Anda di halaman 1dari 31

DAULAH BANI UMAYYAH

“PEMERINTAHAN MONOKULTURAL, SEKULER DAN OTORITER”


Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
“Studi Peradaban Islam”

REVISI MAKALAH

Dosen Pengampu:
Dr. H. Muhammad Asrori M.Ag

Oleh:
Irfan Taufiq Mustari (17771027)
Kelas: A Semester 1 MPAI
No Presentasi : 7

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah peradaban Islam, umat Islam pada abad pertama telah
mengalami berbagai macam fase kepemimpinan. Pertama, nabi Muhammad SAW
sebagai seorang Rasul Allah sekaligus sebagai seorang pemimpin Negara. Kedua,
pengangkatan khalifah-khalifah yang kemudian dikenal dengan sebutan Khulafa al-
Rasyidun, menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam bidang
pemerintahan, di mana mereka dipilih oleh para tokoh sahabat dan kemudian dibai’at
oleh rakyat umum, melalui sistem musyawarah yang demokratis. Dan berikutnya yang
ketiga, ialah ketika berdirinya Daulah Umayyah yang didirikan oleh Mu’awiyah Ibn
Abu Sufyan, yang kemudian mengadopsi sistem monarki (kerajaan turun-temurun), di
mana penguasa berhak menunjuk orang yang akan menjadi penggantinya kelak.
Sistem seperti ini juga akan diadopsi oleh Daulah-daulah Islam berikutnya.
Sebuah Daulah, setelah terbentuk tentu akan mengalami masa-masa
perkembangan sampai kepada kemajuan, dan akhirnya kemunduran dan kehancuran.
Dalam makalah singkat ini penulis akan berusaha memberikan gambaran tentang
kemajuan dalam pemerintahan yang telah terbentuk yang pernah dihasilkan oleh
sebuah kerajaan besar dalam Islam yang merupakan Daulah Islam pertama yang
menganut sistem monarki dalam keberlangsungan pemerintahannya, yaitu Daulah
Bani Umayyah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Latar Belakang Berdirinya Daulah Bani Umayyah ?
2. Siapa Saja Pendiri Khalifah-Khalifah Daulah Bani Umayyah ?
3. Bagaimanakah Bentuk pemerintahan Daulah Bani Umayyah ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahuai Latar Belakang Berdirinya Daulah Bani Umayyah.
2. Untuk Mengetahui Khalifah-Khalifah Daulah Bani Umayyah.
3. Untuk Mengetahui Bentuk Pemerintahan Pada Daulah Bani Umayyah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Berdiri Daulah Bani Umayyah


Berbeda dengan sebelumnya dalam penanaman pemerintahan, Bani Umayyah
tidak memakai kata khalifah, melainkan memakai kata daulah. Secara bahasa
memiliki arti kerajaan atau dinasti.
Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perbedaan sistem pemerintahan,
salah satu indikasinya tampak dalam cara memilih kepemimpinan yaitu monarchi
(dengan menunjuk anaknya sebagai putra mahkota), sedangkan pada masa
sebelumnya (khulafa rasyidin) pemilihan pemimpin dilakukan dengan pemilihan
secara umum dengan melibatkan ahlul halli wal ‘aqd.1
Bani Umayyah artinya keturunan Umayyah. Umayyah adalah seorang pemuka
Qurays pada zaman Jahiliyah. Nama lengkapnya Umayyah bin Abd Syams bin Abd
Manaf. Abu Syams adalah saudara dari Hasyim. Umayyah segenerasi dengan Abdul
Muthalib bin Hasyim kakek Nabi Muhammad SAW dan Ali Bin Abi Thalib.2
Sebelum Islam datang, keturunan Abd Syams dan Hasyim bukanlah dua kubu
yang berlawanan. Keduanya hidup berdampingan, masing-masing memiliki peran
penting pada masa Jahiliyah. Sama-sama keturunan Qusay bin Kilab.
Ketika Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, membawa risalah
Allah, beliau mengajak kaumnya di Makkah untuk masuk Islam. Namun beliau
mendapat perlawanan keras dari keturunan Abd Syams. Abu Sufyan bin Harb bin
Umayyah (segenerasi dengan Nabi Muhammad SAW) saat itu memangku posisi
pemimpin, ikut mengadakan perlawanan kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan
dari pihak mayoritas keluarga Hasyim membela Nabi Muhammad SAW.
Perselisihan ini terus terjadi hingga Fathul Makkah pada 8 H/ 630 M. Dimana
Nabi Muhammad SAW memberikan “keistemewaan” kepada Abu Sufyan yaitu
barang siapa masuk rumahnya, maka amanlah ia masuk ke dalam masjidil haram, dan
rumahnya Nabi Muhammad SAW, maka ia juga akan merasa aman. Dengan inilah,

1
Muhammad Alkhudhary, Daulah Umayyah, (Tharablus: Majlis Idarah Jamiah Mishriyah, 2000) hlm
330.
2
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: Iain IB Press, 2001) hlm 75-76.

2
banyak kaum dari kalangan Bani Umayyah yang berduyun-duyun masuk Islam dan
menyebarkan Islam ke berbagai wilayah.
Bani Umayyah tergolong yang belakangan masuk Islam. Setelah masuk Islam,
mereka memperlihatkan loyalitas dan dedikasi tinggi terhadap agama Islam. Dalam
setiap peperangan yang dilakukan oleh kaum muslimin, misalnya mereka tampil
dengan semangat kepahlawanan, seolah-olah ingin mengimbangi keterlambatan
mereka masuk Islam dengan berbuat jasa-jasa besar terhadap Islam.3
Muawiyah bin Abi Sufyan lahir di mekkah 15 tahun sebelum hijriah. Ia masuk
Islam ketika terjadi Fathul Makk ah. Saat ia baru berusia 23 tahun. 4 Ia juga menjadi
salah seorang periwayat hadist nabi yang baik. Ia meriwayatkan hadist Rasulullah
SAW sebanyak 163 Hadist.5
Pada zaman Abu Bakar Shiddiq, ia ikut menemani saudaranya Yazid dalam
memimpin penumpasan terhadap kaum murtadin. Pada zaman Umar bin khatab, ia
baru memimpin Damaskus (Suriah) menggantikan Yazid yang meninggal dunia. Pada
zaman Usman bin Affan, Muawiyah memimpin daerah Syam. 6 Dari pemerintahan
Usman bin Affan Bani Umayyah mendapat keuntungan, pemberian hadiah dan
jabatan, kekuasaan yang membentang dari suriah sampai pantai laut tengah. Ia
memanfaatkan waktu tersebut untuk mempersiapkan diri dan meletakkan dasar
pendidirian sebuah Daulah. Harapan itu lebih besar terbuka setelah Usman bin Affan
wafat pada tahun 656 M oleh para pemberontak karena kebijakan nepotisme dan
penyalahgunaan harta baitul mal untuk keperluan pribadi dan keluarga.
Ketika kepemimpinan dilanjutkan oleh Ali bin Abi Tholib (36 H) suasana
politik semakin memanas, dengan banyaknya tuntutan dan desakan kepada Ali untuk
segera memproses secara hukum orang-orang yang membunuh Utsman. Tuntutan ini
disuarakan oleh Muawiyah yang memiliki hubungan nasab dengan Utsman dari jalur
Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kemudian didukung oleh sahabat-sahabat lain seperti

3
A. Syalabi, Sejarah & Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: PT Pustaka Al-Husna Baru, 2008) hlm 22
4
Muhammad Alkhudhary, Daulah Umayyah, (Tharablus: Majlis Idarah Jamiah Mishriyah, 2000) hlm
330.
5
Imam AS-Suyuti, Tarikh Khulafa’ Sejarah dan Penguasaan Islam; Khulafaurrasyidin, Bani
Umayyah, Bani Abbasiyyah, Penerjemah Samson Rahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003) hal 229.
6
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: PT Pustaka Al-Husna Baru, 2008) hlm 23

3
Ubadah bin Ash-Shamit, Abu Ad-Darda’, Abu Umamah, Amr bin Abasah, dan
sahabat lainnya.7
Sebenarnya Ali bukan tidak ingin segera mencari dan menghukum para
pembunuh Utsman, tapi dalam periode awal kepemimpinannya Ali lebih
memprioritaskan stabilitas politik, ekonomi dan keamanan dalam negeri. Ali banyak
mengubah kebijakan yang dilakukan Utsman pada periode sebelumnya, antara lain
dengan mencopot gubernur-gubernur yang diangkat oleh Utsman, karena Ali bin Abi
Thalib Yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena keteledoran
mereka. Selain itu, Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan oleh Utsman
kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara dan
memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam,
sebagaimana pernah diterapkan oleh pemerintahan Umar bin Khattab.
Besarnya gelombang fitnah pada masa Ali tidak urung memicu timbulnya
perang saudara, yang melibatkan sahabat-sahabat Nabi bahkan istri Rasul Allah yaitu
Aisyah, dalam peristiwa perang Jamal pada pertengahan tahun 36 H. Disusul dengan
perang Shiffin yang terjadi pada tahun 37 H dengan Muawiyah bin Abu Sufyan yang
saat itu menjabat sebagai Gubernur Syria. Muawiyah menolak untuk membaiat Ali
sebagai Khalifah dengan alasan Ali tidak mengambil satu pun langkah nyata untuk
membalaskan darah Utsman, namun, beberapa riwayat menyebutkan bahwa penyebab
sebenarnya hanyalah karena Muawiyah, yang telah lama menjabat sebagai Gubernur,
tidak rela kehilangan jabatannya yang saat itu ingin diganti oleh Ali dengan Sabi bi
Junaif.8
Pada Bulan Shafar 37 H/685 M, peperangan tak terhindarkan, terjadilah
perang Shiffin dengan kekuatan 95.000 orang di pihak Ali dan 85.000 orang di pihak
Muawiyah, di bawah pimpinan Malik al-Asytar, pasukan Ali hampir menang ketika
Amr bin Ash yang memimpin pasukan Muawiyah melancarkan siasat yang cerdik
dengan mengacungkan tombak yang di ujungnya dilekatkan salinan Al-Qur’an
pertanda seruan untuk mengakhiri peperangan dan mengikuti keputusan Al-Qur’an.

