Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cacing Pita Taenia Solium kebanyakan merupakan parasit yang mana pada tingkat
dewasanya hidup dalam saluran pencernaan manusia, spesies lain yang hampir mirip
adalah Taenia saginata (Taeniarinychus) dan juga merupakan parasit pada manusia,
Setiap cacing pita dewasa merupakan Flatfom yang terdiri dari sebuah kepala sebagai
Holdfast organ Scolex dan sebagaian besar tubunya disusun oleh segmen-segmen dalam
garis lurus yang berderet. Hewan ini melekat pada dinding saluran pencernaan inangnya
menggunakan alat pelekat dan penghisap yang ada pada Scolexnya, bagian belakang
Scolex disebut leher dengan ukuran yang pendek yang di ikuti oleh sebuah benang
Proglotid dimana ukurannya secara berangsur-angsyr bertambah dari anterior dan
berakhir pada posterior. Cacing ulat panjangnya mungkin mencapai 1 kaki dan
mengandug 800-900 segmen. Sejak itu Proglotid tumbuh dari leher posterior dan
berakhir setelah sangat tua. Proglotid yang di hasilkan mungkin sebanding dengan
pembentukakn Ephyrae oleh Scyphiston Aurelia dan disebut dengan Strobilisasi.
Anatomi dari cacing pita ini disesuaikan dengan kebiasaannya sebagai parasit, dimana
dia tidak punya saluran pencernaan sehingga makannya aka langsung diserap oleh
dinding tubuhnya. Sistem syarafnya mirip dengan Planaria dan Faciola Hepatica tetapi
tidak berkembang dengan baik saluran pengeluarannya membujur,bercabang dan
berakhir didalam sel. Ujung posteriornya terbuka sehingga zat-zat sisa langsung di
eksresikan keluar tubuh setiap lembar segmen pada cacing pita dewasa hampir semua
memiliki organ reproduksi. Spermatozoa mula-mula dalam spherical testis yang mana
tersebar dan dibentuk terus pada setiap segmen yang dikumpulkan dalam sebuah tabung
kemudian di bawa ke genital pori melaui vas deferens. Telur berasal dari ovari yang
didorong masuk kedalam saluran rahim. Dimana nantinya telur tersebut masuk pada
proses pembuahan oleh spermatozoa yang mungkin datang dari proglotid yang sama dan
turun pada vagina seperti proglotid tua. Uterus menjadi di gembungkan dengan telur dan
dikirimkan pada cabang yang mati, dimana organ reproduksinya istirahat pada saat
diserap. Ketika proglotid matang maka proglotid tersebut akan dihancurkan dan
dikeluarkan bersama feces. Telur pada taenia akan berkembang menjadi embrio dengan
6 alat pelekat ketika ada diluar segmen. Jika mereka dimakan oleh babi mereka akan

1
masuk ke dalam sauran pencernaan kemudian akan berkembang biak dalam tubuh babi
terssebut dimana larvanya akan dikeluarkan dengan feaces.

Taenia saginata dengan hospes perantaranya sapi dan Taenia solium dengan
hospes perantaranya babi, merupakan 2 jenis cacing pita yang dapat menginfeksi
manusia dan dapat menyebabkan penyakit zoonosis parasitik yang disebut taeniasis
(Bakta, 1996 :520) Infeksi kedua cacing pita tersebut pada manusia sebagai hospes
definitif terjadi saat parasit tersebut berada dalam bentuk larva yang lazim disebut
sistierkus. Jika manusia makan daging sapi atau babi yang dimasak tidak sempurna dan
mengandung sistiserkus bovis atau sistiserkus sellulose, maka dalam usus manusia
sistiserkus ini akan menjadi cacing pita saginata atau solium. Manusia yang mendapatkan
infeksi cacing pita akan mengeluarkan telur dan telur tersebut akan menginfeksi hospes
perantara (Koesharjono;dkk., 1987 :23).

Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium yaitu
cacing pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista
atau Cysticercus cellulosae. Sampai saat ini, sistiserkosis masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin,
Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis
terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara.
Prevalensi taeniasis/ sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada pada rentang
1,0%-42,7% dan prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu
42,7%. Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila
ditemukan di dalam otak, sedangkan taeniasis menyebabkan gejala-gejala saluran
pencernaan yang lebih ringan. Kasus taeniasis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi
Taenia saginata pertama kali dilaporkan di malang oleh Luchmant pada tahun 1867 dan
infeksi Taenia solium dilaporkan pertama kali di Kalimantan Barat oleh Bonne pada
tahun 1940. Di Indonesia taeniasis dilaporkan terdapat di daerah Bali (0,4- 7,1 %), Nusa
Tenggara Timur (7%), Irian jaya (8%), dan lokasi transmigrasi asal Bali seperti di
Sulawesi Tenggara dan Lampung (Bakta, 1996 :521)Biasanya tidak disadari bahwa
manusia dapat menjadi induk semang cacing pita, tetapi pada pertengahan abad 19,
ketika cacing pita ini menyebar, sistiserkusnya ditemukan pada 2 % manusia yang
diotopsi di Berlin. Tetapi sekarang, sejak tinja manusia dibuang lebih efisien, kejadian
sistiserkus pada manusia banyak menurun sedemikian banyak sehingga secara praktis
dapat diabaikan. Kenyataannya C. cellulosae jarang pada babi di AS.

