OLEH:
SITI MASITHA DEWI, S.H.
NPM. A2021151034
ABSTRACT
Health is a human right. Everyone has the right to live worthily, including getting
better health. Therefore, the government passed a law regulating the health service for the
society as regulated in Law Number 36 Year 2014 on Health. Today many people are
addicted to buying drugs other than over-the-counter and over-the-counter medicines without
having to go to see a doctor and many of the people who are addicted to antibiotics. Society
easy to find drugs according to complaints and not a few who come to the pharmacy to buy
hard drugs without a prescription. Pharmacists as one of the health professions should play
the role of informer regardless of merely profit. Consumers also have the right and should be
aware of the side effects they will receive if taking antibiotics carelessly so that consumers
are more critical in the purchase of antibiotics.
In this thesis the author uses normative legal research methods. Data analysis used
is qualitative analysis. Data collection in this study using literature study method and
documentation, which consists of written materials that researchers collect from various
sources of primary, secondary and tertiary data contained in the library or other electronic
media.
Severe drugs/Gevaarlijk drug can be purchased easily in pharmacies even without
recipe, one reason is the patient's lack of awareness of the dangers of the drug. The
opportunity provided by pharmacies that sell hard drugs freely and weak regulation and
existing sanctions leads to an increase in the use of hard drugs without a recipe. Pontianak
City Health Office, Drug and Food Control Center and the Association of Indonesian
Pharmacists have conducted guidance and supervision to pharmacies in the city of Pontianak.
However, the guidance and supervision conducted by the institution has not been
comprehensive.
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 bahwa negara bertujuan melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta dalam usaha perdamaian dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sehubungan dengan hal
terhadap keselamatan dan keamanan yang secara nyata dalam berbagai bidang kehidupan.
Jika dikaitkan dengan konsumen, dimana pun mereka berada semuanya mempunyai
hak-hak dasar sosialnya. Hak-hak dasar tersebut adalah Hak untuk mendapatkan Produk
yang aman, Hak untuk mendapatkan informasi tentang produk yang digunakan, Hak
untuk memilih barang dengan jelas dan terliti dan Hak untuk didegar sebagai
konsumen.1
Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup
kesehatan demi menaikkan kualitas hidupnya. Oleh kerena itu, pemerintah mengeluarkan
undang-undang yang mengatur tentang pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang diatur
nilai yang sangat penting sebagai sebuah produk karena obat dapat menyembuhkan
konsumen kesehatan. Ketika seseorang sakit maka secara naluriah, ia akan berusaha
1
Perlindungan Konsumen kota Malang, 2011, Empat Hak Dasar Konsumen,
http://perlindungankonsumenkotamalang.blogspot.co.id/2011/12/empat-hak-dasar-konsumen.html, di akses
pada 12 Maret 2017.
diagnosa, pengobatan dan pemulihan, obat menjadi salah satu komponen pokok yang
Berdasarkan hasil pra penelitian yang dilakukan oleh penulis, dewasa ini banyak
masyarakat yang kecanduan membeli obat selain obat bebas dan obat bebas terbatas tanpa
memeriksakan dirinya dahulu ke dokter dan banyak dari kalangan masyarakat yang
kecanduan antibiotik. Hal ini kemungkinan karena masyarakat menilai jika periksa
dahulu ke dokter baru menebus resep dan membeli obat biaya yang dikeluarkan akan jauh
lebih besar dibandingkan dengan hanya ke apotek dan membeli obat. Disisi lain banyak
apoteker sebagai pelaku usaha kadang hanya mengejar omset tanpa mempedulikan
pelayanan.
internet terkait dengan jenis obat-obatan. Masyarakat mudah mencari obat sesuai keluhan
dan tak sedikit yang datang ke apotek untuk membeli obat keras tanpa resep dokter.