7
Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An-Nihayah, terj. Amir Hamzah dan Misbah (Jakarta: Pustaka Azzam,
2012, Jilid XI) hlm 225.
8
Abdul Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap (Jogjakarta: Saufa, 2014) hlm
113.

4
Karena desakan para pengikutnya Ali menerima usulan Muawiyah untuk
melakukan arbitrase (tahkim) dengan menunjuk juru runding antara kedua belah
pihak. Ali menunjuk Abu Musa Al-Asy’ari sebagai Arbitornya dan Muawiyah
menunjuk Amr bin Ash yang dikenal sebagai politisi ulung bangsa Arab.
Akhirnya Arbitor kedua belah pihak merumuskan sebuah kesepakatan:
1. Mencopot Ali dan Muawiyah dari kursi kekhalifahan
2. Kewenangan pemerintahan selanjutnya diberikan pada badan musyawarah umat,
untuk mencari format yang paling tepat bagi mereka, baik pihak Ali dan
Muawiyah maupun yang lain.9
Namun kesepakatan ini menuai kontroversi, setelah kedua Arbitor sepakat
untuk menurunkan pemimpin mereka di depan publik, dimulai oleh Abu Musa sebagai
orang yang lebih tua untuk menyampaikan orasinya dengan mencopot Ali dan
Muawiyah dari jabatannya, Amr bin Ash mengkhianati kesepakatan ini, dengan
mengumumkan dan menetapkan Muawiyah sebagai khalifah disebabkan Ali mundur
dari kekhalifahan dan dia berijtihad tidak mungkin kaum Muslimin dibiarkan tanpa
pemimpin.
Hasil Arbitrase tersebut sangat merugikan pihak Ali yang secara de jure
memiliki legitimasi sebagai khalifah yang sebenarnya, sementara Muawiyah hanya
menjabat sebagai gubernur provinsi, kerugian lain yang timbul adalah turunnya
simpati sejumlah besar pendukungnya, dan umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan
politik, Khawarij, Murjiah dan Syiah. Kaum khawarij berpendapat bahwa yang terlibat
dalam tahkim telah melakukan dosa besar hingga wajib di bunuh/bertaubat. Rencana
tersebut ternyata tidak sepenuhnya berhasil, Abdullah bin Muljam (kaum khawarij)
hanya berhasil membunuh Ali ketika Ali hendak ke masjid Kufah sehingga Ali syahid
pada tahun 40 H dibunuh. adapun Muawiyah dan Amru bin Ash selamat dari rencana
tersebut.
Sesudah wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, maka berarti habislah masa
kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu masyarakat Arab, Irak, dan Iran
mengangkat Hasan bin Ali untuk menggantikan kedudukan ayahnya sehingga
terjadilah pembaitan oleh Qois bin Saad ini bukan merupakan rekayasa, tatapi karena
tidak ada pilihan lain saat itu. Umat Islam menyadari, bahwa Hasan bukan tokoh yang

9
Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An-Nihayah, terj. Amir Hamzah dan Misbah (Jakarta: Pustaka Azzam,
2012, Jilid XI) hlm 401

5
tegas dan tegar seperti ayahnya, tetapi umat Islam membutuhkan pemimpin yang
kharismatik dan shalih.
pengangkatan atas Hasan bin Ali sebagai khalifah ini tetap tidak mendapat
persetujuan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para pengikutnya. Mereka berharap
sebagai pengganti Ali adalah Mu’awiyah. Oleh sebab itu Mu’awiyah berusaha
merebut kekuasaan dari Hasan, dengan cara membendung arus masa pendukung
Hasan, khususnya dari Kufah dan Bashrah. Ia sudah mempunyai kekuatan yang besar,
sementara Hasan mempunyai banyak kelemahan dan tidak sekuat ayahnya. Kondisi
yang demikian ini tidak disia-siakan oleh Mu’awiyah. Ia segera menyusun pasukan
untuk menyerang Hasan bin Ali.
Melihat kondisi demikian, Qais bin Saad dan Abdullah bin Abbas
mengusulkan kepada Hasan agar melakukan serangan ke Damaskus, sebelum diserang
Mu’awiyah. Usul kedua tokoh ini diterima oleh Hasan, yang kemudian ia
memberangkatkan pasukan dengan kekuatan 12.000 tentara di bawah pimpinan kedua
tokoh tersebut. Pasukan Hasan ini kemudian bertemu dengan pasukan Mu’awiyah dan
terjadilah pertempuran di Madain. Mu’awiyah tiak hanya melakukan peperangan fisik,
tetapi mereka menggunakan perang urat syaraf dengan menyebarkan berbagai macam
isu untuk melemahkan kekuatan pasukan Hasan. Akibatnya pasukan Hasan
terpengaruh dan mulai lemah dalam peperangan, mereka ingin mengakhiri
peperangan, bahkan sebagian mulai berbalik dengan tidak menyukai Hasan. Sehingga
Hasan akhirnya terpaksa memlilih jalan negosiasi dengan Mu’awiyah untuk
mengakhiri perseteruan di antara mereka. Hasan bin Ali mengirim utusan Amr bin
Salmah untuk mengajak perdamaian. Dengan kebijaksanaan Hasan bin Ali maka
peperangan tersebut tidak terjadi, Hasan bin Ali tidak menginginkan peperangan
berkepanjangan yang meminta banyak korban jiwa di kalangan ummat Islam. Hasan
bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah dengan berbagai persyaratan,
antara lain
1) Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
2) Menjamin keamanan, dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
3) Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap-tiap
tahunnya.
4) Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya Husein sebanyak 2 juta dirham.

6
5) Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pada Bani Abdu
Syam.10
Sejak saat itu, secara resmi pemerintahan Islam disandang oleh Muawiyah bin
Abi Sufyan sebagai khalifah setelah Hasan bin Ali mengundurkan diri dari jabatan
khalifah yang mendapatkan dukungan dari kaum Syi’ah dan telah dipegangnya
beberapa bulan lamanya. Peristiwa kepesepakatan antara Hasan bin Ali dengan
Muawaiyah lebih dikenal dengan Peristiwa “Am al Jama’ah” terjadi pada tanggal 25
Rabiul Awwal 41 H/ 661 M.11
Dari sinilah, karier potilik Mu’awiyah bin Abi Sufyan dimulai. Sebenarnya,
Mu’awiyah bin Abi Sufyan berhasil mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya
dikarenakan kemenangan diplomasi di siffin dan terbunuhnya khalifah Ali bin Abi
Thalib, melainkan sejak semula ia memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan
pembangunan politiknya di masa depan, di antaranya ialah sebagai berikut :
Dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan keluarga Bani Umayyah.
Penduduk Suriah yang lama diperintah oleh Mu’awiyah mempunyai pasukan yang
kokoh, terlatih, dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan romawi.
Mereka bersama kelompok bangsawan kaya Makkah dari keturunan Umayyah
berbeda sepenuhnya di belakang Mu’awiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber
kekuatan yang tidak ada habisnya, baik moral, tenaga manusia, maupun kekayaan.
Negeri suriah pun terkenal makmur dan mnyimpan sumber alam yang melimpah.
Ditambah lagi bumi Mesir yang berhasil dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran
dan suplai bertambah bagi Mu’awiyah.
Sebagai seorang administrator. Mu’awiyah sangat bijaksana dalam
menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah
mendapat perhatian khusus, yaitu Amr bin Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin
Abihi. Ketika pembantu Mu’awiyah ini merupakan empat polotikus yang sangat
mengagumkan di kalangan muslim Arab. Akses mereka sangat kuat dalam membina
perpolitikan Mu’awiyah.
Mu’awiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan
mencapai tingkat hilm, sifat penting yang dimiliki oleh para pembesar Makkah zaman

10
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: PT Pustaka Al-Husna Baru, 2008) hlm 29-30.
11
Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam: Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta Timur: Akbar Media,
2010), hlm 184

7
dahulu. Seorang manusia hilm, seperti Mu’awiyah dapat menguasai diri secara mutlak
dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan
intimidasi. Gambaran dari sifat mulia tersebut ada di dalam diri Mu’awiyah, setidak-
tidaknya tampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan jabatan khalifah
secara turun menurun.

