Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelayanan gizi rumah sakit adalah pelayanan gizi yang disesuaikan
dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi, dan
status metabolisme tubuhnya. Kedaan gizi pasien sangat berpengaruh pda
proses penyembuhan penyakit, sebaliknya proses perjalanan penyakit
dapat berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien (Depkes, 2003). Kegiatan
pelayanan gizi di rumah sakit adalah untuk memenuhi kebutuhan gizi
masyarakat rumah sakit rawat inap dan rawat jalan, untuk keperluan
metabolisme tubuh, peningkatan kesehatan, koreksi kelainan metabolisme
dalam upaya preventif, kuratif, rehabilitative, dan promotif.

Kegiatan pelayanan gizi di ruang rawat inap merupakan salah satu


kegiatan yang dimulai dari upaya perencanaan penyusunan diet pasien
hingga pelaksanaan evaluasi diruang perawatan. Tujuan kegiatan
pelayanan gizi tersebut adalah untuk memberikan terapi diet yang sesuai
dengan perubahan sikap pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Laparatomi Eksplorasi


Laparatomi adalah prosedur operasi dengan membuat irisan vertikal besar
pada dinding perut ke dalam rongga perut. Menurut Donna D. Ignatavicus
(1995:1615) dan Dr.Med. Ahmad Ramali (2000:194), Laparatomi eksplorasi
merupakan istilah umum untuk suatu tindakan pembedahan yang dilakukan pada
rongga perut untuk memeriksa abnormalitas rongga perut. Laparatomi eksplorasi
digunakan untuk mengetahui sumber nyeri atau akibat trauma dan perbaikan bila
diindikasikan. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan merasakan organ
atau jaringan mana yang bermasalah. Contoh tindakan pembedahan spesifik
untuk laparatomi eksplorasi misalnya appendectomy (operasi usus buntu),
splenectomy ( pengangkatan pada limpa), atau kista hepar dll.
Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi laparatomi
di lakukan apabila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen,
misalnya trauma abdomen. Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan
perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah
menjalani operasi pembedahan perut. Nyeri perut yang terus menerus atau
berulang membuat laparatomi perlu dilakukan. Alasan lain antara lain, muntah
yang berulang, mual, gangguan usus atau pembengkaan perut yang tidak bisa
dijelaskan yang bisa disebabkan oleh kanker. Bila perut cedera parah, mungkin
karena benturan hebat dalam kecelakaan lalu lintas, kemungkinan terjadi adalah
pendarahan dalam atau cedera serius pada organ dalam. Pada situasi seperti ini,
laparotomi sering dilakukan untuk menaksir tingkat cedera, menutup
pembuluh darah yang robek, dan membuang jaringan yang rusak dan tidak bisa
diperbaiki lagi. Bila penderita merasakan nyeri perut hebat dan gejala-gejala lain
dari masalah internal yang serius dan kemungkinan penyebabnya tidak terlihat-
usus buntu, tukak peptik yang berlubang atau kondisi ginekologi, perlu dilakukan
operasi untuk menemukan dan mengoreksinya sebelu terjadi kerusakan lebih
lanjut. Sejumlah operasi yang membuang usus buntu berawal dari laparotomi.
Beberapa kasus, laparatomi mungkin hanyalah prosedur kecil. Pada kasus lain,
laparotomi bisa berkembang menjadi pembedahan besar, diikuti oleh transfusi
darah dan masa perawatan intensif.

B. Kista Hepar

2.1. Pengertian Kista Hepar


Dalam pengertian secara histopatologi, kista adalah rongga yang dilapisi
sel epitel. Pada kista terdapat duktus yang terdilatasi yang biasanya disebabkan
oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi berlebihan dan distorsi struktural.
Sebagian kista timbul dari sisa-sisa epitel ektopik atau sebagai hasil nekrosis di
tengah-tengah massa epitel.
Kista dapat bersifat kongenital atau didapat. Cairan kista biasanya bening
dan tidak berwarna namun dapat juga viskous atau mengandung kristal kolesterol
sebagai hasil dari nekrosis jaringan. True cysts atau kista yang sesungguhnya
harus dibedakan dari false cysts atau pseudokista, dimana pseudokista ini
merupakan timbunan cairan yang terkandung dalam kavitas yang tidak
mempunyai lapisan epithelium. Kista seperti ini biasanya berasal dari suatu proses
inflamasi atau degeneratif.
Penyakit kistik hepar sering diidentifikasi saat laparotomi dan selama
pemeriksaan gejala abdominal yang tidak berhubungan dengan kista. Dalam
banyak kasus, penemuan kista hepar yang tidak terduga baik soliter maupun
multipel, tidak memiliki arti klinis bila tidak bergejala, walaupun kista hepar ini
juga dapat diasosiasikan sebagai proses patologis yang cukup serius.

2.2 Anatomi Hepar


Hepar terletak pada kuadran kanan atas abdomen, intraperitoneal tepat di bawah
sisi kanan diafragma yang dilindungi oleh costa. Berat hepar kurang lebih 1400
gram pada orang dewasa dan dibungkus oleh sebuah kapsul fibrous.
Gambar 1. Posisi hepar dalam tubuh

Hepar memiliki facies diaphragmatica dan facies visceralis (dorsokaudal)


yang dibatasi oleh tepi kaudal hepar. Facies diaphragmatica bersifat licin dan
berbentuk kubah, sesuai dengan cekungan permukaan kaudal diafragma, tetapi
untuk sebagian besar terpisah dari diafragma karena recessus subphrenicus
cavitas peritonealis. Hepar tertutup oleh peritoneum, kecuali di sebelah dorsal
pada area nuda, tempat hepar bersentuhan langsung pada diafragma. Area nuda
hepar ini dibatasi oleh melipatnya peritoneum dari diafragma ke hepar sebagai
lembar ventral (cranial) dan lembar dorsal (kaudal) ligamentum coronarium.
Kedua lembar tersebut bertemu di sebelah kanan untuk membentuk ligamentum
triangulare. Kearah kiri lembar-lembar ligamentum coronarium tercerai dan
membatasi area nuda hepar yang berbentuk segitiga. Lembar ventral ligamentum
di sebelah kiri bersinambungan dengan lembar kanan ligamentum falciforme, dan
lembar dorsal bersinambungan dengan lembar kanan omentum minus. Lembar
kiri ligamentum falciforme dan omentum minus bertemu untuk membentuk
ligamentum triangulare sinistrum.
Hepar terbagi menjadi lobus hepatis dekstra dan lobus hepatis sinistra yang
masing-masing berfungsi secara mandiri. Masing-masing lobus memiliki
pendarahan sendiri dan arteria hepatica dan vena portae hepatis, dan juga
penyaluran darah venosa dan empedu bersifat serupa.
Lobus hepatis dekstra dibatasi terhadap lobus hepatis sinistra oleh fossa
vesicae biliaris dan sulcus vena cava pada facies visceralis hepatis, dan oleh
sebuah garis khayal pada permukaan diaphragmatika yang melintas dari fundus
vesicae biliaris ke vena cava inferior.

Gambar 2. Anatomi Hepar

Lobus hepatis sinistra mencakup lobus caudatus dan hampir seluruh lobus
quadratus. Lobus hepatis sinistra terpisah dari lobus caudatus dan lobus quadratus
oleh fissure ligament teretis dan fissura ligamenti venosi pada facies visceralis,
dan oleh perlekatan ligamentum teres hepatis pada facies diaphragmatica.
Hepar menerima darah dari dua sumber: arteri hepatica propria (30%) dan
vena porta hepatis (70%). Arteri hepatica propria membawa darah yang kaya akan
oksigen dari aorta, dan vena porta hepatis mengantar darah yang miskin akan
oksigen dari saluran cerna, kecuali dari bagian distal canalis analis. Di porta
hepatis arteri hepatica propria dan vena porta hepatis berakhir dengan membentuk
ramus dekstra dan ramus sinistra, masing-masing untuk lobus hepatis dekstra.
Lobus-lobus ini berfungsi secara terpisah, dalam masing-masing lobus cabang
primer vena porta hepatis dan arteri hepatica propria teratur secara konsisten
untuk membatasi segmen vascular. Bidang horizontal melalui masing-masing
lobus membagi hepar menjadi delapan segmen vascular. Antara segmen-segmen
terdapat vena hepatica untuk menyalurkan darah dari segmen-segmen yang
bertetangga.

Gambar 3. Distribusi vaskular dan duktus hepatikus(5)

Vena hepatica yang terbentuk melalui persatuan vena centralis hepatis,


bermuara dalam vena cava inferior, tepat kaudal dari diaphragm. Hubungan vena
ini dengan vena cava inferior membantu memantapkan kedudukan hepar.
Gambar 4. Sistem duktuli dan vaskular intrahepatik

Hepar memiliki vasa lymphaticum superficial dan vasa lymphaticum


profundum. Vasa lymphaticum superficial terbanyak bergabung dengan pembuluh
limfe di porta hepatis dan ditampung oleh nodi lymphoidei hepatici.(6)
Pembagian anatomi menurut nomenklatur Couinaud sangat penting dalam
mempertimbangkan reseksi segmen hepar. Hal ini memungkinkan kita melakukan
reseksi pada segmen tertentu atau kombinasi beberapa segmen dengan tetap
mempertahankan vaskularisasi dan kontinuitas aliran bilier pada segmen yang
tertinggal.(3)
Gambar 5. Segmen fungsional hepar – Couinaud’s nomenclature(5)

Anatomi hepar dapat dideskripsikan menggunakan dua aspek yang


berbeda : anatomi morfologis dan anatomi fungsional. Anatomi morfologis
tradisional berdasarkan pada penampakan eksternal hepar, dan tidak
mempertimbangkan vaskularisasi dan percabangan duktus biliaris, yang
sebenarnya penting dalam reseksi hepar.(8)

Klasifikasi Couinaud
C. Couinaud (1957) membagi hepar menjadi delapan segmen fungsional
yang independen. Setiap segmen memiliki aliran vaskular masuk dan keluar
masing-masing, demikian pula dengan duktus biliaris. Di tengah tiap segmen
terdapat cabang dari vena porta, arteri hepatis, dan duktus biliaris. Di daerah
perifer tiap segmen terdapat aliran darah keluar melalui vena hepatica.(8)
Gambar 6. Segmen fungsional hepar – Couinaud’s nomenclature(8)

Vena hepatica dekstra membagi lobus kanan menjadi segmen anterior dan
posterior. Vena hepatica media membagi hepar menjadi lobus kiri dan kanan (atau
hemilever kiri dan kanan). Aliran ini berasal dari vena cava inferior hingga fossa
buli-buli. Vena hepatica sinistra membagi lobus kiri menjadi segmen medial dan
lateral.(8)
Vena porta membagi hepar menjadi segmen atas dan bawah. Vena porta
kiri dan kanan bercabang di superior dan inferior dan kemudian terbagi ke pusat
tiap segmen.(8)
Karena pembagian menjadi unit yang berdiri sendiri seperti ini, tiap
segmen dapat direseksi tanpa mengganggu segmen yang ditinggalkan. Agar hepar
dapat tetap berfungsi, reseksi harus dilakukan sepanjang pembuluh darah yang
memperdarahi perifer dari segmen, yang berarti garis reseksi berjalan paralel
dengan vena hepatica. Vena porta di sentral segmen, duktus biliaris, dan arteri
hepatica tetap dipertahankan.(8)
Segmentasi Hepar

Gambar7.Segmentasi hepar secara clockwise


Terdapat delapan segmen dari hepar. Segmen 4 biasanya dibagi lagi
menjadi segmen 4a dan 4b (menurut klasifikasi Bismuth). Penomoran segmen
hepar ini diatur searah jarum jam (clockwise). Segmen 1 (lobus caudatus) terletak
posterior, yang tidak tampak dalam proyeksi frontal.(8)
Couinaud membagi hepar menjadi lobus fungsional kiri dan kanan
(gauche et droite foie) oleh vena hepatica media, yang dikenal sebagai Cantlie’s
line. Cantlie’s line berawal dari pertengahan buli-buli fossa anterior hingga
postero-inferior dari vena cava.(8)
Pada gambar di atas, tampak seolah bagian medial dari lobus kiri
dipisahkan dari bagian lateral oleh ligamentum falciforme. Sebenarnya bagian
medial (segmen 4) dan lateral (segmen 2 dan 3) ini dipisahkan oleh vena hepatica
sinistra yang terletak di sebelah kiri, sangat dekat dengan ligamentum
falciforme.(8)
Anatomi Transversal

Gambar 8. Potongan transversal segmen superior hepar(8)

Gambar di atas menunjukkan potongan transversal segmen superior hepar,


yang dipisahkan oleh vena hepatica. Gambar di sebelah kanan menunjukkan
potongan transversal setinggi vena porta sinistra. Pada tingkat ini vena porta
membagi lobus kiri hepar menjadi segmen superior (2 dan 4a) dan segmen
inferior (3 dan 4b). Vena porta sinistra terletak sedikit lebih tinggi daripada vena
porta dekstra.(8)

Gambar 9. Potongan transversal segmen inferior hepar

Pada gambar di atas, gambar di sebelah kiri adalah potongan setinggi vena
porta dekstra. Pada tingkat ini vena porta dekstra membagi lobus kanan hepar
menjadi segmen superior (7 dan 8) dan segmen inferior (5 dan 6). Pada potongan
setinggi vena lienalis di gambar sebelah kanan, hanya segmen inferior hepar yang
terlihat.
2. FISIOLOGI HEPAR
Hepar memiliki banyak fungsi, termasuk fungsi pengambilan,
penyimpanan, dan distribusi nutrisi dari darah atau traktus gastrointestinal,
sintesis, metabolism, dan eliminasi berbagai substrat endogen, eksogen, dan
berbagai macam toksin. Hepar menerima suplai darah ganda dengan 75% dari
vena porta, dan 25% dari arteri hepatica. Terdapat autoregulasi dari aliran arteri
hepatica, namun tidak dari sistem vena porta. Aliran vena porta meningkat seiring
dengan asupan makanan, garam empedu, sekretin, pentagastrin, polipeptida
intestinal vasoaktif (VIP), glucagon, isoproterenol, prostaglandin E1 dan E2, dan
papaverin. Aliran porta diperlambat oleh serotonin, angiotensin, vasopressin,
nitrat, dan somatostatin.(3)
Secara umum, hepar memiliki empat unit anatomic-fisiologik yang saling
berhubungan dalam membentuk fungsi hepar, yaitu(7) :
1. Sistem sirkulasi
Suplai darah ganda berfungsi membawa nutrisi bagi hepar dan berguna sebagai
pembawa material yang diabsorbsi dari traktus intestinalis untuk digunakan
dalam proses metabolisme. Pembuluh darah yang diikuti dengan sistem
limfatik dan serat saraf berkontribusi untuk mengatur aliran darah dan tekanan
intrasinusoidal.

2. Saluran empedu
Saluran ini berfungsi untuk mengalirkan material yang disekresikan oleh sel-
sel hepar, termasuk bilirubin, kolesterol, dan obat-obat yang telah
terdetoksifikasi. Sistem ini berasal dari apparatus Golgi, yang melewati
mikrovili dari kanalis biliaris dan berakhir pada common bile duct.
3. Sistem retikouloendotelial
Sistem ini memiliki 60% elemen pada hepar, termasuk pula sel Kupffer dan
sel-sel endothelial.
4. Sel fungsional hepar (hepatosit)
Sel ini memiliki aktifitas yang sangat bervariasi. Fungsi metabolik dari hepar
membantu menyediakan kebutuhan tubuh. Sel-sel ini membantu proses
anabolik maupun katabolik, fungsi sekresi dan penyimpanan.
Empedu dibentuk pada membrana kanalikuli hepatosit dan duktuli
empedu, dan disekresikan melalui sebuah proses aktif yang relative tidak
tergantung pada aliran darah. Komponen organik utama dari empedu adalah asam
empedu terkonjugasi, kolesterol, fosfolipid, pigmen empedu, dan protein. Dalam
kondisi normal, 600 hingga 1000 mL empedu diproduksi setiap harinya.(3)
Bilirubin, sebuah produk degradasi dari heme, dieliminasi hampir
seluruhnya pada empedu. Bilirubin bersikulasi terikat pada albumin dan
dikeluarkan dari plasma oleh hepar melalui sistem transpor termediasi. Di dalam
hepatosit, bilirubin terikat pada asam glukuronat sebelum disekresikan pada
empedu.(3)
Hepar mensintesis protein plasma utama, termasuk albumin, gamma-
globulin, dan beberapa protein koagulasi. Disfungsi hepar akan memberikan efek
koagulasi dengan menurunnya produksi protein koagulasi, atau dalam kasus
ikterus obstruktif, terdapat penurunan aktifitas dari faktor II, V, VII, IX dan X,
sebagai akibat dari kurangnya modifikasi post-translasi yang bergantung pada
vitamin K.(3)
Tes Fungsi Hepar
Beberapa tes biasanya sering dilakukan untuk menganalisa kondisi hepar,
disebut sebagai tes fungsi hepar. Serum aspartate aminotransferase (AST) dan
alanine aminotransferase (ALT) adalah pengukuran level enzim yang normal
terdapat di dalam hepatosit. Selain itu dapat pula dilakukan pengukuran kadar
albumin, faktor pembekuan, dan bilirubin dari sampel darah.(4,7)

Jenis tes Nilai normal

Serum albumin 3,5 – 4,6 g/dL

Total protein 6,0 – 7,4 g/dL

Kolesterol 135 – 300 mg/dL

Alkali fosfatase 24 – 100 IU/dL

AST 10 – 36 unit/dL

ALT 10 – 48 unit/dL

GGT 0 – 48 unit/dL (pria)


4 – 26 unit/dL (wanita)

LDH 180- 225 unit/dL

PT 90 – 100% control Lab

Total bilirubin < 1,4 mg/dL

Bilirubin direk < 0,3 mg/dL

Bilirubin indirek < 1,1 mg/dL

Tabel 1. Nilai normal tes fungsi hepar(7)


Fungsi Normal Hepar
Metabolisme energi dan interkonversi substrat
Produksi glukosa melalui glukoneogenesis dan glikogenolisis
Konsumsi glukosa melalui jalur sintesis glikogen, sintesis asam lemak, glikolisis,
dan siklus asam trikarboksilat
Sintesis kolesterol dari asetat, sintesis trigiliserida dari asam lemak, dan sekresi
keduanya pada partikel VLDL
Pengambilan kolesterol dan trigliserida melalui endositosis partikel HDL dan
LDL dengan ekskresi kolesterol pada empedu, beta-oksidasi asam lemak,
dan konversi dari asetil-KoA berlebih menjadi keton
Deaminasi asam amino dan konversi ammonia menjadi urea melalui siklus urea
Transaminasi dan sintesis de novo asam amino non esensial
Fungsi sintesis protein
Sintesis berbagai macam protein plasma, termasuk albumin, faktor pembekuan,
protein pengikat, apolipoprotein, angiotensinogen, dan insulin-like growth
factor I
Fungsi solubilisasi, transport, dan penyimpanan
Detoksifikasi obat dan racun melalui reaksi biotransformasi fase I dan fase II dan
ekskresi melalui empedu
Solubilisasi lemak dan vitamin larut lemak pada empedu untuk diambil oleh
enterosit
Sintesis dan sekresi dari partikel VLDL dan lipoprotein pre-HDL, dan
pembersihan sisa HDL, LDL, dan kilomikron
Sintesis dan sekresi berbagai macam protein pengikat, termasuk transferin,
globulin pengikat hormone steroid, globulin pengikat hormone tiroid,
seruloplasmin, dan metalotionein
Pengambilan dan penyimpanan vitamin A, D, B12, dan folat
Fungsi proteksi dan pembersihan
Detoksifikasi ammonia melalui siklus urea
Detoksifikasi obat melalui oksidasi mikrosomal dan sistem konjugasi
Sintesis dan pengantaran glutathione
Pembersihan sel-sel yang rusak dan protein, hormone, obat-obatan, dan faktor
pembekuan teraktivasi dari sirkulasi portal
Pembersihan bakteri dan antigen dari sirkulasi portal
Tabel 2. Fungsi normal hepar(4)
3. EPIDEMIOLOGI
Kista hidatid bersifat endemik di negara-negara berkembang maupun
negara maju seperti negara Mediterania, Amerika Selatan, Australia dan New
Zealand. Insidens penyakit kista hidatid di kawasan endemik berkisar dari 1-220
kasus per 100. 000 orang penduduk. Tidak terdapat predileksi dari jenis kelamin
namun biasanya kista hidatid terjadi pada umur antara 30-40 tahun.(3,7)
Insidens kista hepar non-parasitik yang pasti tidak diketahui karena
biasanya penderita asimptomatik dan tidak menunjukkan gejala hingga terjadi
komplikasi. Namun diperkirakan kista hepar diderita oleh 5% dari populasi
umum. Tidak lebih dari 10-15% dari jumlah penderita ini mengalami simptom
secara klinis. Kista hepar biasanya dijumpai secara tidak sengaja pada
pemeriksaan radiologik abdominal atau pada prosedur laporotomi untuk kelainan
lain yang dialami penderita, yang tidak berkaitan dengan gangguan fungsi
hepar.(3,10)
Kista hepar lebih banyak dijumpai pada kaum wanita dibanding laki-laki,
dengan perbandingan 4-10:1, pada rentang usia 50-60 tahun. Gejala klinis terjadi
akibat pembesaran secara progresif kista, atau karena komplikasi yang timbul
akibat kista tersebut. Komplikasi yang bisa terjadi di antaranya perdarahan
intrakistik, torsi, infeksi pada kista, transformasi kista ke arah proses malignansi,
kompresi pada organ-organ sekitar yang juga dapat menyebabkan ikterus
obstruktif, kista ruptur spontan serta reaksi alergi akibat kebocoran cairan
kista.(3,7,11)

4. KLASIFIKASI KISTA HEPAR

Kista intrahepatik kongenital


Parenkimal
Soliter
Penyakit polikistik hepar
Anak
Dewasa
Fibrosis hepatis kongenital
Dilatasi fokal duktus biliaris intrahepatik (Caroli’s disease)
Kista intrahepatik didapat (acquired)
Inflamatorik
Piogenik
Amebik
Echinococcal (hydatid)
Neoplastik
Benigna
Maligna
Traumatik
Tabel 3. Klasifikasi Kista pada Hepar(12)

Kista Intrahepatik Kongenital


Kista ini dapat tunggal, multipel, difus, terlokalisasi, unilokular, atau
multilokular. Kejadian ditemukan kista pada autopsi dilaporkan dalam 0,15%
kasus, 1 % pada pemeriksaan CT-scan. Kista soliter maupun penyakit polikistik
hepar lebih banyak ditemukan pada wanita usia 40 hingga 60 tahun.(7)
Kista non-parasitik soliter biasanya terletak pada lobus kanan hepar. Isi
kista berupa material yang bening, dan memiliki karakteristik tekanan internal
yang rendah – tidak seperti kista parasitik yang memiliki tekanan tinggi. Biasanya
cairan kista ini berwarna kuning kecokelatan, yang diduga berasal dari parenkim
yang nekrosis. Penyakit polikistik hepar menunjukkan gambaran honeycomb
appearance dengan kavitas yang multipel, dengan lesi yang tersebar merata di
seluruh hepar.(7)
Baik lesi soliter maupun polikistik tumbuh secara perlahan dan relatif tidak
bergejala. Sebuah massa di kuadran kanan atas yang tidak nyeri adalah keluhan
yang paling sering, dan ketika gejala muncul, biasanya dihubungkan dengan
penekanan pada organ yang berdekatan. Nyeri abdominal yang akut dapat
mengikuti komplikasi torsi, hemoragik intrakistik, atau rupturintraperitoneal.
Pemeriksaan klinis dapat mengidentifikasi massa, dan ginjal juga dapat teraba.
Ikterus jarang ditemukan. Fungsi hepar biasanya tidak menunjukkan abnormalitas.
CT scan, USG, dan arteriografi dapat digunakan untuk menentukan posisi
intrahepatik dari massa, dan peritoneoskopi dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis.(12)
Kista soliter yang asimtomatik dan penyakit polikistik hepar biasanya
tidak membutuhkan penanganan khusus. Kista yang besar, soliter, dan simtomatik
dapat ditangani secara elektif kecuali bila terjadi ruptur, hemoragik intrakistik,
atau torsi. Pasien dengan kista hepar telah dapat ditangani dengan baik melalui
percutaneus cathether drainage yang dikontrol secara radiologik, pada waktu
yang bersamaan dengan injeksi cairan yang menyebabkan sklerosis seperti
alkohol. Prosedur ini sering dikaitkan dengan kasus rekurensi. Resolusi permanen
diperoleh melalui operasi yang sederhana dengan pembukaan atap kista secara
luas dan dihubungkan kembali seperti halnya parenkim hepar yang normal.
Prosedur ini dapat dilakukan secara laparoskopik. Pada kasus hemoragik
intrakistik yang signifikan, cystectomy mungkin dibutuhkan. Drainase internal ke
intestinum mungkin dibutuhkan hanya bila terdapat erosi di dalam duktus
hepatikus major yang tidak dapat diperbaiki kembali.(7)

Simple Liver Cyst


Simple hepatic cyst muncul dalam jumlah besar dengan ukuran yang
bervariasi, permukaan rata, mengkilat, berwarna biru-keabuan dan sering
ditemukan pada lobus kanan. Dindingnya terdiri atas 3 lapisan : lapisan terdalam
menyerupai epitel duktus biliaris, lapisan tengah yang berupa jaringan ikat padat,
dan lapisan luar yang mengandung jaringan ikat longgar dan duktus biliaris serta
pembuluh darah yang terkompresi.(3)
Kista soliter dapat berasal dari duktus yang tumbuh abnormal sebagai
akibat dari hiperplasia inflamatorik atau obstruksi kongenital. Kista ini dapat
mengenai semua usia. 90% dari kista jenis ini unilokular, dan memiliki ukuran
yang bervariasi. Sebuah kista yang mengandung 2,5 liter cairan telah dilaporkan
pada pasien berusia 2 tahun.(1)
Penyebab dari kista jenis ini tidak diketahui, namun diduga muncul secara
congenital. Kista ini memiliki epitel tipe bilier, dan mungkin berasal dari dilatasi
progresif mikrohemartroma bilier. Kista ini jarang mengandung empedu, hipotesis
yang paling diterima adalah kegagalan mikrohemartroma untuk membentuk
hubungan normal dengan saluran empedu. Secara khas, cairan yang terkandung di
dalam kista ini memiliki komposisi elektrolit yang menyerupai plasma. Empedu,
amylase, dan sel darah putih tidak ditemukan. Cairan kista ini disekresikan secara
terus-menerus oleh sel-sel epitel di tepi kista. Karena alasan inilah, aspirasi cairan
dari simple cyst tidak bersifat kuratif.(10)
Apabila ukuran kista besar, mungkin terdapat keluhan yang berhubungan
dengan penekanan organ akibat massa yang besar di kuadran kanan atas. Sebagian
besar kista soliter tidak membutuhkan penanganan, namun bila diindikasikan,
ekstirpasi seluruh kista dipertimbangkan. Bila ukuran kista besar, reseksi dari
bagian dindingnya saja yang dilakukan. Lobektomi hepatik jarang dilakukan.(1,2)

Policystic Liver Disease


Insidens kista hepar congenital sulit ditentukan oleh karena sebagian besar
individu dengan lesi ini tidak mengeluhkan gejala. Penyakit polikistik ini biasanya
disubklasifikasikan sebagai varian pada anak dan dewasa, karena memiliki
perbedaan pada pola pewarisan, status penampilan dan konsekuensi klinis.
Penyakit polikistik pada anak diwariskan secara resesif autosomal dengan 4
subtipe secara umum : perinatal, neonatal, infantile, dan juvenile. Semua varian
dari polikistik pada anak ini mengenai hepar dan ginjal dengan peningkatan
absolut dari duktus biliaris intrahepatik.(12)
Sebuah kelainan genetik yang jarang pada anak, infantile polycystic
disease of the kidneys and liver, biasanya fatal pada anak-anak. Kista hepatik yang
berukuran mikroskopik dapat terlihat, anak-anak ini dapat mengalami hipertensi
portal, atau hipertensi arteri renalis dan gangguan renal yang progresif.(1)
Penyakit polikistik hepar pada orang dewasa diwariskan secara dominan
autosomal. Hepar tampak kistik difus secara makroskopik, walaupun dapat
tampak pola yang berbeda dari penyakit ini, seperti kista yang unilobar dan
ukuran kista yang bervariasi. Kista dapat ditemukan pada lien, pancreas, ovarium,
paru-paru, dan ginjal. Insidens meningkat seiring usia dan lebih sering pada
wanita dibandingkan pria.(1)
PCLD pada dewasa bersifat kongenital dan biasanya berhubungan dengan
autosomal dominant polycystic kidney disease (AD-PKD). Pada pasien ditemukan
mutasi dari gen PKD1 dan PKD2. Namun dalam beberapa kasus, PCLD
ditemukan tanpa adanya PKD. Pada dengan PKD, kista ginjal biasanya lebih
dominan dibandingkan kista pada hepar. PKD sering menyebabkan gagal ginjal,
sedangkan kista hepar sangat jarang menyebabkan fibrosis hepar dan kegagalan
fungsi hati.(10)
Tidak seperti kista non-parasitik soliter, penyakit polikistik hepar sering
diasosiasikan dengan kista pada organ lain; 51,6% polikistik hepar diasosiasikan
dengan polikistik ginjal. Polikistik hepar juga diimplikasikan sebagai penyebab
yang jarang dari hipertensi portal, dan juga diasosiasikan dengan atresia duktus
biliaris, kolangitis, dan hemangioma. Pada pasien dengan gejala yang signifikan
terkait efek massa dari polikistik hepar, terapi paliatif dapat dicapai dengan
reseksi non-anatomik dan fenestrasi yang lebar pada kista yang lebih besar.(7)
Prognosis dari penyakit polikistik hepar biasanya bergantung pada
penyakit ginjal yang menyertainya. Kegagalan fungsi hati, ikterus, dan
manifestasi hipertensi portal jarang ditemukan. Tingkat mortalitas dari kista non-
parasitik yang ditangani secara operatif mendekati angka nol.(7)

Kista Intrahepatik Acquired (didapat)

Echinococcal/Kista Hydatid
Kista jenis ini dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di daerah
peternakan biri-biri. Daerah ini termasuk Mediterania (terutama Yunani),
Australia, dan New Zealand, serta negara di Timur Tengah seperti Iran. Infeksi
Echinococcal disebabkan oleh Echinococcus granulosa, yang dapat asimptomatis
selama bertahun-tahun dan menunjukkan hasil yang efektif dengan pembedahan,
atau E. multilocularis, yang lebih virulen dan menyebabkan kista invasif yang
multipel dan lebih sulit ditangani secara operatif. Dua pertiga dari kasus kista
echinococcal ditemukan pada hepar, dan 75% di antaranya berlokasi pada lobus
kanan.(7)
Pada hepar host intermediate, terbentuk hydatid unilocular yang tumbuh
perlahan dan tidak bergejala selama bertahun-tahun. Dinding hydatid ini memiliki
dua lapisan yang terdiri atas ektokista, yang berupa cangkang fibrous non-selular
yang berfungsi proteksi, dan sebuah endokista, yang merupakan bagian yang aktif
dari kista tersebut. Endokista mensekresi cairan bening yang mengisi kista dan
memproduksi kapsul-kapsul (yang dikenal dengan hydatid sand) dan kista anakan.
Selama bertahun-tahun kemudian, hydatid ini membesar dengan beberapa liter
cairan dan kista anakan yang tak terhitung jumlahnya.(12)
Pasien dengan kista multivesikular yang simpel atau belum berkompliasi
biasanya tidak bergejala. Gejala hanya timbul bila terjadi tekanan pada organ di
sekitarnya. Nyeri tumpul abdomen adalah keluhan yang paling sering ditemukan
(80%). Ikterus, demam, pruritus, nausea, dan vomitus ditemukan pada kurang dari
sepertiga pasien. Fungsi hepar ditemukan abnormal dan pembesaran hepar yang
dapat dipalpasi pada pemeriksaan fisis ditemukan pada 50% pasien, dan
eosinofilia hanya ditemukan pada 5-15% individu yang terinfeksi.(12)

Komplikasi dari kista hidatid di antaranya(7,12) :


 Ruptur intrabilier, yang mengenai 5% hingga 10% kasus.
 Ruptur intraperitoneal, yang sangat jarang namun dapat menyebabkan
pembentukan kista baru pada rongga peritoneal.
 Infeksi bakteri sekunde, yang menyebabkan pembentukan abses.
 Ekstensi transdiafragmatika ke rongga pleura.

Kista hidatid berukuran besar yang menimbulkan gejala dapat ditangani


secara laparoskopik maupun dengan open surgery. Langkah-langkah manajemen
kista ini meliputi(12) :
 Isolasi kista dari rongga peritoneal untuk meminimalisasi tumpahan cairan
kista.
 Aspirasi isi kista sedapat mungkin, dibutuhkan pengalaman yang memadai
sebab cairan dalam kista biasanya bertekanan rendah.
 Instilasi agen skolekoidal ke dalam rongga kista seperti cairan saline hipertonik
maupun alkohol.
 Eksisi kista hidatid dengan memisahkan kista dari hepar melalui pemisahan di
antara lapisan germinal dan adventitia.
 Sebagai alternatif, kista dapat dikeluarkan melalui reseksi hepar, atau bila
cukup ekstensif, dapat dilakukan marsupialisasi dan pengisian dengan
omentum.

Kista Neoplastik
Lesi kistik neoplastik hepar, jarang merupakan kistadenoma bilier primer
atau kistadenokarsinoma. Lesi ini lebih sering merupakan metastasis dari tumor
kistik dari organ lain, seperti pancreas atau ovarium, atau sekunder dari degenerasi
kistik tumor hepar solid primer atau metastatik.(11)
Kistadenoma (benigna) atau kistadenokarsinoma (maligna) hepar lebih
sering terjadi pada wanita (lebih dari 75%) dan biasanya muncul sebagai nyeri
tumpul dan rasa penuh di perut bagian atas. Lesi ini biasanya dapat didiagnosis
dengan USG dan CT scan, yang menunjukkan sebuah massa kistik dengan
dinding yang tebal bertepi rata dan septa internal. Sebuah massa solid yang
berhubungan dengan dinding kista biasanya dideskripsikan sebagai komponen
maligna yang membutuhkan reseksi yang lebih radikal. Angiografi akan
menunjukkan SOL yang avaskular dan bayangan tumor pada perifer yang
disebabkan oleh proyeksi dinding tumor. Tumor ini tidak berhubungan dengan
duktus biliaris, sehingga cholangiografi preoperatif tidak memiliki nilai
diagnostik.(11)
Setelah didiagnosis, sebuah lesi kistik primer hepar dengan gambaran
radiografi berupa kistadenoma harus dieksisi secara utuh walaupun tidak
bergejala. Operasi yang kurang defenitif akan menyebabkan rekurensi tumor,
pembesaran, atau infeksi, hingga dapat bertransformasi menjadi malignansi.
Apabila gambaran kista tampak benigna, kadang dapat dibuang seluruhnya dan
memisahkannya dari parenkim hepar. Dinding kista yang menebal di sekitarnya
atau penyebaran pada parenkim hepar di sekitarnya menunjukkan malignansi, dan
eksisi yang lebih lebar dengan evaluasi histologik melalui frozen section harus
dipertimbangkan. Tumor ini, seperti neoplasma kistik di tempat lain, memiliki
potensi malignansi yang cukup rendah dan jarang rekuren bila dieksisi secara
adekuat.(11)

Kista Traumatik
Tipe kista hepatis ini dibentuk dari resolusi hematoma subscapular atau
intraparenkimal yang berasal dari trauma abdominal, di mana peristiwa trauma itu
sendiri dapat diingat maupun tidak diingat oleh pasien. Perdarahan di dalam
parenkim hepar dapat timbul pada trauma tumpul maupun tajam. Kista traumatic
mengandung darah, empedu, dan jaringan hepar yang nekrotik. Lapisan epithelial
yang sedikit menggambarkan bahwa sebenarnya kista traumatik adalah
pseudokista. Bila riwayat trauma tidak jelas, kista ini biasanya tidak dapat
dibedakan dari kista kongenital soliter, dan memiliki penanganan yang sama.
Pembedahan dianjurkan bagi pasien yang mengeluhkan gejala. Pada saat
laparotomi, kista traumatik biasanya dapat dibedakan dari kista congenital dengan
adanya dinding yang sangat fibrotik dan mengandung hemosiderin. Kista yang
simptomatik harus dieksisi secara utuh apabila dimungkinkan. Apabila sebagian
dinding kista tidak dapat direseksi dengan mudah, evaluasi frozen section harus
dilakukan untuk meyakinkan bahwa tidak akan terjadi proses neoplastik
setelahnya. Walaupun kista traumatic dapat terinfeksi sekunder, kista ini dapat
diharapkan memiliki hasil penanganan yang baik. (3,11)

5. PENATALAKSANAAN

Penanganan Medikamentosa
Pengobatan secara medikamentosa untuk penanganan kista hepar non-
parasitik maupun kista parasitik mempunyai manfaat yang terbatas. Tidak ada
terapi konservatif yang ditemui berhasil untuk menangani kista hepar secara
tuntas.(4)
Aspirasi perkutaneous dengan dibantu oleh USG atau CT scan secara
teknis mudah untuk dilaksanakan namun sudah ditinggalkan karena mempunyai
kadar rekurensi hampir 100%. Tindakan aspirasi yang dikombinasikan dengan
sklerosan dengan menggunakan alkohol atau bahan lain berhasil pada sebagian
pasien namun mempunyai tingkat kegagalan dan kadar rekurensi yang tinggi.
Sklerosis akan berhasil hanya terjadi dekompresi sempurna dari dinding kista. Hal
ini tidak mungkin terjadi jika dinding kista menebal atau pada kista yang sangat
besar. Tidak terdapat pengobatan medikamentosa untuk PCLD dan
kistadenokarsinoma.(4)
Kista hidatid dapat diobati dengan agen antihidatid yaitu albendazole dan
mebendazole, namun biasanya tidak efektif. Obat-obatan ini digunakan sebagai
terapi adjuvan dan tidak dapat menggantikan peran penanganan bedah atau
pengobatan perkutaneus dengan teknik PAIR (Puncture, Aspiration, Injection,
Reaspiration). Pengobatan medikamentosa dimulai 4 hari sebelum pembedahan
dan dilanjutkan 1 hingga 3 bulan setelah operasi sesuai panduan dari Organisasi
Kesehatan Dunia (World Health Organisation, WHO).(4)
Penanganan Operatif
Secara umum tujuan terapi operatif adalah untuk mengeluarkan seluruh
lapisan epithelial kista karena dengan adanya sisa epitel akan menyebabkan
terjadinya rekurensi. Secara ideal, kista direseksi keluar secara utuh tanpa
melubangi kavitas kista tersebut. Jika ini terjadi, kista akan kolaps dan ditemukan
kesukaran untuk mengenal secara pasti dan mengeluarkan lapisan epitel.(4)

1. Teknik PAIR (Puncture, Aspiration, Injection, Reaspiration)


Teknik PAIR untuk penanganan kista hepar dilakukan dengan dibantu
oleh USG atau CT scan yang melibatkan aspirasi isi kista melalui sebuah
kanula khusus, diikuti dengan injeksi agen yang bersifat skolisidal selama 15
menit, kemudian isi kista direaspirasi lagi. Proses ini diulang hingga hasil
aspirasi jernih. Kista kemudian diisi dengan solusi natrium klorida yang
isotonik. Tindakan ini harus diikuti dengan pengobatan perioperatif dengan
obat benzimodazole 4 hari sebelum tindakan hingga 1-3 bulan setelah tindakan.

2. Marsupialisasi (dekapitasi)
Dekapitasi atau unroofing kista dilakukan dengan cara mengeksisi bagian
dari dinding kista yang melewati permukaan hepar. Eksisi seperti ini
menghasilkan permukaan kista yang lebih dangkal pada bagian kista yang
tertinggal hingga cairan yang disekresi oleh epitel yang masih tertinggal
merembes kedalam rongga peritoneal dimana ia diabsorbsi. Sisa epitel dapat
juga diablasi dengan menggunakan sinar koagulator argon atau elektrokauter.
Sebelumnya penanganan kista seperti ini memerlukan tindakan laparotomi
(open unroofing) namun seiring dengan perkembangan alat dan teknik, ia bisa
dilakukan secara laparoskopik.(13)

Gambar 11. Liver Fenestration(13)

Dari hasil penelitian yang dijalankan, didapatkan bahwa unroofing kista


secara laparoskopik mempunyai tingkat morbiditas yang rendah, waktu
reokupasi yang lebih singkat dan bisa kembali ke aktivitas normal lebih cepat
dibandingkan open unroofing secara laparotomi. Faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhi terjadi rekurensi dengan teknik ini adalah deroofing yang
adekuat, kista yang terletak dalam atau berada di segmen posterior dari hepar,
penggunaan sinar argon untuk sisa epitel dinding kista, tindakan omentoplasty
untuk cavitas residual, dan tindakan laparoskopi atau laparotomi yang pernah
dilakukan sebelumnya yang menyebabkan timbulnya jaringan fibrosis di
hepar.(13)

3. Reseksi Hepar dan Tranplantasi Hati


Prosedur yang lebih radikal seperti reseksi hepar dan transplantasi hati
telah digunakan dalam penanganan kista hepar non-parasitik. Walaupun
prosedur ini bisa mendapatkan hasil terbaik dari segi kadar rekurensi yang
sangat rendah, namun ia mempunyai kadar morbiditas yang tinggi, yang
mungkin tidak dapat diterima untuk suatu penyakit yang benigna. Penelitian
Martin dkk. menemukan kadar morbiditas 50% pada 16 pasien yang menjalani
prosedur reseksi hepar untuk penanganan kista hepar non-parasitik. Di antara
komplikasi yang terjadi pada tindakan reseksi hepar, termasuk infeksi paru-
paru, efusi pleura, infeksi pada luka operasi, drainase cairan peritoneal dan
empedu yang lama dan hematoma subphrenikus.(4)
Tranplantasi hepar diindikasikan untuk penyakit polikistik dengan
simptom yang menetap setelah pendekatan terapeutik medikamentosa dan
operatif yang lain gagal, atau pada keadaan gagal ginjal.(4,11)
Reseksi hepar layak untuk diaplikasikan pada pasien dengan kista
multipel yang rekuren atau terdapat kemungkinan suatu tumor kistik hepar.
Anatomi segmental hepar yang pertama dijelaskan oleh Couinaud pada tahun
1957 membagi hepar menjadi delapan segmen dimana setiap segmen
mempunyai cabang arteri hepatikum, vena porta dan traktus biliaris yang
tersendiri. Hal ini memungkinkan untuk mereseksi setiap segmen ini secara
individual apabila diperlukan, dan mengurangi pemotongan tidak perlu dari
jaringan hepar yang normal. Kehilangan darah bisa dikurangi dengan
menggunakan teknik oklusi vaskular (manoeuvre Pringle).(4,11)
Tujuan dari teknik oklusi vaskular adalah untuk mereseksi hepar dengan
perdarahan seminimal mungkin. Penting untuk diperhatikan bahwa dibutuhkan
fungsi hepar residual yang cukup setelah dilakukan reseksi, untuk mencegah
insufisiensi hepatik post-operatif. Kehilangan darah yang banyak diasosiasikan
dengan peningkatan morbiditas peri-operatif.(9)
Dalam prakteknya, lebih mudah untuk mereseksi segmen hepar secara
keseluruhan. Walaupun pemisah antarsegmen tidak dapat terlihat melalui
permukaan hepar, segmen dapat diidentifikasi dengan melakukan oklusi
terhadap aliran inflow terhadap segmen yang dituju, maka akan terjadi iskemik
dan akan terlihat pembagian fungsional hepar dari permukaan.(9)
Gambar 12. Segmentasi hepar menurut Couinaud(9)

Glisson’s capsule diketahui merupakan kondensasi dari fascia yang


mengelilingi cabang biliovaskular hepar. Couinaud menerangkan bahwa fascia
ini berlanjut dari parenkim hepar hingga segmentasi hepar. Implikasi
operatifnya adalah, apabila suplai dari segmen individual dilakukan dari dalam
hepar, ligasi dari fascia ini akan menyebabkan devaskularisasi segmen. Teknik
ini kemudian dipermudah dengan penggunaan stapler.(9)
Beberapa insisi abdominal dapat digunakan untuk reseksi hepar. Insisi
subkostal bilateral memberikan akses yang baik dan biasanya dilakukan
dengan memperluas insisi eksploratif subkostal kanan untuk menjamin tidak
terdapat penyakit peritoneal yang tidak diharapkan. Ekstensi ke arah atas
hingga tepi bawah sternum (insisi Mercedes-Benz) juga dapat dilakukan untuk
mendapatkan akses yang lebih lebar.(9)
Setelah dilakukan laparotomi eksplorasi, hepar dimobilisasi dari
peritoneal. Ligamentum falciforme dipisahkan dengan perhatian khusus pada
identifikasi lokasi dimana vena hepatika memasuki vena cava inferior.
Ligamentum koronaria dekstra, dipisahkan untuk mobilisasis lobus kanan
hepar. Ligamentum triangulare sinistra dipisahkan untuk mobilisasi lobus kiri
hepar.(9)
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan, VC., McKay RJ., Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics.


Liver and bile ducts. Philadelphia : W.B. Saunders Company. 2007.
h.1131-2.
2. Doherty, GM., Way, LW. Current surgical diagnosis & treatment 11th ed.
Benign tumor & cysts of the liver. India : McGraw-Hill. 1994. h.576-7.
3. Norton, JA., et al. Essential practice ofsurgery : basic science and clinical
evidence. Liver. New York : Springer-Verlag. 2003. h.235-41.
4. McPhee, SJ., Lingappa, VR., Ganong, WF. Pathophysiology of disease :
an introduction to clinical medicine 4th ed. New York : Lange Medical
Books/McGraw-Hill. 2003. h. 380-92.
5. Netter. The Human Body Atlas of Netter [e-book]
6. Moore, KL., Agur, AM. Anatomi klinis dasar. Abdomen. Editors : Vivi S.
& Virgi S. Jakarta : Hipokrates. 2002. h. 117-25.
7. Schwartz, SI., et al. Principles of surgery 7th ed. Liver. New York :
McGraw-Hill. 1999. h. 1395-405.
8. Smithuis, R. Liver : segmental anatomy [online]. 2006 [dikutip ].
Tersediatanggal 13 April 2018

9. https://www.scribd.com/doc/122564115/Kista-Hepar

10. Debas, HT. Gastrointestinal surgery : pathophysiology and management.


Liver cyst. San Fransisco : Springer-Verlag. 2004. h.180-1.
11. Chan. CY., Tan CHJ., Chew, SP, Teh CH. Laparoscopic fenestration of a
simple hepatic cyst [online]. 2001 [dikutip 13 April 2018]. Tersedia pada
URL http://www.pkdiet.com/pdf/liver%20lapRx.pdf

Anda mungkin juga menyukai