Anda di halaman 1dari 13

Dilema Etis Auditor yang Memiliki Kepercayaan Budaya Jawa

Pendahuluan

Pada suatu profesi kode etik merupakan hal yang wajib untuk digunakan sebagai
landasan dalam melaksanakan profesinya. Begitu juga pada profesi akuntan seperti auditor.
Seiring berkembangnya waktu, saat ini etika menjadi sorotan yang penting dan menarik.
Etika selalu berhubungan dengan perilaku etis dan perilaku yang tidak etis. Akhir-akhir ini
kasus mengenai perilaku tidak etis kian merajalela, begitu juga dengan dilema etika yang
dialami oleh para auditor. Dilema etika merupakan suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang
dimana ia harus membuat keputusan tentang perilaku seperti apa yang tepat untuk
dilakukannya. Para auditor dan akuntan menghadapi banyak dilema etika dalam karir mereka.
Melakukan kontak dengan seorang klien yang mengancam akan mencari seorang auditor baru
kecuali jika auditor tersebut bersedia untuk menerbitkan suatu opini wajar tanpa syarat, akan
mewakili suatu dilema etika yang serius terutama jika opini wajar tanpa syarat bukanlah opini
yang tepat untuk diterbitkan. Disinilah para auditor menghadapi tantangan yang semakin
berat dalam menjalani profesinya.

Lingkungan juga memiliki pengaruh pada timbulnya dilema seorang auditor.


Leiwakabessy (2010) mengatakan adanya pengaruh lingkungan terhadap nilai-nilai personal
mempunyai keterkaitan yang kuat dengan budaya, hal ini berarti budaya mempengaruhi
perilaku yang dibawanya atau sikap seseorang melalui nilai-nilai yang dibawanya melalui
lingkungan sekitarnya. Pada kenyataannya, karena banyaknya persebaran orang jawa maka
budaya jawa pada lingkungan di Indonesia menjadi budaya yang dianggap sangat
mempengaruhi perilaku setiap individu (Leiwakabessy, 2010). Menurut Putri & Kamayanti
(2013), menyebutkan tentang etika masyarakat Jawa soal prinsip rukun dan hormat. Kedua
prinsip itu yang melandasi nilai-nilai Jawa. Diantaranya, sifat gotong royong muncul dari dua
prinsip utama dari etika sosial. Sifat gotong royong yang melekat pada mayarakat Jawa
tersebut membentuk suatu karakter budaya. Karakter tersebut tentunya dalam masyarakat
bersifat etis, namun ketika dalam dunia kerja dan menerapkan karakter gotong royong belum
tentu hal tersebut dianggap etis sesuai kode etik profesi. Karakter tersebut ketika merasuk ke
dalam profesi akuntan seperti auditor, justru cenderung akan memberikan celah untuk
melakukan perilaku tidak etis misalnya gotong royong dalam melakukan korupsi.

1
Putri & Kamayanti (2013), mengatakan bahwa etika pada budaya jawa dapat menjadi
penguat serta melemahkan etika profesi seorang editor. Putri & Kamayanti (2013),
memberikan contoh pada etika budaya Jawa yang melemahkan yaitu perilaku sungkan,
dimana nantinya jika seorang auditor yang terlalu mengedepankan sikap sungkan akan
terjebak dalam kondisi takut untuk berterus terang. Sungkan akan dengan mudahnya
membawa seorang auditor berada di bawah pengaruh pihak lain yang apabila pengaruh
tersebut buruk maka dapat merugikan dan integritas seorang auditor tersebut akan
dipertanyakan. Hal tersebut tentunya bertolak belakang dengan kode etik auditor yang
akhirnya mengakibatkan adanya dilema. Seorang auditor akan merasakan dilema untuk
memilih etika mana yang harus dia pilih, kode etik profesinya sebagai auditor atau etika
budaya Jawa. Berdasarkan latar belakang ini dan penelitian-penelitian terdahulu, penulis
menjadi tertarik untuk membahas dilema etika yang dirasakan auditor yang memiliki
kepercayaan kuat terhadap budaya jawa.

Teori-Teori yang Digunakan

Teori Perilaku Rencanaan (Theory Of Planned Behavior)

Menurut Leiwakabessy (2010), Asumsi dasar teori perilaku rencanaan adalah banyak
perilaku tidak semuanya dibawah kontrol penuh individu sehingga perlu ditambahkan konsep
kontrol perilaku persepsian (Perceived Behavioral Control). jadi TPB secara eksplisit
mengenal kemungkinan bahwa banyak perilaku tidak semuanya dibawah kontrol penuh
sehingga konsep dari kontrol perilaku persepsian (Perceived Behavioral Control).
Ditambahkan untuk menangani perilaku-perilaku semacam ini. Theory Of Planned Behavior
memiliki dua fitur sebagai berikut:

1. Teori ini mengasumsikan bahwa kontrol perilaku persepsian (Perceived Behavioral


Control) mempunyai implikasi motivasional terhadap niat-niat. Dengan demikian
diharapkan terjadi hubungan antara Perceived Behavioral Control dengan niat yang tidak
dimediasi oleh sikap dan norma subjektif. Di model ini ditunjukkan dengan panah yang
menghubungkan Perceived Behavioral Control ke niat (Intention).

2. Fitur kedua adalah kemungkinan hubungan langsung antara Perceived Behavioral


Control dengan perilaku (behavior). Di banyak contoh, kinerja dari suatu perilaku
tergantung tidak hanya pada motivasi untuk melakukannya tetapi juga kontrol yang

2
cukup terhadap perilaku yang dilakukan. Dengan demikian Perceived Behavioral Control
dapat mempengaruhi perilaku secara tidak langsung lewat niat dan juga dapat
memprediksi perilaku secara langsung.

Theory Of Planned Behavior menunjukkan bahwa tindakan manusia diarahkan oleh


tiga macam kepercayaan. Ketiga kepercayaan tersebut adalah kepercayaan perilaku
(behavioral beliefs), yaitu kepercayaan-kepercayaan tentang kemungkinan terjadinya
perilaku. Kepercayaan normatif (normative belief), yaitu kepercayaan-kepercayaan tentang
ekspektasi-ekspektasi normatif dari orang-orang lain dan motivasi untuk menyetujui
ekspektasi-ekspektasi tersebut. Kepercayaan kontrol (control beliefs), yaitu kepercayaan-
kepercayaan tentang keberadaan faktor-faktor yang akan memfasilitasi atau merintangi
kinerja dari perilaku dan kekuatan persepsian dari faktor-faktor tersebut.

Model Alternatif Pengambilan Keputusan Etis

Di luar bidang psikologi sosial, Noreen (1988) memperluas teori agensi dengan
membahas ekonomi etis dalam konteks kontrak. Didasarkan pada minat individual, ia
menyatakan bahwa perilaku etis (tekanan perilaku oportunistis) mungkin sering kali
menghasilkan aksi yang paling menguntungkan (daya tarik ekonomi). Misalnya, kepatuhan
akuntan terhadap kode etik dan perilaku profesional AICPA membatasi seberapa besar
inferensi eksternal. Pendekatan teori agensi dari Noreen bertentangan langsung dengan
prinsip keunggulan pengguna, yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, di mana
kepentingan pengguna laporan keuangan menjadi prioritas.

Terdapat model pengambilan keputusan etis lain yang dikembangkan secara spesifik
untuk profesi akuntansi. Misalnya, untuk lebih memahami situasi di mana auditor dianggap
melanggar kode etik dan perilaku profesional AICPA, Lampe dan Finn membuat model dari
proses keputusan etis auditor sebagai proses dengan lima elemen (pemahaman keuntungan,
pengendalian dampak, keputusan lain, penilaian lain dan pengambilan keputusan final) untuk
dibandingkan dengan model yang berbasis kode etik dan perilaku profesional AICPA.
Dengan cara yang sama, Finn dan Lampe membuat model dari keputusan berkaitan dengan
penyampaian pengaduan auditor.

Dalam mengomentari keadaan riset saat ini dalam paradigma etika akuntansi,
Machintosh yang mengadopsi perspektif yang hanya mengukur penerimaan sosial, dan bukan

3
perspektif etis yang sesungguhnya. Ia menyatakan bahwa sementara riset sekarang
menggunakan ukuran etis alternatif (misalnya, tahapan Kolhberg),orang berperilaku agak etis
atau kurang etis, ini adalah masalah ini atau itu. Terakhir, ia mempertanyakan penggunaan
metodologi postivistik saat ini, dengan mencatat bahwa etika adalah masalah nilai (apa yang
seharusnya) dan bukan fakta (apa ini). Lebih lanjut, masalah ini semakin rumit dengan
adanya fakta bahwa individu yang berbeda mungkin menyampaikan sasaran normatif yang
berbeda, yang didasarakan pada konteks dan individu masing-masing.

Sementara kerangka kerja teoretis yang dibahas dalam bagian ini sering kali
bertentangan, konflik tersebut seharusnya tidak dilepaskan dari pentingnya riset yang
dilakukan. Sebaliknya, perbedaan tersebut merendahkan kekayaan dari masalah subjek dan
menyoroti area penyelidikan teoretis selanjutnya. Bagian selanjutnya menyampaikan contoh
bagaimana model pegambilan keputusan etis yang berbeda digunakan untuk membahas
pertanyaan-pertanyaan yang memengaruhi profesi akuntansi.

Model Pengambilan Keputusan Etis - Teori Penalaran Moral Dari Kohlberg

Kohlberg (1981) mendefinisikan penalaran moral sebagai penilaian terhadap nilai, penilaian
sosial, dan juga penilaian terhadap kewajiban yang mengikat individu dalam melakukan
sesuatu tindakan. Penalaran moral dapat dijadikan prediktor terhadap dilakukannya tindakan
tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Hal ini sejalan dengan cara yang dikemukakan
oleh Rest (1979) bahwa penalaran moral adalah konsep dasar yang dimiliki individu untuk
menganalisis masalah sosial-moral dan menilai terlebih dahullu tindakan apa yang
dilakukannua

Menurut Kohlberg (1981) Penalaran moral adalah suatu pemikiran tentang masalah
moral. Pemikiran itu merupakan prinsip yang dipakai dalam menilai dan melakukan suatu
tindakan dalam situasi moral. Penalaran moral dipandang sebagai suau struktur bukan isi.
Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat
tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu, sehingga sifatnya akan sangat relatif.
Akan tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur, maka apa yang baik dan buruk
terkait dengan prinsip filosofis moralitas, sehingga penalaran moral bersifat universal.
Penalaran moral ini yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral.
Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan

4
daripada memperhatikan perilaku sesorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa
sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975).Berdasarkan uraian teori di atas, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa penalaran moral adalah kemampuan (konsep dasar) seseorang
untuk dapat memutuskan masalah sosial moral dalam situasi kompleks dengan melakukan
penilaian terlebih dahulu terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan
dilakukannya

Landasan mayoritas studi akuntansi yang dicurahkan pada perilaku etis akuntan
adalah psikologi penalaran moral (moral reasoning). Teori kognitif tentang proses
pengambilan keputusan manusia mendahului perilaku etis. Psikologi moral reasoning
menjelaskan proses ini dan menganalisis keadaaan pikiran individu ketika membuat
keputusan etis. Etika atau moral reasoning berbeda dengan proses mental lainnya dalam tiga
aspek:

1. Kognisi yang didasarkan pada nilai dan buka pada fakta yang tampak
2. Keputusan yang didasarkan pada beberapa isu yang melibatkan diri sendiri dan orang
lain
3. Keputusan yang dibangun di seputar isu “keharusan” dan bukan pada peringkat
preferensi atau kesukaan sederhana

Rest mengakui bahwa model rangkaian tahap dari Kohlberg adalah bagian dari intergral
model kognitif komprehensif pengambilan keputusan etis.Misalnya, Rest menyatakan bahwa
penalaran etis hanya merupakan bagian dari kapasitas individu secara keseluruhan untuk
membangun kerangka dan memecahkan masalah etis. Rest (1979) selanjutnya
mengidentifikasiempat komponen dalam menentukan perilaku moral:

1. Sensitivitas moral (pengenalan implikasi moral dari sebuah situasi)


2. Keputusan moral (keputusan mengenai apakah sebuah aksi benar secara moral)
3. Motivasi moral (menempatkan nilai moral di atas nilai lainnya
4. Karakter moral (mempunyai keyakinan untuk mengimplementasikan aksi moral)

Model rangkaian tahap dari Kolhberg menyatakan bahwa individu pada tingkat moral
reasoning yang lebih tinggi bisa melakukan tindakan moral yang benar. Hasil empiris dalam
konteks akuntansi juga menghubungkan tingkat moral reasoning yang lebih rendah dengan
pertanyaan mengenai independensi dari penilaian, kegagalan untuk mendeteksi penipuan

5
laporan keuangan, dan tidak terdapatnya pengungkapan atas temuan audit sensitif melalui
pengaduan (whistle-blowing)

Prinsip Penghindaran Konflik

Budaya jawa memuat karakter penghindaran segala macam konfrontasi langsung.


Memang benar bahwa penghindaran konflik berperan penting sekali di dalam menjaga
harmoni atau keselarasan sosial. Untuk menghindari konflik, orang jawa terikat pada konsep
yang dinamakan “rukun”, yakni tuntutan berinteraksi dalam sebuah hubungan sosial. Mulder
(1978 dalam Chariri, 2006) mendifinisikan rukun sebagai: cara untuk menampung perbedaan,
kerjasama, kesepakatan bersama, ketenangan hati dan eksistensi masyarakat secara secara
harmonis. Masyarakat secara utuh harus dipandu oleh semangat rukun. Ekspresi perilaku
yang terkait dengan atasan meliputi rasa hormat/mengahrgai, patuh, sopan dan harus menjaga
jarak. Sedangkan ekspresi perilaku kepada masyarakat sesama haruslah “akrab” seperti
halnya dalam keluarga dan dilandasi “kangen” (ada rasa memiliki), (Mulder, 1978, dalam
chariri, 2006).

Rukun ditunjukkan melalui kerjasama, kesepakatan bersama, ketenangan dan


persatuan (Magnis-Suseno, 1997). Untuk mencapai kondisi rukun, orang harus menjadi
bagian dari kelompok dan individualitas mereka harus diungkapkan kepada kelompoknya.
Sehingga, semua ekspresi perilaku yang mengarah pada konflik dan mengganggu kerukunan
harus dihindari.

Budaya Jawa Sebagai Budaya Dominan

Orang jawa (orang yang berkomunikasi menggunakan bahasa jawa) adalah penduduk
asli daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari jumlah penduduk, orang keturunan jawa
menjadi penduduk terbanyak di Indonesia. Karena banyaknya persebaran orang jawa ini,
maka homogenitas budaya dan pengaruhnya terhadap modal bangsa sangat terasa, budaya
jawa mempengaruhi pandangan hidup sebagaian besar masyarakat Indonesia dan Jawa juga
mendominasi aktivitas-aktivitas budaya, bisnis, sosial dan politik di Indonesia (Magnis-
Suseno, 1997). Prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial jawa memperkuat dominasi ini.
Penjagaan harmoni social (rukun) menjadi inti dari budaya jawa. Terkait dengan harmoni

6
sosial (rukun) ini maka menurut Mann (dikutip oleh Chariri, 2006), mengatakan bahwa
masyarakat jawa memegang keyakinan sebagai berikut:

1. Keyakinan terhadap ada kekuatan tersembunyi yang membatasi manusia.

2. Keyakinan bahwa setiap orang memiliki tempat sendiri-sendiri dalam masyarakat dan
mengetahui apa yang tidak harus diungkapkan.

3. Keyakinan bahwa manusia harus tetap tenang dalam menghadapi bermacam kejadian
dan bahwa perilaku antar individu harus diarahakan untuk menjaga ketenangan dan
harmoni sosial.

Berdasarkan tiga keyakinan dasar diatas, maka hubungan sosial masyarakat jawa
dipengaruhi oleh dua prinsip dasar yang menggambarkan ide/pemikiran tentang kebaikan
dalam hidup (good life). Kedua prinsip dasar tersebut adalah penghindaran konflik dan rasa
menghormati/respek.

Pembahasan Secara Keseluruhan

Kode Etik Sebagai Alat Kepercayaan Publik

Kode etik akuntan merupakan suatu sistem prinsip moral dan pelaksanaan aturan yang
memberikan pedoman kepada akuntan dalam berhubungan dengan klien, masyarakat dan
akuntan lain sesama profesi. Kode etik akuntan dapat digunakan sebagai suatu alat atau
sarana untuk memberikan keyakinan pada klien, pemakai laporan keuangan dan masyarakat
tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikan oleh akuntan. Dengan demikian yang menjadi
sasaran atau bahkan yang menjadi dasar pemikiran diciptakannya kode etik profesi adalah
kepercayaan masyarakat terhadap kualitas atau mutu jasa yang diberikan oleh profesi akuntan
tanpa memandang siapa individu yang melaksanakannya (Badjuri, 2010).

Kasus Enron, WorldCom dan kasus jual beli opini oleh auditor BPK di Indonesia
menjadi kasus pelanggaran kode etik yang memalukan bagi profesi akuntan. Dalam kasus
tersebut sangat jelas keterlibatan akuntan dalam pelanggaran etika sehingga merugikan
masyarakat secara luas. Kasus tersebut membuat akuntan menjadi diragukan
profesionalismenya oleh masyarakat. Salah satu upaya mengembalikan kepercayaan
masyarakat dapat dilakukan dengan penerapan secara ketat terhadap kode etik yang sudah

7
ditetapkan lembaga profesi. Sebenarnya kode etik akuntan sangat membantu para anggotanya
dalam mencapai kualitas pekerjaan sebaik-baiknya. Audit yang berkualitas sangat penting
untuk menjamin bahwa profesi akuntan memenuhi tanggungjawab kepada investor,
masyarakat umum dan pemerintah serta pihak-pihak lain yang mengandalkan kredibilitas
laporan keuangan yang telah di audit (Badjuri, 2010).

Kesesuaian Etika Akuntan dengan Kode Etik

Menurut Putri & Kamayanti (2013) Nilai Etika Dominan dalam Budaya Jawa yaitu

1. Rukun: Musyawarah (Rembug) dan Gotong Royong.

2. Hormat: Budi Pekerti, Unggah-Ungguh, Tata Krama dan Tunduk.

3. Tertutup.

4. Sederhana.

5. Sungkan.

6. Lamban.

7. Sabar.

Kesesuaian Etika akuntan jawa dengan kode etik menurut (Putri dan Kamayanti, 2013)

1. Penurut (Spiritual): (1) Penguat: Pada dasarnya penurut untuk menuruti perintah dan
menuruti untuk menghindari larangan Tuhan dapat memperkuat prinsip tanggung
jawab profesi, kepentingan publik, integritas, obyektivitas, kompetensi dan kehati-
hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, serta standar teknis karena
dapat dijadikan pengendalian diri untuk mencegah penyimpangan akuntan yang dapat
merugikan orang lain (Putri & Kamayanti, 2013). (2) Pelemah: Tanggung jawab
profesi: tidak bisa mempunyai tanggung jawab profesi apabila menuruti semua perintah
atasan termasuk untuk melakukan tindakan tidak etis karena tidak bisa menggunakan
pertimbangan moral dan profesionalnya; Kepentingan Publik: ketika seorang akuntan
menuruti kehendak atasannya untuk melakukan hal yang melanggar etika berarti tidak
menhormati kepercayaan publik; Integritas: akuntan yang penurut cenderung menurut
terhadap perintah atasan demi keuntungan pribadi yang akan melanggar prinsip

8
integrtitas; Obyektivitas: tidak bisa obyektif jika terlalu menuruti kehendak atasan;
Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional: penurut akan menghambat akuntan dalam
mencapai maupun memelihara kompetensi dan kehati-hatian profesionalnya;
Kerahasiaan: memperlemah prinsip kerahasiaan jika menuruti pihak tertentu untuk
membuat pengungkapan yang tidak disetujui demi keuntungan pribadi atau keuntungan
pihak ketiga; Perilaku Profesional: perilaku profesional akan terganggu apabila terlalu
penurut kepada atasan terutama untuk melakukan hal yang melanggar etika; Standar
Teknis: standar teknis tidak bisa terlaksana dengan baik jika terlalu penurut kepada
pihak-pihak tertentu untuk melakukan hal-hal yang tidak etis

2. Mangan ora mangan sing penting kumpul (kesederhanaan); (Kebersamaan dan


Kekeluargaan): (1) Penguat: Kesederhanaan memiliki pengaruh yang baik dalam
pelaksanaan profesi akuntan karena mendorong seseorang menjaga diri dari ambisi
berlebihan sehingga menghindari perilaku curang dengan memanfaatkan posisi
strategisnya sebagai akuntan. Penerapan etika ini dapat memunculkan perilaku
profesional, tanggung jawab profesi yang baik, mendukung prinsip kepentingan
publik, kerahasiaan, menjaga integritas dan obyektivitas, sesuai dengan standar
teknis yang ditentukan, serta memiliki kompetensi dan kehati-hatian profesional,
karena dengan kesederhanaan maka akan sulit terbujuk oleh rayuan materi berlimpah
yang dapat membuat akuntan melakukan tindakan tidak etis (Putri & Kamayanti, 2013).
(2) Pelemah: Penerapan etika ini juga mendorong terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme apabila rasa kebersamaan dan kekeluargaan diaplikasikan ke dalam tindakan
yang menyimpang, misalnya kebersamaan untuk melakukan korupsi. Kebersamaan dan
kekeluargaan untuk melakukan tindakan tersebut akan memperlemah perilaku
profesional dalam bekerja, tanggung jawab profesi, dan kepentingan publik,
obyektivitas, integritas, kerahasiaan, standar teknis, kompetensi dan kehati-hatian
profesional

3. Eling lan waspada: Penguat; Etika Eling Lan Waspada memberikan kecenderungan bagi
akuntan untuk selalu ingat akan hakikatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan dan tidak
takabur terhadap pencapaian yang telah diperoleh. Dengan demikian, Etika Eling Lan
Waspada mendukung perilaku profesional yang positif dalam pelaksanaan pekerjaannya
sebagai seorang akuntan, memunculkan tanggung jawab profesi yang baik, sesuai dengan
standar teknis yang ditentukan, memiliki kompetensi dan kehati-hatian profesional,
mendukung prinsip kepentingan publik, kerahasiaan, serta obyektifitas. Integritas diri

9
secara tidak langsung juga akan terbentuk ketika memiliki etika Eling Lan Waspada.
Selain itu, auditor juga dituntut memiliki sikap dan pikiran skeptis profesional dalam
melakukan audit, hal tersebut sebagai bentuk kewaspadaan.

4. Sungkan (Respect): (1) Penguat; Etika Sungkan yang bertujuan untuk menghormati
dianggap etis dan sesuai dengan kedelapan prinsip etika dalam kode etik akuntan (IAI)
apabila dalam pelaksanaannya tetap menjaga keprofesionalan diri dan terhindar dari
kondisi takut berterus terang. (2)Pelemah: Tanggung Jawab Profesi: adanya sungkan
cenderung sulit untuk menjalankan tanggung jawab profesi dengan baik; Kepentingan
Publik: sungkan akan dengan mudahnya berada di bawah pengaruh pihak lain. Apabila
pengaruh itu buruk dan dapat merugikan publik maka akan memperlemah kepercayaan
publik; Integritas: akuntan yang sungkan tidak bisa memiliki integritas karena cenderung
akan menekan kebebasan untuk berani mengungkapakan kebenaran dan pendapat yang
dimiliki; Obyektivitas: sungkan menimbulkan sikap enak dan tidak enak kepada orang
lain yang akan membuat akuntan tidak bisa obyektif; Kompetensi dan Kehati-hatian
Profesional: sungkan akan menghambat akuntan untuk menjadi akuntan yang
berkompeten karena kebebasan untuk menampilkan citra diri terbatas; Kerahasiaan:
karena alasan sungkan terhadap pihak tertentu dapat membuatnya mengungkap
pengungkapan yang tidak disetujui; Perilaku Profesional: sungkan akan memperlemah
perilaku profesional karena tidak bisa konsisten menyelaraskan antara pertimbangan
moral dan profesionalnya; Standar teknis: tidak bisa terwujud apabila terdapat rasa
sungkan terhadap pihak-pihak tertentu dan dikhawatirkan pihak-pihak tersebut berbuat
hal yang melanggar etika

Hubungan Etika Audit Dengan Konsep Etika Perilaku

Menurut Badjuri (2010), Etika perilaku adalah bagaimana seorang akuntan profesional
yang independen berperilaku ideal dalam melaksanakan audit. Dalam pelaksanaan tugas
profesionalnya, akuntan diatur dalam hubungannya dengan teman sekerja, atasan, objek audit
dan masyarakat. Contoh beberapa aturan etika bagi akuntan adalah sebagai berikut :

1. Etika akuntan berkaitan dengan Auditee: (1) Akuntan senantiasa harus menjaga
Penampilannya. (2) Akuntan harus menjaga interaksi yang sehat dengan pihak auditee.
(3) Akuntan harus menciptakan iklim kerja yang nyaman dan jujur dengan pihak auditee.

10
2. Etika akuntan berkaitan dengan rekan profesi: (1) Akuntan wajib menggalang kerjasama
yang sehat dengan sesama akuntan. (2) Akuntan harus saling mengingatkan,
membimbing dan mengoreksi perilaku sesama akuntan. (3) Akuntan harus memiliki rasa
kebersamaan dan rasa kekeluargaan di antara sesama akuntan.

3. Etika akuntan berkaitan dengan organisasi tempat bekerja: (1) Akuntan wajib mentaati
segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tugas profesionalnya dengan
penuh pengabdian, kesadaran dan tanggungjawab. (2) Akuntan harus memiliki semangat
loyalitas kepada organisasi. (3) Akuntan harus memiliki integritas yang tinggi dan
mempertahankan objektifitasnya.

Etika adalah studi tentang moralitas dan perilaku dalam menghadapi dilema. Lingkungan
bisnis, yang berfokus pada pengambilan keuntungan dan efisiensi, menimbulkan dilema etika
ketika tindakan yang diambil dalam mengejar tujuan ini tidak mendukung nilai-nilai pribadi
atau sosial (Frank, Sarhan, & Fisher 1990). Telah dikatakan bahwa "masalah etika dalam
bisnis sama tuanya dengan bisnis itu sendiri" (Donaldson & Werhane, 1993). Studi perilaku
bisnis etis dalam konteks internasional adalah penting karena perilaku etis di satu negara
terkadang dipandang sebagai perilaku yang tidak etis di negara lain (Ciulla, 1991). Misalnya,
pemberian hadiah dapat dianggap sebagai kebiasaan yang diterima di beberapa budaya tetapi
dapat dianggap sebagai suap tidak etis dalam diri orang lain (Tsalikis & Nwachukwu, 1991).
Faktor budaya dapat memainkan peran kunci dalam perbedaan perseptual ini. Hunt dan Vitell
memperkenalkan model untuk pengambilan keputusan etis yang mengidentifikasi empat
faktor di lingkungan yaitu: budaya, profesional, industri, dan organisasi. Di dalam
lingkungan, individu harus terlebih dahulu melihat masalah etika. Untuk mengevaluasi
situasinya, individu harus melihat tindakan-tindakan alternatif dan konsekuensi terhadap
tindakan-tindakan ini. Penilaian etis berasal dari pertimbangan "nilai-nilai moral" yang
memandu tindakan (evaluasi deontologis, yaitu tidak berbohong) dan dari pertimbangan
konsekuensi dari tindakan.

Persepsi terjadi di lingkungan budaya mungkin berdampak pada persepsi. Deng (1992)
mengamati berbagai standar etika dan tingkat moralitas yang ada dalam budaya yang
berbeda. Beberapa penelitian telah menunjukkan bagaimana norma-norma budaya
mempengaruhi perilaku pengambilan keputusan etis (Hunt & Vitell, 1986; Cohen, Pant, &
Sharp, 1993). Roxas & Stoneback (1997) menyatakan Tidak peduli dari perspektif mana
seseorang berasal, para ilmuwan sosial umumnya setuju bahwa budaya terdiri dari hal-hal

11
yang nyata dan tidak nyata yang membentuk perilaku. Sosiolog Kroeber dan Parsons (1958)
mendefinisikan budaya sebagai "pola nilai, ide, dan sistem simbolik yang lain sebagai faktor
dalam membentuk perilaku manusia." Antropolog EB Tylor (1896) mendefinisikan budaya
sebagai "keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni , moral,
hukum, adat istiadat dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat. ”Psikolog sosial KE Weick (1979) percaya bahwa budaya mewakili“
makna bersama, ”sebuah konteks dari mana persepsi, makna, dan tindakan muncul.

Hasil dari penelitian yang dilakukan Roxas & Stoneback (1997) menunjukkan bahwa
Secara umum terdapat perbedaan signifikan antara kelompok di masing-masing dari tiga
aspek proses pengambilan keputusan etis: dilema yang dirasakan, preferensi untuk tindakan,
dan peran akuntan. Jelas bahwa tidak peduli skema klasifikasi apa yang digunakan, hasil ini
menunjukkan bahwa budaya memiliki efek pada proses pengambilan keputusan etis.

Kesimpulan

Akuntan publik adalah profesi yang unik dimana selain memikirkan kepentingan klien
juga memikirkan kepentingan publik karena auditor dipercayai publik dalam keahliannya
dalam memeriksa laporan keuangan perusahaan dengan beropini atas kewajaran laporan
keuangan perusahaan. Maka dari itulah auditor dituntut harus mempunyai pengetahuan,
pemahaman dan menerapkan etika secara memadai dalam pelaksanaan pekerjaan
profesionalnya. Profesi tersebut juga mengakui pentingnya nilai-nilai dalam bisnis karena
nilai-nilai personal mempunyai pengaruh terhadap etis tidaknya keputusan yang diambil oleh
seorang auditor dalam proses audit (Leiwakabessy, 2010).

Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh auditor tidak akan terjadi jika


setiap auditor lebih menitikberatkan pada moral dan etika dalam melaksanakan tugas
profesionalnya. Dalam menghadapi dilema etis, auditor harus bisa memposisikan sebagai
orang yang netral antara pihak dari klien maupun pihak dari yang berkepentingan (investor,
stakeholder dll). Maka dari itu masalah dilema etis yang dihadapi auditor tersebut bisa diatasi
tergantung adanya budaya atau background dari auditor tersebut. Di Indonesia ini, warisan
budaya sangat kental di dalam masyarakat Putri & Kamayanti (2013) dan dalam lingkungan
bisnis di Indonesia, pada umumnya budaya Jawa yang menjadi budaya dominan yang
mempengaruhi perilaku orang Indonesia (Kanungo dan Medonca, 1996 yang dikutip Chariri,
2006). Sehingga dari keseluruhan auditor lebih banyak menganut budaya Jawa dimana cara

12
berpikirnya mirip seperti budaya Jawa. Auditor bisa menggunakan etika jawa dan kode etik
profesinya secara bersama-sama selama menggunakannya dengan porsi yang tepat.

Referensi

Badjuri, A. (2010). Peranan Etika Akuntan Terhadap Pelaksanaan Fraud Audit. Fokus
Ekonomi, 9(3).
Chariri, A. (2006). The dynamics of financial reporting practice in an Indonesian insurance
company: a reflection of Javanese views of an ethical social relationship.
Leiwakabessy, A. (2010). Pengaruh Orientasi Etis dan Budaya Jawa Terhadap Perilaku Etis
Auditor. MAKSI, 10(1).
Magnis-Suseno, F. (1997). Javanese ethics and world-view: The Javanese idea of the good
life.
Putri, I. N., & Kamayanti, A. (2013). Etika Akuntan Indonesia Berbasis Budaya Jawa, Batak,
Dan Bali: Pendekatan Antropologis. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, 2(1).
Roxas, M.L & Stoneback, J.Y. (1997). An Investigation of The Ethical Decision – Making
Process Accross Varying Cultures. The International Journal of Accounting, Vol.
32 (4)

13

Anda mungkin juga menyukai