Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu ciri bangsa maju adalah bangsa yang memiliki tingkat kesehatan, kecerdasan,

dan produktivitas kerja yang tinggi. Ketiga hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi. Pola makan

merupakan perilaku paling penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi.Hal ini disebabkan

karena kuantitas dan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi akan mempengaruhi

tingkat kesehatan individu dan masyarakat. Agar tubuh tetap sehat dan terhindar dari berbagai

penyakit kronis atau penyakit tidak menular (PTM) terkait gizi, maka pola makan masyarakat

perlu ditingkatkan kearah konsumsi gizi seimbang.Keadaan gizi yang baik dapat meningkatkan

kesehatan individu dan masyarakat. Gizi yang optimal sangat penting untuk pertumbuhan

normal serta perkembangan fisik dan kecerdasan bayi, anak-anak, serta seluruh kelompok umur.

Gizi yang baik membuat berat badan normal atau sehat, tubuh tidak mudah terkena penyakit

infeksi, produktivitas kerja meningkat serta terlindung dari penyakit kronis dan kematian dini.1

Dalam upaya menyediakan data kesehatan yang berkesinambungan maka Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI

melaksanakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Riskesdas merupakan Riset Kesehatan

berbasis komunitas yang dirancang dapat berskala nasional, propinsi dan kabupaten/kota.

Riskesdas dilaksanakan secara berkala dengan tujuan untuk melakukan evaluasi pencapaian

program kesehatan sekaligus sebagai bahan untuk perencanaan kesehatan.1


Secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari

5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi

nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Perubahan terutama

pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun 2010, dan

5,7 persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari 2007 dan

2013 (Gambar 3.14.4). Untuk mencapai sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka

prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen dalam periode

2013 sampai 2015.2

Diantara 33 provinsi di Indonesia,18 provinsi memiliki prevalensi gizi buruk -kurang di

atas angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2 persen sampai dengan 33,1 persen.

Urutan ke 19 provinsi tersebut dari yang tertinggi sampai terendah adalah (1) Nusa Tenggara

Timur; (2) Papua Barat; (3) Sulawesi Barat; (4) Maluku; (5) Kalimantan Selatan; (6)

Kalimantan Barat; (7) Aceh; (8) Gorontalo; (9) Nusa Tenggara Barat; (10) Sulawesi Selatan;

(11) Maluku Utara; (12) Sulawesi Tengah; (13) Sulawesi Tenggara; (14) Kalimantan Tengah;

(15) Riau; (16) Sumatera Utara; (17) Papua, (18) Sumatera Barat dan (19) Jambi.2

Atas dasar sasaran MDGs 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi gizi

buruk-kurang sudah mencapai sasaran yaitu: (1) Bali, (2) DKI Jakarta, (3) Bangka Belitung.

Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20,0-

29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen (WHO, 2010). Pada tahun

2013, secara nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 19,6 persen, yang

berarti
masalah gizi berat-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

mendekati prevalensi tinggi. Diantara 33 provinsi, terdapat tiga provinsi termasuk kategori

prevalensi sangat tinggi, yaitu Sulawesi Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Prevalensi pendek (stunting) secara nasional tahun 2013 adalah 37,2 persen, yang

berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi

pendek sebesar 37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen pendek.

Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8 persen tahun

2007 dan 18,5 persen tahun 2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 persen pada tahun

2007 menjadi 19,2 persen pada tahun 2013.2

Terdapat 20 provinsi diatas prevalensi nasional dengan urutan dari prevalensi tertinggi

sampai terendah, yaitu:(1) Nusa Tenggara Timur, (2) Sulawesi Barat, (3) Nusa Tenggara Barat,

(4) Papua Barat, (5) Kalimantan Selatan, (6) Lampung, (7) Sulawesi Tenggara, (8) Sumatera

Utara, (9) Aceh, (10) Kalimantan Tengah, (11) Maluku Utara, (12) Sulawesi Tengah, (13)

Sulawesi Selatan, (14) Maluku, (15) Papua, (16) Bengkulu, (17) Sumatera Barat, (18)

Gorontalo, (19) Kalimantan Barat dan (20) Jambi.2

Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39

persen dan serius bila prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010). Sebanyak 14 provinsi

termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius. Ke 15 provinsi

tersebut adalah: (1) Papua, (2) Maluku, (3) Sulawesi Selatan, (4) Maluku Utara, (5) Sulawesi

Tengah, (6) Kalimantan Tengah, (7) Aceh, (8) Sumatera Utara, (9) Sulawesi Tenggara, (10)

Lampung, (11). Kalimantan Selatan, (12). Papua Barat, (13). Nusa Tenggara Barat, (14).