B. Khalifah-Khalifah Daulah Bani Umayyah


Khalifah Daulah Umayyah berasal dari dua keluarga, yaitu keluarga Harb bin
Umayyah dan Abu al-Ash bin Umayyah. Kebanyakan Khalifah-khalifah Bani
Umayyah berasal dari keluarga Abu al-Ash bin Umayyah. Adapaun khalifah-khalifah
yang berasal dari keluarga Harb bin Umayyah hanyalah Muawiyah, putranya Yazid
dan cucunya Muawiyah II. Para khalifah Daulah Umayyah seluruhnya berjumlah 14
yang telah berkuasa mulai tahun 41-132 H (661-750), mereka adalah :
1. Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
2. Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
3. Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
4. Marwan I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
5. Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
6. Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
7. Sulaiman bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
8. Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
9. Yazid II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
10. Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
11. Al-Walid II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
12. Yazid III bin al-Walid, 127 H / 744 M
13. Ibrahim bin al-Walid, 127 H / 744 M
14. Marwan II bin Muhammad, 127-133 H / 744-750 M
Dari daftar diatas dapat kita lihat bahwa khalifah-khalifah Daulah Bani
Umayyah ada 14 orang, memerintah selama 90 tahun. Empat orang khalifah
diantaranya memegang kekuasaan selam 70 tahun mereka adalah Muawiyah, abdul

8
malik, al Walid, Hisyam. Adapun yang sepuluh orang lainnya hanya memegang
kekuasaan selama 20 tahun.12
1. Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
Mu'awiyah bin Abi Sufyan adalah pendiri daulah Bani Umayyah, ia seorang
yang cerdas dan cerdik, politisi ulung, dan negarawan yang mampu membangun
peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Muawiyah ialah sahabat Nabi
Muhammad dan juga ipar beliau. Cukuplah kedudukannya sebagai shahabat Nabi
menunjukkan kemuliaan dirinya. Muawiyah adalah keturunan yang ke tiga dari
Ummayah dengan silsilah Muawiyah bin Sakhr (dikenal dengan sebutan Abu sufyan)
bin Harb bin Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan, lahir di Makkah 15 tahun sebelum
hijriyah. Muawiyah bin Abi Sufyan masuk Islam ketika terjadi fathu makkah. Saat itu
ia baru berusia 23 tahun. Ia juga menjadi salah seorang periwayat hadis yang baik,
pribadinya cerdas, selalu optimis dan mahir dalam mengatur strategi pemerintahan.
Muawiyah merupakan saudara Ummu Habibah bint Abi Sufyan, salah satu
istri Rasulullah SAW Sehingga ia bergelar Kholul Mukminin (Paman kaum
Mukminin). Hal ini karena semua saudara istri-istri Rasulullah SAW bergelar Kholul
Mukminin (paman orang yang beriman) Sebagaimana para istri beliau bergelar
Ummahatul Mukminin (ibunda orang yang beriman).
Muawiyah bin Abi Sufyan Pada masa Khulafaur Rasyidin ia diangkat menjadi
salah seorang panglima perang di bawah komando utama Abu Ubaidah bin Jarrah
untuk menaklukkan Palestina, Syria (Suriah) dan Mesir dari tangan Imperium
Romawi Timur. Kemudian ia menjabat sebagai gubernur Syiria pada masa Khalifah
Umar bin Khathab, dan pada masa Khalifah Utsman, Muawiyah menjadi gubernur
Syiria yang membawahi wilayah Syiria, Palestina dan Jordania.
Mu’awiyah dinobatkan sebagai khalifah di Iliya’ (Yerusalem) pada tahun 40
H./660 M. Dengan penobatannya itu, ibu kota provinsi Syria, Damaskus, berubah
menjadi ibu kota kerajaan Islam.13
Dalam perjalanan sejarah berikutnya, Mu’awiyah berhasil mengubah sistem
politik musyawarah yang sebelumnya dijadikan sebagai asas pengangkatan seorang
khalifah pada masa Khulafa al-Rasyidun, menjadi sistem monarkis (turun-temurun), di

12
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (jakarta; PT Pustaka Al-Husna Baru, 2008) hlm 25
13
Philip K. Hitti, History of the Arabs; From The Earliest Times to The Present, diterjemahkan oleh R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm 235.

9
mana pengangkatan seorang khalifah tidak lagi melalui musyawarah dan pembai’atan
rakyat, tetapi ditunjuk oleh khalifah yang berkuasa dan didasari atas asas keturunan,
dan kemudian para tokoh dan utusan dari provinsi diperintahkan datang dan
mengucapkan bai’at, seperti yang dilakukan oleh Mu’awiyah ketika menunjuk
putranya Yazid.
Sejak Muawiyah menjabat sebagai khalifah, permasalahan negara menjadi
stabil, keamanan dalam negeri terkendali, ekspansi wilayah yang sebelumnya sempat
terhenti karena adanya konflik internal, kembali dilanjutkan. Salah satu ekspansinya
yang paling spektakuler adalah keberhasilannya menaklukkan Afrika Utara
seluruhnya. Kemudian ia juga berhasil melebarkan ekspansinya ke arah timur hingga
Khurasan, Sijistan dan negeri-negeri di seberang sungai Jaihun. Ia memerintah selama
40 tahun, 20 tahun sebagai gubernur dan 20 tahun sebagai khalifah, Muawiyah wafat
pada bulan Rajab tahun 60 H/679 M di usia 77 tahun.14

2. Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M


Abdul Malik adalah khalifah kelima Dinasti Umayyah, yang memimpin pada
tahun 685-705, mengawali kepemimpinan Bani Umayyah dari garis Marwan.15 Ia
dikenal dengan sosok yang zuhud, faqih dan dianggap sebagai ulama di Madinah,
memulai karir politiknya sebagai pemimpin pada usia 16 tahun sebagai gubernur di
Madinah, dan dinobatkan sebagai khalifah pada usia 39 tahun pada 65 H / 685 M.16
Sejak awal diangkat sebagai khalifah, dan selama sepuluh tahun pertama
kekhalifahannya, Abdul Malik banyak menghadapi hambatan karena bangsa Arab
terpecah menjadi beberapa kelompok dengan fanatisme masing-masing sehingga
banyak terjadi pemberontakan. Abdul Malik bekerja keras untuk memadamkan api
pemberontakan yang mengganggu stabilitas politik kekuasaannya. Abdul Malik
dibantu oleh panglima perang yang hebat, di sebelah Timur di bawah komando al-
Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, dan Musa bin Nushair memegang kendali di sebelah
Barat.

14
Abdul Syukur al-Azizi, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap (Jogjakarta: Saufa, 2014) hlm
142
15
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, terj, Ghufron A. Mas’adi ( PT RajaGrafindo Persada,
2000) hlm 71
16
Ibid..., hlm 72

10
Abdul Malik berhasil menundukkan kekuasaan Abdullah bin Zubair yang
menyandang gelar sebagai khalifah selama sembilan tahun di wilayah Hijaz,
kemudian berhasil meredakan pemberontakan di Bashrah dan Kufah, serta di seluruh
wilayah kekuasaannya yang luas, meliputi wilayah Irak dan Persia.17
Selain berhasil menciptakan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri,
Abdul Malik juga mengikuti jejak pendahulunya yang hebat, Muawiyah, melakukan
ekspansi wilayah dan kekuasaan dengan menyerang Romawi untuk merebut Asia
kecil dan Armenia, pada saat yang sama ia juga mengirim 40 ribu pasukan berkuda
untuk menaklukkan Afrika Utara.
Di tengah puncak keberhasilannya ia pun wafat pada tahun 86 H, dalam usia
60 tahun ia menduduki Khalifah kurang lebih 20 tahun, mewariskan kepada anaknya,
al-Walid, sebuah kerajaan besar yang bersatu dan terkendali, meliputi tidak hanya
wilayah Islam, namun juga daerah-daerah taklukan baru. Periode Abdul Malik mulai
memasuki periode keemasan Dinasti Umayyah. Ia mengadakan berbagai pembaruan,
di antaranya; menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi negara, mencetak mata
uang Arab dengan nama Dinar, Dirham, dan Fals, dan pembaruan-pembaruan
lainnya.18

3. Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M


Al-Walid diangkat menjadi khalifah ke 6 menggantikan ayahnya Abdul Malik
pada tahun 86 H. Masa pemerintahan al-Walid menjadi zaman keemasan Daulah
Umayyah. Umat Islam saat itu memperoleh ketentraman, kemakmuran dan ketertiban,
tidak ada pemberontakan di masa pemerintahannya.
Kebijakan pertama al-Walid I dalam pemerintahan adalah memisahkan
kembali wilayah Afrika Utara serta al-Maghrib (Maroko) dari Mesir, jadi kedua
wilayah tersebut berdiri sendiri yang diperintah oleh seorang gubernur yang diangkat
oleh khalifah. Perlu dicatat, bahwa pada masa al-Walid I seluruh negara dibagi
menjadi tiga wilayah besar Jazirah Arab dan sekitarnya dengan Gubernur Jenderal
Umar II (Umar ibn Abdul Aziz), al-Masyriq (front Timur) dikepalai oleh Hajjaj ibn

17
Philip K. Hitti, History of the Arabs; From The Earliest Times to The Present, diterjemahkan oleh R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008) hlm 256-258
18
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2007, cet I) hlm 118-119.