Beberapa masyarakat beranggapan antibiotik merupakan salah satu obat wajib yang harus
diminum ketika sakit. Bahkan Kadang penyakit yang disebabkan virus seperti pilek yang
Namun di sisi lain, obat dapat merugikan kesehatan bila tidak memenuhi persyaratan,
bila digunakan secara tidak tepat atau bila disalahgunakan. Oleh karena itu berbeda
dengan komoditas perdagangan lainnya, peredaran obat diatur sedemikian rupa agar
menjadi aspek penting dalam mengkonsumsi obat karena ketidaktepatan penggunaan obat
dapat menyebabkan banyak kerugian, baik itu kerugian dari sisi finansial maupun
Golongan obat yang dapat di beli tanpa resep dokter adalah obat bebas, obat bebas
terbatas dan obat wajib apotek (OWA). Golongan obat bebas dapat dibeli masyarakat
secara bebas tanpa resep dan tidak membahayakan bagi si pemakai dalam batas dosis
yang dianjurkan2. Sedangkan golongan obat bebas terbatas sebenarnya termasuk obat
keras, namun dapat diserahkan tanpa resep dokter dalam bungkus aslinya dari
apotek (OWA) juga merupakan obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter,
namun dengan ketentuan yang lebih ketat, yaitu: yang menyerahkan harus apoteker di
apotek; apoteker tersebut diwajibkan untuk memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis
obat per pasien; membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan serta
memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping
Golongan obat yang harus dibeli dengan resepdokter adalah obat keras, Narkotika dan
Psikotopika. Golongan obat keras sering juga disebut dengan obat daftar G (dari kata
gevaarlijk yang berarti berbahaya) hanya dapat diserahkan oleh apotek atas dasar resep
dokter. Ketentuan tersebut bertujuan untuk mencegah penggunaan yang salah ataupun
penyalahgunaan obat dari golongan ini. Penggunaan yang tidak tepat dari obat golongan
ini memiliki risiko yang cukup tinggi bagi kesehatan sesuai dengan asal katanya yang
terhadap peredaran obat keras. Obat keras hanya dapat diperoleh di sarana-sarana
kesehatan tertentu, salah satunya adalah apotek, penyerahannya pun hanya boleh
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang yaitu Apoteker, dan Apoteker di apotek
hanya dapat mengeluarkan obat keras berdasarkan permintaan resep dokter. Dengan
dikeluarkannya Kepmenkes Nomor 347 Tahun 1990 tentang Obat Wajib Apotik,
beberapa obat keras diperbolehkan untuk diserahkan oleh Apoteker di Apotek tanpa
resep. Namun untuk obat keras yang tidak masuk dalam daftar Obat Wajib Apotek
2
Syamsuni, 2007, Ilmu Resep, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hlm. 17.
3
Ibid.
4
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotik.
penyerahannya harus tetap berdasarkan resep5.
Obat keras dapat dibeli dengan mudah di apotek walau tanpa resep dokter, salah satu
alasannya adalah persaingan bisnis antar apotek yang bertujuan untuk meningkatkan
omset apotek. Hal lain yang menyebabkan obat keras dapat dibeli bebas adalah
kurangnya kesadaran pasien akan bahaya dari obat keras tersebut. Adanya peluang yang
diberikan oleh apotek yang menjual obat keras secara bebas dan lemahnya peraturan serta
sanksi yang ada menyebabkan terjadinya peningkatan dalam penggunaan obat keras tanpa
resep dokter. Upaya masyarakat melakukan pengobatan sendiri dinilai seperti pedang
bermata dua. Di satu sisi akan mengurangi beban pelayanan di puskesmas atau rumah
sakit. Di sisi lain bila obat yang digunakan tidak diimbangi dengan pengetahuan yang
memadai, maka akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dan berdampak buruk
terhadap kesehatan.
keras, yaitu Stablat Ordonansi Obat Keras yaitu St No. 419 tahun 1949, Kepmenkes No.
Apotek No. 3, UU No. 36 tahun 2014 Tentang Kesehatan, dan PP No. 51 tahun 2009
Obat-obat yang termasuk dalam obat keras, seperti antibiotik, antidiabetes, hormon
5
Yustina Sri Hartini dan Sulasmono, 2010, Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-
Undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek Rakyat Edisi Revisi
Cetakan Ketiga, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hlm. 71.
dan antihipertensi menurut undang-undang tidak dapat diberikan tanpa resep dokter.
Namun, penggunaan obat keras, seperti antibiotik tanpa resep dokter sudah merupakan
hal yang umum dijumpai dalam masyarakat. Penggunaan obat keras tanpa resep dokter
dapat menimbulkan masalah, dimana masyakarat tidak tahu dalam prosedur penggunaan
obatnya.
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki
lagi, akan tetapi penggunaannya yang berlebihan akan segera diikuti dengan munculnya
terhadap antibiotik telah menjadi masalah kesehatan yang sangat besar. Infeksi oleh
kesakitan dan angka kematian, diperlukan antibiotik pilihan ke dua atau bahkan ke tiga,
yang mana efektifitasnya lebih kecil dan mungkin mempunyai efek samping lebih banyak
serta biaya yang lebih mahal dibanding dengan pengobatan standar.7 Untuk itulah
swamedikasi obat keras non OWA. Swamedikasi adalah upaya yang dilakukan oleh
individu yang bertujuan untuk mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-
6
Drs. Tan Hoan Tjay dan Drs. Kirana Rahardja, 2002, Obat-Obat Penting, PT. Alex Media Komputindo,
Jakarta, hlm 63.
7
Murda, Sulistya. 2015. Farmasi Wajib Memerangi Penyalahgunaan Antibiotik Demi Indonesia Sehat.
http://www.kompasiana.com/dasulistya/farmasis-wajib-memerangi-penyalahgunaan-antibiotik-demi-
indonesia-sehat_54f89266a33311d0098b4666. Diakses pada 20 Januari 2017.
obatan yang dapat dibeli bebas di apotek atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter.8
Dalam hal ini masyarakat merasa butuh akan penyuluhan yang jelas dan tepat mengenai
penggunaan secara aman dari obat-obatan yang dapat mereka beli secara bebas tanpa
resep dokter di apotek. Salah satu yang sering dijual adalah obat-obatan antibiotik.
Apoteker dan masyarakat sendiri beranggapan antibiotik merupakan obat yang sudah
Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai
pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam
swamedikasi tanpa memperhatikan untung semata. Konsumen juga berhak dan harus tahu
atas efek samping yang akan mereka terima jika mengkonsumsi antibiotik sembarangan
agar konsumen lebih kritis dalam pembelian antibiotik. Sebagaimana dituangkan dalam
Kode Etik Apoteker Indonesia pada Pasal 5 yaitu di dalam menjalankan tugasnya seorang
Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang
bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian. Pada pasal 9 yaitu
kepentingan masyarakat, menghormati hak asasi dan melindungi makhluk hidup insani.
Selain itu, kewajiban ini juga tertuang dalam Pasal 1 Peraturan pemerintan No. 51 Tahun
2009 tentang Pekerja Kefermasian dan jika dilihat dari sisi apoteker sebagai pelaku usaha,
kewajiban ini juga ada dalam pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen.
Meskipun telah ada berbagai peraturan yang mengatur mengenai penjualan obat keras
tanpa resep dokter, namun kenyataan yang ada tidak sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Oleh karena hal tersebut artikel ini akan difokuskan pada Perlindungan Hukum
8
Pharmacy Care, 2016, Swamedika, http://www.mipa-farmasi.com/2016/05/swamedikasi.html, diakses
pada 12 April 2017.
Pontianak).
2. PEMBAHASAN
A. Perlindungan Konsumen Pengguna Antibiotik Tanpa Resep Dokter di Kota
Pontianak
Di Kota Pontianak terdapat 126 Apotek dan 12 apotek diantarnya adalah apotek
yang dimiliki oleh Apoteker itu sendiri.9 Bagi apoteker sebagai penanggung jawab
dan sebagai pemiliki apotek tersebut maka apoteker tersebut dapat disebut sebagai
pelaku usaha.
1999 tentang Perlindungan konsumen adalah memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa serta memberi penjelasan
dalam memberian obat keras khususnya antibiotik harus menggunakan resep dokter.
Penyerahan obat keras oleh apoteker harus dengan resep dokter ini diatur dalam pasal
khususnya antibiotik adalah Pasal 108 Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan, Pasal 3 Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949),
9
Data Pelayanan Kefarmasian Di apotek Provinsi Kalimatan Barat Tahun 2017, Dinas Kesehatan Kota
Pontianak
Keputusan Menteri Kesehatan No. 633/Ph/62/b Tahun 1962 Tentang Daftar Obat
Upaya pengamanan sediaan farmasi yang berupa obat keras, sepanjang belum
Menteri kesehatan, Dinas Kesehatan, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Dimana Balai Pengawasan Obat dan Makanan
provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota dan pengawasan yang dilakukan Balai
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dilaporkan secara berkala kepada Menteri.
peredaran antibiotik secara bebas tetap sering terjadi. Dari hasil wawancara yang
dilakukan penulis kepada lembaga-lembaga tersebut didapatkan fakta sebagai berikut
uji petik untuk monitoring dan evaluasi. Akan tetapi pembinaan dari Dinas Kesehatan
lebih fokus terhadap berizinan Apotek. Dalam pengawasan Dinas Kesehatan lebih
cenderung pada tempat apotek, Sanitasi, Pengolahan limbah, tata graha dan perizinan
Apoteker. Dalam pengawasan ini pun tidak rutin dilakukan. Biasanya dilakukan uji
petik atau jika ada apotek akan habis masa izinnya, maka Dinas kesehatan akan
sanksi. Sanksi yang dilakukan oleh dinas kesehatan Kota Pontianak harus sesuai
dengan rekomendasi dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Sanksi
hanya dapat dilakukan oleh Dinas Kesehatan karena Dinas kesehatan adalah lembaga
yang mengeluarkan izin untuk Apotek. Dalam penutupan apotek, Dinas Kesehatan
direkomendasikan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) pun tidak
harus diterima atau dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Jadi Dinas Kesehatan memiliki
hak menolak atau menerima rekomendasi dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM).
Ini merupakan salah satu faktor mengapa apoteker masih sering menyerahkan
antibiotik tanpa resep dokter. Jarang adanya pembinaan yang berfokus pada
penyerahan antibiotik serta tidak meratanya pembinaan yang diberikan oleh Dinas
Kesehatan. Sanksi yang diberikan oleh Dinas Kesehatan pun terlalu ringan. Dinas
Kesehatan juga seharusnya tidak hanya melakukan pembinaan kepada apotek tapi
kepada Konsumen juga. Agar konsumen mengetahui efek samping dari penggunaan
wawancara dengan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) hampir semua
apotek dikota Pontianak memberikan antibiotik tanpa resep dokter. Antibiotik yang
paling sering diberikan oleh Apoteker tanpa resep dokter adalah Amoxicilin.
Dalam berita acara pengawasan yang dilakukan oleh Balai Pengawasan Obat
dan Makanan (BPOM) secara tegas dicantumkan untuk semua obat keras harus
dengan resep dokter khususnya antibiotik karena antibiotik memiliki efek panjang
pada tumbuh pasien yaitu resitensi. Jika ada temuan atas pelanggaran yang dilakukan
oleh apotek maka Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) akan meyurati
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) kepada Apotek sesuai dengan standar
pemberian sanksi Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yaitu Pedoman
Pengawas dan Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Fasilitas, Distribusi Obat, Bahan
1. Peringatan
3 kali inspeksi.
2. Pemberhentian Sementara
Jika ditemukan pelanggaran berat mayor atau pelanggaran sedang sebanyak 3
Dalam tahun 2017, target Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) ada 141
apotek dari 14 kabupaten/kota di Kalimatan Barat yang akan diawasi. Dari 141
Apotek yang akan diawasi, hampir semua apotek yang ada di kota Pontianak akan
sanksi yang diberikan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terlalu ringan
sehingga tidak ada efek jera bagi apoteker. Balai Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) juga harus lebih tegas dalam pelaksanaan sanksi yang direkomendasikan
olehnya. Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) harus memonitoring apakah
Adapun upaya preventif yang telah dilakukan oleh Balai Pengawasan Obat dan
1. Pengawasan ke Lapangan
Makanan (BPOM) adalah Sumber Daya Manusia yang di miliki oleh BPOM masih
tanpa resep dokter adalah sekedar mengingatkan. Saling mengingatkan juga tidak
pada acara formal yang dilaksanakan oleh IAI, tapi pada saat bertemu saja. Hal ini
dikarenakan IAI tidak hanya organisasi profesi yang tidak memiliki wewenang penuh
untuk melakukan pengawasan terhadap Apoteker. Upaya preventif dari IAI untuk
mengurangi pemberian Antibiotik tanpa resep dokter oleh apoteker adalah dengan
peraturan terbaru tentang prosedur pemberian obat. IAI berharap pemerintah dapat
menambah daftar Obat Wajib Apotek agar apotek sebagai sarana pelayanan obat
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan beberapa Apoteker
sebagai Pelaku usaha, ditemukan fakta-fakta bahwa sering ada konsumen yang
membeli antibiotik tanpa resep dokter. Antibiotik yang sering dibeli oleh konsumen
tanpa resep dokter adalah Amocixilin. Dalam 1 (satu) hari minimal ada 3 – 4 pasien
konsumen bahwa Antibiotik tersebut termasuk obat keras dengan alasan konsumen
belum memahami tentang jenis-jenis obat. Apoteker juga tetap memberikan antibiotik
tanpa resep dokter kepada pembeli karena sebagian besar dari konsumen tetap
lampiran BAB III Layanan Farmsi Klinik dimana Apoteker di Apotek juga dapat
melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan
edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan
dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai. Pelayanan Informasi
Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi
mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti
terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien
atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas dan
herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda
penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas,
ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.
kematian atau keracunan karena itu jika dikonsumsi secara tanpa resep dokter asal
sesuai dengan aturan pakai tidak akan ada masalah pada konsumen. Sejauh ini juga
konsumen hanya membeli antibiotik dengan kadar yang ringan. Hal ini juga salah satu
alasan kenapa apoteker tetap memberikan antibiotik secara bebas. Biarpun tidak ada
efek mematikan tapi tujuan konsumen membeli obat untuk kesembuhannya tidak
konsumen maka apoteker tersebut juga sudah melanggar Pasal 7 Kode Etik Apoteker
Indonesia yaitu seorang apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai profesinya
serta Pasal 9 Kode Etik Apoteker indonesia yaitu seorang apoteker dalam melakukan
Pernah ada pembinaan dan pengawasan dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) tapi tidak fokus mengenai penyerahan antibiotik. Sejauh ini juga apotek
yang menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter tidak pernah diberikan sanksi biarpun
ada temuan dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) karena hal ini lah
pemberian antibiotik tanpa resep dokter oleh apoteker sudah menjadi hal wajar.
akibat hukum yang akan mereka terima atas pemberian antibiotik tanpa resep dokter
apoteker tentang akibat hukum atau sanksi yang akan diterima apoteker jika
memberikan antibiotik tanpa resep dokter maka apoteker tidak senggan dalam
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan beberapa Konsumen
yang pernah membeli antibiotik tanpa resep dokter, ditemukan fakta-fakta bahwa
antibiotik yang sering dibeli oleh konsumen tanpa resep dokter adalah Amoxicilin.
Konsumen mengetahui bahwa obat keras harus dibeli dengan resep dokter, tapi
mereka tidak mengetahui bahwa semua antibiotik termasuk obat keras karena sering
menjelaskan bahwa obat tersebut termasuk obat keras. Ada beberapa apotek yang
memberikan edukasi tentang prosedur konsumsi antibiotik tersebut serta menanyakan
tersebut dari beberapa kerabat dan internet. Konsumen juga beralasan membeli
antibiotik tanpa resep dokter karena menurut mereka, mereka akan mengeluarkan
uang dan waktu yang lebih besar jika harus kedokter terlebih dahulu baru menebus
obat, karena itu mereka memilih untuk langsung membeli saja obat tersebut ke
Tidak adanya pembinaan atau informasi dari Dinas Kesehatan dan apoteker
antibiotik merupakan obat bebas yang mereka dapat beli secara sembarangan. Jika
antibiotik secara sembarangan maka meraka akan lebih berhati-hati dalam pembelian
antibiotik.
Dari hasil penelitian diatas, dapat diketahui bahwa sudah banyak aturan
hukum yang mengatur tentang jual-beli atau penyerahan antibiotik. Sayangnya, untuk
melaksanakan aturan hukum yang sudah ada, lembaga pemerintahan serta organisasi
Sanksi administrasi yang diberikan oleh Dinas Kesehatan dianggap terlalu ringan dan
tidak membuat efek jera bagi Apoteker selaku pelaku usaha. Dinas Kesehatan juga
kepada konsumen.
sembarangan.
yang selalu membeli antibiotik tanpa resep dokter. Dengan adanya pembinaan dari
Dinas Kesehatan, BPOM dan apoteker diharapkan konsumen tidak membeli antibiotik
B. Akibat Hukum bagi Apoteker sebagai Pelaku Usaha Terkait dengan Jual-Beli
Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari
pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan. Ini menunjukkan bahwa apoteker
bertindak juga sebagai pelaku usaha dan pasien bertindak sebagai konsumen, yakni
pemakai jasa layanan kesehatan. Oleh karena itu, hubungan hukum yang terjadi di
antara keduanya adalah hubungan pelaku usaha dan konsumen yang dilindungi oleh
apoteker salah satunya dilarang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar
Konsumen.
sebagai pelaku usaha jika memberikan antibiotik tanpa resep dokter adalah Peraturan
keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai
dengan ketentuan peraturan. Secara tidak langsung pada pasal ini dijelaskan seorang
tanpa resep dokter adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35
Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga
maka ia dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
Di samping itu, profesi apoteker juga mengacu pada Kode Etik Apoteker
Indonesia dan apabila apoteker lalai dalam melaksanakan kewajiban dan tugasnya
maka apoteker dapat dikenakan sanksi oleh Ikatan Apoteker Indonesia. Pasal 9 Kode
Salah satu penjabaran pasal ini adalah seorang apoteker harus yakin bahwa obat
yang diserahkan kepada pasien adalah obat yang terjamin mutu, keamanan, khasiat,
dan cara pakai obat yang tepat. Apabila apoteker melakukan pelanggaran kode etik
ini, sesuai dengan jabaran Pasal 15 Kode Etik Apoter maka terhadap apoteker tersebut
dapat dikenakan sanksi organisasi, berupa: pembinaan, peringatan, pencabutan
Selain sanksi tersebut diatas, Dinas Kesehatan atas rekomendasi dari Balai
Pengawasan Obat dan Makanan juga dapat menjatuhkan sanksi apabila ada Apoteker
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) kepada Apotek sesuai dengan standar
pemberian sanksi Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yaitu Pedoman
Pengawas dan Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Fasilitas, Distribusi Obat, Bahan
1. Peringatan
3 kali inspeksi.
