Anda di halaman 1dari 8

PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

(ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION)


PADA LAYANAN JASA PERBANKAN

Oleh : Muhammad Rutabuz Zaman.

Abstrak : Dalam memberikan layanan jasa perbankan, bank lebih sering berada pada
posisi dominan dibandingkan dengan nasabah debitur.Secara hukum kedudukan antara
bank dengan nasabah dalam hubungan kontraktual adalah sejajar.Dalam perjanjian,
nasabah debitur biasanya dihadapkan pada sebuah kontrak/perjanjian baku yang
disodori oleh pihak Bank dimana hampir tidak ada ruang untuk duduk bersama
membicarakan terkait dengan negosiasi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Sehingga apabila di kemudian hari timbul sengketa, nasabah tidak bisa berbuat apa-
apa.Belum lagi terkait dengan berbagai macam keluhan para nasabah yang kurang begitu
pendapatkan respon dari pihak bank.Apabila keluhan nasabah kurang mendapatkan
respon dan timbul sengketa, nasabah lebih cenderung menggunakan lembaga pengadilan
dalam menyelesaikan sengketanya.Padahal penyelesaian sengketa di pengadilan
cenderung membutuhkan waktu lama. Selain itu, putusan yang dijatuhkan seringkali
mencerminkan tidak adanya unified legal work dan unified legal opinion antara Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Dalam proses litigasi menempatkan
para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara
litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa
lain tidak membuahkan hasil.

Pendahuluan.
Perbankan mempunyai fungsi penting dan strategis dalam perekonomian
1
negara. Perbankan mempunyai fungsi utama yaitu sebagai lembaga intermediasi dalam
menghimpun dana dari masyarakat (masyarakat yang surplus) dan menyalurkannya kembali
kepada masyarakat (masyarakat yang minus). Dengan demikian bank mempunyai dua pokok
peranan pentingyaitu sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat dan sebagai lembaga
penyedia/penyalur dana bagi masyarakat.
Dalam dunia perbankan, masyarakat yang menggunakan jasa layanan perbankan disebut
sebagai nasabah.Kedudukan nasabah dalam perbankan mempunyai peranan penting.Pihak
nasabah merupakan unsur yang sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia perbankan bersandar
kepada kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah. 2 Tanpa adanya nasabah, perbankan tidak
akan bisa berjalan.Kedudukan antara bank dengan nasabah dalam hubungan kontraktual adalah
sejajar.Tidak seperti yang dipersepsikan masyarakat bahwa posisi bank lebih dominan daripada
nasabah.
Menurut hukum, kedudukan nasabah dan bank dalam pelayanan jasa perbankan,
mempunyai 2 (dua) kedudukan posisi yang berbeda secara bertimbal-balik, tergantung pada jasa
layanan yang dipergunakan. Pada perbankan, nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa

1Burhanuddin Abdullah, Jalan Menuju Stabilitas Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan,Pustaka LP3ES Indonesia,
2006, h. 2003.
2 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia,PT Citra Aditya Bhakti, 2003, h. 282.

71
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015

perbankan.Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan pelayanan jasa perbankan, berada


pada dua posisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana mereka berada. 3Apabila yang
dipergunakan adalah layanan jasa berupa penyimpanan dana, maka kedudukan hukum yang
muncul adalah nasabah sebagai kreditur dan Bank sebagai debitur. Sedangkan apabila yang
dipergunakan adalah layanan jasa berupa penyaluran dana (kredit), maka kedudukan hukum yang
muncul adalah Bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur.
Dalam memberikan layanan jasa perbankan, bank lebih sering berada pada posisi
dominan dibandingkan dengan nasabah debitur, misalnya dalam hal layanan kredit ataupun
produk-produk lainnya seperti investasi dll,yang biasanya diawali dengan adanya hubungan
perjanjian antara Bank dengan Nasabah, baik melalui perjanjian dibawah tangan maupun secara
otentik. Nasabah debitur biasanya dihadapkan pada sebuah kontrak/perjanjian baku yang
disodori oleh pihak Bank dimana hampir tidak ada ruang untuk duduk bersama membicarakan
terkait dengan negosiasihak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam perjanjian tersebut tidak
jarang nasabah debitur pada dasarnya kurang begitu memahami dengan istilah bahasa-bahasa
baku perjanjian perbankan sedangkan mereka lebih memahami bahasa yang disampaikan oleh
pihak Bank secara verbal, padahal terkadang bahasa yang disampaikannya tersebut sama sekali
tidak menjadi muatan pada materi perjanjian.Sehingga apabila di kemudian hari timbul sengketa,
nasabah tidak bisa berbuat apa-apa.Belum lagi terkait dengan berbagai macam keluhan para
nasabah yang kurang begitu pendapatkan respon dari pihak bank.
Timbulnya friksi antara bank dengan nasabah terutama disebabkan oleh 4(empat) hal
4
yaitu:
1. Informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan
bank.
2. Pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk serta jasa perbankan yang masih kurang.
3. Ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam
dana.
4. Tidak adanya saluran memadai untuk memfasilitasi penyelesaian friksi yang terjadi antara
nasabah dengan bank.
Permasalahan di atas, mungkin seringkali dialami oleh para nasabah, akan tetapi apabila
keluhan nasabah kurang mendapatkan respon dan timbul sengketa, nasabah lebihcenderung
menggunakan lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketanyatersebut. Padahal
penyelesaian sengketa di pengadilan cenderung membutuhkan waktu lama. Selain itu, putusan
yang dijatuhkan seringkali mencerminkan tidak adanya unified legal work dan unified legal opinion
antara Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.5

Pembahasan
Di dalam hukum terdapat 2 (dua) cara penyelesaian sengketa keperdataan khususnya
dalam bidang bisnis yaitu :
1. By/in court dispute settlement/Litigasi (penyelesaian sengketa di pengadilan)
2. Out of court dispute settlement/Non Litigasi (penyelesaian sengketa di luar pengadilan).

3Ibid.
4Muliaman D. Hadad, Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan
Indonesia,Http://www.bi.go,id.
5 Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum
Eksekusi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, h.5.
72
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015

Dalam Pasal 6 ayat (1)Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dijelaskan, bahwa “Sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri”.
Selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat di selesaikan di luar
pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau
Alternatif Penyelesaian Sengketa.6Secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis,
seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi,
infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan
para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi
merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak
membuahkan hasil.7
Menurut Pasal 1 angka 10Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, dijelaskan bahwa, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah
“Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.
Dalam perkembangannya, ada juga bentuk penyelesaian di luar pengadilan seperti mediasi
yang ternyata menjadi salah satu proses tahapan resmi beracara dalam penyelesaian sengketa di
pengadilan (litigasi). Sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah
Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun
2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Sehingga setiap perkara perdata tertentu yang akan
diadili oleh hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama diwajibkan
terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di pengadilan.
Lembaga mediasi sebenarnya bukanlah merupakan bagian dari lembaga litigasi, dimana
pada mulanya lembaga mediasi berada di luar pengadilan.Namun sekarang ini lembaga mediasi
sudah menyeberang memasuki wilayah pengadilan.Hal ini juga diterapkan pada negara-negara
maju pada umumnya antara lain Amerika, Jepang, Australia, Singapore yang juga mempunyai
lembaga mediasi, baik yang berada di luar maupun di dalam pengadilan dengan berbagai macam
istilah antara lain seperti Court Integrated Mediation, Court Annexed Mediation, Court Dispute Resolution,
Court Connected ADR, Court Based ADR, dan lain-lain.8
Lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan masyarakat.Dengan
demikian guna tetap menjamin kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah berusaha
melindungi masyarakat dari tindakan lembaga, ataupun oknumnya yang tidak bertanggungjawab
dan merusak sendi kepercayaan masyarakat.
Bank Indonesia sebagai pelaksana otoritas moneter mempunyai peranan yang besar dalam
usaha melindungi dan menjamin agar nasabah tidak mengalami kerugian akibat tindakan bank
yang salah. Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk
meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah dalam hubungannya dengan
bank.Berbagai regulasi dalam bidang perbankan mengenai perlindungan nasabah telah
dikeluarkan oleh Bank Indonesia diantaranya adalah :

6
Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, h. 8
7
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika, 2012, h. 1-2.
8
Rahmadi Usman Op.cit.
73
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015

1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 Tentang
Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
2. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 Tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah, sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No. 10/10/PBI/2008.
3. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Mediasi
Perbankan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/1/PBI/2008.
4. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No. 72/24/DPNP tanggal 18 Juli 2005 Tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah, sebagaimana diubah dengan SE BI No. 10/13/DPNP
tanggal 06 Maret 2008.
5. Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 Tentang Mediasi
Perbankan.
Hal ini menunjukkanbahwa pemerintah melalui Bank Indonesia mulai memperhatikan
kepentingan nasabah yang sebelumnya cenderung terabaikan, baik oleh Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
maupun tidak optimalnya pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yang mensyaratkan adanya keseimbangan perlindungan kepentingan
konsumen dan pelaku usaha.
Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/5/PBI/2006Tentang Mediasi Perbankan
Sebagaimana diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008,yang dimaksud dengan Mediasi Perbankan
adalah alternatif penyelesaian sengketa antara Nasabah dan Bank yang tidak mencapai
penyelesaian, yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna
mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh
permasalahan yang disengketakan.
Dengan lahirnya lembaga independen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Undang
Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang salah satu fungsinya
adalah melakukan pengawasan terhadap perbankan, maka fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan mediasi perbankan sejak Januari 2014 dialihkan ke Otoritas
Jasa Keuangan (OJK). Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 55 ayat (2) Undang Undang No. 21
Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), “Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas
dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih dari Bank
Indonesia ke OJK” Untuk keperluan itu, OJK telah menerbitkan sejumlah peraturan dan surat
edaran, namun tidak secara tegas mencabut Peraturan Bank Indonesia yang mengatur terkait
masalah serupa sebelumnya.Adapun beberapa regulasi yang telah dikeluarkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) adalah sebagai berikut :
1. Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan.
2. Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa.
3. Surat Edaran OJK No. 2/SEOJK.07/2014 Tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan
Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Dalam Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan, setiap Bank diwajibkan untuk memiliki unit yang dibentuk secara khusus di setiap
kantor Bank untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh konsumen tanpa
dipungut biaya. Pengaduan harus didasari atas adanya kerugian/potensi kerugian finansial pada

74
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015

konsumen karena kesalahan atau kelalaian bank. Berdasarkan PBI No. 7/7/PBI/2005 tanggal 20
Januari 2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, sebagaimana diubah dengan PBI No.
10/10/PBI/2008, pengaduan dapat dilakukan baik secara tertulis maupun secara lisanpada setiap
kantor bank terlepas dari apakah kantor bank tersebut merupakan kantor bank tempat konsumen
membuka rekening dan/atau melakukan transaksi keuangan.Atas pengaduan yang dilakukan
secara lisan tersebut bank wajib menyelesaikannya dalam jangka waktu 2 (dua) hari kerja terhitung
sejak tanggal pencatatan pengaduan. Apabila diperkirakan memerlukan waktu lebih lama, maka
petugas unit penanganan dan penyelesaian pengaduan pada kantor bank pengaduan lisan tersebut
disampaikan meminta konsumen untuk mengajukan secara tertulis. Setelah menerima pengaduan
secara tertulis dari konsumen, bank wajib menyelesaikan pengaduan terkait, paling lambat 20 (dua
puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan pengaduan tertulis oleh bank dan dapat diperpanjang
dengan lama 20 (dua puluh) hari kerja lagi dalam kondisi tertentu. Kondisi tertentu adalah :
1. Pengaduan tertulis disampaikan pada kantor bank yang berbeda dengan kantor bank tempat
terjadinya permasalahan yang diadukan, sehingga terdapat kendala komunikasi di antara kedua
kantor bank tersebut.
2. Transaksi keuangan yang diadukan konsumen memerlukan penelitian khusus terhadap
dokumen-dokumen bank.
3. Terdapat hal-hal lain di luar kendali bank memerlukan keterlibatan pihak ketiga dalam
transaksi keuangan yang dilakukan oleh konsumen. Setiap perpanjangan wajib diberitahukan
kepada konsumen yang bersangkutan.
Sesuai Surat Edaran BI No. 1/2014 penyelesaian pengaduan konsumen dapat berupa
pernyataan maaf atau ganti rugi kepada konsumen. Ganti rugi diberikan untuk kerugian yang
bersifat maretil dengan ketentuan :
1. Konsumen telah memenuhi kewajibannya.
2. Terdapat ketidaksesuaian produk dan/layanan bank yang diterima dengan yang diperjanjikan.
3. Pengaduan diajukan paling lama 30 hari sejak diketahuinya produk dan/atau layanan yang
tidak sesuai dengan perjanjian.
4. Kerugian berdampak langsung pada konsumen.
5. Ganti rugi maksimum sebesar nilai kerugian konsumen.
Jika pengaduan konsumen tidak dapat diselesaikan oleh bank, maka konsumen dapat
mengajukan sengketa melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di sektor perbankan yang
dibentuk oleh bank-bank yang dikoordinasi oleh Asosiasi Perbankan yang berwenang untuk
memeriksa sengketa dan menyelesaikannya melalui mediasi, ajudikasi atau arbitrase. Selama
lembaga yang bersangkutan masih belum terbentuk nasabah dapat mengajukan permohonan
fasilitasi sengketa secara tertulis kepada OJK, yang ditujukan kepada Anggota Dewan Komisioner
OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Direktorat Pelayanan Konsumen OJK.
Pada tanggal 28 April 2015, OJK bersama Asosiasi Perbankan telah membentuk Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia yang disingkat (LAPSPI). LAPSPI
didirikan atas kesepakatan bersama antara OJK dan 6 (Enam) asosiasi di sektor perbankan yaitu
Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Asosiasi Bank Daerah (Asbanda), Himpunan Bank
Indonesia (Himbara), Perbarindo, Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Perhimpunan
Bank Asing (Perbina), yang akan mulai beroperasi pada Januari 2016. 9
Saat ini, walaupun lembaganya sudah terbentuk, LAPSPI masih belum beroperasi,
sehingga dengan demikian penyelesaian sengketa sementara masih difasilitasi oleh
9
Http :///m.bisnis.com
75
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015

OJK.Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/5/PBI/2006Tentang Mediasi


Perbankan, sebagaimana diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008 jo Peraturan OJK No.
1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, sengketa yang dapat
diajukan penyelesaiannya adalah :
1. Sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan yang memiliki tuntutan finansial
paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
2. Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh tuntutan immaterial.
3. Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga
arbitrase atau peradilan atau lembaga mediasi dan belum pernah difasilitasi oleh OJK
4. Diajukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian
pengaduan disampaikan oleh bank kepada konsumen.
Dalam melaksanakan fasilitas penyelesaian sengketa OJK menunjuk fasilitator yang
merupakan petugas OJK di bidang edukasi dan perlindungan konsumen Direktorat Pelayanan
Konsumen OJK. Setelah itu konsumen dan bank wajib menandatangani perjanjian fasilitasi yang
pada pokoknya menyatakan konsumen dan bank telah sepakat untuk memilih penyelesaian
sengketa difasilitasi oleh OJK dan akan tunduk dan patuh pada aturan fasilitasi yang ditetapkan
oleh OJK. Proses fasilitasi paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penandatanganan fasilitasi
dan dapat diperpanjang 30 (tiga puluh) hari kerja berikutnya berdasarkankesepakatan konsumen
dan bank. Kesepakatan dituangkan dalam akta kesepakatan yang ditandatangani konsumen dan
bank.
Berdasar ketentuan Surat Edaran BI No.8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 Tentang
Mediasi Perbankan, akta kesepakatan bersifat final dan mengikat. Artinya sengketa yang telah
diselesaikan tidak dapat diajukan untuk proses fasilitasi ulang di OJK dan berlaku sebagai undang
undang bagi konsumen dan bank. Apabila tidak ada kesepakatan, maka konsumen dan bank
menandatangani berita acara hasil fasilitasi OJK yang menyatakan tidak ada kesepakatan di antara
para pihak.Sehingga dalam hal ini konsumen dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan.

Kesimpulan.
Penyelesaian sengketa alternatif pada layanan jasa perbankan dijalankan oleh Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia yang disingkat (LAPSPI). Lembaga ini
didirikan atas kesepakatan bersama antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan 6 (Enam)
asosiasi di sektor perbankan yaitu Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Asosiasi Bank Daerah
(Asbanda), Himpunan Bank Indonesia (Himbara), Perbarindo, Asosiasi Bank Syariah Indonesia
(Asbisindo), Perhimpunan Bank Asing (Perbina), yang akan mulai beroperasi pada Januari 2016.
Selama LAPSPI masih belum beroperasi, untuk sementara penyelesaian sengketa sementara
masih difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Saran.
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia atau yang disingkat
(LAPSPI) setelah terbentuk diharapkan dapat mempersiapkan segala kebutuhan yang selama ini
menjadi harapan para konsumen maupun bank dalam menyelesaikan sengketa perbankan, baik
meliputi kebutuhan akan sarana dan prasarana, tenaga, utamanya sumber daya manusia yang
kredibel, professional, berpengalaman, jujur, serta adil dan tidak memihak (imparsial). Mengingat
pada dasarnya rencana pendirian lembaga penyelesaian sengketa perbankan ini telah lama dirintis
oleh Bank Indonesia sejak tahun 2006 melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI)

76
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015

No.8/5/PBI/2006Tentang Mediasi Perbankan akan tetapi mengalami kegagalan, sehingga Bank


Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/1/PBI/2008 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/5/PBI/2006Tentang Mediasi Perbankan.
Semoga LAPSPI dapat menjawab keluhan konsumen maupun bank akan perlunya kebutuhan
penyelesaian sengketa perbankan yang efektif, efisien, murah, sederhana dan tidak memihak.

DAFTAR PUSTAKA

77
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015

Daftar Bacaan :
Burhanuddin Abdullah, Jalan Menuju Stabilitas Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan,Pustaka
LP3ES Indonesia, 2006.
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia,PT Citra Aditya Bhakti, 2003.
Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan
Standar Hukum Eksekusi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Peraturan Perundang undangan :


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/6/PBI/2005 Tentang Transparansi Informasi Produk
Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan
Nasabah.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/10/PBI/2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No. 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/1/PBI/2008 Tentang Perubahan AtasPeraturan Bank
Indonesia (PBI) No.8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan
Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan.
Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No. 72/24/DPNP/2005 Tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah
Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No.8/14/DPNP/2006 Tentang Mediasi Perbankan.
Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No. 10/13/DPNP/2008 Tentang Perubahan Atas Surat
Edaran Bank Indonesia (SE BI) No. 72/24/DPNP/2005 Tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah
Surat Edaran OJK No. 2/SEOJK.07/2014 Tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan
Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

Website :
Http://www.bi.go.id.
Http://www.hukumonline.com.

78

Anda mungkin juga menyukai