11
Yusuf, dan al-Maghrib (front Barat) di bawah komando Musa ibn Nusair. Masing-
masing Gubernur Jenderal itu membawahi beberapa provinsi/gubernur. Walaupun al-
Walid I kurang menguasai strategi perang, namun keberhasilannya dalam perluasan
peta Islam terdorong oleh adanya para jenderal yang tidak tertandingi kemampuannya
pada awal abad ke-8 M, seperti Musa ibn Nusair, Tariq ibn Ziyad, Qutaibah ibn
Muslim, Hajjaj ibn Yusuf, dan Muhammad ibn Qasim.19 Periode al-Walid I terkenal
dengan negara yang damai dan rakyat yang memperoleh jaminan keamanan.20
Ia juga sempurnakan pembangunan gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan jalan-
jalan yang dilengkapi dengan sumur. Ia membangun masjid Al-Amawi yang terkenal
hingga masa kini di Damaskus, membangun masjid al-Aqsha di yerussalem, serta
memperluas masjid di Madinah. ia menggunakan kekayaan negerinya untuk
menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan penderita cacat. Ia membangun rumah
sakit bagi penderita kusta di Damaskus. Selain itu, ia memberikan penereangan di
Damaskus, memperbaiki jalan-jalan, mendirikan sumur-sumur untuk mengambil air
serta ia sangat memperhatikan fakir miskin.21

4. Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M


Umar bin Abdul Aziz yang dikenal sebagai Umar II, ia khalifah kedelapan
Daulah Umayyah, Umar II adalah seorang pribadi yang zuhud dan terkenal
kesalehannya, berbeda jauh dengan corak pemerintahan Umayyah yang dikenal
sekuler, Umar II sering juga disebut sebagai Khulafaur Rasyidin yang kelima, ada
yang menyebutnya dengan Khalifah As-Sholeh. Dalam darahnya mengalir darah Umar
bin Khattab, dari kisah yang begitu masyhur, bahwa Ashim putra Umar bin Khattab,
dinikahkan dengan seorang gadis miskin anak penjual susu karena kejujurannya. Dari
penikahan mereka lahirlah seorang anak yang bernama Laila atau Ummu Ashim
ibunya Umar yang menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan.
Umar II dibaiat menjadi Khalifah pada usia 36 tahun, ia adalah seorang
pemimpin yang sederhana, adil, jujur dan bijaksana. Semula Umar II dengan tegas
menolak jabatan kekhalifahan yang ditunjuk oleh pendahulunya, Sulaiman. Karena
terus didesak oleh kaum muslim, akhirnya ia menerima amanah umat tersebut yang

19
Ibid..., hlm 120.
20
Ibid..., hlm 121
21
Yusuf Al-isy, Dinasti Umayyah (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2009) hlm 301

12
menurutnya merasa tidak ringan itu. Buktinya, pada umumnya seperti layaknya orang
yang baru menerima anugerah jabatan, pasti seseorang mengucapkan alhamdulillah,
sebagai anugerah Tuhan, justru Umar II sebaliknya, ia mengucap inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un, seperti orang yang seketika itu ditimpa musibah.
Setelah menjadi khalifah, ia mengirim segala kekayaan ke kas negara,
termasuk kekayaan pribadi istri beliau, Fatimah binti Abdul Malik yang mendapat
pemberian dari ayahnya. Di dalamnya terdapat kalung emas yang bernilai 10.000
dinar emas. Khalifah beralasan bahwa selama seluruh wanita negeri ini belum
memiliki kemampuan memakai perhiasan seharga kalung emas yang dimiliki ibu
negara, maka baginya dilarang Umar II untuk memakainya.22
Kebijakan Umar II dalam menata administrasi pemerintahan terfokus dalam
dua karasteristik. Pertama, memberikan jaminan keamanan bagi rakyat, demi
mewujudkan ketenangan dan keamanan, ia meninggalkan kebijakan-kebijakan para
pendahulunya yang memfokuskan perluasan dan penguasaan negara. Kedua, demi
mewujudkan keamanan dan ketertiban, baik ia pribadi maupun kebijakan pemerintah
yang netral dan berada di atas golongan, ras, dan suku.
Umar II menjadi khalifah mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk
memperbaiki dan mengatur urusan dalam negeri. Kebijakan yang ditetapkan yaitu
mengatur para penguasa dan pejabat daerah agar netral dan adil dalam pemberian
kesamaan hak dan kewajiban kepada orang Arab dan Mawali. Mereka yang tidak
cakap, tidak mampu, serta tidak memihak kepada kepentingan rakyat di pecat tanpa
pandang bulu, dan ia mengangkat orang yang shaleh dan jujur yang dapat
memperhatikan kesejahteraan rakyat serta berada diatas golongan, suku dan ras.23
Bukan hanya memecat dan menghukum pejabat negara yang korup, tetapi kebijakan
Umar II lebih dipusatkan untuk membangun negaranya secara moril. Ia adalah satu-
satunya khalifah yang mampu meredamkan konflik antar golongan dan sekte.24
Sebelum wafatnya, Umar II pun sudah memikirkan penggantinya yang lain
daripada yang diwasiatkan Abdul Malik yakni Yazid ibn Abdul Malik. Ia sadar, Yazid
tidak layak untuk memangku jabatan itu, tetapi sebelum ia melakukan apa yang

22
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2007, cet I) hlm 123.
23
Ibid..., hlm 125
24
Ibid..., hlm 126

13
sebaiknya dilakukannya dalam hal ini, pada 9 Februari 720 M, maut telah
menyambutnya.25

5. Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M


Masa keemasaan Daulah Umayyah berakhir pada masa pemerintahan Hisyam
(724-743 M), anak keempat Abdul Malik. Oleh pakar Arab, ia dipandang sebagai
negarawan ketiga dalam Daulah Umayyah setelah Muawiyah dan Abdul Malik.26
Pada masa pemerintahannya yang cukup panjang, sekitar 20 tahun, ia berhasil
memadamkan kemelut internasional, dan ia juga meluaskan wilayahnya ke luar. Ia
sukses menaklukkan wilayah Narbonne di selatan Prancis, selanjutnya, ia maju ke
Marseille dan Avignon, serta Lyon, menerobos wilayah Burgundy. Di wilayah utara,
ia berhasil merebut wilayah Toulouse, ibu kota wilayah Aquitania.
Hisyam bin Abdul Malik penguasa Umayyah terakhir yang masih dapat
menghidupkan kembali keamanan dan ketentraman di negerinya. Jadi Hisyamlah khalifah
Umayyah yang terbaik pasca Umar II. Ia wafat dalam usia 55 tahun, masa pemerintahannya
kurang lebih 20 tahun.

C. Pemerintahan Daulah Bani Umayyah


1. Bidang Pemerintahan
Dengan berbagai macam cara dan strategi, bahkan dengan menggunakan
kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak,
akhirnya Muawiyah berhasil menduduki jabatan khalifah pada tahun 661 M. Setelah
lebih kurang memerintah selama 19 tahun, ia wafat pada tahun 680 M. Ia adalah
pendiri dinasti bani Umayyah dan telah banyak melakukan kebijakkan-kebijakkan
baru dalam politik, pemerintahan dan lain-lain.
Selama memerintah, Muawiyah tidak mendapat kritikan oleh pembuka dan
tokoh umat Islam, kecuali setelah mengangkat Yazid menjadi putra mahkota. Bahkan
sebelum peristiwa tersebut, suasana secara umum berjalan stabil dan baik, sehinga ia
dapat melakukan beberapa usaha untuk memajukan pemerintahan dan penyiaran
Islam. Dan disinailah awal mula sistem kemonarkian dimulai dan hal ini kemuadian

25
Ibid..., hlm 127.
26
Philip K. Hitti, History of the Arabs; From The Earliest Times to The Present, diterjemahkan oleh R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008) hlm 278

14
ditiru oleh Daulah-daulah yang muncul setelah Daulah Umayah ini. Karena hal ini
pula, mulai bermunculan pemberontakan-pemberontakan khususnya dari kaum Syi’ah
yang menuntut kembali isi perjanjian Amul Jama’ah yang dulu disepakati oleh
Mu’awiyah. Namun, karena Mu’awiyah menginginkan harus ada suksesi dirinya
sebagai langakah untuk membuat kerajaan Absolut, maka Mu’awiyah melanggar isi
perjanjian tersebut dan memberlakukan sistem tangan besi kepada siapapun yang
melanggar dan tidak mengakui akan kebijakannya. Maka perang saudara pun tak bisa
dihindarkan dari awal mula pembentukannya dinasti ini sampai berakhirnya dinasti ini
oleh gerakan oposisi yang dipelopori oleh kaum Syi’ah.
Selama memerintah 90 tahun dinasti Bani Umayyah banyak melakukan
kebijakkan politik, seperti:
a. Pemindahan Pusat Pemerintahan
Setelah Muawwiyah menjadi khalifah, ia mulai menata pemerintahannya.
kebijakan ini dilakukan untuk mengantisipasi tindakan-tindakan yang timbul dari
reaksi pembentukan kekuasaannya. khususnya dari kelompok yang tidak
menyukainya. Langkah awal yang diambilnya adalah memindahkan pusat
pemerintahan dari Madinah ke Damaskus.27
Hal ini dapat dimaklumi, karena jika dianalisa setidaknya ada 2 faktor yang
menyebabkan Muawiyah mengambil langkah ini, yaitu karena di Madinah sebagai
pusat pemerintahan khulafaurrasyidin sebelumnya, masih terdapat sisa-sisa kelompok
yang antipati terhadapnya. Ini akan mengganggu stabilitas kekuatannya, selain itu di
Madinah dia kurang memiliki pengikut yang kuat, sedang di Damaskus pengaruhnya
telah menciptakan nilai simpatik masyarakat, basis kekuatannya cukup kuat.28

b. Pergantian Sistem Pemerintahan


Pasca wafatnya Nabi Muhammad, Abu Bakar terpilih sebagai penerus Nabi
Muhammad SAW untuk memimpin kaum muslimin melalui pemilihan yang
melibatkan pemimpin masyarakat Islam yang berkumpul di Madinah. Ia
melaksanakan semua tugas dan meneladani semua keistimewaan Nabi, kecuali hal-hal
yang terkait dengan kenabiannya, karena kenabian berakhir seiring dengan wafatnya
Muhammad. Sehingga Abu Bakr disebut Khalifah Rasul Allah ( Penerus Rasulullah ).