2. Pemberhentian Sementara
minnor. Jadi jika selama pengawasan apotek ketahuan memberikan antbiotik tanpa
resep dokter setelah 3 kali ketahuan melakukan pelanggaran minnor lalu Balai
pengelola apotek.
tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan dan mengganti obat generik
perundang-undangan lainya.
bidang obat.
menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter adalah pencabutan izin apotik karena
adalah :
telah dipenuhi.
antibiotik tanpa resep dokter maka praktek penyerahan antibiotik tanpa resep dokter
akan sering terjadi dan menjadi hal biasa dimasyarakat. Dampaknya kepada
konsumen akan banyak konsumen mengalami resistensi pada antibiotik yang sering ia
konsumsi secara sembarangan. Selain itu konsumen juga dapat menderita efek
pihak berwajib untuk diproses secara pidana atau melakukan gugatan kepada Badan
beberapa hal tentang Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Pengguna Obat Keras
Pontianak kepada apotek. Selain BPOM dan Dinas Kesehatan Kota Pontianak,
kesehatan terlalu ringan sehingga tidak ada efek jera dari apoteker.
B. Saran
1. Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan harus
tentang akibat hukum yang akan diterima oleh apoteker jika memberikan
antibiotik tanpa resep dokter agar para anggotanya lebih ketat dalam
pemberian antibiotik.
antibiotik tanpa resep dokter agar ada efek jera bagi apoteker.
DAFTAR PUSTAKA
1. BUKU
Anwar, Saiful, 2004, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Glora Madani Press.
Arikunto, Suharmini, 1998, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka
Cipta, Jakarta.
Friedman, Lawrence M, 1986, The Legal System : A Social Science Perspective, New
York: Russel Sage Foundation, Hal. 17 Didalam buku Esmi Warassih, 2015, Pranata
Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, CV. Elangtuo Kinasih, Demak.
Gunawan, Sulistia Gan, 2009, Famakologi dan Terapi, Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
Hadjon, Philipus M, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya.
Hartini, Yustina Sri dan Sulasmono, 2010, Apotek Ulasan Beserta Naskah Peraturan
Perundang-Undangan Terkait Apotek Termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes
tentang Apotek Rakyat Edisi Revisi Cetakan Ketiga, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Hartono, Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung.
Huijbers, Theo 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Jakarta.
Joyce L. Kee, Evelyn R. Hayes, 1996, Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan,
E, Alih Bahasa Peter Anugerah, EGC: Jakarta.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika:
Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1986, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta.
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2005, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
M. Sadar., Moh. Taufik Makarao., Hobloel Mawadi. 2012. Hukum Perlindungan
Konsumen di Indonesia. Akademia: Jakarta.
Naingggolan, Bernard, 2011, Perlindungan Hukum Seimbang Debitor, Kreditor dan
Pihak-Pihak Berkepentingan dalam Kepailitan, Cetakan I, PT Alumni, Bandung.
Nasution, Az, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar. Daya Widya,
Jakarta.
Paton, George Whitercross, 1951, A Text-Book of Jurisprudence, Second Edition.
Prasetyo, Teguh, 2012, Filfasat, Teori dan Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Prayudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Priyanto, 2010, Farmakologi Dasar, Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi
(Leskonfi): Depok.
Raharjo, Satijipto, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rasjidi, Lili dan I B Wysa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rusdakarya, Bandung.
Sartono. 2000. Apa yang Sebaiknya Anda Ketahui tentang Obat Wajib Apotek Edisi
Tiga. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Setiono, 2004, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Surakarta, Magister Ilmu Hukum
Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret.
Shofie, Yusuf, 2002, Pelaku usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, cet. 1,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sidabalok, Janus, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Sidharta, B. Arief, 2000, Hukum dan Logika, PT. Alumni, Bandung.
______________, 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Grasindo:
Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
________ Soerjono dan Sri Mamudji, SH, MLL, 2004, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan 8, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Susanto, Happy, 2008, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, Cet.1, Visimedia, Jakarta.