2
Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh stadium larva Taenia solium
(cacing pita babi), sedangkan taeniasis solium disebabkan cacing dewasa yang hidup di
dalam rongga usus halus manusia. Penyakit ini sampai sekarang terutama ditemukan di
tiga propinsi yaitu Bali, Sumatera Utara dan Papua. Prevalensi tertinggi ditemukan di
Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%. Dari beberapa kasus taeniasis solium yang
telah diteliti maka dilaporkan bahwa kasus kasus tersebut dikarenakan masuknya babi
yang dibawa oleh penduduk yang dibawa pada saat pindah ke daerah tersebut atau oleh
penderita langsung yang bertransmigrasi ke daerah- daerah tersebut (Rasidi; dkk., 1990 :
379)

Di Bali kehadiran taeniasis solium pada penduduknya telah dikenal sejak lama
yaitu dengan istilah penyakit beberasan. Berbeda dengan daerah Indonesia lainnya,
hampir seluruh penduduk bali memeluk agama Hindu yang dalam upacara adat dan
keagamaan atau dalam kehidupan sehari-hari penduduk mempunyai keniasaan makan -
makanan tradisional yang disebut lawar, yang terbuat dari daging babi mentah atau
setengah matang yang diduga menyebabkan taeniasis solium (Arwati ; Supari, 1977 : 1;
sutisna : 227). Selain itu kemungkinan masih adanya penduduk, terutama di desa yang
buang air besar tidak di jamban atau di kakus melainkan di sungai atau di teba (halaman
rumah) sehingga tinja manusia dimakan oleh babi dan dapat mencemari pakan babi.
Semuanya ini dapat memberi kesempatan daur hidup taenia- sistiserkus berlangsung
tanpa hambatan. Keadaan- keadaan inilah yang mungkin masih ada dan berjalan di Bali
sehingga menimbulkan kejadian- kejadian taeniasis (Waruju, 1988 : 19)

1.2 Perumusan Masalah


1.2. 1 Pengertian Cestoda
1.2.2 Sejarah TaeniaSolium
1.2.3 Morfologi Cacing Taenia Solium
1.2.4 Siklus Hidup
1.2.5 Cara Mengidentifikasi Penyakit Taenia Solium
1.2.6 Cara Penularannya
1.2.7 Gejala Klinis
1.2.8 Diagnosis
1.2.9 Cara pengendalian Dan Upaya Pencegahannya
1.2.10 Pengobatannya
1.2.11 Epidemiologi

3
1.2.12 Cara Pemberantasannya
1.3. Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian taenia solium
1.3.2 Untuk mengetahui Morfologi Taenia Solium
1.3.3 Untuk mengetahui cara penularannya
1.3.4 Untuk mengetahui gejala klinis pada taenia solium
1.3.5 Untuk mengetahui diagnosa
1.3.6 Untuk mengetahui Cara pengendalian Dan Upaya Pencegahannya
1.3.7 Untuk mengetahui pengobatan
1.3.8 Untuk mengetahui cara pemberantasannya

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Cestoda
Cestoda atau cacing pita kebanyakan darinya adalah parasit hampir semua
merupakan endoparasit dengan hidup dalam sistem pencernaan pada vertebrata dan
larvanya ada di dalam jaringan vetebrata dan invetebrata. Tidak ada sistem pencernaan
yang yang didalamnya terdapat trematoda sederhana seperti cacing pita dan nutrisi
diserap melalui permukaan tubuhnya. Kebanyakan cacing pita berbentuk seperti pita dan
terdiri dari banyak segmen yang disebut proglotid. Walau bagaimanapun segmen-segmen
tersebut tidak seperti segmen yang terdapat pada segmen hewan tak bertuang belakang
yang lebih tinggi tingkatannya seperti Anelida. Cacing pita dewasa biasanya terdiri atas
kepala (Scolex), leher yang pendek, dan deretan proglotid yang disebut Strobila. Kepala
biasanya dilengkapi oleh sepasang alat penghisap dan kadang-kadang punya hooklets.
Leher tumbuh dari bagian posterior dan berakhir pada bagian ujung dimana tidak
terdapat segmen lagi. Proglotid bertambah ukurannya karena ada kontraksi dan
bermacam-macam sistem organ pada tubuhnya.
Proglotid biasanya memiliki alat kelamin baik dibagian lateral maupun pada
permukaan, tetapi beberapa spesies punya bagian yang terpisah untuk keduanya.
Tubuhnya ditutupi kutikula karena termatoda dan organ internal ototnya merupakan sel
parenkim yang juga mengandung kapur. Melingkar, lonitudinal, transversal dan otot
dorsal-ventral ada pada trematoda dan tiga syarafnya terikat pada bagian kepala yang
berasal dari serabut syaraf longitudinal. Sistem eksresinya sama seperti apa yang ada
pada trematoda.
Cacing pita merupakan hermaprodit. Organ reproduktifnya berbeda misalnya
pada taenia organ reproduksi digambarkan untuk mengidentifikasi karakteristiknya.
Masing-masing proglotid memiliki sepasang organ reproduksi yang lengkap, yaitu
ovarium dan testis, sehingga dapat mengadakan pembuahan sendiri. Walaupun
populasinya sudah diketahui diantara segmen-segmen tapi sering kali terjadi pembuahan
silang pada cacing pita yang berbeda. Dibeberapa spesies sel telur dilepaskan dari pori
genital, tetapi dikebanyakan spesies sel telur disimpan dalam segmen-segmennya sebagai
“gravid”, yang terpisah pada tiap lembar segmen didalam feses inang. Elur dalam
segmen-segmen ini mengandung embrio yang dapat berkembang menjadi onchosper, ini
semua dapat berkembang terus menerus hanya ketika mencerna dirinya sendiri.

5
Onchosper berasal dari telur dan lubang yang terdapat dari dinding usus didalam ronga
tubuh atau pada jaringan tertentu . onchosper pada cestoda yang lebih rendah berbentuk
seperti benang, dimana proscescoidnya berkembang pada inang yang kedua. Larva
tertentu pada cestoda yang lebih tinggi disebut cysticerciod yang mempunyai rongga
walaupun belum sempurna dan masih dalam proses pembentukan ekor.
2.2. Sejarah Taenia Solium
Cacing pita terdapat pada daging babi diketahui sejak zaman Hippocrates atau
mungkin sudah sejak zaman para Nabi walaupun pada waktu itu belum dapat dibedakan
antara cacing pita daging sapi dengan cacing pita daging babi sampai pada karya Geoze
(1782)Aristophane dan Aristoteles melukiskan stadium larva atau sistiserkus sellulose
pada lidah babi hutan. Gessner (1558) dan Kumier (1855) melaporkan stadium larva
pada mannusia . Kuchen meister (1855) dan Leukart (1856) adalah sarjana – sarjana
yang pertama kali mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut dan membuktikan
bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada daging babi adalah stadium larva cacing
Taenia solium. Infeksi ini ternyata sudah dikenal sejak zaman Masehi, sedang siklus
hidupnya digambarkan pada pertengahan tahun 1850 (Beaver dkk, 1984) .Cacing pita
ini ditemukan diberbagai tempat di dunia dan diperkirakan merupakan parasit manusia
yang penting terutama dimana daging babi mentah atau setengah matang dimakan
Infeksi sistiserkosis dengan (larva) Taenia solium relatif umum di tempat-tempat
tertentu di dunia ,tetapi jarang di Amerika Serikat (jung dkk, 1981; Keane 1980).
Bentuk infeksi ekstraintestinal tersebut lebih serius daripada terdapatnya cacing
dewasa di dalam usus. Taenia saginata sudah dapat dibedakan dengan Taenia solium
pada akhir tahun 1700-an tetapi sapi tidak dikenal sebagai hospes perantaranya sampai
tahun 1863 (Leukart, 1863). Infeksi ini distribusinya kosmopolit dan umumnya lebih
sering terjadi dari pada Taenia solium terutama di amerika Serikat (tabel 13.1). Secara
umum, pengaruh pada kesehatan manusia lebih ringan dibanding dengan Taenia solium
karena sistiserkosis dengan Taenia saginata jarang sekali terjadi.
2.3. Morfologi Cacing Taenia Solium
Cacing dewasa kemungkinan berukuran panjang 3-5 meter, namun juga ada
yang panjangnya mencapai 8 meter. Bagian kepala (skoleks) Taenia solium memiliki
rostelum dengan dua baris kait. Proglotid gavid panjangnya 10-12mm dan lebarnya 5-
6mm serta memiliki uterus dengan jumlah cabang 7-16.2 Setiap proglotida gravid berisi
kira-kira 30.000-50.000 telur. Setiap telur memiliki diameter 26-34μm dan berisi embrio
(onkosfer) yang memiliki 6 kait (embrio hexacanth).Cacing Taenia solium mendapat

6
nutrisi dengan cara menyerap nutrisi yang ada di usus halus. Bagian tubuh cacing ini
yang digunakan untuk mengambil nutrisi inang adalah tegumen. Tubuh cacing ini terdiri
atas tiga bagian yaitu skoleks, leher, dan strobila. Skoleks merupakan organ tubuh
cestoda yang berfungsi untuk melekat pada dinding usus. Skoleks merupakan anggota
tubuh yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies dalam genus Taenia.
Morfologi skoleks Taenia solium terdiri atas sebuah rostelum dan empat buah
batil hisap (sucker).Rostelum dan sucker tersebut dikelilingi oleh sebaris kait panjang
(180 μm) dan kait pendek (130 μm) di mana setiap barisnya tersusun atas 22-32 kait .
Stobila merupakan bagian tubuh berupa serangkaian proglotida yang berada di belakang
leher. Strobila Taenia solium tersusun atas 800 sampai 1000 segmen (proglotida).
Cacing ini tergolong sebagai hemaprodit yaitu individu yang berkelamin ganda (jantan
dan betina). Kedua organ kelamin tersebut berada pada setiap segmennya. Organ
kelamin jantan dari cacing ini terdiri dari testis, vas efferens, dan kantong cirrus. Organ
kelamin betina dari cacing ini terdiri dari ovarium, 6 tuba fallopii, uterus, saluran vitelin,
kelenjar mehlis dan vitelin, seminal receptacle, serta vagina.
Pada proglotida muda, organ kelamin belum tampak dengan jelas karena belum
berkembang dengan sempurna. Kedua organ kelamin ini akan tampak dan berkembang
pada proglotida dewasa dan akan hilang saat menjadi proglotida gravid. Zat-zat sisa
metabolisme dari Taenia solium dewasa dan metacestodanya disebut dengan
eskretori/sekretori (E/S). E/S tersebut terdiri dari glukosa, protein terlarut, asam laktat,
urea, dan amoniak. Organ ekskresi yang berfungsi untuk membuang E/S keluar tubuh
cacing ini terdiri dari collecting canal dan flame cell. Mekanisme pengeluaran E/S dari
dalam tubuh cacing ini diawali dengan menampung E/S terlebih dahulu di dalam
collecting canal. Organ ini terletak pada dorsal tubuh dan ventral tubuh. Saat collecting
canal telah penuh berisi E/S, metabolit tersebut selanjutnya disalurkan keluar tubuh oleh
flame cell. Taenia solium di dalam inang antaranya berupa metacestoda yang disebut
Cysticercus cellulosae.
Sistiserkus ini memiliki ciri morfologi yaitu berupa gelembung ellipsoid yang
berukuran 6-10 x 5-10 mm. Stuktur tubuh Cysticercus cellulosae terdiri dari kulit luar,
cairan antara, dan lapisan kecambah. Kulit luar yang melapisi sistiserkus ini berupa
lapisan kutikula, sedangkan cairan antara berupa plasma darah dari inangnya. Lapisan
kecambah berupa skoleks yang dilengkapi dua baris kait.

7
2.4. Siklus Hidup
Taenia solium yang berparasit di bagian proksimal jejunum dapat bertahan hidup
selama 25 sampai 30 tahun dalam usus halus manusia (Soulsby 1982; Chin dan Kandun
2000). Cacing ini mendapatkan nutrisinya dengan menyerap isi usus. Cacing pita dewasa
akan mulai mengeluarkan telurnya dalam tinja penderita taeniasis antara 8 -12 minggu
setelah orang yang bersangkutan terinfeksi (Chin dan Kandun 2000) Sewaktu - waktu
proglotida gravid berisi telur akan dilepaskan dari ujung strobila cacing dewasa dalam
kelompok – kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen. Prolotida gravid keluar
bersama tinja penderita. Telur dapat pula keluar dari proglotida pada waktu berada di
dalam usus manusia. Di luar tubuh telur akan menyebar ke tanah lingkungan sekitar
dimana telur tersebut mampu bertahan hidup selama 5-9 bulan (IIsoe et al.2000).
Infeksi akan terjadi apabila telur berembrio tertelan oleh babi yang merupakan
induk semang antara Taenia solium. Di dalam luimen usus halus telur akan menetas dan
mengeluarkan embrio (onkosfer). Selanjutnya onkosfer tersebut menembus dinding usus,
masuk ke pembuluh limfe atau aliran darah, dibawa ke seluruh bagian tubuh dan
akhirnya mencapai organ – organ yang disukai (predileksi) seperti otot jantung, otot
lidah , otot daerah pipi, otot antar tulang rusuk, otot paha, paru-paru,ginjal,hati. Kista
mudah terlihat pada tempat predileksi tadi antara 6 hingga 12 hari setelah infeksi.
Sistiserkus kemudian terbentuk pada organ-organ tersebut dan dikenal dengan
Cysticercus Cellulosae. Bila daging babi yang mengandung parasit ini dimkan oleh
manusia, kista akan tercerna oleh enzim pencernaan sehingga calon skoleks
(protoskoleks) akan menonjol keluar. Selanjutnya protoskoleks tersebut akan menempel
pada mukosa jejunum dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu bebrapa bulan
(Soulsby; 1982).
Cysticercus cellulosae juga dapat dijumpai pada manusia, yaitu di jaringan sub
kutan, mata, jantung dan otak (Ahuja et al.1978). Kejadian ini disebabkan tertelannya
makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh telur parasit tersebut . Sumber
kontaminasi parasit ini berupa tinja manusia yang mengandung parasit, tangan manusia
yang kotor penderita Taeniasis, dan dapat juga akibat autoinfeksi intern karena munthan
telur ke dalam lambung, akibat adanya anti peristaltik(Cheng 1986; Bakta 1987 diacu
dalam Dharmawan 1990),
2.5. Cara Mengidentifikasi Penyakit Tenia Solium
Taeniasis adalah suatu infeksi saluran pencernaan ole cacing taenia dewasa :
sistiserkoisis adalah penyakit/infeksi yang terjadi pada jaringan lunak yang disebabkan

8
oleh larva dari salah satu spesies cacing taenia yaitu Taenia solium. Gejala-gejala klinis
dari penyakit ini jika muncul sangat bervariasi seperti gangguan syaraf. insomnia,
anorexia, berat badan yang menurun,sakit perut atau gangguan pada pencernaan.
Terkecuali merasa terganggu dengan adanya segmen cacing yang muncul dari anus,
kebanyakan penyakit ini tidak menunjukkan gejala,taeniasis biasanya tidak fatal akan
tetapi pada stadium larva cacing Taenia Solium mungkin menyebabkan sistiserkosis
yang fatal.
Larva penyebab sistiserkosis pada manusia dalah larva dari cacing Taenia
Solium pada babi. Sistiserkosis ini dapat menimbulkan penyakit yang serius biasanya
menyerang SSP. Jika telur atau proglottids dari cacing yang berada dalam daging babi
termakan atau tertelan oleh manusia,maka telur tersebut akan menetas pada usus halus
dan selanjutnya larva tersebut akan migrasi ke jaringan tubuh yang lunak seperti
jaringan bawah kulit,otot,jaringan tubuh lain dan organ-organ vital dari tubuh manusia
yangkemudian yang membentuk sstisersi. Akibat buruknya mungkin terjadi jika larva
cacing tersebut tersangkut pada jaringan mata, SSP atau jantung. Jika pada sistiserkosis
somatik ini muncul gejala antara lain gejala seperti epilepsi,sakit kepala, tanda-tanda
kenaikan tekana intracranial atau gangguan psikiatri yang berat maka besar
kemungkinan sistiserkosis ada pada SSP. Neurocysticerosis dapat menyebabkan cacat
yang serius akan tetapi CFR nya rendah.
Diagnosis penyakit dapat dibuat dengan menemukan dan mengidentifikasi
proglottids (segmen), telur atau antigen dari cacing dalam tinja atau dengan cara apus
dubur. Bentuk telur cacing Taenia Solium dan Teania Sagianata sukar dibedakan.
Diagnosa spesifik dilakukan dengan cara membedakan bentuk sscolex (kepala) dan atau
morfologi dari proglottids gravid. Tes serologis spesifik akan sangat membantu dalam
mendiagnosa sistiserkosis. Untuk mengetahui adanya sistisersi pada jaringan bawah
kulit dengan visual atau preparat diagnosa pasti dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis dari spesimen yang diambil dari jaringan sistiserasi. Sistisersi yang terdapat
di jaringan otak dan jaringan lunak lain dapat didiagnosis dengan menggunakan CAT
scan atau MRI, atau dengan X-ray jika sistisersi tersebut mengalami kalsifikasi.
2.6. Cara Penularannya
Infeksi Taenia Solium terjadi karena memakan daging babi mentah atau yang
dimasak kurang matang yang mengandung Cysticerrci cacing menjadi dewasa didalam
instetinum. Namun, cysticercosis dapat terjadi karena orang tersebut menelan minuman
yang terkotaminasi atau secara langsung dari tinja orang yang terinfeksi langsung

9
kemulut penderita sendiri (autoinfeksi) atau kemulut orang lain. Apabila telur T.Solium
tertelan oleh manusia atau babi,maka embrio kn keluar dari telur,kemudin menembus
dinding usus menuju ke saluran limfe dan pembuluh darah selanjutnya dibawah
keberbagai jaringan kemudian berkembang menjadi cysticerosis.
2.7. Gejala Klinis
2.7.1. Taeniasis
Cacing dewasa yang biasanya berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis
yang berarti kecuali iritasi ringan pada tempat perlekatan atau gejala gejala abdominal
yang tersamar. Bila ada dapat berupa nyeri ulu hati ,mencret,mual, obstipasi dan sakit
kepala. Dapat dijumpai eosinofilia ringan, biasanya dibawah 15 %. (Gandahusada et al
2000). Kondisi acut dan komplikasi dapat terjadi jika ada migrasi cacing dewasa pada
tempat yang tidak umum misalnya, appendix, pankreas dan saluran empedu. Secara
psikiologis penderita dapat merasa cemas karena adanya segmen atau proglotid pada
tinja. Penderita akan merasa gatal sekitar anus dan dapat menemukan segmen pada
pakaian dalam (celana) atau tempat tidur. Segmen ini mempunyai istilah yang berbeda-
beda pada setiap daerah, misalnya di Bali dikenal dengan istilah ampas nangka, di Toraja
dengan istilah banasan dan di Sumatera Utara dengan istilah manisan (Sutisna, 19998 :
158 : Ditjen P2M & PLP, 1986 : 6).
2.7.2. Cystiserkosis
Sistiserkosis menimbulkan gejala dan efek yang beragam sesuai dengan lokasi
parasit dalam tubuh manusia. Manusia dapat terjangkit satu atau sampai ratusan
sistiserkus di jaringan tubuh yang berbeda – beda. Sistiserkus pada manusia paling sering
ditemukan di otak (disebut neurosistiserkosis) mata,otot, dan lapisan bawah kulit. Gejala
klinis biasanya ditemukan pada penderita sistiserkosis. Gejala tersebut biasanya muncul
beberapa minggu sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi (Chin
dan Khadun 2000;Gandahusada et al.2000). Pada manusia, sistiserkus sering ditemukan
pada jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot jantung, hati, paru, dan rongga perut.
Klasifikasi (perkapuran) yang sering dijumpai pada sistiserkus biasanya tidak
menimbulkan gejala,namun sewaktu – waktu dapat menyebabkan pseoduhipertrofi otot,
disertai gejala miositis, demam tinggi dan eosinofilia (Gandahusada et al.2000) .
Pada jaringan otak atau medulla spinalis, sistiserkus jarang mengalami klasifikasi.
Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan
(epilepsi), meningo –ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang
tinggi seperti nyeri kepala dan kadang –kadang kelainan jiwa. Hidrosefalus Internus dapat

10
terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan serebrospinal. Sebuah laporan menyatakan,
bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak , dapat
menyebabkan kematian (Gandahusada et al.2000).
2.8. Diagnosis Taenia Solium
Taenia Dapat ditegakkan dengan 2 cara :
2.8.1. Menanyakan riwayat penyakit (anamnesa)
Didalam anamnesis perlu ditanyakan antara lain apakah penderita pernah
mengeluarkan proglotid (segmen) dari cacing pita baik pada waktu buang air besar
maupun secara spontan.
2.8.2. Pemeriksaan Tinja
Tinja yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari deteksi spontan.
Sebaiknya diperiksa dalam keadaan segar. Bila tidak memungkinkan untuk
diperiksa segera, tinja tersebut diberi formalin 5-10% atau spirtus sebagai
pengawet. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis dilakukan antara lain dengan
metode langsung (secara relatif) bahan pengencer yang dipakai NaCl 0,9 % atau
Lugol. Pemeriksaan dengan metode langsung ini kurang sensitif dan spesifik.
Terutama telur yang tidak selalu ada dalam tinja dan secara morfologi sulit
diidentifikasi. Metode pemeriksaan lain yang lebih sensitif dan spesifik misalnya
teknis sedimentasi eter; anal swab; dan coproantigen (paling spesifik dan sensitif).
Sistiserkosis
Diagnosa sistiserkosis biasanya tergantung pada pembedahan untuk mengeluarkan
parasitnya dan pemeriksaan mikroskopik atas adanya batil isap dan kait pada skoleks.
Seringkali terdapat larva multipel dan adanya sistiserkus dalam jaringan subkutan atau
otot menunjukkan bahwa otak mungkin juga terkena. Larva yang mengalami perkapuran
dapat langsung terlihat pada sinar-X . CT Scan dapat memperlihatkan adanya lesi dalam
otak. Apabila bentuk rasemosa ada dalam otak. Apabila bentuk rasemosa ada dalam
otak, CT scan tidak dapat membedakan lesi dengan tumor – tumor yang disebabkan oleh
penyebab lainnya. Sistiserkosis mata biasanya dapat didiagnosis melalui identifikasi
visual dari gerakan dan morfologi dari larvanya. Meskipun test serologis dapat
membantu pada beberapa kasus, dapat dijumpai reaksi silang di antara sistiserkosis dan
infeksi hidatid (Schantz dkk, 1980) Dinyatakan tersangka sistiserkosis apabila pada :
a) Anamnesis :
 Berasal dari / berdomisili di daerah endemis taeniasis/ sistiserkosis
 Gejala Taenia

11
 Riwayat mengeluarkan proglotid
 Benjolan (“nodul subkutan”) pada salah satu atau lebih bagian tubuh
 Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya
 Riwayat / gejala epilepsi
 Gejala peninggian tekanan intra kranial
 Gejala neurologis lainnya
b) Pemeriksaan fisik :
 Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih
 Kelainan mata (oscular cysticercosis) dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh
sistiserkosis
 Kelainan neurologis
c) Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan tinja secara makroskopis : proglotid
 Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : Telur Taenia Sp
 Pemeriksaan serologis : sistiserkosis
 Pemeriksaan biopsi pada nodul subkutan gambaran menunjukkan patologi
anatomi yang khas untuk sistiserkosis.
Neurosistiserkosis
Dinyatakan adanya tersangka neurosistiserkosis apabila :
a) Anamnesis :
 Berasal dari / berdomisili di daerah endemis taeniasis/ sistiserkosis
 Gejala Taeniasis
 Riwayat mengeluarkan proglotid
 Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya
 Riwayat / gejala epilepsi
 Gejala neurologis lainnya
b) Pemeriksaan fisik
 Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih
 Kelainan mata (oscular cysticercosis) dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh
sistiserkosis
 Kelainan neurologis
 Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan tinja secara makroskopis : proglotid (+)
 Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : Telur Taenia Sp (+)

12
 Pemeriksaan darah tepi : Hb, Leukosit (Leukositosis), Eritrosit, hitung jenis
(eosinofilia), LED (meningkat dan gula darah)
 Pungsi Lumbal sel (eosinofil meningkat 70 %),protein (meningkat 100%),
glukosa (menurun 70 % dibandingkan dengan glukosa darah) NaCl.
 Pemeriksaan serologis (ELISA dan immunoblot): sistiserkosis (+) spesimen yang
diperiksa berupa cairan otak (LCS) kurang lebih 2-3 cc. Tempat pemeriksaan di
laboratorium yang telah ditentukan. Pengiriman spesimen cairan otak dengan
tabung / botol steril dan es batu (1 derajat C) Bila memungkinkan dilakukan
pemeriksaan foto kepala (untuk kista yang sudah mengalami kalsifikasi) dan lebih
baik lagi pemeriksaan CT- Scan (Computerized Tomography Scanning) atau
MRI.
2.9. Distrinusi Geografis
Penyebaran Taenia solium bersifat kosmopolit,terutama di negara – negara yang
mempunyai banyak peternakan babi dan di tempat daging babi banyak dikonsumsi seperti
di eropa, Amerika Latin, Republik Rakyat Cina, India, dan Amerika Utara. Penyakit ini
tidak pernah ditemukan di negara Islam yang melarang pemeliharaan dan mengkonsumsi
babi. Kasus taeniasis atau sistiserkosis juga ditemukan pada beberapa wilayah di
Indonesia, antara lain Irian Jaya, Bali, dan Sumatera Utara. Infeksi penyakit ini juga
sering dialami oleh para transmigran yang berasal dari daerah – daerah tersebut
(Gandahusada et al.2000). Penyakit yang disebabkan cacing pita ini, sering dijumpai di
daerah dimana orang – orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging babi yang
dimasak tidak sempurna. Disamping itu kondisi kebersihan lingkungan yang jelek dan
melakukan defikasi di sembarang tempat memudahkan babi mengkonsumsi tinja
manusia.
Penularan Taenia solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan jarang sekali
terjadi di Inggris, dan di negara – negara skandinavia. Penularan oral vekal oleh karena
kontak dengan imigran yang terinfeksi oleh Taenia solium dilaporkan terjadi dengan
frekuensi yang meningkat di Amerika. Para imigran dari daerah endemis nampaknya
tidak mudah untuk menyebarkan penyakit ini ke negara-negara yang kondisi sanitasinya
baik. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan
tingkat ekonomi rendah. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, masyarakatnya
juga dapat terinfeksi Taenia sp akibat perjalanan yang dilakukan di daerah endemis.
Menurut Tolan (2011) semua usia rentan terhadap infeksi teniasis. Taeniasis solium
pernah di laporkan terjadi pada anak usia 2 tahun di Mexico (Yanez, 2001).

13
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan infeksi parasit yang umum dan dapat
ditemukan pada seluruh bagian dunia (CFSPH, 2005). Sekitar 2-3 juta orang terinfeksi
cacing Taenia solium (White, 1997; CFSPH, 2005), dan sekitar 50 juta orang mengidap
sistiserkosis dari Taenia solium (CFSPH, 2005). Taenia solium merupakan infeksi
endemik pada Amerika Tengah dan selatan serta beberapa negara di Asia Tenggara
seperti Korea (Lee et al, 2010), Thailand (Anantaphrut et al, 2007), India, Filipina,
Indonesia, Afrika (Carabin et al, 2009), Eropa timur, Nepal, Bhutan, dan China
(Rajshekhar et al, 2003; WHO 2009). Prevalensi tertinggi ditemukan pada Amerika latin
dan Afrika. Provinsi Papua, tepatnya di kabupaten jayawijaya memiliki prevalensi
Taeniasis solium sebesar 15% (Subahar, et al, 2005). Distribusi sistiserkosis didunia
sangat luas. Lebih dari 50 juta orang menderita sistiserkosis, namun jumlah ini masih
diyakini melebihi jumlah yang sebenarnya (White, 1997; Wiria, 2008). Sekitar 50 juta
orang meninggal per tahun akibat komplikasi sistiserkosis pada jantung dan otak
(CFSPH, 2005; Tolan, 2011). Prevalensi sistiserkosis akibat Taenia solium paling sering
terjadi di Amerika latin, Amerika tengah dan selatan, Asia tenggara, dan Afrika sub
sahara (CFSPH, 2005; Garcia et al, 1999; WHO, 2009). Prevalensi neurosistiserkosis di
antara penderita yang kejang pada daerah endemis lebih dari 29% (WHO, 2009).
Prevalensi sistiserkosis di papua, di daerah pedesaan kabupaten jayawijaya sebesar 41,3-
66,7% (subahar et al, 2005) sedangkan di Sumatera utara prevalensi taeniasis dan
sistiserkosis sejak tahun 1972-2000 berkisar antara 1,9 %-2,29% (simanjuntak dan
Widarso, 2004).
2.10. Pengendalain Dan Upaya Pencegahannya
Pengendalian cacing pita Taenia dapat dilakukan dengan memutuskan siklus
hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing Taenia sebagai agen penyebab penyakit dapat
dilakukan melalui diagnosa dini dan pengobatan terhadap penderita yang terinfeksi.
Beberapa obat cacing yang dapat digunakan yaitu : Atabrin, Librax dan niklosamida dan
Prazikuantel. Sedangkan untuk mengobati sistiserkosis dapat digunakan Albendazola dan
dexametason. Untuk mengurangi kemungkinan infeksi oleh Taenia ke manusia, diperlukan
peningkatan daya tahan tubuh inang. Hal ini dapat dilakukan melalui vaksinasi pada
ternak, terutama pada babi didaerah endemik Taeniasis dan cysticercosis serta peningkatan
kualitas dan kecukupan gizi pada manusia. Lingkungan yang bersih sangat diperlukan
untuk memutuskan siklus hidup Taenia, karena lingkungan yang kotor dapat menyebabkan
menjadi sumber penyebaran penyakit. Pelepasan telur Taenia dalam feces ke lingkungan
menjadi sumber penyebaran taeniasis ,sistiserkosis. Faktor fresiko utama transmisi telur

14
Taenia ke babi yaitu pemeliharaan babi secara ekstensif, defikasi manusia didekat
pemeliharaan babi sehingga babi memakan feces manusia dan pemeliharaan babi dekat
manusia. Hal yang sama juga berlaku pada taenia ke sapi. Telur cacing ini dapat terbawa
oleh air ke tempat – tempat lembab sehingga telur cacing lebih lama bertahan hidup dan
penyebarannya semakin luas. Kontrol penyakit akibat Taenia dilingkungan dapat
dilakukan melalui peningkatan sarana sanitasi dan pencegahan konsumsi daging yang
terkontaminasi, pencegahan kontaminasi tanah dan tinja pada makanan dan minuman.
Pembangunan sarana sanitasi misalnya kaskus dan septic tank serta penyediaan sumber air
bersih sangat diperlukan.
Pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi dapat dilakukan melalui
pemusatan pemotongan ternak di rumah pemotongan hewan (RPH) yang diawasi oleh
dokter Hewan. Pencegahan Taeniasis yang utama adalah menghilangkan sumber infeksi
dengan mengobati semua penderita Taeniasis disuatu daerah. Pencegahan juga dapat
dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan, salah satunya dengan
menyediakan jamban keluarga. Penyediaan jamban keluarga bertujuan untuk mencegah
agar tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak mencemari tanah / rumput peternak.
Pemelihara sapi atau babi juga harus dijaga agar hewan peliharaannya tidak berkeliaran
sehingga tidak mencemari lingkungan. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan pun harus
dilakukan sehingga masyarakat tidak mengkonsumsi daging yang mengandung kista selain
itu perlu dilakukan penyuluhan mengenai bahaya mengkonsumsi daging yang
mengandung kista, oleh karena itu masyarakat juga harus mengetahui bentuk kista dalam
daging. Hal tersebut penting dilakukan di daerah yang banyak memotong babi untuk
upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali, dan Irian Jaya.
Di beberapa daerah di tanah air yang memiliki kebiasaan memakan daging
setengah matang atau mentahpun perlu dilakukan penyuluhan untuk menghilangkan
kebiasaan tersebut. Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang resiko yang akan
diperoleh apabila memakan daging mentah / setengah matang. Penting pula bagi
masyarakat untuk mengetahui manfaat memasak daging sampai matang (> 57o C dalam
waktu cukup lama) atau membekukan (< 10o C selama 5 hari). Pendekatan tersebut
biasanya tidak selalu dapat diterima oleh masyarakat setempat karena keputusan akhir
yang diambil harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah yang bersangkutan
(Primz sumber www.depkes.org.maret 2007).
TIPS penanganan daging yang higienis :
1) Sesegera mungkin daging yang telah dibeli diolah/ dimasak

15
2) Bila akan dimasak lebih dari 4 jam dianjurkan disimpan pada suhu dingin (di bawah 4 o
C)
3) Bila akan disimpan beku, dianjurkan daging dipotong – potong terlebih dahulu sesuai
kebutuhan, lalu dimasukkan kedalam kemasan atau wadah tertutup yang bersih
kemudian disimpan pada suhu dibawah -18o C.
4) Cucilah tangan sebelum dan sesudah mengolah/ memasak daging
5) Tutup luka dengan plester yang kedap air
6) Hindari bersin dan batuk langsung di depan daging
7) Usahakan ruang memasak daging bebas dari insekta (lalat,nyamuk,kecoa,semut) dan
rodensia (tikus)
8) Gunakan peralatan yang bersih untuk menyimpan, mempersiapkan, mengolah, dan
memasak daging
9) Cuci peralatan dengan baik setelah digunakan (Buletin Penyakit Zoonosa : edisi
keempat 2009)
2.11. Pengobatannya
Obat-obat untuk memberantas cacing pita dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
taeniafuge dan taeniacide. Taeniafuge ialah golongan obat yang menyebabkan relaksasi
otot cacing sehingga cacing menjadi lemas. Contohnya: kuinakrin hidroklorid (atabrin),
bitionol dan aspidium oleoresin. Sedangkan taeniacide adalah golongan obat yang dapat
membunuh cacing. Contohnya: niklosamid (yomesan), mebendazol dan diklorofen.
Cacing dewasa dianjurkan penggunaan praziquantel atau niklosamid (Sotelo dkk,
1985). Karena kemungkinan sistiserkosis dapat terjadi melalui autoinfeksi, pasien harus
segera diobati setelah diagnosis ditegakkan.
Sistiserkosis apabila memungkinkan dianjurkan tindakan bedah. Pada kasus
sistiserkosis mata, lebih dianjurkan pengambilan kista daripada enukleasi. Untuk
mencegah hilangnya bola mata, dianjurkan untuk mengambil sistiserkusnya ketika masih
hidup (Junior, 1949). Beberapa obat telah dicoba dengan derajat keberhasilan yang
berbeda–beda dalam memberantas sistiserkus; praziquantel, yang mungkin
membutuhkan pengobatan ulang (Rim dkk, 1980; Botero dan Castano, 1981); dan
metrifonat untuk sistiserkosis kutan (Tschen dkk, 1981).
Prognosis pada pasien sangat baik bila terdapat cacing dewasanya, baik bila
sistiserkus dapat diambil dengan tindakan bedah, dan buruk bila terdapat parasit dalam
bentuk rasemosa, terutama dalam otak. Beberapa regimen obat baru juga terbukti sangat
efektif untuk membunuh sistiserkus.

16
2.12. Cara Pemberantasannya
2.12.1. Cara Pencegahan
Meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan kesehatan untuk
mencegah terjadinya pencemaran atau terkontaminasi tinja terhadap
tanah,air,makanan dan pakan ternak dengan cara mencegah penggunaan air limbah
untuk irigasi: anjurkan untuk memasak daging sapi atau daging babi secra sempurna.
Lakukan diagnosa dini dan pengobatan terhadap penderita. Lakukan kewaspadaan
enterik pada institusi dimana penghuninya diketahui ada menderita infeksi T. solium
untuk mencegah terjadinya cysticercosis. Telur Taenia solium sudah infektif segera
setelah keluar melalui tinja penderita dan dapat menyebabkan penyakit yang berat
pada manusia. Perlu dilakukan tindakan tepat untuk mencegah reinfeksi dan untuk
mencegah penularan kepada kontak. Daging sapi atau daging babi yang dibekukan
pada suhu di bawah minus 5oC (23oF) selama lebih dari 4 hari dapat membunuh
cysticerci. Radiasi dengan kekuatan 1 kGy sangat efektif. Pengawasan terhadap
bangkai sapi atau bangkai babi hanya dapat mendeteksi sebagian dari bangkai yang
terinfeksi; untuk dapat mencegah penularan harus dilakukan tindakan secara tegas
untuk Membuang bangkai tersebut dengan cara yang aman, melakukan iradiasi atau
memproses daging tersebut untuk dijadikan produk yang masak. Jauhkan ternak babi
kontak dengan jamban dan kotoran manusia.
2.12.2. Pengawasan terhadap penderita, kontak dan lingkungan sekitar
 Laporan ke dinas Kesehatan setempat: Dilaporkan secara selektif, kelas
3C (lihat tentang laporan penyakit menular).
 Isolasi: Tidak dianjurkan. Kotoran orang yang terinfeksi Taenia solium
yang tidak diobati dengan baik dapat menular.
 Disinfeksi serentak: Buanglah kotoran manusia pada jamban saniter;
budayakan perilaku hidup bersih dan sehat secara ketat seperti
membiasakan cuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar
khsususnya untuk mencegah infeksi cacing Taenia solium.
 Karantina: Tidak di lakukan
 Immunisasi terhadap kontak: Tidak ada.
 Lakukan investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : Lakukan
evaluasi terhadap kontak yang menunjukkan gejala.
 Pengobatan spesifik: Praziquantel (Biltricide® )efektif untuk pengobatan
T. Saginata dan T. Solium. Niclosamide (Niclocide® ,Yomesam® ) saat ini

17
sebagai obat pilihan kedua kurang tersedia secara luas dipasarin. Untuk
cysticercosis tindakan operas (bedah) dapat menghilangkan sebagian dari
gejala penyakit tesebut. Pasien dengan cysticercosis SSP harus diobati
dengan praziquantel atau dengan albendazole di rumah sakit dengan
pengawasan ketat biasanya di berikan kortikosteroid untuk mencegah
oedem otak pada penderita cysticerci.

18
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Cestoda atau cacing pita kebanyakan darinya adalah parasit. Hampir semua
merupakan endoparasit dengan hidup dalam sisitem pencernaan pada vetebrata dan
larvanya ada di dalam jaringan vetebrata invetebrata. Tidak ada sistem pencernaan yang
didalamnya terdapat trematoda sederhana seperti cacing pita dan nutrisi yang
diserapnya melalui permukaan tubuhnya. Kebanyakan cacing pita berbentuk seperti
pita dan terdiri dari banyak segmen yang disebut proglotid. Walau bagaimanapun
segmen-segmen tersebut tidak seperti segmen yang terdapat pada segmen hewan tak
bertulang belakang yang lebih tinggi tingkatannya,seperti anelida. Cacing pita dewasa
biasanya terdiri atas kepala (scolex), leher yang pedek dan deretan proglotid yang
disebut strobila.
Pencegahan dan upaya pengendalian merupakan hal yang penting untuk
diperhatikan guna menurunkan prevalensi penyakit Taeniasis maupun sistiserkosis.
Tindakan pengendalian meliputi :
 Menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati semua penderita Taeniasis
disuatu daerah
 Meningkatkan pendidikan masyarakat dengan memberikan berbagai penyuluhan
kepada masyarakat
 Meningkatkan kebersihan Higiene, sanitasi diri dan lingkungan meliputi :
Pembangunan sarana sanitasi misalnya kaskus dan septic tank serta penyediaan
sumber air bersih
 Melakukan pemusatan pemotongan ternak di rumah pemotongan hewan (RPH)
yang diawasi oleh dokter Hewan
 Memberikan pemahaman kepada Masyarakat tentang resiko yang akan diperoleh
apabila memakan daging mentah / setengah matang. Dan pentingnya untuk
mengetahui manfaat memasak daging hingga matang.
3.2. Saran
3.2.1. Diharapkan adanya peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat sehingga
program pemberantasan penyakit cacingan dapat dilakukan dengan tuntas.
3.2.2. Diharapkan adanya peningkatan sarana sanitasi guna menunjang kehidupan
yang lebih bersih dan sehat

19
3.2.3 Diperlukan adanya terobosan baru untuk menemukan tehnik pemeriksaan yang
relatif sederhana, namun dapat memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang
lebih baik.

20

Anda mungkin juga menyukai