Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hipertensi merupakan salah satu faktor utama risiko kematian karena gangguan
kardiovaskuler yang mengakibatkan 20-50% dari seluruh kematian. Lebih dari 90% kasus
hipertensi termasuk dalam kelompok hipertensi primer. Penyebab hipertensi ini multifaktor,
terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Dari sekian banyak penderita hipertensi, hanya
sekitar 48% yang melakukan long life control terhadap penyakit ini. Hal ini tergantung pada
bermacam-macam faktor, antara lain pengertian untuk berobat, faktor-faktor sosioekonomik,
dan sebagainya (Anonim, 2006).

Estimasi prevalensi untuk hipertensi diperkirakan sebesar 1 milyar individu dan kira-
kira 7,1 juta kematian per tahun, kemungkinan disebabkan karena hipertensi (Chobanian et
al., 2003). Data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) pada
tahun 1999-2000 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 58,4 juta warga Amerika mengalami
hipertensi, tetapi baru sekitar 68,9% warga Amerika yang menyadarinya. Angka tersebut
hanya 58,4% pasien yang melakukan perawatan dan kurang dari 25% pasien yang tekanan
darahnya terkontrol (Dipiro et al., 2005). Data Riskenas 2007 juga disebutkan prevalensi
hipertensi di Indonesia berkisar 30% dengan insiden komplikasi penyakit kardiovaskuler
lebih banyak pada perempuan (52%) dibandingkan laki-laki (48%).

Total biaya pelayanan kesehatan untuk hipertensi di Amerika telah diperkirakan


sekitar $ 15 milyar per tahun. Total pelayanan kesehatan ini sudah termasuk biaya medik
langsung dan biaya tak langsung. Biaya medik langsung meliputi biaya obat, konsultasi
medik, dan tes laboratorium (Da Costa et al.,2002). Biaya obat terhitung lebih dari 70 % dari
total biaya pelayanan kesehatan hipertensi (Dipiro et al., 2005). Hal ini antara lain disebabkan
populasi pasien lanjut yang semakin banyak dengan konsekuensi meningkatnya penggunaan
obat, adanya obat-obat baru yang lebih mahal dan perubahan pola pengobatan. Di sisi lain,
sumber daya yang dapat digunakan terbatas, sehingga harus dicari cara agar pelayanan
kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Perkembangan farmakoekonomi saat ini tidak
hanya meneliti penggunaan dan efek obat dalam hal khasiat (efikasi) dan keamanan (safety),
tetapi juga mengnalisis dari segi ekonominya. Studi khusus yang mempelajari hal ini dikenal
dengan nama farmakoekonomi (Trisna, 2007). Penerapan analisis biaya (Cost Analysis) di
rumah sakit selalu mengacu pada penggolongan biaya. Salah satu penggolongannya adalah

1
biaya langsung. Biaya langsung (Direct Cost) yaitu seluruh biaya yang telah dikeluarkan
pasien terkait dengan pelayanan jasa medis. Biaya tersebut antara lain biaya perawatan,
pengobatan serta laboratorium ( Trisnantoro, 2005).
Menurut hasil penelitian Hidayah (2006) biaya antihipertensi terbesar yaitu pada golongan
Angiotensin Receptor Blocker sebesar Rp. 126.000, biaya penyulit terbesar terdapat pada
pengobatan ARB yaitu sebesar Rp. 321.269,5 dan biaya total terapi terbesar terdapat pada
pengobatan ARB yaitu sebesar 460.269,5
Di Indonesia belum ada data yang akurat untuk hipertensi, tetapi pernah ada
penelitian metodologis yang dilakukan dengan cara yang berbeda. Dari hasil penelitian
tersebut dapat diperkirakan bahwa pengidap hipertensi pada penduduk berusia diatas 20
tahun adalah 1,8-28,6%, sebagian besar hasil penelitian menyatakan 8,6-10%. Penduduk di
perkotaan lebih banyak mengalami dibandingkan dengan penduduk di pedesaan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh perhimpunan ahli ginjal Indonesia
melaporkan, di Jakarta persentase hipertensi mencapai 19,9%. Prevalensi hipertensi di
Indonesia sebesar 14% dengan kisaran 13,4%-14,6%. Prevalensi hipertensi tersebut
meningkat yang diikuti bersamaan dengan bertambahnya umur dan lebih banyak didominasi
oleh wanita sebesar 16%dibandingkan pria sebanyak 12% (Sudjaswadi, 2002). Hipertensi
merupakan penyakit kardiovaskuler yang sering dijumpai. Sebanyak 43 juta penduduk
dewasa Amerika Serikat memiliki nilai tekanan darah sistolik atau diastolik diatas140/90
(Goodman & Gilman, 2007 ).