Syamsuni, 2007, Ilmu Resep, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Tjay, Tan Hoan dan Drs. Kirana Rahardja, 2002, Obat-Obat Penting, PT. Alex Media
Komputindo, Jakarta.
Zulham. 2013. Hukum Perlindungan Konsumen. Kencana Prenada Group: Jakarta.
2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan,
Undang-Undang Obat Keras (St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949)
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen;
Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian;
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2017 tentang Apotek
Keputusan Menteri Kesehatan No. 633/Ph/62/b Tahun 1962 Tentang Daftar Obat
keras;
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 2380/A/SK/VI/1983 tentang Tanda Khusus
Untuk Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib
Apotik.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 189/Menkes/SK/III/2006
tentang Kebijakan Obat Nasional.
3. INTERNET
Adnanblogspot//Pengertian Apoteker//. Diakses Tanggal 13 Mei 2017.
http://infodanpengertian.blogspot.co.id/2016/02/pengertian-pembinaan-menurut-para-
ahli.html, di akses pada tanggal 29 Agustus 2017
Argianti, Putu. 2013. Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Keras dan Obat
Psikotropika Narkotika. http://argiantiputu.blogspot.co.id/2013/11/obat-bebasobat-
bebas-terbatasobat-keras.html. Diakses pada 25 Januari 2017.
Mediskus, Jenis-jenis Golongan Antibiotik dan fungsinya,
http://mediskus.com/dasar/jenis-jenis-golongan-antibiotik-dan-fungsinya, Diakses 28
April 2017.
Perlindungan Konsumen kota Malang, 2011, Empat Hak Dasar Konsumen,
http://perlindungankonsumenkotamalang.blogspot.co.id/2011/12/empat-hak-dasar-
konsumen.html, di akses pada 12 Maret 2017.
Pharmacy Care, 2016, Swamedika, http://www.mipa-
farmasi.com/2016/05/swamedikasi.html, diakses pada 12 April 2017.
Silmin, Mika. 2015. Obat dan Penggolongan Obat.
http://mikasilmin.blogspot.co.id/2015/11/obat-dan-penggolongan-obat.html. Diakses
pada 20 Januari 2017.
Sulistya, Murda. 2015. Farmasi Wajib Memerangi Penyalahgunaan Antibiotik Demi
Indonesia Sehat. http://www.kompasiana.com/dasulistya/farmasis-wajib-memerangi-
penyalahgunaan-antibiotik-demi-indonesia-sehat_54f89266a33311d0098b4666.
Diakses pada 20 Januari 2017.
4. SKRIPSI
Mustafa, Muhammad Hasyim, 2014, Analisis Yuridis Perlindungan Konsumen
Terhadap Peredaran Makanan Berbahan Pewarna Tektil Di Dinas Kesehatan Sleman,
Skripsi, Fakultas Syari’at dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Yogyakata.
5. LAIN-LAIN
Anthony R. Patten, 1988, The United Nation and Consumer Protection, makalah pada
Seminar Perlindungan Konsumen Menuju Terwujudnya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen di Indonesia, YLKI, 16 Juni 1988, Jakarta.
Az Nasution, 1998, “Satu Sisi Kondisi Konsumen Dengan Adanya Undang-undang
No. 8 tahun 1999”. Makalah bahan kuliah Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas
Universitas Indonesia, Depok.
Mariam Darus Badrulzaman, 1980, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari
Sudut Perjanjian Baku (standar), Makalah pada Simposium Aspek-Aspek Hukum
Masalah Perlindungan Konsumen, BPHN, 16-18 Oktober, Binacipta, Jakarta.
Moh. Mahfud MD, Bahan Kuliah Politik Hukum, Program Pascasarjana UII.
Kode Etik Apoteker Indonesia, 2009, Jakarta, Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia.
Sambutan Meteri Kehakiman RI pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan
Konsumen pada 16-18 Oktober 1980, dalam hasil-hasil Pertemuan Ilmiah
(Simposium, Lokakarya) 1979-1983, BPHN, Jakarta.