasarjana UII.
Kode Etik Apoteker Indonesia, 2009, Jakarta, Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia.
Sambutan Meteri Kehakiman RI pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan
Konsumen pada 16-18 Oktober 1980, dalam hasil-hasil Pertemuan Ilmiah
(Simposium, Lokakarya) 1979-1983, BPHN, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai