Anda di halaman 1dari 21

I.

PENGERTIAN
Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar
otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi oleh cairan. Paling sering
disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi kecenderungan
perdarahan yang serius dan aneurisma. Hematoma subdural lebih sering
terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil
yang menjembatani ruang subdural.
Perdarahan subdural adalah perdarahan karena trauma yang terjadi
antara membran luar dan menengah (meninges) yang meliputi otak.
Hematoma subdural disebabkan karena robekan permukaan vena atau
pengeluaran kumpulan darah vena. Hematoma subdural dalam bentuk
kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-
vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi
itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah
cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan
lokasi gumpalan darah.
Jadi subdural hematom adalah perdarahan diantara lapisan durameter
dan lapisan araknoid yang diakibatkan oleh trauma dimana terjadi robekan
permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena.

A. Konsep Subdural Hematom


1. Definisi
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut
yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari
laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas
langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat
pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan
tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.
2. Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang
mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat
terjadi pada:
 Trauma kapitis
 Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap
duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
 Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan
subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak – anak.
 Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.
 Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan,
dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
 Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
3. Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya
vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus
di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan
cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya
posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana
mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut
menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat
yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari
sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial
yang berangsur meningkat
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan
dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya
trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara
perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma
yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya
membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari
pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada
membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari
perdarahan subdural kronik.

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari
bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis
spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi
relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.

Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui
mekanisme kompensasi tersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra
kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih
lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen
magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa
aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak
yang lainnya.

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian
didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang
mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan
berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis
juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut
memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul
dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan
peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
4. Klasifikasi
a. Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala- gejala
klinis yaitu:
1) Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam – jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera
kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang
biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm
tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.

2) Perdarahan sub akut


Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 – 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub
akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal
tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel
darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3) Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural,
gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang
ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan
perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan
pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini
lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan
penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di
daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada
selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada
sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan
meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan
perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.

Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari
ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor
serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50
tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.

b. Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan subdural kronik
dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
1. Tipe homogen ( homogenous)
2. Tipe laminar
3. Tipe terpisah ( seperated)
4. Tipe trabekular (trabecular)
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang trabekular adalah
rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya dalam bentuk homogen,
kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang
matang, diwakili oleh stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular
selama penyerapan.

c. Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan subdural kronik
dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
1. Tipe konveksiti ( convexity).
2. Tipe basis cranial ( cranial base ).
3. Tipe interhemisferik
Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi, sedangkan
kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan subdural kronik
berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini berguna untuk memperkirakan
resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.

5. Manifestasi Klinis
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah
cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan
oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

b. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari
2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan
oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.

Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-
lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik
yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami
kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun
nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari
kompresi batang otak.

c. Hematoma Subdural Kronik


Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun
setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan
subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari
setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan
osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut
dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan
hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut
(karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan;
selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa
menunjukkan adanya genangan darah.

6. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan /
edema), fragmen tulang.
4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrakranial.

7. Penatalaksanaan
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah.
b. Cairan hiperosmoler, umumnya digunakan cairan Manitol 10¬-15% per infus untuk "menarik"
air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui
diuresis.
c. Kortikosteroid, penggunaan kortikosteroid untuk menstabilkan sawar darah otak. Berupa
Dexametason, Metilprednisolon, dan Triamsinolon.
d. Barbiturat, digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang
rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai
oksigen berkurang.
e. Pemberian obat-obat neurotropik untuk membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme
otak, termasuk pada keadaan koma.
a) Piritinol, merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan mengaktivasi
metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada fase akut diberikan
dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena karena sifatnya
asam sehingga mengiritasi vena.
b) Piracetam, merupakan senyawa mirip GABA - suatu neurotransmitter penting di otak. Diberikan
dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
c) Citicholine, disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan
untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam dosis 100-500
mg/hari intravena.

II. PATOFISIOLOGI
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang
menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam
duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan
cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam
keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat
merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus
duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut
menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya
akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah
lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung
memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang
berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi serebral.
Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak
mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat
menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara
perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan
terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada
perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan.
Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran
vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan
berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan
penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan
subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi
oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena.
Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena
komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik
tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains
intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang
dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial
atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika
seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural
kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih
terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan
darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang
terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan
peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari
perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini,
yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam
subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel
darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang
yang dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor
angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan
peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural
hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan
peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan subdural kronik.

III.TANDA DAN GEJALA


IV. Hematoma Subdural Akut
V. Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48
jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan
pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya
pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
VI. Hematoma Subdural Subakut
VII. Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangan subdural.
VIII. Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan
intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang
otak.
IX. Hematoma Subdural Kronik
X. Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu
vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam
ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah
dikelilingi oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang
mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah
dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan
perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di
sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
XI. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan, selama beberapa minggu gejalanya tidak
dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya
genangan darah.
XII. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara
spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya
pengaliran perdarahan ini adalah:
a. sakit kepala yang menetap
b. rasa mengantuk yang hilang-timbul
c. linglung
d. perubahan ingatan
e. kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

XIII. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


XIV. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
XV.MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
XVI. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti:
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
XVII. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
XVIII. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
XIX. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.
XX.PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
XXI. CSF, Lumbal Punksi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
XXII. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
XXIII. Kadar Elektrolit: Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial
XXIV. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
XXV.
XXVI. PENATALAKSANAAN
XXVII. Konservatif:
XXVIII. Bedrest total
XXIX. Pemberian obat-obatan
XXX. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
XXXI. Prioritas Perawatan:
XXXII. Maksimalkan perfusi / fungsi otak
XXXIII. Mencegah komplikasi
XXXIV. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal
XXXV. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
XXXVI. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana
pengobatan, dan rehabilitasi.
XXXVII.
XXXVIII. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
XXXIX. PENGKAJIAN
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan
darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan
segera setelah kejadian.
3. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,
biot, hiperventilasi, ataksik)
b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Sistem saraf :
1) Kesadaran  GCS.
2) Fungsi saraf kranial  trauma yang mengenai/meluas ke batang
otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
3) Fungsi sensori-motor  adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
Skala Koma Glasgow
No RESPON NILAI
1 Membuka Mata :
-Spontan 4
-Terhadap rangsangan suara 3
-Terhadap nyeri 2
-Tidak ada 1
2 Verbal :
-Orientasi baik 5
-Orientasi terganggu 4
-Kata-kata tidak jelas 3
-Suara tidak jelas 2
-Tidak ada respon 1
3 Motorik :
- Mampu bergerak 6
-Melokalisasi nyeri 5
-Fleksi menarik 4
-Fleksi abnormal 3
-Ekstensi 2
-Tidak ada respon 1
Total 3-15
d. Sistem pencernaan
1) Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak.
Jika pasien sadar  tanyakan pola makan?
2) Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
3) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik  hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan 
disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf
fasialis.
g. Psikososial  data ini penting untuk mengetahui dukungan yang
didapat pasien dari keluarga.

XL.DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas
di otak.
2. Inefektif kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan
sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak.
4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran
(soporos - coma).
5. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi,
tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Kecemasan keluarga berhubungan keadaan yang kritis pada pasien.
8. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran.
9. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
10. Risiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau
meningkatnya tekanan intrakranial.
11. Risiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma
kepala.

XLI. INTERVENSI KEPERAWATAN


1. Gangguan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat
napas di otak.
Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau
tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas
normal.
Rencana tindakan :
a. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. Pernapasan yang
cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan
pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa CO 2 dan
menyebabkan asidosis respiratorik.
b. Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat
dalam pemberian tidal volume.
c. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya
2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai
kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran
gas.
d. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat
mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan
meningkatkan resiko infeksi.
e. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi
dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan
menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
f. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu
membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada
ventilator.
2. Inefektif kebersihan jalan napas berhubungan dengan
penumpukan sputum.
Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kriteria Evaluasi :
Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi
alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi
dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan,
bronchospasme atau masalah terhadap tube.
b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ).
Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi
pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan
sputum.
c. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila
sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu
harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
d. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk
semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta
pelepasan sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak
Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi
motorik.
Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
Rencana tindakan :
a. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode
GCS.
Rasional : Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat
kesadaran.
Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap
stimulus eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.
Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk
menentukan refleks batang otak.
Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda
awal peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi
mata.
XLII. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.
XLIII. Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat
kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya
pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme
sebagai reaksi terhadap infeksi.
XLIV. Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan.
XLV. Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
XLVI. Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada
vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan
tekanan intrakranial.
XLVII. Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan
pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.
XLVIII. Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial.
XLIX. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan
tekanan intrakrania.
L. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
LI. Dapat menurunkan hipoksia otak.
LII. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar
(kolaborasi). Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia
seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat
menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi,
menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang,
analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan
intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan
pemakaian oksigen otak.
LIII.
LIV. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (soporos -
coma)
LV. Tujuan : Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
LVI. Kriteria hasil :
LVII. Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi
sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
LVIII. Rencana Tindakan :
LIX. Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
LX.Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang
dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
LXI. Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
LXII. Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan
mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan
yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah
infeksi dan keindahan.
LXIII. Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
LXIV. Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus
dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai
dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.
LXV. Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga
lingkungan yang aman dan bersih.
LXVI. Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien -
keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada
di ruangan.
LXVII. Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.
LXVIII.
LXIX. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer.
LXX. Tujuan : Gangguan integritas kulit tidak terjadi
LXXI. Rencana tindakan :
LXXII. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk
menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
LXXIII. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
LXXIV. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk
daerah yang menonjol.
LXXV. Ganti posisi pasien setiap 2 jam
LXXVI. Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan
memudahkan terjadinya kerusakan kulit.
LXXVII. Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
LXXVIII. Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
LXXIX. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8
jam.
LXXX. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam
dengan menggunakan H2O2.
LXXXI.
4. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan: Klien akan merasa nyaman yang ditandai dengan klien tidak
mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.

Intervensi:
LXXXII. Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri,
lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat
dingin.
LXXXIII. Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
LXXXIV. Kurangi rangsangan.
LXXXV. Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
LXXXVI. Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
LXXXVII.Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
LXXXVIII.
LXXXIX. Kecemasan keluarga berhubungan keadaan yang kritis pada pasien.
XC. Tujuan : Kecemasan keluarga dapat berkurang
XCI. Kriteri evaluasi :
XCII. Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan
XCIII. Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien
XCIV. Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan
meningkat.
XCV. Rencana tindakan :
XCVI. Bina hubungan saling percaya.
XCVII. Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga.
XCVIII. Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan.
XCIX. Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan
dilakukan pada pasien. Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak
tahuan.
C. Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.
CI. Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.
CII. Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.
CIII. Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan
keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis.
CIV.
5. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan
menurunnya kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan
berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan,
tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit,
buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi:
CV. Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum,
mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan
perseorangan.
CVI. Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
CVII. Perawatan kateter bila terpasang.
CVIII. Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk
memudahkan BAB.
CIX. Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari
dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.
CX.
6. Risiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan
muntah.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau
dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab,
integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji intake dan out put.
b. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit,
membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put
urine.
c. Berikan cairan intra vena sesuai program.

7. Risiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau


meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Anak terbebas dari injuri.
Intervensi:
CXI. Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon
terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan
menurun, dan kejang.
CXII. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
CXIII. Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
CXIV. Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
CXV. Berikan analgetik sesuai program.
CXVI.
8. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan: Klien akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak
ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas
normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
CXVII. Kaji adanya drainage pada area luka.
CXVIII. Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
CXIX. Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
CXX. Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel,
sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.
CXXI.
CXXII. IMPLEMENTASI
CXXIII. Perencanaan disesuaikan dengan kondisi dan respon klien
CXXIV.
CXXV. EVALUASI
1. Penggunaan otot bantu napas tidak ada
2. Suara napas bersih
3. Tidak ada peningkatan intrakranial.
4. Tanda-tanda vital stabil
5. Kebersihan terjaga
6. wajah tidak menunjang adanya kecemasan
7. Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien
8. Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA

Huda Nurarif, Amin, Hardi Kusuma.2013.Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan


diagnosa medis dan NANDA NIC-NOC Jilid 1&2.Yogyakarta:Mediaction.
Juall Carpenito-Moyet, Lynda.2007.Buku Saku Diagnosa Keperawtan.Jakarta:EGC.
A.Price,Sylvia, Lorraine M. Wilson.2006.PATOFISIOLOGI Jilid 1.Jakarta:EGC.
Mengetahui Denpasar,
November 2014
Pembimbing Praktik
Mahasiswa

( I Made Sumaharianta
Radin )
NIM. P07120012083

Mengetahui
Pembimbing Akademik

Anda mungkin juga menyukai