Sulawesi Barat dan (15) Nusa Tenggara Timur.2

Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam manajemen gizi

buruk adalah keadaan sangat kurus yaitu anak dengan nilai Zscore<-3,0 SD. Prevalensi sangat
kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 persen, terdapat penurunan

dibandingkan tahun 2010 (6,0 %) dan tahun 2007 (6,2 %). Demikian pula halnya dengan

prevalensi kurus sebesar 6,8 persen juga menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 persen (tahun

2010) dan 7,4 persen (tahun 2007). Secara keseluruhan prevalensi anak balita kurus dan sangat

kurus menurun dari 13,6 persen pada tahun 2007 menjadi 12,1 persen pada tahun 2013

(Gambar 3.14.4).1,2

Terdapat 17 provinsi dimana prevalensi kurus diatas angka nasional, dengan urutan dari

prevalensi tertinggi sampai terendah, adalah: Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Riau, Nusa

Tenggara Timur, Papua Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Papua, Banten, Jambi, Kalimantan

Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau dan Maluku

Utara.2

Pada tahun 2013 prevalensi gemuk secara nasional di Indonesia adalah 11,9 persen,

yang menunjukkan terjadi penurunan dari 14,0 persen pada tahun 2010. Terdapat 12 provinsi

yang memiliki masalah anak gemuk di atas angka nasional dengan urutan prevalensi tertinggi

sampai terendah,yaitu: (1) Lampung, (2) Sumatera Selatan, (3) Bengkulu, (4) Papua, (5) Riau,

(6) Bangka Belitung, (7) Jambi, (8) Sumatera Utara, (9) Kalimantan Timur, (10) Bali, (11)

Kalimantan Barat, dan (12) Jawa Tengah.2

Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,0

14,0 persen, dan dianggap kritis bila ≥15,0 persen (WHO 2010). Pada tahun 2013, secara

nasional prevalensi kurus pada anak balita masih 12,1 persen, yang artinya. masalah kurus di

Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Diantara 33 provinsi,

terdapat 16 provinsi yang masuk kategori serius, dan 4 provinsi termasuk kategori kritis, yaitu

Kalimantan Barat, Maluku, Aceh dan Riau.2


Riskesdas 2007, 2010, 2013 menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki masalah

kekurangan gizi. Kecenderungan prevalensi kurus (wasting) anak balita dari 13,6% menjadi

13,3% dan menurun 12,1%. Sedangkan kecenderungan prevalensi anak balita pendek

(stunting) sebesar 36,8%, 35,6%, 37,2%. Prevalensi gizi kurang (underweight) berturut-turut

18,4%, 17,9% dan 19,6%. Prevalensi kurus anak sekolah sampai remaja Riskesdas 2010

sebesar 28,5%.1,2

Konsumsi pangan masyarakat masih belum sesuai dengan pesan gizi seimbang. Hasil

penelitian Riskesdas 2010 menyatakan gambaran sebagai 2 berikut. Pertama, konsumsi

sayuran dan buah-buahan pada kelompok usia di atas 10 tahun masih rendah, yaitu masing-

masing sebesar 36,7% dan 37,9%. Kedua, kualitas protein yang dikonsumsi rata-rata perorang

perhari masih rendah karena sebagian besar berasal dari protein nabati seperti serealia dan

kacangkacangan. Ketiga, konsumsi makanan dan minuman berkadar gula tinggi, garam tinggi

dan lemak tinggi, baik pada masyarakat perkotaan maupun perdesaan, masih cukup tinggi.

Keempat, konsumsi cairan pada remaja masih rendah. Kelima, cakupan pemberian Air Susu

Ibu Eksklusif (ASI Eksklusif) pada bayi 0-6 bulan masih rendah (61,5%).

Masalah kekurangan gizi pada anak balita ini merupakan dampak dari rendahnya

pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan dan pemberian makanan pendamping ASI yang tidak

tepat, karena diberikan terlalu dini atau terlambat, jumlahnya tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan bayi pada setiap tahapan usia dan tidak bergizi

seimbang untuk memenuhi asupan kalori, protein dan gizi mikro (vitamin dan mineral). Hanya

41 persen keluarga yang mempunyai perilaku pemberian makanan bayi yang benar.

Ketersediaan pangan lokal beragam telah dapat diakses oleh sebagian keluarga karena dari 41

persen keluarga yang memberikan makanan pendamping ASI yang benar tersebut ternyata MP-

ASI yang diberikan berasal dari sumber pangan lokal yang memenuhi 70 persen kebutuhan

besi dan 87 persen kebutuhan vitamin A.


Pangan lokal adalah pangan yang sudah dikenal, mudah diperoleh di suatu wilayah,

jenisnya beragam dan dapat diusahakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun dijual. n

dan mineral. Potensi pangan pokok di Indonesia telah banyak dan beragam jenisnya. Sejak

lama Indonesia mempunyai pola pangan pokok yang beragam dengan menggunakan pangan

lokal non beras seperti jagung, aneka umbi-umbian, pisang dan sagu. Padi, yang kemudian

diolah menjadi beras, merupakan sumber utama kalori bagi sebagian besar penduduk

Indonesia. Oleh karena itu, produksi padi sangat menentukan bagi ketersediaan pangan pokok

bagi penduduk Indonesia yang saat ini bejumlah lebih dari 244 juta jiwa. Dilihat dari rata-rata

pertumbuhan produksi padi menurut wilayah, dapat dikatakan bahwa Pulau Jawa selama

periode tahun 2000 sampai dengan 2012 mengalami laju pertumbuhan produksi padi yang

relatif rendah, yaitu dengan laju pertumbuhan produksi rata-rata 1,85 %/tahun dan standard

deviasi 3,39 %/tahun.. Perkembangan Produksi Padi Menurut Wilayah, 2000 - 2012 Sumatera

Jawa Bali (NTB+NTT) Kalimantan Sulawesi Maluku (+Papua) 17 Di wilayah Maluku+Papua

(meliputi provinsi: Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat) selama periode tahun 2000

sd 2012, mempunyai rata-rata laju pertumbuhan produksi pertahun yang tertinggi, yaitu 10,35

% pertahun, namun jika dilihat stabilitas pertumbuhannya, data menunjukkan bahwa laju

pertumbuhan produksi padi di Maluku+Papua sangat tidak stabil, yaitu dengan standar deviasi

23,21 %/tahun.

Dengan mengacu pada besaran laju pertumbuhan produksi dan stabilitas

pertumbuhannya, maka wilayah yang potensial sebagai sumber pertumbuhan baru untuk

produksi padi nasional adalah wilayah Pulau Kalimantan, dengan laju pertumbuhan produksi

3,91 %/tahun dan standard deviasi 4,17, serta Pulau Sulawesi dengan laju pertumbuhan

produksi padi rata-rata 3,66 %/tahun dan standard deviasi 5,09 %/tahun.

Pemberian gizi yang paling tepatbagianak-anak adalah tetap berpedoman pada "Gizi

Seimbang". Manurut para pakar, pemenuhan nutrisi pada anak dipengaruhi beberapa faktor
seperti pengetahuan seperti pengetahuan gizi keluarga (terutama ibu), daya belik eluarga,

kondisi fisik anak, dan lain-lain. Selain peran status gizi dipengaruhi oleh keluarga dan daya

belikeluarga. Pengembangan anak sangat dipengaruhi oleh ibu. Interaksi ibu berpengaruh

secara langsung terhadap anak. Peran ibu sebagai pemberi makan kepada anak cukup

menentukan kesukaan atau kebiasaan makan anak.Selain itu peran ibu sebagai penjaga pintu

yang artinya ibu sebagai pemberi inisiatif dalam membeli suatu produk dan mencari informasi

tentang produk tersebut untuk mengambil suatu keputusan. Ibu berperan dalam mempengaruhi

pembelian suatu produk yang sesuai dengan kebutuhan Ibu berperan dalam menentukan

produk apa yang akan dibeli umumnya ibu memberikan pendidikan kepadaan akanaknya sejak

anak tersebut dilahirkan.1

Sedangkan peran ayah juga sangat penting dalam menentukan gizi keluarga.Peran ayah

dimulai bukan saat anak lahir, namun ketika sang ibu merencanakan kehamilan. Di mana ayah

berperan memberikan dukungan penuh agar ibu dan janin sehat dengan asupan gizi seimbang,

cukupistirahat dan olahraga.Ayah bisa menjadi penyedia dan pengolah makanan, juga

pendukung utama agar ibu dan anak sehat.1

Tujuan

1. Meningkatkan penetahuan keluarga mengenai gizi seimbang.

2. Menumbuhkan sikap dan perilaku gender dalam keluarga untuk pemenuhan gizi

seimbang pada balita.

3. Meningkatkan kepedulian keluarga dalam mengatasi permasalahan gizi pada balita

di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA. Pedoman Umum
Gizi Seimbang (Panduan Untuk Petugas), 2014. Direktorat Bina Gizi Masyarakat,
Jakarta 2014.
2. Kementerian Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Balitbang) Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, Laporan Nasional. Balitbang,
Jakarta 2014.
3.

Anda mungkin juga menyukai