27
Syed Mahmuddunasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: PT Rosdakarya, 2005) hlm 151
28
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam. (Yogyakarta. ; Teras, 2011) hlm 71

15
Umar bin Khattab, kandidat khalifah setelah Abu Bakar, ditunjuk oleh Abu Bakar
sebagai penerusnya pernah menggunakan gelar Khalifah Khalifah Rasul Allah. Tapi
karena terdengar terlalu panjang akhirnya di perpendek dengan gelar Amirul
Mukminin (Panglima orang-orang beriman).
Sistem kekhalifahan yang dilakukan secara demokratis ini terus berlanjut
sampai masa Utsman dan Ali. Mereka dipilih dan dibaiat melalui proses musyawarah
dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mendirikan sebuah daulah.
Sistem kekhalifahan ini berlangsung selama tiga puluh tahun. Setelah itu
sistem pemerintahan berubah menjadi sistem daulah atau kerajaan. Masa
pemerintahan Muawiyah merupakan awal sistem kerajaan, dimana Muawiyah
merupakan raja Islam pertama dan terbaik.29
Muawiyah mengubah sistem pemerintahannya menjadi monarchiheridetis
(kerajaan turun temurun) meniru sistem pemerintahan di Persia dan Bizantium. Ini
dapat dapat dimaklumi bila dilihat, secara historis Syiria pernah dikuasai Byzantium
selama kurang 500 tahun sampai kedatangan Islam. Sedangkan damaskus yang
menjadi pusat pemerintahan Syria ketika itu pernah dikuasa Byzantium.
Kebijakan ini dilakukan untuk mengantisipasi tindakan-tindakan yang timbul
dari reaksi pembentukan kekuasaannya. Khususnya dari kelompok yang tidak
menyukainya. Dan dengan system ini akan lebih menguatkan kekuasaan muawiyah
dan keturunannya nanti, sehingga orang-orang yang berada din luar garis keturunan
Muawiyah tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk naik sebagai
pemimpin pemerintahan umat Islam. Karena, sistem kerajaan hanya memberlakukan
kekhalifahan dipimpin oleh keturunannya raja.30
Muawiyah tetap menggunakan istilah Khalifah, namun, dia memberikan
interpretasi baru dalam istilah tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam
pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.31 Dengan demikian, Muawiyah lah
peletak sistem kerajaan pertama dalam peradaban Islam, dengan menunjuk putranya

29
Ibnu Katsir, Al Bidayah wa An-Nihayah, terj. Amir Hamzah dan Misbah (Jakarta: Pustaka Azzam,
2012, Jilid XI), hlm 714
30
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008) hlm 42.
31
Ibid..., hlm 42.

16
Yazid sebagai penerusnya, dan sejak saat itu sistem kerajaan tidak pernah sepenuhnya
ditinggalkan.32

c. Pemisahan Kekuasaan
Pemisahan kekuasaan terjadi dikotomi antara kekuasaan agama, dengan
kekuasaan politik. Sebelumnya pada masa Khulafaurrasyidin belum terjadi pemisahan
antara kekuasaan politik dan kekuasaa agama. Pemisahan kekuasaan yang dilakukan
oleh Muawiyah dapat dipahami karena Muawiyah sebagai penguasa pertama bukanlah
orang yang ahli dalam bidang keagamaan, sehingga masalah keagamaan tersebut
diserahkan kepada ulama. Oleh karena itu dikota-kota besar dibentuk para
qhadi/hakim, pada umumnya para hakim menghukum sesuai dengan ijtihadnya yang
sesuai dengan landasan Al-Qur’an dan Hadits. Dan pada masa ini khalifah diangkat
secara turun temurun dari keluarga umayyah.33
Adapun kedudukan khalifah pada masa Daulah bani Umayyah yaitu :
 Khalifah memiliki wewenang penuh dalam semua aspek daulah, baik dalam
sentralisasi, wilayah-wilayah, kota-kota, desa-desa besar maupun desa-desa kecil.
 Seorang khalifah juga menentukan para penguasa daerah (gubernur), qadhi,
komandan-komandan pasukan, dan orang-orang yang mengatur atau menjalankan
administrasi negara.
 Sebagai khalifah, mereka menjalankan hukum-hukum Allah dan mengajak
manusia ke agama Allah
 Menegakkan hubungan-hubungan mereka dengan lainnya dari negara-negara
bagian, bangsa-bangsa, dan umat-umat atas dasar Islam dan pengembangan
dakwah Islam.34

d. Pembagian Wilayah
Secara umum, kebijakan Daulah umayyah di bidang pemerintahan ialah
dengan membagi wilayah menjadi beberapa provinsi sesuai dengan pembagian pada
masa imperium bizantium dan persia. Provinsi-provinsi itu adalah (1) Suriah-

32
Philip K. Hitti, History of the Arabs; From The Earliest Times to The Present, diterjemahkan oleh R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008) hlm 229
33
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002) hlm 85.
34
Taqiyuddin an Nabhani, Negara Islam (Bogor : Pustaka Thariqul ‘Izzah, 2000) hlm193

17
Palestina; (2) Kufah, termasuk Irak; (3) Basrah, yang meliputi Persia, Sijistan,
Khurasan, Bahrain, oman dan mungkin ditambah nejad dan yamamah; (4) Armenia;
(5) Hijaz; (6) Karman dan wilayah di perbatasan India, (7) Mesir, (8) Afrika kecil; (9)
Yaman dan kawasan Arab Selatan; Andalus. Secara bertahap beberapa Provinsi
digabung, sehingga tersisa lima provinsi yang masing-masing diperintah oleh seorang
wakil Khalifah. Lima provinsi itu ialah (1) Hijaz, Yaman, dan Arabia; (2) Mesir
bagian utara dan selatan; (3) Irak dan Persia; (4) Armenia, Azarbaijan, dan
Mesopatamia; (5) Afrika utara, Spanyol, Prancis bagian selatan, Sisilia, dan Sardinia.
Tiap-tiap provinsi tetap dikepalai oleh Gubernur yang bertanggung jawab langsung
kepada Khalifah. Gubernur berhak menunjuk wakilnya di daerah yang lebih kecil dan
mereka dinamakan ‘amil. Belanja daerah tiap provinsi, didapatkan dari sumber yang
ada pada daerah itu sendiri. Sisa dari keuangan daerah dikirim ke ibu kota untuk
mengisi bas atau Baitul mal negara.35

e. Administrasi Pemerintahan
Saat Muawiyah menjabat kekhalifahan diantara langkah strategis yang
dilakukan adalah peningkatan pengelolaan administrasi negara. 36 Meliputi pengaturan
administrasi publik, pengumpulan pajak, dan pengaturan urusan-urusan keagamaan.
Ketiga tugas itu secara teoritis dikendalikan oleh tiga orang pejabat berbeda. Wakil
Khalifah (amir, shahib) mengangkat langsung amil (agen, petugas administrasi ) untuk
sebuah distrik tertentu dan menyampaikan nama mereka kepada khalifah. Pada masa
ini, terdapat banyak pembenahan-pembenahan khususnya dalam bidang administrasi
pemerintahan. Apa yang dilakukan Muawiyah tersebut kemudian terus disempurnakan
oleh khalifah-khalifah setelahnya. Hal-hal tersebut meliputi:
a) Pembentukan Diwanul Hijabah, yaitu sebuah lembaga yang bertugas memberikan
pengawalan serta menyeleksi tamu yang akan bertemu dengan khalifah sehingga
setiap orang yang ingin menemui khalifah harus terlebih dahulu melalui Hajib,
kecuali 3 (tiga) orang, yaitu: (1) Mu’azin, orang yang memberitahukan waktu
sholat kepada khalifah, sehingga dapat langsung bertemu khalifah tanpa melalui
Hajib; (2) Shahib al-Barid (pejabat pos), orang yang bertugas membawa berita-
berita penting untuk khalifah, biasanya berita dari Gubernur-Gubernur daerah

35
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002) 86.
36
Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam. (Yogyakarta.; Teras,2011), hlm 82

18
kepada Khalifah dan juga pengantar berita dari Khalifah kepada Gubernur
didaerah; (3) Shahib al-Tha’am; seorang petugas pengurus hal ihwal makanan di
Istana Bani Umayah.
b) Jabatan wazir Wazir bertugas untuk membantu dan mewali khalifah dalam
melaksanakan tugas administrasi pemerintahan sehari-hari.
c) Meresmikan Lambang Kerajaan. Sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin tidak
pernah membuat lambang Negara baru pada masa Daulah Bani Umayyah,
menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri
khas kerajaan Umayyah.37
d) membentuk semacam al-Katib (Sekretaris) yang terdiri dari lima orang sekretaris
yaitu: (1) Katib ar Rasail (Sekretaris negara); (2) Katib al Kharraj (Sekretaris
Pendapatan Negara); (3) Katib al Jund (Sekretaris Militer); (4) Katib asy Syurtah
(Sekretaris kepolisian); dan (5) katib al Qadi (Panitera).38 Untuk mengurusi
administrasi ini pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al Umara (Gubemur
Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan, oleh
empat departemen pokok (diwan) yaitu :
1) Dewan Rasail (istilah sekarang disebut sekretaris jenderal). Diwan ini berfungsi
untuk mengurus surat-surat negara yang ditujukan kepada para gubernur atau
menerima surat-surat dari mereka. Ada dua macam sekretariat. Pertama,
sekretariat negara (dipusat) yang menggunakan bahasa arab sebagai pengantar.
Kedua, sekretariat Provinsi yang menggunakan bahasa Yunani (Greek) dan Parsia
sebagai bahasa pengantarnya kemudian menjadi bahasa arab sebagai pengantar ini
terjadi setelah bahasa arab menjadi bahasa resmi di seluruh negara Islam.
2) Diwan al-Kharaj. Bertugas untuk mengurus masalah pajak, yang dikepalai oleh
Shahib al-Kharraj diangkat oleh khalifah langsung dan bertanggung jawab
langsung kepada khalifah.
3) Diwan al-Barid. Merupakan badan intelijen negara yang berfungsi sebagai
penyampai berita-berita rahasia daerah kepada pemerintah pusat. Pada masa
pemerintahan Abdul Malik berkembang menjadi Departemen Pos khusus urusan
pemerintah.

37
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2008) hlm 43
38
A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993) hlm 151

19
4) Diwan al-Khatam (departemen pencatatan). Dewan ini dibentuk kala itu karena
banyaknya usaha untuk memalsukan tanda tangan dari Mu’awiyah. Dewan ini
bertugas untuk membuat dan menyimpan salinan setiap dokumen resmi sebelum
distempel, dan mengirimkan lembaran aslinya. Setiap peraturan yang dikeluarkan
oleh khalifah harus disalin di dalam suatu register, kemudian yang asli harus di
segel dan dikirim ke alamat yang dituju.39

2. Politik Arabisasi
Arabaisasi artinya usaha-usaha pengaraban oleh bani umayyah di wilayah-
wilayah yang dikuasai Islam. Salah satu gerakan arabisasi yang dilakukan pada masa
kepemimpinan ‘abd al-Malik dan al-Walid adalah perubahan bahasa yang digunakan
dalam catatan administrasi publik dari bahasa yunani kedalam bahasa arab di
damaskus, dan dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab di Irak dan provinsi bagian
timur.40 Hal ini merubah dari situasi terdahulunya yang menuntut kepada para
pegawai yang mampu bahasanya, sekarang tidak mesti dari arab, asal bisa bahasa arab
maka akan dipertahankan didalam pemerintahan.
Jika di analisa Pada masa Nabi Muhammad SAW seluruh dokumen yang
berkaitan kehidupan bangsa Arab dicatat dalam bahasa Arab. Setelah bangsa persia,
dan mesir bergabung dalam kekuasaan pemerintahan Islam, khalifah Umar bin Khatab
memperkenankan dokumen yang berkaitan dengan negeri-negeri tersebut tetap
tercatat dalam bahasa mereka masing-masing. Akibatnya departemen keuangan
negeri-negeri tersebut dikuasai oleh pribumi non muslim yang memahami bahasa
mereka. Maka Abdul Malik menghapuskan bahasa mereka dan menetapkan bahasa
arab sebagai bahasa resmi pemerintahan. Pertama kali kebijakan di terapkan di Syria
dan Irak, belakang juga diterapkan di Mesir dan persia.41
Pada masa Abd Malik ibn Marwan memberikan kontribusi yang sangat besar
dalam bidang tanda baca otografi bahasa arab untuk membedakan ba’, ta’ dan tha’ dan
sebagainya serta peminjaman tanda baca vocal Syiria yaitu fathah, dhomah dan
kashrah, sehingga dari terjadi revisi penulisan Al-Qur’an.42 Dan Ulama yang pertama

39
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002) hlm 87-89.
40
Philip K. Hitti, History of the Arabs; From The Earliest Times to The Present, diterjemahkan oleh R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008) hlm 271
41
Ibid..., hlm 270
42
Ibid..., hlm 274

20
yang memberikan baris dan titik pada huruf al-Qur;an adalah Hasan al-Bashri atas
petintah Abd Malik Ibn Marwan yang di instruksikan kepada Al-Hajjaj. Dalam
riwayat lain dikatakan bahwa yang pertama kali memberikan garis dan titik pada huruf
al-Qur’an adalah Abu al-Aswad ad-Duwali.43
Demikian pula, khalifah memerintahkan menerjemahkan buku dongeng dalam
bahasa sansakerta yang dikenal dengan Kalilah wa Dimanah, karya Bidpai. Buku ini
diterjemahkan oleh Abdullah ibnu al Muqaffa. Ia juga telah banyak menerjemahkan
banyak buku lain, seperti filsafat dan logika, termasuk karyaa Aristoteles :Categoris,
Hermeneutica, Analityca Posterior serta karya Porphyrius : Isagoge.44
Gerakan arabisasi juga bukan hanya dilakukan pada konteks adminstrasi
pemerintahan dan penerjemahan tetapi. Pada masa Abd. Malik (685-705 M) mata
uang gaya baru juga diperkenalkan, dan hal ini memiliki arti yang sangat penting,
karena mata uang merupakan symbol kekuasaan dan identitas suatu kekuasaan suatu
masa, Sebelumnya uang Roma dan Persia yang beredar dan digunakan di Hijaz
disamping beberapa uang perak Himyar.45

3. Bidang Pertahan dan Militer


Dalam bidang organisasi pertahan dan militer, tentara Umayah secara umum
dirancang mengikuti struktur organisasi tentara Byzantium.awalnya strategi dan
kekuatan bersenjata bani Umayyah hanya memiliki dua strategi dan formasi perang,
yaitu kekuatan belakang dan kekuatan depan. Dari formasi itu kemudian
dikembangkan menjadi Kesatuannya dibagi menjadi lima kelompok : Pasukan inti/
tengah yang disebut qabul jaisyi yang diisi oleh komandan pasukan, Al-maimanah,
yaitu pasukan sayap kanan, al-maysarah yaitu pasukan sayap kiri, al-mutaqaddimun,
yaitu pasukan yang menempati posisi depan, dan saqah al-jaisy yaitu pasukan yang
menempati posisi belakang, yang bertugas untuk menjaga keamanan dari belakang.
Dibelakang pasukan tempur biasanya ada pasukan lain, yang dinamakan rid,
yaitu pasukan logistik yang bertugas menyiapkan bahan makanan, obat-obatan, dan
lain sebagainya. Disamping itu ada pasukan disebut talaiyah, yaitu pasukan pengintai

43
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2008)hlm 108
44
C.A Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Obor, 2002) hlm 37
45
Philip K. Hitti, History of the Arabs; From The Earliest Times to The Present, diterjemahkan oleh R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008) hlm 270

21
atau intelejen. Pasukan tempur terdiri dari; farsyan, yaitu pasukan berkuda, rijalah
yaitu pasukan pejalan kaki, dan ramat yaitu pasukan pemanah.
Pada masa kekuasaan bani Umayyah ini organisasi militer ini dibagi menjadi
tiga bagian, yakni; angkatan darat (Al Jund), angkatan laut (Al Bahriyah), angkatan
kepolisian (Asy Syurtah).
1) Angkatan Darat (Al Jund)
Di angkatan darat pemilihan bala tentara menggunakan prinsip Arabisme, yaitu
hanya bangsa arab saja yang bisa menjadi tentara untuk berperang, akan tetapi
ketika ekspansi ke Afrika Utara, banyak juga suku Barbar yang ikut ambil
bagian. Pada masa Abd Malik Ibn Marwan diberlakukan system wajib militer,
dimana setiap laki-laki wajib mengikutinya.
2) Angkatan Laut (Al Bahriyah)
Angkatan laut pada saat itu sudah cukup handal terbukti dengan pembuatan
kapal-kapal laut untuk menangkis serangan armada Byzantium serta sebagai
tranportasi dalam usaha perluasan wilayah.
3) Angkatan Kepolisian (Asy Syurtah).
Armada kepolisian yang pada awalnya merupakan bagian dari organisasi
kehakiman kemudian menjadi independen dan bertugas untuk mengurusi
kejahatan.
Berbeda dengan masa Usman bin Affan, yang bala tentara atas dasar kesadaran
sendiri, pada masa ini ada tekanan penguasa. Bahkan pada masa Abdul Malik bin
Marwan diberlakukan Undang-Undang Wajib Militer (Nidhamul Tajnidi Ijbari) yang
dimana semua laki-laki wajib mengikutinya. Pada waktu itu aktifitas bala tentara
diperlengkapi dengan kuda, baju besi, pedang dan panah.46 Politik ketenteraan Daulah
Bani Umayyah ini yaitu politik Arab. Dimana tentaranya harus berasal dari orang-
orang Arab atau unsur Arab. Keadaan ini terus berjalan sampai wilayahnya menjadi
luas meliputi Amerika Utara dan Andalusia. Karena luasnya wilayah, maka mereka
meminta bantuan bangsa Barbar untuk menjadi tentara.47 Pada masa ini juga,
dibangun Armada Islam yang terdiri dari ±17.000 kapal. Disamping itu Daulah

46
Ali Sodikin dkk. Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Moden. (Yogyakarta: Lesfi.
2009) hlm 76
47
A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) hlm 172