Suatu terapi pengobatan yang baik dan benar akan sangat menguntungkan bagi pasien, baik
segi kesehatan atau kesembuhan penyakit yang diderita, biaya yang harus dikeluarkan dan
kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat tersebut terutama bagi pasien yang harus
mengkonsumsi obat dalam waktu yang lama, bahkan seumur hidupnya, seperti penyakit
hipertensi. Obat-obatan merupakan faktor yang unik diantara biaya kesehatan lain karena
penelitian menunjukkan bahwa peningkatan biaya penggunaan obat-obatan dapat
menurunkan biaya pelayanan kesehatan lain, misal biaya Rumah sakit atau perawatan, juga
dapat meningkatkan kualitas hidup (Plumridge, 2000). Oleh karena itu perlu diteliti untuk
memberikan gambaran pengobatan dan perkiraan biaya medik langsung yang dikeluarkan
pasien untuk terapi hipertensi.

2
B. Rumusan Masalah
Latar belakang yang ada, maka dapat dirumuskan suatu permasalahannya sebagai
berikut :Seperti apakah gambaran pengobatan pada pasien hipertensi rawat jalan yang
menggunakan antihipertensi di RSUD Banyudono tahun 2010?
1. Apa saja komponen biaya dan berapa biaya medik langsung rata-rata (direct medical
cost) pasien setiap bulannya?
2. Faktor - faktor apa yang mempengaruhi besarnya biaya terapi antihipertensi?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui gambaran pengobatan pada pasien hipertensti rawat jalan yang
menggunakan antihipertensi di RSUD Banyudono Boyolali tahun 2010.
2. Untuk mengetahui komponen biaya dan besar biaya medik langsung (direct medical
cost) pada pasien hipertensi setiap bulannya.
3. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi besarnya biaya terapi hipertensi meliputi
umur, jenis kelamin, penyulit, dan macam antihipertensi yang digunakan.

D. Tinjauan Pustaka
1. Hipertensi
a. Definisi
Hipertensi merupakan suatu penyakit yang umum sebagai akibat dari peningkatan
tekanan darah yang terus menerus, dan salah satu faktor resiko dari penyakit kardiovaskuler.
Peningkatan pengetahuan tentang hipertensi untuk menegakkan diagnosis dan mengendalikan
tekanan darah tinggi dengan pengobatan yang rasional bertujuan untuk mengurangi resiko
kardovaskuler dan kematian (Dipiro et al., 2005)
b. Patofisiologi
Pada kebanyakan orang tekanan arteri adalah normal dan dipertahankan dalam suatu
batas relatif sempit. Ini berarti bahwa sistem pengawasan dintegrasikan sedemikian rupa
sehingga jika tekanan meningkat harus segera diturunkan (Anonim, 2004). Pengaturan
tekanan arteri meliputi kontrol sistem persyarafan yang komplit dan hormon yang saling
berhubungan satu sama lain dalam mempengaruhi curah jantung yang ditentukan oleh
volume sekuncup badan frekuensi jantung dan tahanan vaskular perifer ditentukan oleh
diameter arteri (Mutaqqin, 2009).
Pengaturan tekanan arteri dipengaruhi oleh reseptor pada sinus karotikus dan arkus
aorta yang akan menyampaikan simples ke pusat saraf simpatik di medulla. Apabila tekanan
arteri meningkat,maka ujung - ujung baroreseptor akan terenggang, dan menghambat pusat

3
simpatik dan akan menurunkan tekanan pusat simpatik, sehingga frekuensi jantung menuru
(Muttaqin 2009).

c. Klasifikasi Hipertensi
The Joint National Commite on Prevention, Detection, Evaluation , and Treatment of
High Blood Pressure (JNC 7, 2003), memberikan klasifikasi tekanan darah untuk pasien yang
berusia 18 tahun ke atas. Klasifikasi didasarkan atas rata-rata dua kali atau lebih kunjungan
dengan pembacaan yang tepat. Klasifikasi ini berbeda dengan JNC 6, dimana pada JNC 7
ditambahkan kategori prehipertensi dan hipertensi stage II dan III dijadikan satu. Pasien
prehipertensi adalah pasien yang berada pada resiko perkembangan hipertensi.

Tabel 1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC 7 (Chobanian et al, 2003)

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi stage 1 140 – 159 90 – 99
Hipertensi stage 2 Atau > 160 Atau > 100

Klasifikasi prehipertensi menunjukkan hubungan dan tanda yang dibutuhkan untuk


meningkatkan edukasi tenaga kesehatan dan masyarakat untuk mengurangi tingkat tekanan
darah dan mencegah berkembangnya hipertensi di masyarakat umum (Chobanian et al,
2003).
d. Epidemiologi
Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (+ 50 juta jiwa) menderita tekanan darah
tinggi (> 140/90 mmHg). Dengan persentase biaya kesehatan cukup besar setiap tahunnya.
Menurut Nasional Health and Nutrution Examination Survey (NHNES), kejadian hipertensi
pada orang dewasa di Amerika tahun 1999– 2000 adalah sekitar 29 – 31%, yang berarti
terdapat 58 – 65 juta orang menderita hipertensi (Anonim, 2006).

e. Tujuan terapi
Tujuan yang mendasar dari terapi hipertensi adalah mengurangi terjadinya mortalitas
dan morbiditas yang berhubungan dengan adanya gangguan atau kerusakan organ seperti
pada kardiovaskular, serebrovaskuler, gagal jantung dan gangguan ginjal (Dipiro et al, 2005).
Mengobati pasien hipertensi mempunyai tujuan untuk mencapai tekanan darah hingga
mencapai target. Pengurangan tekanan darah hingga mencapai target tidak menandakan
bahwa kerusakan organ tidak terjadi, akan tetapi pencapaian tekanan darah target

4
berhubungan dengan penurunan resiko terjadinya gangguan pada kardiovaskuler dan ganguan
pada organ yang lain. ( (Dipiro et al., 2005).
Tekanan darah target pada kebanyakan orang adalah < 140/90 mm Hg, kecuali pada
pasien penderita diabetes melitus atau gangguan ginjal tekanan darah targetnya adalah <
130/80 mm Hg (Dipiro et al., 2005).

f. Tatalaksana terapi non farmakologi yaitu modifikasi gaya hidup.


Adopsi dari gaya hidup sehat dari semua orang adalah merupakan kritikan untuk
pencegahan dan pengaturan tekanan darah tinggi (Chobanian et al, 2003 ).
Tabel 2. Modifikasi gaya hidup
untuk mengatur hipertensi (Chobanian et al, 2003)
Modifikasi Rekomendasi
Mengurangi berat badan Menjaga berat badan normal (body mass index
Menerapkan DASH 18,5 – 24,9 kg/ )
eating Mengkonsumsi makanan yang kaya buah,
sayuran, dan susu rendah lemak.
Membatasi intake garam Membatasi asupan hingga ≤ 100 mEq ( 2,4 g
Na atau 6 g NaCI)
Aktifitas fisik Aktifitas fisik yang teratur seperti jalan cepat
dalam Tidak lebih 2 minuman per hari untuk pria
Tidak berlebihan dan
mengkonsumsi alkohol 1 minuman untuk wanita

g. Algoritma terapi
Pasien yang menderita hipertensi perlu dilakukan kontrol lewat gaya hidup, antara lain
dengan diet, berolahraga teratur, tidak merokok. Setelah dilakukan hal tersebut tekanan darah
belum mencapai target tekanan darah (140/90 mmHg) atau 130/80 mmHg, maka bagi
penderita diabetes mellitus atau gagal ginjal kronik, mulai diberikan terapi obat. Pemberian
terapi obat hipertensi dibagi menjadi :

1) Untuk hipertensi tanpa penyulit. a) Hipertensi stage 1


Tekanan darah sistolik 140-159 mmHg atau tekanan darah diastolik 90-99 mmHg).
Obat pilihan pertama golongan ini adalah diuretik golongan tiazid kemudian dapat juga
dipertimbangkan ACE – inhibitor, Angiotensin reseptor bloker II, Beta Bloker, Calcium
Channel Bloker
b) Hipertensi stage 2
Tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 100 mmHg
digunakan kombinasi 2 obat (bisa diuretik golongan tiazid dan ACE – inhibitor atau
Angiotensin Reseptor Bloker II atau Beta Bloker, Calcium Channel Bloker).

5
2) Untuk hipertensi dengan penyulit.

Digunakan obat pada tabel no. 3 juga dapat digunakan antihipertensi lain seperti
diuretik, ACE – inhibitor, Angiotensin Reseptor Bloker II, Beta Bloker. Bila masih belum
mencapai tekanan darah target dapat ditingkatkan atau ditambahkan obat hingga tekanan
darah target dapat dicapai. Konsultankan dengan spesialis hipertensi

Tabel. 3 Obat untuk pasien hipertensi yang dsertai komplikasi

Hipertensi disertai Rekomendasi obat


Gagal ginjal Diuretik, BB, ACE-I ,ARB
Infark miokard BB, ACE-I
Gagal jantung Diuretik, BB, ACE-I, CCB
Diabetes Diuretik, BB, ACE-I, CCB, ARB
Gangguan ginjal kronik ACE-I, ARB
Stroke Diuretik, ACE-I
(Chobanian et al., 2003).
h. Tatalaksana terapi farmakologi

1) ACE-Inhibitor (ACE-I)
ACE-Inhibitor juga mengeblok degradasi bradikinin dan menstimulasikan sintesis
agen vasodilatasi seperti prostaglandin E2 dan prostasiklin. Hal ini menyebabkan
meningkatnya efek penurunan tekanan darah, tetapi juga menyebabkan efek samping ACE-
Inhibitor yaitu batuk kering (Dipiro et al.,2005).
Terdapat 10 macam obat yang termasuk golongan ini, yaitu benozeptril, captopril,
enalapril, fosinopril, lisinopril, moexipril, perindopril, quinopril, ramipril dan trandolopril
(Dipiro et al.,2005).

2) Calcium Channel Blocker (CCB)


Calcium Chanel Blocker bukan lini pertama penggolongan hipertensi. Obat golongan
ini efektif menurunkan tekanan darah terutama pada pasien lanjut usia dan ras Afrikan-
amerikan, karena bekerja menghambat influx kalsium melewati membran.
Calsium Channel Blocker dibagi kedalam 2 subkelas yaitu Dihidropiridin, contoh obat
yaitu amlodipin, felodipin, nifedipin, dan nisoldipin (Dipiro et al.,2005).
Non Dihidropiridin, contoh obat yaitu diltiazem dan verapanil (Dipiro et al.,2005).

3) Diuretik

6
Diuretik terutama tizaid adalah lini pertama dalam pengobatan hipertensi. Efek
antihipertensi dari diuretik berawal dari efek dieresis sehingga mengurangi volume plasma
dan cairan ektrasel. Pada awal terapi, tekanan darah menurun akibat berkurangnya cairan
jantung. Sedangkan pada pemberian kronik, volume plasma mendekati normal, tetapi
resistensi perifer turun sehingga tekanan darah tetap terjaga (Dipiro et al.,2005).
Menurut JNC VII, ada 4 subklas diuretik antara lain tizaid, loop diuretik, diuretik
hemat kalium dan antagonis aldosteron (spironolakton).

4) Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)


Angiotensin Reseptor Blocker bekerja dengan menduduki reseptor angiostensin II
yang terdapat didalam tubuh, antara lain otot jantung dinding pembuluh darah, ginjal dan
hati. Obat golongan ini lebih efektif daripada ACE-Inhibitor, karena jalur kedua melalui
enzim chimase juga dirintangi. Tidak seperti ACE-Inhibitor, golongan ini tidak menyebabkan
batuk dan hanya beberapa yang disertai dengan ruam kulit. Contoh obat yaitu losartan,
valsartan dan irbesartan (Dipiro et al.,2005).

5) Beta Blocker (BB)


Beta Blocker digunakan pada pasien yang berisiko jantung koroner dan penderita
infark miokard. Beta Blocker dapat digunakan sebagai tambahan pada pasien gagal jantung
yang sedang menggunakan ACE-Inhibitor dan Dierutik (Dipiro et al.,2005).
Mekanisme aksi dari Beta Blocker ditujukan untuk β-adrenoseptor. Beta Blocker
mempunyai efek kronotropi dan inotropi negative pada jantung sehingga terjadi penurunan
curah jantung (Dipiro et al.,2005).
Beta Blocker dibedakan menjadi tiga antara lain kardioselektif, non-kardioselektif dan
ISA ( Intrinsic Sympathetic Activity )

6) α-Blocker
Alfa-1 blocker merupakan alternatif terapi yang digunakan dalam kombinasi. Efek
samping α1-blocker terjadi saat pemberian awal/saat dilakukan peningkatan dosis yaitu
terjadi palpitasi, dizziness, pingsan, hipotensi ortostastik, depresi, lesu, priapism. Agen lini
paling efektif jika digunakan dengan diuretik untuk meminimalkan terjadinya edema (Dipiro
et al.,2005).
Prazoin, terazosin dan doxazonin adalah pengeblok reseptor α1-bloker yang selektif
yang bekerja di pembuluh darah perifer dan menghambat ambilan kembali katekolamin pada

7
sel otot polos sehingga menghasilkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah (Dipiro et
al.,2005)

7) Central α2-agonis
Klonidin, quanaben , quanfacin dan metildopa menurunkan tekanan darah dengan
menstimulasikan reseptor α2–agonis adrenergic di otak. Stimulasi ini mengurangi aktivitas
saraf simpatik dan secara bersamaan terjadi peningkatan aktivitas parasimpataik sehingga
terjadi penurunan denyut jantung, curah jantung, resistensi perifer total, aktivitas rennin
plasma dan reflek baroreseptor (Dipiro et al.,2005).
Efek samping yang sering terjadi adalah sedasi dan mulut kering. Efek samping yang
lain adalah depresi, dizziness, hipotensi, pandangan kabur dan konstipasi (Dipiro et al.,2005).

8) Reserpine
Reserpine kuat menghambat aktivitas simpatik dan meningkatkan efek parasimpatik
sehingga mengakibatkan efek samping seperti hidung tersumbat, peningkatan sekresi gastrin,
diare, dan bradikarti. Depresi mungkin juga terjadi akibat adanya deplesi ketekolamin dan
serotonin di system saraf pusat (Dipiro et al.,2005).

9) Vasodilator Arteri
Minoxidil merupakan vasodilator yang lebih poten dibandingkan hidralazin. Efek
samping dari minoxsidil adalah hipertriliosis dan hirsutisme (Dipiro et al.,2005).
Efek antihipertensi dari hidralazine dan minoksidil disebabkan oleh relaksasi otot
polos arteri secara langsung dengan menurunkan tekanan darah arteri dan kontraktiktas otot
jantung. Efek samping dari hidralazin anatara lain dermatitis, demam, neuropati, perifer,
hepatitis, dan sakit kepala. Hidralazin biasa digunakan bersama isosorbid dinitrat (ISDN)
pada pasien gagal jantung (Dipiro et al.,2005).

2. Farmakoekonomi
Farmakoekonomi adalah gambaran dan analisis biaya pengobatan dalam system
pelayanan kesehatan dan masyarakat. Penelitian farmakoekonomi mengidentifikasi,
mengukur, dan membandingkan biaya dan konsekuensi dari suatu produk dan pelayanan
kefarmasian. Untuk memperlihatkan keadaan seperti sebenarnya, perlu memperhatikan 2
variabel yaitu input (biaya), yang digunakan dalam mendapatkan atau menggunakan obat
untuk menghasilkan outcome (Bootman, 1996).

8
Adapun prinsip farmakoekonomi sebagai berikut yaitu menetapkan masalah,
identifikasi alternatif intervensi, menentukan hubungan antara income dan outcome sehingga
dapat diambil kesimpulan yang tepat, identifikasi dan mengukur outcome dari alternatif
intervensi, menilai biaya dan efektifitas, dan langkah terakhir adalah interpretasi dan
pengambilan kesimpulan. Data farmakoekonomi dapat merupakan alat yang sangat berguna
dalam membantu membuat beberapa keputusan klinik, seperti pengelolaan formularium yang
efektif, pengobatan pasien secara individual, kebijakan pengobatan dan alokasi dana
(Vogenberg, 2001).

Metode-metode evaluasi farmakoekonomi meliputi Cost-Analysis (CA), Cost-


Minimization Analysis (CMA), Cost-Effectiveness Analysis (CEA), Cost-Utility Analysis
(CUA), Cost-Benefit Analysis (CBA) (Dipiro et al., 2005).

a. Cost Analysis (CA)


Cost Analysis, yaitu tipe analisis yang sederhana yang mengevaluasi intervensi-
intervensi biaya. Cost Analysis dilakukan untuk melihat semua biaya dalam pelaksanaan atau
pengobatan, dan tidak membandingkan pelaksanaan, pengobatan atau evaluasi efikasi
(Tjandrawinata, 2000).
Biaya adalah perhitungan untuk memperkirakan sumber (input) yang digunakan untuk
menghasilkan outcome. Menurut Wilson (2001) ada 4 tipe biaya dalam cost analysis:
1). Biaya medik langsung (direct medical cost)
Biaya medik langsung adalah biaya yang nyata untuk diukur . Ini adalah biaya yang
digunakan secara langsung untuk perawatan medik. Misalnya: biaya obat, biaya dokter, biaya
rawat inap.
2). Biaya non-medik langsung (direct non-medical cost)
Biaya langsung yang berhubungan dengan perawatan non-medik atau tidak
berhubungan dengan pasien. Misalnya: biaya transportasi, biaya makan dan menginap
keluarga yang merawat atau menjaga pasien 3). Biaya tidak langsung (Indirect cost)
Biaya yang berhubungan dengan hilangnya produktifitas kerja pasien karena sakit atau
kematian.
4). Biaya tidak teraba (Intangible cost)
Biaya yang dikeluarkan untuk hal-hal yang tak teraba sehingga sukar untuk dihitung.
Misalnya: biaya untuk mengganti rasa sakit, kecemasan, kelelahan, penderitaan pasien dari
penyakit atau perawatan yang diberikan (Wilson, 2001).

b. Cost-Minimization Analysis (CMA)

9
Cost-Minimization Analysis (CMA) adalah tipe analisis yang menentukan biaya
program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini
digunakan untuk menguji biaya relatif yang dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam
bentuk hasil yang diperoleh. Suatu kekurangan yang nyata dari analisis cost-minimization
yang mendasari sebuah analisis adalah pada asumsi pengobatan dengan hasil yang ekivalen.
Jika asumsi tidak benar dapat menjadi tidak akurat, pada akhirnya studi menjadi tidak
bernilai. Pendapat kritis analisis cost-minimization hanya digunakan untuk prosedur hasil
pengobatan yang sama (Orion, 1997).
Contoh dari analisis cost-minimization adalah terapi dengan antibiotika generik
dengan paten, outcome klinik (efek samping dan efikasi sama), yang berbeda adalah onset
dan durasinya. Maka pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per harinya lebih
murah (Vogenberg, 2001)

c. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)


Analisis Cost-Effectiveness adalah tipe analisis yang membandingkan biaya suatu
intervensi dengan beberapa ukuran non-moneter, dimana pengaruhnya terhadap hasil
perawatan kesehatan. Analisis Cost-Effectiveness merupakan salah satu cara untuk memilih
dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan
tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria penilaian program mana yang akan dipilih
adalah berdasarkan discounted unit cost dari masing-masing alternatif program sehingga
program yang mempunyai discounted unit cost terendah yang akan dipilih oleh para analisis
untuk pengambilann keputusan. Dalam menganalisis suatu penyakit, analisis cost-
effectiveness berdasarkan pada perbandingan antara biaya suatu program pemberantasan
tertentu dan akibat dari program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian dan kasus
yang bisa dicegah. (Tjiptoherijanto and Soesetyo,1994).
d. Cost-Utility Analysis (CUA)
Analisis Cost-Utility adalah tipe analisis yang mengukur manfaatdalam utility-beban
lama hidup; menghitung biaya per utility; mengukur ratio untuk membandingkan diantara
beberapa program. Analisis cost-utility untuk mengukur nilai spesifik kesehatan dalam bentuk
pilihan setiap individu atau masyarakat. Seperti analisis cost-effectiveness, cost-utility
analysis membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan
dengan peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan (Orion, 1997).
Dalam cost-utility analysis, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian
kualitas hidup (quality adjusted life years, QALYs) dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya
per penyesuaian kualitas hidup. Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk

10
mengetahui kualitas hidup. Kekurangan analisis ini bergantung pada penentuan QALYs pada
status tingkat kesehatan pasien (Orion, 1997).

e. Cost-Benefit Analysis (CBA)


Analisis Cost-Benefit adalah tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu
intervensi dengan beberapa ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan
kesehatan. Tipe analisis ini sangat cocok untuk alokasi bahan-bahan jika keuntungan ditinjau
dari perspektif masyarakat. Analisis ini sangat bermanfaat pada kondisi antara manfaat dan
biaya mudah dikonversi kedalam bentuk rupiah (Orion, 1997).
Merupakan tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan
beberapa ukuran moneter, dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat
digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda.
Merupakan tipe penelitian farmakoekonomi yang kompreherensif dan sulit dilakukan karena
mengkonversi benefit kedalam bentuk uang (Vogenberg, 2001).
Pertanyaan yang dapat dijawab dalam cost-benefit analysis adalah alternatif mana
yang harus dipilih diantara alternatif-alternatif yang dapat memberikan manfaat atau benefit
yang paling besar (Tjiptoherijanto and Soesetyo, 1994).

BAB II
BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pengambilan data


secara prospektif untuk menilai efektivitas biaya penggunaan kombinasi amlodipin-furosemid
dibandingkan dengan kombinasi amlodipin-bisoprolol dari baseline hingga bulan pertama.
Subyek penelitian adalah pasien hipertensi rawat jalan yang menjalani pengobatan dengan

11
kombinasi amlodipin-furosemid dan kombinasi amlodipin-bisoprolol serta psien yang datang
di poliklinik RSUD Undata Palu pada bulan Agustus-Oktober 2014. Kriteria inklusi pasien :
Pasien terdiagnosis hipertensi tanpa komplikasi yang menjalani pengobatan di poliklinik
penyakit dalam RSUD Undata Palu, pasien BPJS dengan usia ≥ 25 tahun, pasien yang pada
saat kontrol mempunyai tekanan darah awal 140-160 /90-100 mmHg, pasien yang pada saat
kontrol kembali mempunyai tekanan darah <140/90 mm Hg, pasien yang menggunakan
terapi kombinasi amlodipin-furosemid dan terapi kombinasi amlodipin-bisoprolol. Kriteria
eksklusi pasien : pasien dengan komplikasi, pasien yang memiliki data tidak lengkap (tidak
datang kembali setelah kontrol awal).

Alat penelitian berupa lembar pengumpul data, alat tulis dan alat hitung. Bahan
penelitian mencakup rekam medis pasien hipertensi di RSUD Undata Palu, tarif pemeriksaan
dokter dan perincian obat di bagian instalasi farmasi RSUD Undata Palu. Rekam medis berisi
data tekanan darah pasien dari baseline hingga bulan pertama dan penggunaan obat pasien
(nama obat, dosis dan frekuensi pemberian), lama evaluasi terapi.

Analisis efektivitas biaya dilakukan dengan perspektif BPJS. Komponen biaya yang
diukur adalah biaya pemeriksaan dokter dan biaya obat antihipertensi kombinasi yang
digunakan. Efektivitas pengobatan yang diukur adalah selisih penurunan tekanan darah pada
bulan pertama dibandingkan baseline.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

 Karakteristik Subyek Penelitian

Hasil penelitian yang dilakukan di poliklinik bagian penyakit dalam RSUD Undata
Palu Provinsi Sulawesi Tengah selama kurun waktu 3 bulan (Agustus-Oktober 2014),

12
diperoleh jumlah pasien hipertensi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi
sebanyak 91 orang. Terdiri dari 43 pasien laki-laki dan 48 pasien perempuan. Mayoritas
pasien hipertensi adalah pasien berusia 41-65 tahun sebanyak 62 pasien, umur >65 tahun
sebanyak 24 pasien dan umur 25-40 tahun hanya 5 pasien. Sebanyak 45 orang yang
menggunakan pengobatan dengan kombinasi amlodipin-furosemid dimana 25 pasien
diantaranya adalah pasien yang tekanan darahnya terkontrol (<140/90 mmHg) dan 20 pasien
yang tekanan darahnya tidak terkontrol (>140/90 mmHg) setelah evaluasi. Untuk pasien yang
menggunakan kombinasi amlodipin-bisoprolol sebesar 46 pasien dimana 25 pasien
diantaranya adalah pasien dengan tekanan darah terkontrol (<140/90 mmHg) dan 21 pasien
yang tekanan darahnya tidak terkontrol (>140/90 mmHg). Rata-rata lama terapi pasien untuk
kelompok kombinasi amlodipin-furosemid selama 34 hari sedangkan untuk kelompok
kombinasi amlodipin-bisoprolol selama 35 hari.

 Analisis Efektivitas Pengobatan


Tekanan Darah Sistolik (mmHg)

Tekanan Darah Diastolik (mmHg)

13
Gambar 1. Perbandingan efektivitas pengobatan berdasarkan rerata tekanan darah
evaluasi kombinasi antihipertensi menunjukkan perbandingan efektivitas pengobatan
berdasarkan rata-rata tekanan darah sistolik pasien hipertensi rawat jalan dari baseline
dimana pasien belum mendapat terapi pengobatan (kontrol awal) hingga evaluasi atau pasien
menjalani kontrol kembali setelah 30-40 hari atau sekitar 1 bulan menjalani terapi
pengobatan, menggunakan obat antihipertensi kombinasi amlodipin-furosemid dan
amlodipin-bisoprolol di RSUD Undata Palu. Sedangkan Gambar 2. menunjukkan
perbandingan efektivitas pengobatan berdasarkan tekanan darah diastolik pasien hipertensi
rawat jalan dari baseline hingga evaluasi selama 30-40 hari atau sekitar 1 bulan
menggunakan terapi kombinasi yang sama yaitu amlodipin-furosemid dan amlodipin-
bisoprolol.
Sebanyak 45 pasien hipertensi yang mendapat pengobatan kombinasi amlodipin-furosemid
dengan rerata tekanan darah sistolik sebelum pengobatan atau baseline sebesar 149.78±7.380
mmHg setelah evaluasi selama rata-rata 34 hari atau sekitar 1 bulan pengobatan turun
menjadi 137.78±17.567 mmHg atau mengalami penurunan rata-rata tekanan darah sistolik
sebesar 12 mmHg. Hasil uji amlodipin-furosemid dengan rerata tekanan darah sistolik
sebelum pengobatan atau baseline sebesar 149.78±7.380 mmHg setelah evaluasi selama rata-
rata 34 hari atau sekitar 1 bulan pengobatan turun menjadi 137.78±17.567 mmHg atau
mengalami penurunan rata-rata tekanan darah sistolik sebesar 12 mmHg. Hasil uji Wilcoxon
diperoleh nilai p = 0,000, karena nilai p <0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah pengobatan. Sedangkan rerata
tekanan darah diastolik sebelum pengobatan (baseline) sebesar 91.78±4.415 mmHg setelah
evaluasi selama 34 hari atau sekitar 1 bulan pengobatan turun menjadi 88.89±8.318 mmHg
atau mengalami penurunan rata-rata tekanan darah diastolik sebesar 2.92 mmHg. Hasil uji
Wilcoxon diperoleh nilai p = 0,018, karena nilai p <0,05 menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna antara tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah pengobatan.
Sebanyak 46 pasien hipertensi yang mendapat pengobatan kombinasi amlodipin-
bisoprolol dengan rerata tekanan darah sistolik sebelum pengobatan atau baseline sebesar

14
151.09±7.952 mmHg setelah evaluasi selama 35 hari atau sekitar 1 bulan pengobatan turun
menjadi 137.17±16.284 mmHg atau mengalami penurunan rata-rata tekanan darah sistolik
sebesar 13.91 mmHg. Hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai p =,000, karena nilai p <0,05
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara 0tekanan darah sistolik
sebelum dan sesudah pengobatan. Sedangkan rerata tekanan darah diastolik sebelum
pengobatan (baseline) sebesar 92.83±4.552 mmHg setelah evaluasi selama 35 hari atau
sekitar 1 bulan pengobatan turun menjadi 89.35±8.001 mmHg atau mengalami penurunan
rata-rata tekanan darah diastolik sebesar 3.48 mmHg. Hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai p =
0,003, karena nilai p <0,05 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara
tekanan darah diastolik sebelum dan sesudah pengobatan.
Berdasarkan rerata selisih penurunan tekanan darah sistolik maupun diastolik
menggunakan kombinasi amlodipin-furosemid dengan kombinasi amlodipin-furosemid dapat
dilihat perbandingan bahwa efektivitas penurunan tekanan darah yang paling tinggi
ditunjukkan oleh pengobatan dengan kombinasi amlodipin-bisoprolol dari pada kombinasi
amlodipin-bisoprolol. Hal ini disebabkan karena rerata tekanan darah baseline sistolik
maupun diastolik kelompok kombinasi amlodipin-bisoprolol lebih tinggi dibandingkan
dengan rerata tekanan darah baseline kelompok kombinasi amlodipin-furosemid. Selain itu
juga karena kombinasi amlodipin-bisoprolol mempunyai mekanisme kerja yang lebih selektif
dalam penurunan tekanan darah. Sedangkan berdasarkan statistik Wilcoxon, penelitian ini
menunjukkan bahwa rata-rata nilai signifikan untuk masing-masing kombinasi <0,05
sehingga dapat dikatakan bahwa masing-masing kelompok kombinasi antihipertensi
menunjukkan perbedaan yang bermakna antara tekanan darah sistolik maupun diastolik
sebelum dan sesudah pengobatan, dimana rerata tekanan darah sistolik maupun diastolik pada
kombinasi amlodipin-furosemid lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan rerata
tekanan darah sistolik maupun diastolik pada kombinasi amlodipin-bisoprolol.
 Total Biaya Medis Langsung
Total biaya medis langsung merupakan keseluruhan total biaya terapi rata-rata per
bulan yang dikeluarkan oleh pasien selama menjalani terapi dari baseline hingga evaluasi
(selama 30-40 hari) atau sekitar 1 bulan yang meliputi biaya obat antihipertensi dan biaya
pemeriksaan dokter. Biaya obat antihipertensi mencakup biaya seluruh obat yang diresepkan
untuk mengatasi penyakit hipertensi. Sedangkan biaya pemeriksaan dokter mencakup biaya
periksa dokter dan biaya administrasi sesuai standar RSUD Undata Palu.

15
Gambar 3.Distribusi rata-rata biaya total medik langsung rata-rata per bulan pasien hipertensi
Berdasarkan Gambar 3. menunjukkan bahwa rata-rata biaya obat antihipertensi
kombinasi amlodipin-furosemid per bulan sebesar Rp. 17.022,22 sedangkan rata-rata biaya
obat antihipertensi kombinasi amlodipin-bisoprolol per bulan sebesar Rp. 58.760,87.
Sedangkan biaya pemeriksaan dokter untuk semua jenis antihipertensi yaitu sebesar Rp.
30.000,00, dihitung satu kali kunjungan dalam sebulan.
Perbedaan total biaya medik langsung dapat terlihat di atas, bahwa total biaya medik
langsung terkecil adalah kombinasi amlodipin-furosemid yaitu sebesar Rp. 47.022,22
sedangkan total biaya medis langsung terbesar adalah kombinasi amlodipin-bisoprolol
sebesar Rp. 88.760,87. Hal ini disebabkan karena harga per tablet obat bisoprolol lebih mahal
dari pada obat furosemid meskipun obat yang digunakan adalah jenis obat generik dan rata-
rata lama terapi pengobatan sekitar 1 bulan dan jumlah pasiennya hampir sama.

Kombinasi obat efektivitas Biaya

Amlodipin + furosemide 54,35% 1200/tab + 250/tab

Amlodipin + bisoprolol 55,56% 1200/tab + 2900/tab

Tabel perbandingan efektifitas dan biaya kombinasi obat amlodipine + furosemide


dan amlodipine + bisoprolol.
Rata-rata penggunaan kombinasi obat antihipertensi adalah 1tab/hari dan lama terapi 1bulan
dari kombinasi
a. Amlodipin + furosemide = 1200/tab+250/tab x 30hari = Rp43.500
b. Amlodipin + bisoprolol = 1200/tab+2900/tab = Rp123.000
Berdasarkan tabel di atas pada pengobatan hipertensi dengan
kombinasi kami memilih metode analisis CMA ( cost minimun
analysis) dengan kombinasi yang dipilih amlodipin + furosemide
dengan harga yang lebih minim dan efektifitasnya tidak jauh berbeda
dari kombinasi amlodipin dengan bisoprolol

16
BAB IV PENUTUP

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan:

1. Berdasarkan data yang kami ambil di rawat jalan di RSUD Undata Palu, Efektivitas
pengobatan penyakit hipertensi, yang memiliki pengobatan lebih efektif adalah
kombinasi amlodipin-bisoprolol dimana selisih penurunan tekanan darah rata-rata
sistolik dan diastolik berturut-turut 13,91 mmHg dan 3,48 mmHg.

2. Dalam hal ini metode farmakoekonomi yang digunakan yaitu metode CMA (cost
Minimazation analysis). Hasil analisis CMA adalah Amlodipine dan Furosemide.
Karena kombinasi obat ini memiliki biaya yang jauh lebih murah dan juga efektifitas
yang cukup baik

DAFTAR PUSTAKA

17
Anonim, 2006, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi, 2006, Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Andayani, T. M., 2013, Farmakoekonomi (Prinsip dan Metodologi), Bursa Ilmu,


Yogyakarta.

Setiawan, D., Martini, S., 2007, Evaluation of Antihypertension Drug Usage to Inpatiens at
Badan Rumah Sakit Umum Daerah (BRSUD) Batang, Jurnal Fakultas Farmasi
Universitas Muhammadiyah, Purwokerto

18

Anda mungkin juga menyukai