Anda di halaman 1dari 30

REFRESHING

PEMERIKSAAN NEUROLOGI

Disusun oleh:

Khoirussyifa ZN

2013730058

Pembimbing :

dr. Ricky Gusanto, K, Sp.S

STASE NEUROLOGI

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI

FAKULTAS KEDOKTERAN & KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya pada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Refreshing dengan
judul Pemeriksaan Neurologis sesuai pada waktu yang telah ditentukan.

Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga,
serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Laporan ini kami buat sebagai dasar
kewajiban dari suatu proses kegiatan yang kami lakukan yang kemudian diaplikasikan
dalam bentuk praktik kehidupan sehari-hari.

Terimakasih kami ucapkan kepada seluruh pembimbing yang telah membantu


kami dalam kelancaran pembuatan laporan kasus ini, dr. Ricky Gusanto, K, Sp.S.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.

Kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk menambah
kesempurnaan laporan kami.

Jakarta, 26 May 2018

Penyusun
PEMERIKSAAN NEUROLOGI

Pemeriksaan neurologis meliputi:


A. Kesadaran
B. Rangsang Selaput Otak
C. Saraf Otak
D. Sistem Motorik
E. Sistem sensorik refleks
F. Fungsi Luhur (Mental)

A. KESADARAN
1) Secara Kualitatif
 Compos Mentis, yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab
semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
 Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
 Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
 Somnolen, yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah
tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan)
tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
 Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
 Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
2) Secara Kuantitatif dengan GCS ( Glasgow Coma Scale )
 Membuka Mata
4 = Spontan
3 = Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata)
2 = Dengan rangsang nyeri
1 = Tidak ada reaksi
 Respons Verbal
5 = Baik dan tidak ada disorientasi
4 = Kacau “confused” (dapat bicara dalam kalimat namun ada disorientasi
waktu dan tempat)
3 = Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata namun tidak tepat)
2 = Mengerang (tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang
1 = Tidak ada jawaban
 Respons Motorik
6 = Menuruti perintah
5 = Mengetahui lokasi nyeri
4 = Reaksi menghindar
3 = Reaksi fleksi (dekortifikasi)
2 = Reaksi ekstensi (desebrasi)
1 = Tidak ada reaksi

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam


simbol E…V…M… Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi
adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

B. MEMERIKSA RANGSANG SELAPUT OTAK (IRITASI MENINGEAL)


1) Pemeriksaan Kaku kuduk
Dapat dilakukan dengan tangan kiri pemeriksa ditempatkan di bawah kepala
pasien yang sedang berbaring, tangan kanan pemeriksa diatas dada pasien.
Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada.
Kemudia perhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk, didapatkan
tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada.
2) Pemeriksaan Kernig
 Posisikan pasien untuk tidur terlentang
 Fleksikan sendi panggul tegak lurus (90°) dengan tubuh
 Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai
membentuk sudut lebih dari 135° terhadap paha.
 Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135°,
dikatakan Kernig sign positif.

3) Pemeriksaan Brudzinski
 Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan ditempatkan dibawah


kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi
ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian
kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Brudzinski I
positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut
dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

 Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)

Pasien berbaring terlentang. Satu tungkai difleksikan pada persendian


panggul, sedangkan tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi
(lurus). Bila tungkai yang satu ikut pula terfleksi, maka disebutkan tanda
brudzinski II positif.
4) Tanda Lasegue

Pasien yang sedang berbaring diluruskan (ekstensi) kedua tungkainya.


Kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) pada persendian
panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus tetap dalam keadaan ekstensi. Pada
keadaan normal, kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit
dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum kita menapai
sudut 70 derajat, amak disebut tanda Lasegue positif. Namun, pada pasien yang
sudah lanjut usia diambil patokan sudut 60 derajat.

C. MEMERIKSA NERVUS CRANIALIS


1. Nervus Olfaktorius (N. I)
Tujuannya adalah untuk mendeteksi adanya gangguan menghidu. Selain
itu unutk mengetahui apakah gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan saraf
atau penyakit hidung lokal. Kesulitan pemeriksaan yaitu tes menghidu
merupakan tes yang subyektif, tergantung dari laporan yang dialami pasien.
Cara pemeriksaan: periksa lubang hidung apakah ada sumbatan atau
kelainan setempat, misalnya ingus atau polip. Salah satu hidung pasien ditutup
dan pasien diminta untuk mencium bau-bauan tertentu yang tidak merangsang.
Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup lubang hidung
yang lainnya dengan tangan. Contoh bahan yang sebaiknya dipakai adalah: teh,
kopi, tembakau, sabun, jeruk.

Gangguan penghidu dapat berupa anosmia (hilangnya daya penghidu) dan


hiposmia (daya penghidu kurang tajam). Gangguan tersebut selalu disebabkan
oleh kerusakan nervus olfaktorius di perifer, yaitu pada fila olfaktoria (misalnya
akibat trauma pada fila di lamina kribriformis, atau efek samping obat), atau
kerusakan sentral neuron kedua di bulbus olfaktorius dan/atau traktus olfaktorius
(meningioma di sulkus olfaktorius merupakan penyebab yang umum).
Gangguan penghidu yang lain seperti parosmia (gangguan penghiduan bilamana
tercium bau yang tidak sesuai misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau
bawang goreng), hiperosmia (daya penghiduan yang terlalu peka, dapat
dijumpai pada penderita hiperemesis gravidarum atau pada migren), dan
kakosmia (Yunani; kakos: buruk, osmia: baui, adalah mempersepikan adanya
bau busuk yang padahal tidak ada). Gangguan ini biasanya disebabkan oleh
disfungsi sentral, seperti pada epilepsi lobus temporal.

2. Nervus Optikus (N. II)


Tujuan Pemeriksaan:
 Mengukur ketajaman penglihatan/visus dan menentukan apakah kelainan
pada visus disebabkan oleh kelaianan okuler lokal atau kelaianan syaraf
 Mempelajari lapangan pandangan
 Memeriksa keadaan papil optik
Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan nervus II
dan pemeriksa juga tidak mencurigai adanya gangguan, maka biasanya
dilakukan pemeriksaan nervus II, yaitu: ketajaman penglihatan dan lapangan
pandang. Bila ditemukan kelainan, dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti.
Selain itu, juga dilakukan pemeriksaan oftalmoskopik sebagai pemeriksaan rutin
dalam neurologi.
Ketajaman Penglihatan:
Dilakukan dengan cara membandingkan ketajaman penglihatan pasien
dengan pemeriksa yang normal, dengan jalan pasien disuruh melihat benda yang
letaknya jauh misal jam di dinding, membaca huruf di buku atau koran. Bila
ketajaman penglihatan pasien sama dengan pemeriksa, maka dianggap normal.
Pemeriksaan yang lebih teliti: Pemeriksaan ketajaman penglihatan yang
lebih teliti dengan pemeriksaan visus dengan menggunakan gambar snellen
(Snellen chart). Kartu Snellen ialah terdiri dari huruf-huruf yang disusun makin
ke bawah makin kecil, barisan paling bawah terdiri dari huruf-huruf paling kecil
yang oleh mata normal dapat dibaca dari jarak 6 meter. Pasien diminta untuk
melihat huruf-huruf sehingga tiap huruf dilihat dari jarak 6 meter. Tentukan
sampai barisan mana ia dapat membacanya. Bila pasien dapat membaca sampai
barisan paling bawah, maka ketajaman penglihatannya normal (6/6). Jika tidak,
maka visusnya tidak normal, dan hal ini dinyatakan dengan pecahan, misal 6/20.
Ini berarti bahwa huruf yang seharusnya dapat dibaca dari jarak 20 meter, ia
hanya dapat membacanya dari jarak 6 meter. Namun bila pasien dapat melihat
melalui lubang kecil (kertas yang berlubang, lubang jarum), huruf bertambah
jelas, maka pasien mengalami kelainan refraksi. Karena kita perlu menyelidiki
apakah gangguan ketajaman penglihatan ini disebabkan oleh kelainan
oftalmologik atau kelainan saraf.

 Bila responden belum dapat melihat huruf teratas atau terbesar dari kartu
Snellen maka mulai HITUNG JARI pada jarak 3 meter (tulis 3/60).
 Hitung jari 3 meter belum bisa terlihat maka maju 2 meter (tulis 2/60), bila
belum terlihat maju 1 meter (tulis 1/60).
 Bila belum juga terlihat maka lakukan GOYANGAN TANGAN pada jarak
1 meter (tulis 1/300).
 Goyangan tangan belum terlihat maka senter mata responden dan tanyakan
apakah responden dapat melihat SINAR SENTER (tulis 1/~).
 Bila tidak dapat melihat sinar disebut BUTA TOTAL

Lapang Pandang
Dilakukan dengan jalan membandingkan dengan penglihatan pemeriksa
yang dianggap normal, dengan menggunakan metode konfrontasi dari Donder.

a) Pasien disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan


jarak kira-kira 1 m. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri
pasien harus ditutup, misalnya dengan tangan atau kertas, sedangkan
pemeriksa harus menutup mata kanannya.
b) Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan
pemeriksa harus selalu melihat mata kanan pasien.
c) Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan
antara pemeriksa dan pasien.
d) Lakukan gerakan dari arah luar ke dalam.
e) Jika pasien mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus memberi
tahu dan dibandingkan dengan pemeriksa, apakah pemeriksa juga
melihatnya.
f) Bila sekiranya ada gangguan lapang pandang penglihatan, maka pemeriksa
akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut.
g) Lakukan pemeriksaan pada masing-masing mata pasien.

Lesi di khiasma optikum seperti tumor hipofisis, kraniofaringioma atau


meningioma tuberkulum sellae, umumnya mengenai serabut yang menyilang di
bagian sentral khiasma. Akibatnya adalah hemianopsia bitemporal yaitu
kebutaan parsial bagian temporal lapang pandang (kacamata kuda). Namun
kadang lesi khiasma dapat menimbulkan hemianopsia binasal, misalnya ketika
tumor berkembang di sekitar khiasma dan menekannya dari kedua sisi (sehingga
terutama mengenai lokasi serabut yang berada di lateral dan tidak menyilang
yang berasal dari separuh bagian temporal kedua retina, yang berperan untuk
persepsi setengah lapang pandang nasal masing-masing mata). Aneurisma arteri
karotis interna dan meningitis basilaris adalah penyebab lainnya, tetapi
hemianopsia binasal pada kasus-kasus ini jarang bersifat murni.
Lesi traktus optikus, sebaliknya, meyebabkan hemianopsia homonim,
yaitu separuh lapang pandang sisi yang sama terkena pada mata. Bila lesi pada
traktus optikus kanan, akibatnya adalah kebutaan pada separuh bagian kiri
lapang pandang pada setiap mata.

Pemeriksaan Oftalmoskopik
Biasanya perhatian dokter saraf tertuju pada perubahan papil. Papil adalah
tempat serabut nervus II memasuki mata. Yang perlu diketahui adalah apakah
papil normal, atrofi(primer atau sekunder), atau sembab papil.

3. Nervus untuk Pergerakan Bola Mata (N. III, IV, dan VI)
Tiga saraf kranial yang mempersarafi otot-otot mata: nervus
okulomotorius (N. III), nervus trhoclearis (N. IV), dan nervus abducens (N. VI).
Fungsinya adalah menggerakkan otot mata ekstraokuler dan mengangkat
kelopak mata.
Cara Pemeriksaan : Selagi wawancara dengan pasien perhatikan celah
matanya apakah ada ptosis, eksoftalmus, enoftalmus, strabismus.
- Untuk menilai tenaga m.levator palpebrae pasien disuruh memejamkan
matanya, kemudian membukanya. Waktu pasien membuka matanya, oleh
pemeriksa ditahan gerakan ini dengan menekan kelopak mata.
- Untuk menilai pupil, perhatikan bentuk pupil apakah bundar , miosis atau
midriasis. Reaksi cahaya pupil dapat langsung atau tidak langsung. Pada
pemeriksaan ini pasien disuruh melihat jauh (memfiksasi pada benda yang
jauh letaknya), setelah kita senter (beri cahaya) dan lihat apakah ada reaksi
pada pupil. Pada keadaan normal pupil akan mengecil yang disebut reaksi
cahaya langsung positif. Kemudian perhatikan juga mata yang satunya
apakah pupil ikut mengecil atau tidak.

Kelumpuhan Nervus Okulomotorius (III)


Kelumpuhan nervus okulomotorius total menimbulkan temuan sebagai berikut:
a. Ptosis, oleh karena paralisis m. levator palpebrae dan kontraksi m.
orbikularis okuli yang tidak teroposisi (lawan), yang dipersarafi oleh n.
fasialis (celah mata dapat sedikit terbuka karena kontraksi m. frontalis).
b. Posisi mata terfiksasi, melihat ke bawah dan keluar, disebabkan oleh
kontraksi m. rektus lateralis dan m. oblikus superior yang tidak teroposisi
(masing-masing dipersarafi oleh N. VI dan N. IV)
c. Dilatasi pupil akibat hilangnya kontraksi m. sfingter pupilae, yang
dipersarafi oleh parasimpatis n. okulomotorius; refleks cahaya pupil dan
refleks akomodasi menghilang, hal ini disebut sebagai oftalmoplegi interna.
Penyebab kelumpuhan n. okulomotorius terjadi pada umumnya adalah
aneurisma (sekitar 30%), tumor (sekitar 15%), dan lesi vaskuler (termasuk
diabetes, sekitar 15-20%).

Kelumpuhan Nervus Trochlearis (N. IV)


Kelumpuhan n. Trochlearis menimbulkan paresis m. oblikus superior. Mata
yang terkena berdeviasi ke atas dan sedikit ke dalam, di medial, menuju ke sisi
mata yang normal. Deviasi paling jelas, dan diplopia paling ekstrim, ketika
pasien melirik ke bawah dan ke dalam. Cara lain untuk menimbulkan deviasi
adalah dengan cara memiringkan kepala penderita ke sisi lesi, sambil
memfiksasi pandangan mata yang normal pada sebuah objek.

Kelumpuhan Nervus Abducens ( N. VI)


Mata yang terkena berdeviasi ke dalam pada tatapan primer (melihat lurus ke
depan) dan tidak dapat diabduksi, karena paresis m. rektus lateralis. Mata yang
juling ke dalam disebut juga strabismus konvergen. Ketika melihat ke arah
hidung, mata yang paresis berotasi ke atas dan dalam karena dominansi kerja m.
oblikus inferior.
4. Nervus Trigeminus (N. V)
Bagian sensorik nervus V mengurus sensibilitas dari muka melalui ketiga
cabangnya, yaitu:
a. Cabang (ramus) oftalmik, yang mengurus sensibilitas dahi, mata, hidung,
kening, selaput otak, sinus paranasal dan sebagian mukosa hidung.
b. Cabang (ramus) maksilaris, yang mengurus sensibilitas rahang atas, gigi
atas, bibir atas, pipi, palatum durum, sinus maksilaris dan mukosa hidung.
c. Cabang (ramus) mandibularis, yang mengurus sensiblitas rahang bawah, gig
bawah, bibir bawah, mukosa pipi, dua-pertiga depan lidah dan sebagian dari
telinga (eksternal), meatus dan selaput otak.

Cara pemeriksaan fungsi motorik:


- Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kita raba m.
Masseter dan m. Temporalis, perhatikan besarnya, tonus serta bentuknya.
Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikan apakah ada
deviasi rahang bawah. Bila ada parese, maka rahang bawah akan
berdeviasi ke arah yang lumpuh.
- Kekuatan otot saat menutup mulut dapat dinilai dengan menyuruh pasien
menggigit suatu benda, misalnya tong spatel kemudian ditarik dan dinilai
tahaan giginya.
- Pasien disuruh menggerakkan rahang bawah ke samping kanan dan kiri
untuk menilai m.pterigoideus lateralis. Bila terdapat parese disebelah
kanan, rahang bawah tidak dapat digerakkan ke samping kiri.
- Untuk menilai adanya lesi supranuklir diperiksa reflex rahang (jaw reflex)
yang dilakukan dengan cara satu jari pemeriksa melintang dagu pasien,
pasien disuruh membuka mulut sedikit kemudia jari pemeriksa diketok
dengan palu reflex. Pada orang normal didapatkan sedikit saja gerakan
bahakan tidak ada.

Cara Pemeriksaan Sensorik:


- Diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa nyeri, dan suhu daerah-
daerah yang disarafinya (wajah).
- Pemeriksaan refleks kornea
Kornea disentuh dengan kapas, bila normal pasien akan menutup matanya
atau menanyakan apakah pasien dapat merasakan.

( R. T. Ross. 2006.hal 91)

5. Nervus Facialis (N. VII)


Pemeriksaan fungsi motorik:
Pasien diperiksa dalam keadaan istirahat. Perhatikan wajah pasien kiri dan
kanan apakah simetris atau tidak. Perhatikan juga lipatan dahi, tinggi alis,
lebarnya celah mata, lipatan kulit nasolabial dan sudut mulut.Kemudian pasien
diminta untuk menggerakan wajahnya antara lain:
- Mengerutkan dahi, dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam.
- Mengangkat alis
- Menutup mata dengan rapat dan coba buka dengan tangan pemeriksa.
- Menyeringai
- Suruh pasien bersiul, dalam keadaan pipi mengembung tekan kiri dan
kanan apakah sama kuat. Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar ke
bagian sisi yang lumpuh.

Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu
terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer.
Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari 2
sisi, tidak lumpuh; yang lumpuh adalah bagian bawah dari wajah. Pada
gangguan N. VII jenis perifer (gangguan berada di inti atau di serabut saraf)
maka semua otot sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga termasuk cabang saraf
yang mengurus pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama saraf
fasialis.

Pemeriksaan fungsi sensorik:


Dilakukan pada 2/3 bagian lidah depan. Pada kerusakan N. VII, dapat
menyebabkan hilangnya pengecapan pada 2/3 depan lidah. Cara pemeriksaan:
- Suruh pasien untuk menjulurkan lidah
- Letakkan bubuk gula, kina, asam, garam atau sesuatu yang pahit pada
lidahnya (hal ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat)
- Jika bubuk perasa sudah diletakkan, pasien tidak boleh menarik lidahnya
ke dalam mulut, sebab bila lidah ditarik ke dalam mulut, bubuk akan
tersebar melalui ludah ke bagian yang lain, yaitu ke sisi lidah lainnya atau
ke bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain
- Penderita disuruh menyatakan /pengecapan yang dirasakan dengan isyarat,
misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4
untuk rasa asam.

6. Nervus Vestibulo-koklearis (N. VIII)


Saraf ini terdiri dari 2 bagian, yaitu saraf kokhlearis mengurus penndengaran
dan vestibularis mengurus keseimbangan.

Pemeriksaan Nervus Kokhlearis:


a. Tes Bisik
Normalnya tes bisik dapat didengar 10 – 15 meter. Tetapi biasa dipakai
patokan 6 meter. Cara melakukan tes Bisik :
- Pemeriksa berdiri di belakang pasien supaya pasien tidak dapat membaca
gerakan bibir pemeriksa.
- Perintahkan pasien untuk meletakkan satu jari pada tragus telinga yang
tidak diperiksa untuk mencegah agar pasien tidap dapat mendengar suara
dari telinga itu.
- Bisikkan kata pada telinga pasien yang akan diperiksa. Kata harus
dimengerti oleh pasien, kata dibagi atas : yang mengandung huruf lunak
(m, n, l, d, h, g) dan yang mengandung huruf desis (s, c, f, j, v, z).
- Suruh pasien untuk mengulang kata – kata tersebut.
- Sebut 10 kata (normal 80 %), yaitu 8 dari 10 kata atau 4 dari 5 kata.
- Apabila penderita tidak / kurang mendengar huruf desis → tuli persepsi.
- Apabila penderita tidak / kurang mendengar huruf lunak → tuli konduksi
b. Pemeriksaan Weber.
- Garputala ditempatkan di dahi pasien, pada keadaan normal kiri dan
kanan sama keras (pasien tidak dapat menentukan dimana yang lebih
keras).
- Pendengaran tulang mengeras bila pendengaran udara terganggu, misal:
otitis media kiri, pada test weber terdengar kiri lebih keras. Bila terdapat
”nerve deafness” di sebelah kiri, pada test weber dikanan terdengar lebih
keras.
c. Pemeriksaan Rinne
Tujuan: Membandingkan konduksi tulang dengan konduksi udara. Pada
telinga yang normal, konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang.
Garputala ditempatkan pada tulang mastoid sampai pasien tidak dapat
mendengarnya lagi. Kemudian garputala dipindahkan ke depan meatus
eksternus. Jika pada posisi yang kedua ini masih terdengar dikatakan test
positif. Pada orang normal test Rinne ini positif. Pada ”Conduction deafness”
test Rinne negatif.

d. Pemeriksaan Schwabach
Pada test ini pendengaran pasien dibandingkan dengan pendengaran
pemeriksa yang dianggap normal. Garputala dibunyikan dan kemudian
ditempatkan di dekat telinga pasien. Setelah pasien tidak mendengarkan
bunyi lagi, garputala ditempatkan di dekat telinga pemeriksa.
- Normal: jika pemeriksa sudah tak dapat mendengar suara dari garputala,
maka penderita juga tidak dapat mendengar suara dari garputala tersebut.
- Tuli Konduksi apabila pemeriksa sudah tidak dapat mendengar suara dari
garputala tetapi penderita masih dapat mendengarnya (Schwabach
memanjang).
- Tuli persepsi/sensorineural apabila pemeriksa masih dapat mendengar
suara dari garpu tala tetapi penderita sudah tidak dapat mendengar lagi.

e. Audiometri
Audiometri adalah pemeriksaan untuk menentukan jenis dan derajat ketulian
(gangguan dengar). Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan jenis ketulian
apakah :
 Tuli Konduktif
 Tuli Saraf (Sensorineural)
 Serta derajat ketulian.
Audiometer adalah peralatan elektronik untuk menguji pendengaran.
Audiometer diperlukan untuk mengukur ketajaman pendengaran: • digunakan
untuk mengukur ambang pendengaran • mengindikasikan kehilangan
pendengaran • pembacaan dapat dilakukan secara manual atau otomatis •
mencatat kemampuan pendengaran setiap telinga pada deret frekuensi yang
berbeda • menghasilkan audiogram (grafik ambang pendengaran untuk
masing-masing telinga pada suatu rentang frekuensi) • pengujian perlu
dilakukan di dalam ruangan kedap bunyi namun di ruang yang heningpun
hasilnya memuaskan • berbiaya sedang namun dibutuhkan hanya jika
kebisingan merupakan masalah/kejadian yang terus-menerus, atau selain itu
dapat menggunakan fasilitas di rumah sakit setemapat.

Pemeriksaan Nervus Vestibularis:


Gangguan saraf vestibularis dapat menyebabkan terjadinya vertigo, kehilangan
keseimbangan, nistagmus, dan salah tunjuk (“past pointing”).
a. Tes untuk nistagmus:
Simple caloric test: kepala extensi ke belakang pada sudut 60°.
Tabung penyuntik (syringe) ukuran 20 cc yang dilengkapi dengan jarum
No. 15 yang punya ujung karet diisi air yang suhunya 30° C (utuk suhu
yang dingin) dan 440C (untuk yang panas). Air tersebut dialirkan ke dalam
saluran telinga dengan kecepatan 1 cc per detik. Biasanya nistagmus yang
timbul lamanya satu sampai dua menit. Setelah istirahat lima menit,
dilakukan hal yang sama pada telinga lainnya. Dalam keadaan normal,
lamanya nistagmus untuk kedua telinga kira-kira sama. Interpretasi:
 Bila telinga kiri didinginkan (diberi air dingin) timbul nistagmus
kekanan. Bila telinga kiri dipanaskan (diberi air panas) timbul
nistagmus ke kiri. Nistagmus ini disebut sesuai dengan fasenya yaitu :
fase cepat dan fase pelan, misalnya nistagmus ke kiri berarti fase cepat
ke kiri.
 Bila ada gangguan keseimbangan maka perubahan temperatur dingin
dan panas memberikan reaksi.
 Bila kedua mata melirik ke arah telinga yang diirigasi air dingin, berarti
batang otak masih utuh; bila kedua mata tidak bergerak/tidak simetris
berarti kerusakan struktural mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik
dapat menghalangi refleks ini.

b. Tes Keseimbangan
Tes Romberg:
 Pemeriksa berdiri dalam jarak dekat untuk menjaga bila pasien jatuh.
 Pasien berdiri membuka mata. Mintalah pasien berdiri dengan kaki
berhimpitan dan ke-2 lengan disisi tubuh
 Mintalah kedua mata pasien untuk dipejamkan.
Normal adanya gerakan tubuh dengan sedikit bergoyang. Bila pasien jatuh
ke samping karena hilangnya keseimbangan (test romberg positif). Pasien
akan jatuh ke sisi lesi. Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup
badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali
lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada
kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka
maupun pada mata tertutup.
c. Tes salah tunjuk (past pointing)
Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita
disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai
menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang
dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan
terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi.

7. Nervus Glosofaringeus (N. IX) dan Nervus Vagus (N. X)


Cara pemeriksaan:
- Pasien disuruh mengucapkan kata-kata, misalnya ” Ari lari di lorong-
lorong lurus”. Perhatikan apakah pasien dapat mengucapkan kata-kata
dengan baik. Kelumpuhan saraf dapat mengakibatkan penderita tidak
mampu mengucapkan kata-kata dengan baik yaitu diasrtria.
- Pasien diminta untuk membuka mulut dan mengatakan huruf “aaah” . Jika
ada gangguan maka otot stylopharyngeus tak dapat terangkat dan
menyempit dan akibatnya rongga hidung dan rongga mulut masih
berhubungan sehingga bocor. Jadi pada saat mengucapkan huruf ”aaah”
dinding pharynx terangkat sedang yang lumpuh tertinggal, dan tampak
uvula tidak simetris tetapi tampak miring tertarik ke sisi yang sehat.

- Tes Pengecapan. Nervus IX mengandung juga serabut aferen khusus untuk


pengecapan,yaitu pengecapan 1/3 posterior lidah. Pengecapan ini tidak
diperiksa secara rutin karena sukar. Tempat pemeriksaannya di bagian
belakang lidah.

8. Nervus Accesorius (N.XI)


- Memeriksa tonus dari m. Trapezius. Lihat otot trapezius, apakah ada atrofi
atau fasikulasi, apakah bahu lebih rendah, apakh scapula menonjol. Dengan
menekan pundak pasien dan pasien diminta untuk mengangkat pundaknya,
dapat dinilai kekuatan ototnya.

- Memeriksa m. Sternocleidomastoideus. Pasien diminta untuk menoleh ke


kanan dan ke kiri dan ditahan oleh pemeriksa, kemudian dilihat dan diraba
tonus dari m. Sternocleidomastoideus. Dapat dinilai kekuatan ototnya.

9. Nervus Hipoglosus (N. XII)


Cara pemeriksaan:
Suruh pasien membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat dan
bergerak. Dalam keadaan istirahat kita perhatikan: besarnya lidah, kesamaan
bagian kiri dan kanan, adanya atrofi, fasikulasi, tremor, apakah lidah berkerut,
apakah lidahnya mencong bila digerakkan atau dijulurkan.

Dengan adanya gangguan pergerakan lidah, maka perkataan perkataan


tidak dapat diucapkan dengan baik, hal demikian disebut: dysarthri. Dalam
keadaan diam lidah tidak simetris, biasanya tergeser ke daerah lumpuh karena
tonus disini menurun. Bila lidah dijulurkan maka lidah akan membelok ke sisi
yang sakit. Melihat apakah ada atrofi atau fasikulasi pada otot lidah. Kekuatan
otot lidah dapat diperiksa dengan menekan lidah pada pipinya. Kita nilai daya
letaknya ini dengan jalan menekan jari kita pada pipi sebelah luar, Jika terdapat
parese lidah bagian kiri, lidah tidak dapat ditekankan ke pipi sebelah kanan,
tetapi dapat ditekan ke sebelah kiri.
 Lesi N. XII dapat bersifat sentral, misalnya lesi pada korteks atau kapsula
interna, yang dapat disebabkan oleh misalnya stroke. Dalam hal ini
didapatkan kelumpuhan otot lidah tanpa atrofi dan fasikulasi.
 Pada lesi di inti, didapatkan atrofi dan fasikulasi. Hal ini dapat disebabkan
oleh radang, gangguan peredarahan darah, dan neoplasma.
 Pada lesi perifer didapatkan atrofi. Hal ini disebabkan oleh proses di luar
medulla oblongata, tetapi masih ada di dalam tenggorok, misalnya trauma,
fraktur dasar tengkorak, meningitis atau dapat juga oleh kelainan yang
berada di luar tengkorak, misalnya abses, atau dislokasi vertebra sevikalis.

D. MEMERIKSA FUNGSI MOTORIK


Pemeriksaan :
1) Inspeksi
Sikap. Perhatikan sikap secara keseluruhan dan sikap tiap bagian tubuh. Jika
pasien berdiri, perhatikan sikap dan posisi badannya. Pada gangguan serebelum
berdiri dengan muka mebelok kea rah kontralateral terhadap lesi, bahunya pada
sisi agak lebih rendah dan badannya miring ke sisi lesi.

Tremor. Tremor ialah serentetan gerakan involunter, agak ritmis, merupakan


getaran, yang timbul karena berkontraksinya otot-otot yang berlawanan secara
bergantian.
 Tremor fisiologis didapatkan bila anggota gerak ditempatkan pada posisi
yang sulit atau bila melakukan gerakan volunter dengan sangat lambat.
 Tremor halus dianggap juga sebagai tremor toksik misalnya pada
hipertiroid. Tremor ini terutama pada jari tangan. Kadang-kadang tremor ini
sangat halus dan sukar dilihat.
 Tremor kasar, slah satu contohnya tremor pada Parkinson. Ini merupakan
tremor yang lambat, kasar dan majemuk.
Khorea. Khorea berarti menari dimana gerak otot berlangsung cepat, aritmik
dan kasar yang dapat melibatkan satu ekstremitas, separuh atau seluruh badan.
Atetose. Kata atetose berasal dari Bahasa Yunani yang berarti berubah.
Berlainan dengan khorea, gerakan atetose lebih lamban, dan melibatkan otot
bagian distal.
Distonia. Biasanya diawali dengan atetose kemudian terjadi torsi yang keras dan
berbelit.
Balismus. Balismus adalah gerak otot yang datang sekonyong-konyong, kasar
dan cepat, dan terutama mengenai otot-otot skelet yproksimal.
Spasme. Spasme merupakan gerakan abnormal yang terjadi karena kontraksi
otot-otot yang biasanya dipersarafi oleh satu saraf.
Tik. Tik merupakan gerakan yang terkoordinir, berulang dan melibatkan
sekelompok otot dalam hubungan yang sinergistik.
Fasikulasi. Fasikulasi meruapakan gerakan halus, cepat dan berkedut dari satu
berkas serabut otot atau satu unit motoric.

2) Palpasi
Pasien disuruh mengistirahatkan ototnya. Kemudian otot ini dipalpasi untuk
menetukan konsistensi dan nyeri tekan.Dengan palpasi dapat diketahui tonus
otot, terutama bila ada hipotoni.

3) Pemeriksaan Gerakan Pasif


Penderita disuruh mengistirahatkan ekstremitasnya kemudian digerakkan pada
persendiannya. Gerakan dibuat bervariasi sambal dinilai tahanannya.

4) Pemeriksaan Gerakan Aktif


Pada pemeriksaan ini kita nilai kekuatan otot.
0 = Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total.
1 = Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak dapat digerakkan pada
persendian yang harus digerakkan oleh otot tersebut.
2 = Didapatkan gerakan, tetapi tidak mampu melawan gaya gravitasi
3 = Dapat mengadakan gerakan melawan gravitasi.
4 = Dapat melawan gravitasi dan mengatasi sedikit tahanan yang diberikan.
5 = Tidak ada kelumpuhan ( normal ).

5) Koordinasi Gerakan
Disdiadokokinesia. Merupakan ketidakmampuan melakukan gerakan yang
berlawananan berturut-turut. Suruh pasien merentangkan kedua lengannya ke
depan, kemudian disurh mensupinasi dan pronasi lengan bawahnya secara
bergantian dan cepat. Pada sisi lesi, gerakan ini dilakukna lamban dan tidak
tangkas.
Percobaaan tunjuk hidung. Pasien disuruh menutup mata dan meluruskan
lengannya ke samping kemudian menyentuh hidungnya dengan telunjuk. Pada
lesi sereberal, telunjuk tidak sampai dihidung tetapi melewatinya dan sampai di
pipi.
Percobaan jari-jari. Penderita disuruh merentangkan kedua lengannya ke
samping sambal menutup mata kemudian mempertemukan jari-jarinya ditengah
depan. Lengan disisi lesi akan ketinggalan dalam gerakan ini dan
mengakibatkan jari sisi yang sehat melampaui tengah.
Percobaan tumit-lutut. Pasien berbaring dengan kedua tungkai diluruskan
kemudian menempatkan tumit pada lutut kaki yang lain.
Disgrafia. Hal ini biasanya dalam bentuk makrografia. Karena ada dismetria
dalam bentuk hipermetria, terlihat huruf dituliskan besar-besar dan kadang
makin lama makin besar. Selain itu, bentuk hurufnyapun tidak tidak bagus dan
kaku.

E. MEMERIKSAAN FUNGSI SENSORIK


1) Menguji sensasi nyeri: dengan menggunakan Spatel lidah yang di patahkan atau
ujung kayu aplikator kapasdigoreskan pada beberapa area kulit, Minta klien
untuk bersuara pada saat di rasakan sensasi tumpul atau tajam.
2) Menguji sensai panas dan dingin: dengan menggunakan Dua tabung tes, satu
berisi air panas dan satu air dingin, Sentuh kulit dengan tabung tersebut minta
klien untuk mengidentifikasi sensasi panas atau dingin.
3) Sentuhan ringan : dengan menggunakan Bola kapas atau lidi kapas, Beri
sentuhan ringan ujung kapas pada titik-titik berbeda sepanjang permukaan kulit
minta klien untuk bersuara jika merasakan sensasi
4) Vibrasi/getaran : dengan garputala, Tempelkan batang garpu tala yang sedang
bergetar di bagian distal sendi interfalang darijari dan sendiinterfalang dari ibu
jari kaki, siku, dan pergelangantangan. Minta klien untuk bersuara pada saat dan
tempat di rasakan vibrasi.

F. MEMERIKSA REFLEKS
1. Reflek fisiologis
Tingkat Jawaban Refleks :
- (negatif) : tidak ada refleks sama sekali
± : Kurang jawaban, jawaban lemah
+ : jawaban normal
++ : jawaban berrlebihan, refleks meningkat

- Refleks glabella
Pukulan singkat pada glabella atau sekitar supraorbitalis mengakibatka kontraksi
singkat kedua otot orbicularis okuli. Pada lesi perifer vervus fasialis, reflex ini
berkurang atau negatif.

- Refleks bisep
 Posisi: dilakukan dengan pasien duduk, dengan membiarkan lengan untuk
beristirahat di pangkuan pasien, atau membentuk sudut sedikit lebih dari 90
derajat di siku.
 Identifikasi tendon:minta pasien memflexikan di siku sementara pemeriksa
mengamati dan meraba fossa antecubital. Tendon akan terlihat dan terasa
seperti tali tebal.
 Cara : ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.biceps
brachii, posisi lengan setengah diketuk pada sendi siku.
 Respon : fleksi lengan pada sendi siku

- Refleks trisep :
 Posisi :dilakukan dengan pasien duduk. dengan Perlahan tarik lengan keluar
dari tubuh pasien, sehingga membentuk sudut kanan di bahu. atau Lengan
bawah harus menjuntai ke bawah langsung di siku
 Cara : ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada sendi siku
dan sedikit pronasi
 Respon : ekstensi lengan bawah pada sendi siku

- Refleks brachiradialis
 Posisi: dapat dilakukan dengan duduk. Lengan bawah harus beristirahat
longgar di pangkuan pasien.
 Cara: ketukan pada tendon otot brakioradialis (Tendon melintasi (sisi ibu
jari pada lengan bawah) jari-jari sekitar 10 cm proksimal pergelangan
tangan. posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi.
 Respons: - flexi pada lengan bawah
 supinasi pada siku dan tangan
- Refleks patella
 posisi klien: dapat dilakukan dengan duduk atau berbaring terlentang
 Cara : ketukan pada tendon patella
 Respon : plantar fleksi kaki karena kontraksi m.quadrisep femoris

- Refleks achiles
 Posisi : pasien duduk, kaki menggantung di tepi meja ujian. Atau dengan
berbaring terlentang dengan posisi kaki melintasi diatas kaki di atas yang
lain atau mengatur kaki dalam posisi tipe katak.
 Identifikasi tendon:mintalah pasien untuk plantar flexi.
 Cara : ketukan hammer pada tendon achilles
 Respon : plantar fleksi kaki krena kontraksi m.gastroenemius

2. Refleks Pathologis
Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada kasus-kasus tertentu.
- Reflek babinski:
 Pesien diposisikan berbaring supinasi dengan kedua kaki diluruskan.
 Tangan kiri pemeriksa memegang pergelangan kaki pasien agar kaki tetap
pada tempatnya.
 Lakukan penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior
 Respon : posisitf apabila terdapat gerakan dorsofleksi ibu jari kaki dan
pengembangan jari kaki lainnya
- Refleks chaddok
 Penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus lateralis
dari posterior ke anterior
 Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.

- Refleks schaeffer
 Menekan tendon achilles.
 Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.

- Refleks oppenheim
 Pengurutan dengan kuat tibia dan otot tibilis anterior kea rah distal.
 Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.
- Refleks Gordon
 menekan pada musculus gastrocnemius (otot betis)
 Amati ada tidaknya gerakan dorsofleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.

- Refleks gonda
 Menekan (memfleksikan) satu jari kaki, lalu melepaskannya dengan cepat.
 Amati ada tidaknya gerakan dorso fleksi ibu jari kaki, disertai mekarnya
(fanning) jari-jari kaki lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2016.

Baehr, M. dan M. Frotscher. Diagnosis Topik dan Neurologi DUUS, Anatomi Fisiologi

Tanda Gejala. Jakarta: EGC. 2010.

Andrea C. Adams,. Mayo Clinic Essential Neurology. Neurology, College of Medicine,

Mayo Clinic. 2008.

Batubara. A. Sjukri. Koma. Bagian Neurologi Kedokteran Universitas Sumatera Utara

RS Dr. Pirngadi. Medan.

R. T. Ross. How To Examine The Nervous System. Fourth Edition. 2006. Pg 91.

Humana Press Totowa, New Jersey.

Anda mungkin juga menyukai