22
Umayyah membentuk Armada Musim Panas dan Armada Musim Dingin, sehingga
memungkinkan untuk bertempur di segala musim.

4. Bidang Sosial (Arab dan Mawali)


Umayyah bin Abd Syam merupakan moyang dari Daulah Umayyah yang telah
menetap di Suriah jauh sebelum Islam datang. Oleh karena itu, kehidupan dan
keberlangsungan Daulah Umayyah tidak bisa dilepaskan dari orang-orang Suriah.
Selanjutnya Dinasti Umayyah membentuk aristokrasi militer arab, sosial dan
tingkatan masyarakat. Tentara Suriah adalah jantung kekuatan militer. Daulah
Umayyah sebagai sumber kekuatan, mereka memperoleh hak istimewa itu. Tidak
mengherankan apabila kemudian terjadi kesenjangan sosial yang dalam antara
masyarakat Suriah dan golongan lainnya.
Keadaan itu menimbulkan kecemburuan kaum muslim di Arab di Madinah,
Mekah dan Irak. Mereka memang dibebaskan dari beban membayar pajak yang
dipikulkan kepada orang-orang non muslim. Akan tetapi kehidupan mereka tidak lebih
baik dibanding dengan keluarga Suriah.
Kecemburuan yang lebih besar ditunjukkan oleh orang-orang muslin non Arab
pada umunya dan lebih khusus lagi adalah orang-orang Islam Persia. Khalifah-
khalifah Daulah Umayyah bahkan menunjukkan sikap yang bermusuhan dengan
mereka. Harapan mereka untuk memperoleh persamaan dalam bidang ekonomi dan
sosial pupus sudah. Kedudukan mereka bahkan diturunkan menjadi Mawali yaitu
orang yang sangat tergantung nasibnya pada majikan mereka orang-orang Arab.
Mereka mengeluh atas perlakuan itu dan memandang sebagai hal yang tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip dan ajaran islam.
Orang Arab mengangap bahwa mereka lebih mulia dari kaum muslimin bukan
orang Arab sendiri. Kaum muslimin bukan Arab (non-Arab) digelar dengan nama al-
Mawadi (asal mula Miwali), yaitu budak-budak tawanan perang yang telah
dimerdekakan. Kemudian disebutnya Mawali semua orang islam yang bukan arab.
Orang Arab memandang dirinya “Sayid” (tuan) atas bangsa bukan Arab,
seakan-akan mereka dijadikan tua untuk memerintah. Sehingga antara bangsa Arab
dengan negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak

23
bernegara.48 Oleh sebab itu, orang Arab dalam zaman ini hanya bekerja dalam bidang
politik dan pemerintahan saja, sedangkan bidang-bidang usaha lain diserahkan kepada
Mawali, seperti pertukangan dan kerajinan. Orang mawali ini dipandang sebagai
penghuni kasta terendah dalam strata sosial bangsa Arab.
Masyarakat pada masa Dinasti Umayyah terbagi ke dalam empat kelas sosial.
Kelas tertinggi biasanya diisi oleh para penguasa Islam, dipimpin oleh keluarga
kerajaan dan kaum aristokrat Arab. Kelas sosial kedua adalah para muallaf yang
masuk Islam melalui pemaksaan sehingga negara mengakui hak penuh mereka
sebagai warga muslim. Kelas sosial ketiga adalah anggota sekte dan para pemilik kitab
suci yang diakui, yang disebut ahl al-dzimmah, yaitu orang Yahudi, Kristen dan Saba
yang telah mengikat perjanjian dengan umat Islam. Selanjutnya, kelas paling rendah
dalam masyarakat adalah golongan budak. Meskipun perlakuan terhadap budak telah
diperbaiki, tetapi dalam prakteknya mereka tetap menjadi penduduk kelas rendah.49
Mulanya mawali adalah budak tawanan perang yang dimerdekakan. Belakangan
istilah mawali diperuntukan bagi semua muslim non Arab.

5. Bidang Peradilan
Daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada setiap warga
negaranya yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat
mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh
karena itu, Daulah ini membentuk lembaga peradilan.Pada masa pemerintahan Daulah
bani Umayyah sudah terjadi pemisahan kekuasaan antara eksekutif (pemerintah)
dengan yudikatif (kehakiman/peradilan). Dalam pelaksanaannya kekuasaan
kehakiman dibagi menjadi 3 bagian yaitu al-qadha, al-hisbat dan al-mazhalim. Untuk
mengetahui masing-masing bagian kehakiman tersebut, berikut penjelesananya;
a) Al-Qadha, dipimpin oleh seorang Qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa
hukum dan peraturan-peraturan yang digali langsung dari al-Qur’an, Sunnah,
Ijmak dan dengan dasar Ijtihad. Seorang Qadhi dalam melakukan tugasnya, bebas
dari intervensi baik dari Khalifah maupun Gubernur.

48
A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) hlm 154
49
Philip K. Hitti, History of the Arabs; From The Earliest Times to The Present, diterjemahkan oleh R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008) hlm 289-291

24
b) Al-Hisbat disebut juga al-muhtasib, dipimpin oleh seorang al-Muhtasib yang
bertugas menangani kriminal yang perlu diselesaikan segera.
c) Al-Mazhalim, dipimpin oleh seorang Qadhi al-Mazhalim atau Shahib al-
Mazhalim yang berkedudukan lebih tinggi dibandingkan Qadhi dan al-Hisbat,
karena ia bertugas meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan keputusan-
keputusan hukum yang dibuat oleh Qadhi dan Muhtasib. Perkara yang akan
ditinjau kembali baik perkara seorang rakyat maupun pejabat yang
menyalahgunakan jabatannya, dilakukan dimasjid dengan menyelenggarakan
Mahkamat al-Mazhalim.
Dalam melakukan sidangnya dalam peninjauan kembali suatu perkara,
persidangan dihadiri oleh 5 (lima) unsur yaitu : para pembantu sebagai Juri, Hakim,
Fuqaha, Katib, dan Saksi yang dimana persidangan tersebut diketuai dan dipimpin
oleh Qadhi al-Mazhalim. Pada periode ini peradilan bebas tetap dilaksanakan
sebagaimana yang telah dilaksanakan sebelumnya pada periode zaman negara
Madinah.

6. Bidang Ekonomi
Adapun sumber utama pemasukan sama saja dengan sumber pendapatan pada
masa Khulafa ar-Rasyidin, yaitu pajak. Di setiap provinsi, semua biaya untuk urusan
administrasi lokal, belanja tahunan negara, gaji pasukan, dan berbagai bentuk layanan
masyarakat dipenuhi dari pemasukan lokal, dan sisanya dimasukkan ke dalam kas
negara.50 Kebijakan ini meliputi dua jenis pajak, yang pertama Pajak Kharaj (pajak
Tanah), pajak kharaj adalah pajak yang harus dibayar oleh setiap warga negara yang
memiliki ladang di kawasan pemerintahan bani Umayyah, dan yang kedua Pajak
Jizyah (pajak kepala), pajak jizyah adalah pajak yang diberlakukan untuk kaum non-
muslim yang berada di kawasan pemerintahan Bani Umayyah sebagai jaminan atas
keselamatan atas dirinya di kawasan pemerintahan Islam. Saluran uang keluar, pada
masa Daulah Umayyah umumnya sama seperti permulaan Islam, yaitu untuk:
a. Gaji para pegawai dan tentara, serta biaya tata usaha negara.
b. Pembangunan pertanian, termasuk irigasi dan pengalian terusan-terusan.
c. Ongkos bagi orang-orang hukuman dan tawanan perang.

50
Ibid..., hlm 281

25
d. Perlengkapan perang.
e. Hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para ulama.
Pada masa pemerintahan Abdul Malik juga, di mana untuk pertama kalinya ia
mempernalkan dan mencetak mata uang logam sendiri menggantikan mata uang
Bizantium dan Persia. mata uang Arab dengan nama Dinar, Dirham, dan Fals. Mata
uang Arab yang baru ini menghilangkan simbolisme Kristen dan Zoroastrian, dan
memperkenalkan model koin terbuat dari emas dan perak yang bertuliskan huruf Arab
sebagai simbol kedaulatan negara, dan kemerdekaan dari kesamaan kedudukan
dengan beberapa imperium yang terdahulu.51

D. Analisis Pemerintahan Daulah Bani Umayyah


Bani Umayyah atau kekhalifahan Umaiyah adalah kekhalifahan Islam pertama
setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah di jazirah Arab yang berpusat di
Damaskus, Syiria, serta dari 756-1031 di Cordoba-Andalusia, Spanyol. Masa
kekhalifahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahunan yaitu dimulai pada masa
kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pemerintahan yang terkenal dengan system monarkinya, dan kekuasaan
pemerintahan yang jauh sekali dengan apa yang terjadi di zaman Khulafaur Rasyidin. Di
zaman Bani Umayyah ini hanya ada satu orang berkuasa yang di sebut sebagai Khalifah
dengan system pemerintahan yang otoriter, di Indonesia pernah terjadi pada saat orde
lama maupun orde baru di bumi Nusantara ini, namun terjadi sebuah dilematis, dilain sisi
semua keamanan bisa di peroleh di bumi pertiwi ini sebab Presiden memiliki sebauh
kekultusannya sendiri dalam memerintah, tetapi di lain sisi rakyat di paksa tunduk tidak
boleh menyuarakan isi hatinya, jika tidak menuruti perintah dari Presiden, masyarakat
akan dipenjarakan atau paling parah berujung kepada kematian. Bumi Nusantara ini bisa
saja menggunakan system pemerintahan yang otoriter dengan menstabilkan ekonomi
Negara yang sedang dilanda krisis dan sedang mencari jati diri, akan tetapi paham ini
akan sangat sulit sekali digunakan ketika masyarakat sudah dan sedang kecanduan akan
sebuah kebebasan.
Pemerintahan Umayyah yang monokultural yaitu pemerintahan pemerintahan
yang hanya ada satu golongan ras dan suku yang dapat menduduki bidang pemerintahan

51
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, terj, Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2000) hlm 92-93.

26
sedangkan ras dan suku yang lain tidak diizinkan menduduki di bidang pemerintahan,
untuk di Bumi Pertiwi ini, tidak akan bisa diterapkan, sebab Bumi Pertiwi ini hidup sejak
dulu dan disatukan dengan system keberagaman, ada suku jawa, suku kalimanantan dan
suku-suku yang lain. Oleh karena itu negara yang sudah terbentuk dan disatukan dengan
keberagaman ini alangkah baiknya bisa saling mendukung dan membantu dengan sesame.
Pemerintah Umayyah yang sekuler yaitu kepala negara nya hanya
menduduki/mengurusi bidang pemerintah saja, sedangkan bidang keagamaan pada saat
itu diserahkan kepada qodhi/hakim, berbeda jauh sekali dengan pemeritahan di zaman
Rasul Allah dan di Zaman Khulafaur Rasyidin, dimana kepala negara menduduki bidang
pemerintahan maupun keagamaan. Sedangkan di Indonesia ini bukan lah Negara sekuler
layaknya Negara Amerika Serikat. Di Indonesia ini, agama dan Negara bias dibedakan,
namun tak bias dipisahkan. Agama dan Negara seperti dua sisi pada mata keeping uang.
Bisa dibedakan, namun tak dapat dipisahkan. Indonesia juga Negara yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Sila-sila pada Pancasila hakikatnya adalah nilai-nilai agama.
UUD 1945 juga sarat dengan nilai-nilai agama. Sesuai dengan paragraph ke-4 pembukaan
UUD, bahwa kemerdekaan Indonesia diperoleh atas berkat Rahmat Allah yang Maha
Kuasa. Presiden Indonesia, sebelum menjabat disumpah terlebih dahulu berdasarkan
agama. Semua penyelenggara negara, pertanggungjawabannya juga tidak hanya pada
negara, namun juga pada Tuhan. Hal ini bukti tak terbantahkan, betapa di negara kita,
agama sangat merasuk. Di Indonesia juga ada Peradilan Agama, sesuatu yang tidak
banyak ada di negara lain. Namun Di sisi lain, Indonesia juga bukanlah negara agama.
meski mayoritas penduduknya beragama Islam, para pendiri bangsa tidak memilih Islam
sebagai agama negara. Dapat kita ketahui, bahwa Indonesia secara resmi mengakui 6
agama yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

Daulah Bani Umayyah “Pemerintahan Monokultural, Sekuler dan Otoriter”

Daulah Bani
Umayyah

27
Latar Belakang Khalifah-Khalifah Pemerintahan
Sejarah Daulah Daulah Bani Daulah Bani
Umayyah Umayyah Umayyah

 Pada zaman Usman bin 1. Muawiyah I bin Abu 1. Bidang Pemerintahan =


Affan, Muawiyah di tunjuk Sufyan,(41-61 H) a) Pemindahan Pusat
menjadi Gubernur daerah 2. Yazid I bin Muawiyah, (61- Pemerintahan
Syam. 64 H) b) Pergantian Sistem
 Terbunuhnya Ustman bin 3. Muawiyah II bin Yazid, Pemerintahan
Affan karena kebijakan (64-65 H) c) Pemisahan Kekuasaan
Nepotisme nya. 4. Marwan I bin al-Hakam,( d) Pembagian Wilayah
 Diangkat nya Ali bin Abi 65-66 H) e) Administrasi Pemerintahan
Thalib menjadi Khalifah. 5. Abdul-Malik bin Marwan, 2. Kedudukan Amirul Mukminin
 Terjadi Perang Siffin antara (66-86 H) = bertugas sebagai khalifah
Ali dan Muawiyah. 6. Al-Walid I bin Abdul- dalam temporal saja.
 Perjanjian Tahkim oleh Malik, (86-97 H) 3. Politik Arabisasi = Perubahan
Pihak Ali dan Muawiyah. 7. Sulaiman bin Abdul-Malik, Bahasa dalam bidang
 Terbunuhnya Ali oleh (97-99 H) pemerintahan dan
Abdullah bin Muljam (kaum 8. Umar II bin Abdul-Aziz, penerjemahan
khawarij) ketika Ali hendak (99-102 H) 4. Bidang Sosial (Arab dan
ke masjid Kufah. 9. Yazid II bin Abdul-Malik, Mawali) = terjadi kesenjangan
 Diangkatnya Hasan bin Ali (102-106 H) antara kaum muslimin
dibaiat oleh Qois bin Saad 10. Hisyam bin Abdul-Malik, 5. Bidang Pertahan dan Militer =
dan masyarakat Madinah (106-126 H) di rancang mengikuti struktur
dan Irak. 11. Al-Walid II bin Yazid II, tentara Byzantium.
 Terjadinya Perjanjian Amul (126-127 H) 6. Bidang Peradilan =
Jama’ah. 12. Yazid III bin al-Walid, (127 memberikan hak dan
H) perlindungan kepada setiap
13. Ibrahim bin al-Walid, (127 warga di dalam kekuasaannya.
H) 7. Bidang Ekonomi = Sumber
14. Marwan II bin Muhammad, pemasukan yaitu Pajak.
(127-133 H)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah ibn Abi Sufyan pada tahun
661 M. Serah terima jabatan antara Hasan ibn Ali kepada Muawiyah berlangsung di

28
kota Kufah. Peristiwa itu kemudian dikenal dalam sejarah Islam dengan istilah “Amul
Jama’ah” (tahun persatuan).
Sistem pergantian khalifah pada daulah ini dilakukan dengan cara monarchi
absolute (kerajaan turun menurun), bukan lagi menggunakan system demokratis
seperti yang diterapkan pada khalifah sebalumnya.
Basis pemerintahan daulah ini terletak di Damaskus, Syria. Adapun peta
wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan daulah Bani Umayyah telah
meliputi wilayah Asia, Afrika, dan Eropa, atau dalam kata lain wilayah kekuasaan
Islam telah terbentang dari Indus di India sampai ke Andalusia di Spanyol, selain
wilayah kekuasaan Islam di Jazirah Arabia dan Afrika.
Sistem kekhalifahan Umayyah dalam bidang social yaitu mengutamakan
Muslim Arab dari pada Muslim non Arab sehingga terjadi kesenjangan sosial pada
Daulah ini. Sistem politiknya menggunakan system kekuatan militer yang
mengutamakan orang Arab. Adapun system perekonomian sumber pendapatan ialah
pajak yang terdiri dari pajak kharaj dan pajak jizyah, pada Daulah ini juga mulai
diperkenalkan uang Arab yang di cetak secara teratur.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Daulah Umayyah berbentuk
monokultural, dimana dalam pemerintahannnya selalu mementingkan orang bangsa
Arab untuk bekerja di segala bidang pemerintahan. Sedangkan pemerintahan Sekuler,
terjadi pemisahan kekuasaan politik dan kekuasaan Agama, dan Pemerintahan Otoriter
dimana Khalifah Daulah Umayyah ini memiliki wewenang penuh dalam semua aspek
kerajaan, baik dalam sentralisasi, wilayah-wilayah dan lain sebagainya.

29
DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Usairy Ahmad, 2010, Sejarah Islam: Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta Timur:
Akbar Media.

al-Azizi Abdul Syukur, 2014, Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap, Jogjakarta: Saufa.

Ali Sodikin dkk. 2009, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Moden.
Yogyakarta: Lesfi

Al-isy Yusuf, 2009, Dinasti Umayyah, Jakarta: Pustaka Al-Kausar

Alkhudhary Muhammad, 2000, Daulah Umayyah, Tharablus: Majlis Idarah Jamiah


Mishriyah

an Nabhani Taqiyuddin, 2000, Negara Islam, Bogor: Pustaka Thariqul ‘Izzah.

AS-Suyuti Imam, 2003, Tarikh Khulafa’ Sejarah dan Penguasaan Islam; Khulafaurrasyidin,
Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, terj Samson Rahman Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2003.

C.A Qadir, 2002 Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Obor.

Fuadi Imam, 2011 Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Teras.

Hasymy Ahmad, 1993, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta; Bulan Bintang.

Hitti Philip K, 2008, History of the Arabs; From The Earliest Times to The Present,
diterj oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: PT: Serambi
ilmu semesta

Ira M. Lapidus, 2000 A History of Islamic Societies, terj, Ghufron A. Mas’adi Jakarta; PT
RajaGrafindo Persada

Karim Abdul, 2007 Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher.

Katsir Ibnu, 2012, Al Bidayah wa An-Nihayah, terj. Amir Hamzah dan Misbah, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2012, Jilid XI.

Mahmuddunasir Syed, 2005, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: PT Rosdakarya.

Maidir Harun dan Firdaus, 2001 Sejarah Peradaban Islam, Padang: Iain IB Press, 2001

Supriyadi Dedi, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Setia.

Syalabi Ahmad, 2008, Sejarah & Kebudayaan Islam 2, Jakarta: PT Pustaka Al-Husna Baru

Yatim Badri, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai