Anda di halaman 1dari 54

Bab V

Disain perencanaan renovasi

Disain perencanaan IPAL gedung BPPT adalah suatu


perencanaan perbaikan/renovasi IPAL lama dan dimodifikasi dengan
teknologi baru yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas outlet
IPAL serta untuk meningkatkan kapasitas pengolahan dari IPAL
tersebut. Disamping itu juga ada renovasi dan modifikasi system re-
use yang telah ada. Untuk itu, maka lokasi modifikasi IPAL tersebut
juga harus dilakukan di sekitar IPAL lama. Karena modifikasi
dilakukan dengan membuat konstruksi baru, maka juga perlu
dilakukan evaluasi daya dukung dari lokasi yang tersedia.

5.1. Tinjauan Calon Lokasi IPAL

Pengembangan IPAL BPPT direncanakan dengan


melakukan modifikasi IPAL yang telah ada dan menambah
kapasitasnya dengan membangun unit pengolahan lanjut dengan
teknologi biofilter yang telah banyak diaplikasikan untuk mengolahan
limbah domestic. Sementara calon lokasi pengembangan IPAL ini
akan ditempatkan diujung lokasi parkir sepeda motor yang saat ini
merupakan lahan kosong dan digunakan untuk parkir sepeda motor
jika gedung parkir motor telah penuh. Secara detail calon lokasi yang
direncanakan ini dapat dilihat seperti pada gambar 5.1, sedangkan
foto lokasi dapat dilihat pada gambar 5.2 dan 5.3.

47
Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT
Gambar 5.1. : Calon Lokasi Pengembangan IPAL.

Gambar 5.2. : Foto Calon Lokasi Pengembangan IPAL.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 48


Gambar 5.3. : Foto Calon Lokasi Pengembangan IPAL.

Untuk melaksanakan disain stuktur IPAL ini maka diperlukan


data-data kondisi kualitas tanah. Data kualitas tanah ini diperoleh
dengan malakukan analisa sondir dan boring secara langsung di
lokasi yang direncanakan. Hasil analisa sondir dan boring
tersebut secara lengkap adalah dapat dilihat pada lampiran
laporan ini. Sedangkan Gambar 5.4. menunjukkan kegiatan sondir
di calon lokasi IPAL.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 49


Gambar 5.4 : Foto Pelaksanaan Sondir Analisa Tanah.

5.2. Teknologi Pengolahan Air Limbah Secara Fisika.

Untuk meningkatkan kualitas hasil olahan agar dapat


memenuhi baku mutu, maka akan dilakukan modifikasi IPAL yang
sudah ada. IPAL lama ini akan akan berfungsi sebagai reaktor
lumpur aktif. Kemudian setelah keluar dari reaktor lumpur aktif akan
dilakukan proses sedimentasi kemudian diteruskan dengan
pengolahan dengan proses biofilter melekat dengan teknologi
biofilter aerobic. Secara detail teknologi yang digunakan di IPAL
BPPT tersebut adalah sebagai berikut :

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 50


5.2.1. Bak Pengumpul

Pada awalnya gedung BPPT dilengkapi dengan dua jenis


bak pengumpul yang fungsinya berbeda, yaitu satu jenis untuk
mengumpulkan limbah dari celean out (CO) dan water closed (WC)
yang selanjutnya dipompa ke IPAL untuk diolah, dan jenis satunya
lagi adalah bak pengumpul yang fungsinya mengumpulkan air
limbah dari floor drain (FD) kamar mandi dan limbah ini langsung
dibuang ke saluran umum. Redisain yang akan dilakukan adalah
dengan mengubah aliran limbah dari bak pengumpul air dari floor
drain (FD) kamar mandi yang awalnya tidak diolah di IPAL akan
dialihkan menuju ke IPAL untuk diolah terlebih dahulu. Dengan
demikian, maka semua limbah cair gedung BPPT akan diolah
terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran umum.

Gambar 5.5 : Bak Pengumpul.

51
Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT
5.2.2. Unit Pemisah Minyak (Oil Trap)

Pada tahap awal pengolahan limbah yang dilakukan di IPAL


ini adalah unit pemisahan minyak. Pada tahap ini terdiri dari
pengolahan awal (primary treatment) yakni proses awal pemisahan
minyak dan penghilangan pasir (grit removal) . Proses pemisahan
minyak tersebut sangat penting untuk dilakukan karena jika
konsentrasi minyak di dalam air limbah masih tinggi maka dapat
mengganggu proses pengolahan air limbah secara kimia dan biologi
berikutnya sehingga mengakibatkan biaya pengolahan menjadi
mahal.
Pemisahan minyak (preliminary oil separation) atau
pemisahan minyak secara gravitasi (gravity oil seperation) ini adalah
merupakan proses tahap awal dari seluruh proses pengolahan air
limbah ini. Tujuan dari pemisahan oli dan minyak adalah untuk
menghilangkan oli dan senyawa hidrocarbon lainnya di dalam proses
emulsi mekanik. Air yang dihasilkan harus bebas oli & minyak
sehingga proses berikutnya dapat dilakukan dengan mudah dan
efektif. Tujuan kedua adalah untuk menghilangkan pasir dan alluvia
(tanah) yang tidak dikehendaki dalam proses berikutnya, yang dapat
mempersulit pengumpulan, pengkonsentrasian, serta dapat
mengganggu porses tahap akhir pembuangan lumpur minyak /oli
yang mengambang.
Pemisahan oli/minyak biasanya dilakukan tanpa adanya
penambahan bahan kimia. Proses ini dirancang untuk menyamakan
konsentrasi sisa HC pada inlet proses pemurnian fisika-kimia
dengan cara menurunkan laju aliran puncak HC yang masuk.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 52


Secara prinsip konsentrasi HC di dalam air limbah tidak dapat
diantisipasi atau dihitung. Pendekatan tertentu dapat dilakukan,
tetapi hanya untuk kasus efluen limbah yang sederhana misalnya
limbah dari deballasting atau produced water.
Proses pemisahan oli & minyak ini dilakukan dengan cara
gravitasi alami, dimana butiran oli/minyak naik dengan kecepatan
keatas yang dibatasi oleh berat jenisnya (specific gravity). Ada dua
jenis pemisah yang sering ditemukan, yaitu :

 Settler separators, minyak langsung dikumpulkan dari


permukaan air. Yang termasuk dalam metoda tersebut adalah
pemisah minyak API longitudinal (longitudinal API separators)
dan pemisah minyak API bentuk bulat (circular separators).
 Lamella separators atau plate separators, dimana minyak
dikumpulkan secara langsung oleh permukaan bagian bawah
plate miring dan kemudian terangkat ke permukaan. Plate
tersebut mempunyai dua fungsi. Dengan adanya plate ini butiran
minyak menempuh jalur pendek dan memberikan efek menyatu
(coalescence effect). Kedua fungsi ini sangat dipengaruhi oleh
jarak antar lamella (plates).

Untuk IPAL BPPT ini menggunakan jenis pemisahan minyak


secara gravitasi, karena minyak yang terkandung di dalam limbah
relatif mudah untuk dipisahkan dan teknologinya relatif lebih
sederhana namun dapat diterapkan dengan efektif di sini. Secara
detail gambar oil trap IPAL BPPT tersebut dapat dilihat seperti pada

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 53


Gambar 5.6. Oil trap ini juga berfungsi sebagai bak pengumpul
limbah yang bersumber di sekitar oil trap.

Gambar 5.6 : Oil Trap IPAL.

5.2.3. Screening

Pada umumnya setiap sistem pengolahan limbah cair


mempunyai unit alat penyaring awal/pendahuluan. Proses
penyaringan awal ini disebut screening dan tujuannya adalah untuk
menyaring atau menghilangkan sampah/benda padat yang besar
agar proses berikutnya dapat lebih mudah lagi menanganinya.
Dengan hilangnya sampah-sampah padat besar maka transportasi
limbah cair pasti tidak akan terganggu, misalnya bila proses
transportasi limbah cair diakomodasikan dalam sebuah saluran
terbuka atau pun tertutup yang mengalir secara gravitasi, maka tidak
akan dijumpai penyumbatan di sepanjang jaringan saluran.
Disamping itu, bila limbah cair perlu dipindahkan dengan
menggunakan pompa, maka proses screening sungguh berfungsi

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 54


menghilangkan bahan atau benda-benda yang dapat
membahayakan atau merusak pompa limbah cair tersebut. Jadi
proses screening melindungi pompa dan peralatan lainnya.

Perangkat pemroses penyaringan kasar yang biasa


digunakan dikenal pula dengan sebutan bar screen atau bar racks.
Alat ini biasanya diletakkan pada intake bak penampung limbah cair
untuk mencegah masuknya material besar seperti kayu atau daun-
daunan. Umumnya jarak antara bar yang tersusun pada rack
bervariasi antara 20 mm hingga 75 mm, bergantung pada tingkat
kapasitas dan performance unit pompa yang dipakai. Pada keadaan
tertentu biasa digunakan pula microstrainer dengan ukuran 15
hingga 64 micrometer dengan tujuan untuk menyaring organisme
plankton. Microstrainer biasa digunakan untuk limbah cair dari
reservoir pertama (awal). Microstrainer terdiri dari bingkai berbentuk
silinder yang ditutup dengan jala terbuat dari kawat tahan karat.
Pada saat silinder berputar partikel tersuspensi menempel pada
bagian dalam dari permukaan silinder yang kemudian dibersihkan
dengan semburan jet air. Gambar 5.7 adalah lokasi screen untuk
IPAL BPPT Jakarta.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 55


Gambar 5.7. : Foto Lokasi Screen IPAL BPPT.

5.2.4. Equalisasi

Karakteristik limbah yang dihasilkan dalam suatu kegiatan


pada umumnya tidak akan stabil, dan cenderung naik-turun
tergantung dari kegiatan yang sedang berlangsung. Disamping itu
jumlahnya juga tidak konstan dan periodic waktunya cenderung
tidak terkontrol. Jika dalam proses pengolahan limbah terjadi hal
seperti ini, maka akan menyulitkan dalam pengendalian proses,
bahkan resiko kegagalan proses dapat terjadi.

Untuk mengatasi hal-hal seperti tersebut di atas, maka diperlukan


adanya suatu bak menstabil karakteristik limbah dan untuk
mengontrol debit limbah yang akan masuk ke proses. Bak yang
berfungsi untuk itu disebut bak equalisasi. Jika kondisi pH limbah
tidak stabil, di dalam bak equalisasi ini sering dilengkapi dengan alat
pH control yang akan menstabilkan kondisi pH sesuai dengan

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 56


kondisi proses berikutnya yang akan dilakukan. Bak Equalisasi
bukan merupakan suatu proses pengolahan tetapi merupakan suatu
cara / teknik untuk meningkatkan efektivitas dari proses pengolahan
selanjutnya. Keluaran dari bak equalisasi adalah adalah parameter
operasional bagi unit pengolahan selanjutnya seperti flow,
level/derajat kandungan polutant, temperatur, padatan, dsb.

Gambar 5.8 : Foto Bak Equalisasi IPAL BPPT

Kegunaan dari equalisasi adalah :


1. Mengkontinyukan debit limbah yang akan diolah di IPAL
(Membagi dan meratakan volume pasokan (influent) untuk
masuk pada proses treatment.
2. Menstabilkan karakteristik limbah (meratakan variable) &
fluktuasi dari beban organik untuk menghindari shock
loading pada sistem pengolahan biologi.
3. Meratakan pH untuk meminimalkan kebutuhan chemical
pada proses netralisasi.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 57


4. Meratakan kandungan padatan (SS, koloidal, dls ), untuk
meminimalkan kebutuhan chemical pada proses koagulasi
dan flokulasi (jika diperlukan). Dilihat dari fungsinya tersebut,
unit bak equalisasi sebaiknya dilengkapi dengan mixer, atau
secara sederhana konstruksi/peletakan dari pipa inlet dan
outlet diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan efek
turbulensi mixing. Idealnya pengeluaran (discharge) dari
equalisasi dijaga konstan selama periode 24 jam, biasanya
dengan cara pemompaan maupun cara-cara lain yang
memungkinkan.

5.2.5. Sedimentasi atau Pengendapan

Sedimentasi adalah suatu unit operasi untuk menghilangkan


materi tersuspensi atau flok kimia secara gravitasi. Proses
sedimentasi pada pengolahan air limbah umumnya untuk
menghilangkan padatan tersuspensi sebelum dilakukan proses
pengolahan selanjutnya. Gumpalan padatan yang terbentuk pada
proses koagulasi masih berukuran kecil. Gumpalan-gumpalan kecil
ini akan terus saling bergabung menjadi gumpalan yang lebih besar
dalam proses flokulasi. Dengan terbentuknya gumpalan-gumpalan
besar, maka beratnya akan bertambah, sehingga karena gaya
beratnya gumpalan-gumpalan tersebut akan bergerak ke bawah dan
mengendap pada bagian dasar tangki sedimentasi.

Bak sedimentasi dapat berbentuk segi empat atau lingkaran.


Pada bak ini aliran air limbah sangat tenang untuk memberi

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 58


kesempatan padatan/suspensi untuk mengendap. Kriteria-kriteria
yang diperlukan untuk menentukan ukuran bak sedimentasi adalah :
surface loading (beban permukaan), kedalaman bak dan waktu
tinggal. Waktu tinggal mempunyai satuan jam, cara perhitungannya
adalah volume tangki dibagi dengan laju alir per hari. Beban
permukaan sama dengan laju alir (debit volume) rata-rata per hari
dibagi luas permukaan bak, satuannya m 3 per meter persegi per
hari.
Q
Vo =
A

Vo = laju limpahan/beban permukaan (m 3/m2 hari)


Q = aliran rata-rata harian, m3 per hari
A = total luas permukaan (m 2)

Beberapa kriteria desain bak pengendapan primer dapat dilihat pada


Tabel 5.1.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 59


Tabel 5.1. Kriteria Desain Bak Pengendapan Primer

Parameter Desain Harga (besaran)

Range Tipikal

Waktu Tinggal Hidrolik (Jam) 1,5 – 2,5 2,0

Overflow rate ( m3/m2.hari) -

Aliran Rata-rata 32 - 40

Aliran puncak 80 - 120 100

Weir Loading (m3/m.hari) 125 - 500 250

Dimensi :
Bentuk Persegi Panjang

Panjang (m) 15 - 90 25 - 40

Lebar (m) 3 - 24 6 - 10

Kedalaman (m) 3-5 3,6

Kecepatan pengeruk lumpur (m/menit) 0,6 – 1,2 1,0

Dimensi : Bentuk bulat (circular)

Kedalaman (m) 3-5 4,5

Diameter (m) 3,6 - 60 12 - 45

Slope dasar (mm/m) 60 - 160 80

Kecepatan sludge scrapper (r/menit) 0,02 – 0,05 0,03

Sumber : Metcalf & Eddy, 1979.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 60


Gambar 5.9 : Bak Sedimentasi IPAL BPPT.

5.2.6. Pengeringan / Pengolahan Lumpur

Lumpur yang dihasilkan dari proses sedimentasi diolah lebih


lanjut untuk mengurangi sebanyak mungkin air yang masih
terkandung didalamnya. Proses pengolahan lumpur yang bertujuan
mengurangi kadar air tersebut sering disebut dengan pengeringan
lumpur. Ada empat cara proses pengurangan kadar air, yaitu secara
alamiah, dengan tekanan (pengepresan), dengan gaya sentrifugal
dan dengan pemanasan.

Pengeringan secara alamiah dilakukan dengan mengalirkan


atau memompa lumpur endapan ke sebuah kolam pengering (drying
bed) yang mempunyai luas permukaan yang besar dengan
kedalaman sekitar 1 atau 2 meter. Proses pengeringan berjalan
dengan alamiah, yaitu dengan panas matahari dan angin yang
Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 61
bergerak di atas kolam pengering lumpur tersebut. Cara
pengeringan seperti ini tentu saja sangat bergantung dari cuaca dan
akan bermasalah bila terjadi hujan. Bila lumpur tidak mengandung
bahan yang berbahaya, maka kolam pengering lumpur dapat hanya
berupa galian tanah biasa, sehingga sebagian air akan meresap ke
dalam tanah dibawahnya. Contoh pengeringan lumpur antara lain
pengeringan lumpur dengan cara tekanan (pengepresan) dan proses
pengeringan lumpur dengan gaya centrifugal (centrifuge).

Gambar 5.10 : Potongan Pengering Lumpur Tampak Atas dan


Depan.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 62


Gambar 5.11 : Potongan Pengering Lumpur Tampak Samping.

Gambar 5.12 : Foto Pengeringan Lumpur IPAL BPPT.

5.2.7. Pengolahan Air Limbah Secara Biologi

Untuk mengolah air yang mengandung senyawa organik


umumnya menggunakan teknologi pengolahan air limbah secara
biologis atau gabungan antara proses biologis dengan proses kimia-

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 63


fisika. Proses secara biologis tersebut dapat dilakukan pada kondisi
aerobik (dengan udara), kondisi anaerobik (tanpa udara) atau
kombinasi anaerobik dan aerobik. Proses biologis aeorobik biasanya
digunakan untuk pengolahan air limbah dengan beban BOD yang
tidak terlalu besar, sedangkan proses biologis anaerobik digunakan
untuk pengolahan air limbah dengan beban BOD yang sangat tinggi.
Pengolahan air limbah secara biologis aerobik secara garis besar
dapat dibagi menjadi tiga yakni proses biologis dengan biakan
tersuspensi (suspended culture), proses biologis dengan biakan
melekat (attached culture) dan proses pengolahan dengan sistem
lagoon atau kolam.

Proses biologis dengan biakan tersuspensi adalah sistem


pengolahan dengan menggunakan aktifitas mikroorganisme untuk
menguraikan senyawa polutan yang ada dalam air dan mikro-
organime yang digunakan dibiakkan secara tersuspesi di dalam
suatu reaktor. Beberapa contoh proses pengolahan dengan sistem
ini antara lain : proses lumpur aktif standar/konvesional (standard
activated sludge), step aeration, contact stabilization, extended
aeration, oxidation ditch (kolam oksidasi sistem parit) dan lainya.

Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses


pengolahan limbah dimana mikroorganisme yang digunakan
dibiakkan pada suatu media sehingga mikroorganisme tersebut
melekat pada permukaan media. Beberapa contoh teknologi
pengolahan air limbah dengan cara ini antara lain : trickling filter atau

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 64


biofilter, rotating biological contactor (RBC), contact
aeration/oxidation (aerasi kontak) dan lainnnya.

Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan


lagoon atau kolam adalah dengan menampung air limbah pada
suatu kolam yang luas dengan waktu tinggal yang cukup lama
sehingga dengan aktifitas mikroorganisme yang tumbuh secara
alami, senyawa polutan yang ada dalam air akan terurai. Untuk
mempercepat proses penguraian senyawa polutan atau
memperpendek waktu tinggal dapat juga dilakukam proses aerasi.
Salah satu contoh proses pengolahan air limbah dengan cara ini
adalah kolam aerasi atau kolam stabilisasi (stabilization pond).
Proses dengan sistem lagoon tersebut kadang-kadang dikategorikan
sebagai proses biologis dengan biakan tersuspensi.

Secara garis besar klasifikasi proses pengolahan air limbah


secara aerobik dapat dilihat seperti pada Gambar 5.13, sedangkan
karakteristik pengolahan, parameter perencanaan serta efisiensi
pengolahan untuk tiap tiap jenis proses dapat dilihat pada Tabel 5.2
dan Tabel 5.3. Untuk memilih jenis teknologi atau proses yang akan
digunakan untuk pengolahan air limbah, beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain : karakteristik air limbah, jumlah limbah serta
standar kualitas air olahan yang diharapkan.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 65


Gambar 5.13 : Klasifikasi Proses Pengolahan Air Limbah Secara
Biologis Aerobik.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT 66


Tabel 5.2 : Karakterisitik Operasional Proses Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Biologis
EFISIENSI PENGHILANGAN BOD
JENIS PROSES (%) KETERANGAN
Lumpur Aktif Standar 85 - 95 -
Step Aeration 85 - 95 Digunakan untuk beban pengolahan yang besar.
Modified Aeration 60 - 75 Untuk pengolahan dengan kualitas air olahan sedang.
PROSES BIOMASA Contact Stabilization 80 - 90 Digunakan untuk pengolahan paket. Untuk mereduksi
TERSUSPENSI ekses lumpur.
High Rate Aeration 75 - 90 Untuk pengolahan paket, bak aerasi dan bak pengendap
akhir merupakan satu paket. Memerlukan area yang kecil.
Pure Oxygen Process 85 - 95 Untuk pengolahan air limbah yang sulit diuraikan secara
bilogis. Luas area yang dibutuhkan kecil.
Oxidation Ditch 75 - 95 Konstruksinya mudah, tetapi memerlukan area yang luas.
Trickling Filter 80 - 95 Sering timbul lalat dan bau. Proses operasinya mudah.
PROSES BIOMASA Rotating Biological Contactor 80 - 95 Konsumsi energi rendah, produksi lumpur kecil. Tidak
MELEKAT memerlukan proses aerasi.
Contact Aeration Process 80 - 95 Memungkinkan untuk penghilangan nitrogen dan
phospor.
Biofilter Unaerobic 65 - 85 memerlukan waktu tinggal yang lama, lumpur yang terjadi
kecil.
LAGOON Kolam stabilisai 60 - 80 memerlukan waktu tinggal yang cukup lama, dan area
yang dibutukkan sangat luas

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


67
Tabel 5.3 : Parameter Perencanaan Proses Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Biologis Aerobik.
BEBAN BOD EFISIENSI PENGHILANGAN
3
JENIS PROSES BOD kg/kg SS.d BOD kg/m .d MLSS (mg/lt) QA/Q T (Jam) BOD (%)

Lumpur Aktif Standar 0,2 - 0,4 0,3 - 0,8 1500 - 2000 3 -7 6-8 85 - 95

Step Aeration 0,2 - 0,4 0,4 - 1,4 1000 - 1500 3-7 4-6 85 - 95

Modified Aeration 1,5 - 3,0 0,6 - 2,4 400 - 800 2 - 2,5 1,5 - 30 60 - 75

Contact Stabilization 0,2 0,8 - 1,4 2000 - 8000 > 12 >5 80 - 90


PROSES
High Rate Aeration 0,2 - 0,4 0,6 - 2,4 3000 - 6000 5-8 2-3 75 - 90
BIOMASA
Pure Oxygen Process 0,3 - 0,4 1,0 - 2,0 3000 - 4000 - 1-3 85 - 95
TERSUSPENSI
Oxidation Ditch 0,03 - 0,04 0,1 - 0,2 3000 - 4000 - 24 -48 75 - 95

Extended Aeration 0,03 - 0,05 0,15 - 0,25 3000 - 6000 > 15 16 - 24 75 - 95

Trickling Filter - 0,08 - 0,4 - - - 80 - 95

PROSES Rotating Biological Contactor - 0,01 - 0,3 - - - 80 - 95

BIOMASA Contact Aeration Process - - - - - 80 - 95


MELEKAT Biofilter Unaerobic - - - - - 65 - 85
CATATAN : Q : Debit Air Limbah (M3/day) Qr : Return Sludge (M3/day) QA : Laju Alir Suplai Udara (M3/day)

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


68
5.2.7.1. Pengolahan Air Limbah Dengan Proses Lumpur Aktif

Pengolahan air limbah dengan proses lumpur aktif


konvensional (standar) secara umum terdiri dari bak pengendap
awal, bak aerasi dan bak pengendap akhir, serta bak khlorinasi
untuk membunuh bakteri patogen. Secara umum proses
pengolahannya adalah sebgai berikut. Air limbah yang berasal dari
ditampung ke dalam bak penampung air limbah. Bak penampung ini
berfungsi sebagai bak pengatur debit air limbah serta dilengkapi
dengan saringan kasar untuk memisahkan kotoran yang besar.
Kemudian, air limbah dalam bak penampung di pompa ke bak
pengendap awal.

Bak pengendap awal berfungsi untuk menurunkan padatan


tersuspensi (Suspended Solids) sekitar 30 - 40 %, serta BOD sekitar
25 %. Air limpasan dari bak pengendap awal dialirkan ke bak aerasi
secara gravitasi. Di dalam bak aerasi ini air limbah dihembus
dengan udara sehingga mikro organisme yang ada akan
menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah. Energi yang
didapatkan dari hasil penguraian zat organik tersebut digunakan oleh
mikrorganisme untuk proses pertumbuhannya. Dengan demikian
didalam bak aerasi tersebut akan tumbuh dan berkembang biomasa
dalam jumlah yang besar. Biomasa atau mikroorganisme inilah yang
akan menguraikan senyawa polutan yang ada di dalam air limbah.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


69
Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di
dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung massa mikro-
organisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagian inlet bak
aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Air limpasan (over flow) dari
bak pengendap akhir dialirkan ke bak khlorinasi. Di dalam bak
kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor
untuk membunuh micro-organisme patogen. Air olahan, yakni air
yang keluar setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke
sungai atau saluran umum. Dengan proses ini air limbah dengan
konsentrasi BOD 250 -300 mg/lt dapat di turunkan kadar BOD nya
menjadi 20 -30 mg/lt. Skema proses pengolahan air limbah dengan
sistem lumpur aktif standar atau konvesional dapat dilihat pada
Gambar 5.14.

Gambar 5.14 : Diagram Proses Pengolahan Air Limbah Dengan


Proses Lumpur Aktif Standar (Konvensional).

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


70
Gambar 5.15 : Contoh Foto Pengolahan Air Limbah Dengan Proses
Lumpur Aktif Standar (Konvensional).

Surplus lumpur dari bak pengendap awal maupun akhir


ditampung ke dalam bak pengering lumpur, sedangkan air
resapannya ditampung kembali di bak penampung air limbah.
Keunggulan proses lumpur aktif ini adalah dapat mengolah air
limbah dengan beban BOD yang besar, sehingga tidak memerlukan
tempat yang besar. Proses ini cocok digunakan untuk mengolah air
limbah dalam jumlah yang besar. Sedangkan beberapa
kelemahannya antara lain yakni kemungkinan dapat terjadi bulking
pada lumpur aktifnya, terjadi buih, serta jumlah lumpur yang
dihasilkan cukup besar.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


71
Variabel Operasional Di Dalam Proses Lumpur Aktif

Variabel perencanan (design variabel) yang umum


digunakan dalam proses pengolahan air limbah dengan sistem
lumpur aktif (Davis dan Cornwell, 1985; Verstraete dan van
Vaerenbergh, 1986) adalah sebagai berikut:

1. Beban BOD (BOD Loading rate atau Volumetric Loading rate).


Beban BOD adalah jumlah massa BOD di dalam air limbah yang
masuk (influent) dibagi dengan volume reaktor. Beban BOD
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Q x S0
Beban BOD = kg/m3.hari ……………(5.1)
V
Dimana :
Q = debit air limbah yang masuk (m3/hari)
S0 = Konsentrasi BOD di dalam air limbah yang
masuk (kg/m3)
V = Volume reaktor (m3)

2. Mixed-liqour suspended solids (MLSS). Isi di dalam bak aerasi


pada proses pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif
disebut sebagai mixed liqour yang merupakan campuran antara
air limbah dengan biomassa mikroorganisme serta padatan
tersuspensi lainnya. MLSS adalah jumlah total dari padatan
tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


72
di dalamnya adalah mikroorganisme. MLSS ditentukan dengan
cara menyaring lumpur campuran dengan kertas saring (filter),
kemudian filter dikeringkan pada temperatur 1050C, dan berat
padatan dalam contoh ditimbang.

3. Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material


organik pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material
organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran
sel (Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur dengan
memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada 600 -
6500C, dan nilainya mendekati 65-75% dari MLSS.

4. Food - to - microorganism ratio atau Food – to - mass ratio


disingkat F/M Ratio. Parameter ini menujukkan jumlah zat
organik (BOD) yang dihilangkan dibagi dengan jumlah massa
mikroorganisme di dalam bak aerasi atai reaktor. Besarnya nilai
F/M ratio umunya ditunjukkan dalam kilogram BOD per kilogram
MLLSS per hari (Curds dan Hawkes, 1983; Nathanson, 1986).
F/M dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:

Q (S0 – S)
F/M = …………………(5.2)
MLSS x V
dimana :
Q = Laju alir limbah Juta Galon per hari (MGD)
Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT
73
S0 = Konsentrasi BOD dalam air limbah Yang
masuk ke bak areasi
(reaktor) (kg/m3)
S = Konsentrasi BOD di dalam efluent(kg/m 3)
MLSS = Mixed liquor suspended solids (kg/m3)
V = Volume reaktor atau bak aerasi (m 3)
Rasio F/M dapat dikontrol dengan cara mengatur laju sirkulasi
lumpur aktif dari bak pengendapan akhir yang disirkulasi ke bak
aerasi. Lebih tinggi laju sirkulasi lumpur aktif lebih tinggi pula
rasio F/M-nya. Untuk pengolahan air limbah dengan sistem
lumpur aktif konvensional atau standar, rasio F/M adalah 0,2 -
0,5 kg BOD5 per kg MLSS per hari, tetapi dapat lebih tinggi
hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni (Hammer, 1986).
Rasio F/M yang rendah menujukkan bahwa mikroorganisme
dalam tangki aerasi dalam kondisi lapar, semakin rendah rasio
F/M pengolah limbah semakin efisien.

5. Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik (HRT)


adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh larutan influent
masuk dalam tangki aerasi untuk proses lumpur aktif; nilainya
berbanding terbalik dengan laju pengenceran (dilution rate, D)
(Sterritt dan Lester, 1988).

HRT = 1/D = V/ Q …………………(5.3)

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


74
dimana :
V = Volume reaktor atau bak aerasi (m 3).
Q = Debit air limbah yang masuk ke dalam tangki
aerasi (m3/jam)
D = Laju pengenceran (jam -1).

6. Ratio Sirkulasi Lumpur (Hidraulic Recycle Ratio, HRT). Ratio


sirkulasi lumpur adalah perbandingan antara jumlah lumpur yang
disirkulasikan ke bak aerasi dengan jumlah air limbah yang
masuk ke dalam bak aerasi.

7. Umur lumpur (sludge age) atau sering disebut waktu tinggal rata-
rata cel (mean cell residence time). Parameter ini adalah
menujukkan waktu tinggal rata-rata mikroorganisme dalam
sistem lumpur aktif. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam,
maka waktu tinggal sel mikroba dalam bak aerasi dapat dalam
hitungan hari. Parameter ini berbanding terbalik dengan laju
pertumbuhan mikroba. Umur lumpur dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut (Hammer, 1986; Curds dan Hawkes,
1983) :

MLSS x V
Umur Lumpur (Hari) = ......(5.4)
SSe x Qe + SSw X Qw

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


75
dimana :
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l).
V = Volume bak aerasi (L)
SSe = Padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l)
SSw = Padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l)
Qe = Laju effluent limbah (m 3/hari)
Qw = Laju influent limbah (m 3/hari).

8. SVI ( Sludge Volume Index ) adalah parameter yang


menunjukkan volume lumpur aktif dalam satu liter
campuran lumpur aktif dan air limbah setelah diendapkan.
Pengukuran SVI dilakukan dalam gelas ukur dan waktu
pengendapan adalah 30 menit. Rumus untuk menghitung SVI
adalah sebagai berikut:
V
SVI = ......(5.5)
M
dimana :
V = Volume lumpur aktif setelah 30 menit
mengendap (ml)
M = Jumlah lumpur aktif dalam endapan (g)

Nilai SVI yang ideal untuk proses lumpur aktif adalah berkisar
antara 50 – 100 (ml/g) (degreemont 1991)

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


76
Masalah Yang Sering Muncul Dalam Proses Lumpur Aktif

Tabel 5.4 : Masalah Yang Sering Terjadi Pada Lumpur Aktif.


No Jenis Penyebab Pengaruh
Masalah Masalah Terhadap Sistem
1 Pertumbuhan Mikro-organisme yang ada di dalam Efluent menjadi tetap keruh.
terdispersi sistem lupur aktif tidak membentuk flok Sludge yang mengendap pada
(Dispersed yang cukup besar, tetapi terdispersi bak pengendap akhir kecil
Growth) menjadi flok yang sangat kecil atau sehingga jumlah sirkulasi
merupakan sel tunggal sehingga sulit lumpur berkurang.
mengendap.
2 Slime (Jelly) ; Mikro-orgainsme berada dalam jumlah Menurunkan kecepatan
nonfilamentous yang sangat besar khususnya zooglea pengen-dapan lumpur dan
bulking atau dan membentuk exo-polysacarida dalam mengurani kecepatn kompaksi
viscous bulking jumlah yang besar. lumpur. Pada kondisi yang
buruk meng-akibatkan
terlepasnya lumpur di bak
pengendapan akhir.
3 Pin Flock atau Terbentuknya flok berbentuk bola kasar SVI rendah, dan efluen
Pinpoint Flock dengan ukuran yang sangat kecil, mempunyai kekeruhan yang
kompak. Ukran flok yang lebih besar tinggi.
mempunyai kecepatan pengendapan
yang lebih besar, sedangkan agregat
yang lebih kecil mengendap lebih lambat.
4 Filamentous Terjadi ekses pertumbuhan mikro- Mengurangi efektifitas
Bulking organisme filamentous dalam jumlah kompaksi lumpur.
yang besar.
5 Rising Sludge Merupakam ekses proses denitrifikasi Efluen yang keruh dan
(blanket rising) sehingga partikel lumpur menempel pada menurunkan efisiensi
gelembung gas nitrogen yang terbentuk penghilangan BOD.
dan naik kepermukaan.
6 Foaming atau Adanya senyawa surfactant yand tidak Terjadi buih pada permukaan
pembentukan dapat terurai dan akibat berkembang- bak aerasi dalam jumlah yang
buih (scum) biaknya Nocardia dan Microthrix besar yang dapat melampui
parvicella ruang bebas dan melimpah ke
bak pengendapan akhir.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


77
5.2.7.2. Pengolahan Limbah Dengan Proses Film Mikrobiologis
(Biofilm)

Untuk meningkatkan kualitas hasil air olahan IPAL ini,


sistem proses lumpur aktif IPAL gedung gedung BPPT ini
dikombinasi dengan reaktor biofilter/biofilm. Proses tersebut dapat
dilakukan dalam kondisi aerobik, anaerobik atau kombinasi
anaerobik dan aerobik. Proses aerobik dilakukan dengan kondisi
adanya oksigen terlarut di dalam reaktor air limbah, dan proses
anaerobik dilakukan dengan tanpa adanya oksigen dalam reaktor air
limbah. Sedangkan proses kombinasi anaerob-aerob adalah
merupakan gabungan proses anaerobik dan proses aerobik. Proses
ini biasanya digunakan untuk menghilangan kandungan nitrogen di
dalam air limbah. Pada kondisi aerobik terjadi proses nitrifikasi yakni
nitrogen ammonium diubah menjadi nitrat (NH4+  NO3 ) dan pada
kondisi anaerobik terjadi proses denitrifikasi yakni nitrat yang
terbentuk diubah menjadi gas nitrogen (NO3  N2 ).

Prinsip Pengolahan Air Limbah Dengan Sistem Biofilm

Mekanisme proses metabolisme di dalam sistem biofilm


secara aerobik secara sederhana dapat diterangkan seperti pada
Gambar 5.16. Gambar tersebut menunjukkan suatu sistem biofilm
yang yang terdiri dari medium penyangga, lapisan biofilm yang
melekat pada medium, lapisan air limbah dan lapisan udara yang
terletak diluar. Senyawa polutan yang ada di dalam air limbah

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


78
misalnya senyawa organik (BOD, COD), ammonia, phospor dan
lainnya akan terdifusi ke dalam lapisan atau film biologis yang
melekat pada permukaan medium.

Gambar 5.16 : Mekanisme Proses Metabolisme di Dalam Sistem


Biofilm.

Pada saat yang bersamaan dengan menggunakan oksigen


yang terlarut di dalam air limbah senyawa polutan tersebut akan
diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di dalam lapisan biofilm
dan energi yang dihasilhan akan diubah menjadi biomasa. Suplai
oksigen pada lapisan biofilm dapat dilakukan dengan beberapa cara
misalnya pada sistem RBC yakni dengan cara kontak dengan udara
luar, pada sistem “Trickling Filter” dengan aliran balik udara,

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


79
sedangkan pada sistem biofilter tercelup dengan menggunakan
blower udara atau pompa sirkulasi.

Proses Pengolahan Biologis Secara Aerob

Di dalam proses pengolahan air limbah organik secara biologis


aerobik, senyawa komplek organik akan terurai oleh aktifitas
mikroorganisme aerob. Mikroorganisme aerob tersebut di dalam
aktifitasnya memerlukan oksigen atau udara untuk memecah
senyawa organik yang komplek menjadi CO2 (karbon dioksida) dan
air serta ammonium, selanjutnya ammonium akan dirubah menjadi
nitrat dan H2S akan dioksidasi menjadi sulfat. Secara sederhana
reaksi penguraian senyawa organik secara aerobik dapat
digambarkan sebagai berikut :

Reaksi Penguraian Organik :


Oksigen (O2)
Senyawa Polutan organik CO2 + H20 + NH4 + Biomasa
Heterotropik
Reaksi Nitrifikasi :
NH4+ + 1,5 O2 -----> NO2- + 2 H+ + H2O
NO2- + 0,5 O2 ------> NO3 -

Reaksi Oksidasi Sulfur :


S2 - + ½ O2 + 2 H+ ----- > SO + H2O
2 S + 3 O2 + 2 H2O ----> 2 H2SO4

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


80
Berbeda dengan proses anaerob, beban pengolahan pada proses
aerob lebih rendah, sehingga prosesnya ditempatkan sesudah
proses anaerob. Pada proses aerob hasil pengolahan dari proses
anaerob yang masih mengandung zat organik dan nutrisi diubah
menjadi sel bakteri baru, hidrogen maupun karbon dioksida oleh sel
bakteri dalam kondisi cukup oksigen. Modifikasi biofilter di dalam
sistem IPAL gedung BPPT ini dapat dilihat seperti pada gambar 5.17
s/d 3.10 sebagai berikut :

Gambar 5.17 : Kombinasi Proses Lumpur Aktif dan Biofilter IPAL


BPPT Jakarta.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mekanisme Proses Aerob

1) Temperatur
Temperatur tidak hanya mempengaruhi aktivitas
metabolisme dari populasi mikroorganisme, tetapi juga
Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT
81
mempengaruhi beberapa faktor seperti kecepatan transfer
gas dan karakteristik pengendapan lumpur. Temperatur
optimum untuk mikroorganisme dalam proses aerob tidak
berbeda dengan proses anaerob.
2) Keasaman (pH)
Nilai pH merupakan faktor kunci bagi pertumbuhan
mikroorganisme. Beberapa bakteri dapat hidup pada pH
diatas 9,5 dan di bawah 4,0. Secara umum pH optimum bagi
pertumbuhan mikroorganisme adalah sekitar 6,5-7,5.
3) Waktu Tinggal Hidrolis (WTH)
Waktu Tinggal Hidrolis (WTH) adalah waktu perjalanan
limbah cair di dalam reaktor, atau lamanya proses
pengolahan limbah cair tersebut. Semakin lama waktu
tinggal, maka penyisihan yang terjadi akan semakin besar.
Sedangkan waktu tinggal pada reaktor aerob sangat
bervariasi dari 1 jam hingga berhari-hari.

4) Nutrien
Di samping kebutuhan karbon dan energi, mikroorganisme
juga membutuhkan nutrien untuk sintesa sel dan
pertumbuhan. Kebutuhan nutrien tersebut dinyatakan dalam
bentuk perbandingan antara karbon dan nitrogen serta
phospor yang merupakan nutrien anorganik utama yang
diperlukan mikroorganisme dalam bentuk BOD : N : P

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


82
Media Biofilter

Media biofilter termasuk hal yang penting, karena sebagai


tempat tumbuh dan menempel mikroorganisme, untuk mendapatkan
unsur-unsur kehidupan yang dibutuhkan-nya, seperti nutrien dan
oksigen. Dua sifat yang paling penting yang harus ada dari media
adalah :
 Luas permukaan dari media, karena semakin luas
permukaan media maka semakin besar jumlah biomassa
per-unit volume.
 Persentase ruang kosong, karena semakin besar ruang
kosong maka semakin besar kontak biomassa yang
menempel pada media pendukung dengan substrat yang
ada dalam air buangan

Untuk mendapatkan permukaan media yang luas, media dapat


dimodifikasikan dalam berbagai bentuk seperti bergelombang, saling
silang, dan sarang tawon.

Media yang digunakan dapat berupa kerikil, batuan, plastik


(polivinil chlorida), pasir, dan partikel karbon aktif. Untuk media
biofilter dari bahan organik banyak yang dibuat dengan cara dicetak
dari bahan tahan karat dan ringan misalnya PVC dan lainnya,
dengan luas permukaan spesifik yang besar dan volume rongga
(porositas) yang besar, sehingga dapat melekatkan mikroorganisme
dalam jumlah yang besar dengan resiko kebuntuan yang sangat

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


83
kecil. Dengan demikian memungkinkan untuk pengolahan air limbah
dengan beban konsentrasi yang tinggi serta efisiensi pengolahan
yang cukup besar. Salah Satu contoh media biofilter yang banyak
digunakan yakni media dalam bentuk sarang tawon (honeycomb
tube) dari bahan PVC. Kelebihan dalam menggunakan media
plastik tersebut antara lain:
 Mempunyai luas permukaan per m 3 volume sebesar 150 – 240
m2/m3
 Volume rongga yang besar dibanding media lainnya.
 Penyumbatan pada media yang terjadi sangat kecil.

Beberapa contoh perbandingan luas permukaan spesifik


dari berbagai media biofilter dapat dilihat pada Tabel 5.5 :

Tabel 5.5. : Perbandingan Luas Permukaan Spesifik Media Biofilter


No Jenis Media Luas Permukaan spesifiik
(m2/m3)
1. Trickling filter dengan 100 – 200
batu pecah
2. Model sarang tawon 150 – 240
(honeycomb modul)
3. Tipe jaring 50
4. RBC 80 – 150

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


84
Gambar 5.18 : Foto Media Sarang Tawon

5.2.8. Disinfektan

Disinfeksi adalah proses penghancuran atau pembunuhan


mikroorganisme penyebab penyakit (pathogen). Jadi disinfeksi
menghilangkan semua mikroorganisme pathogen dari air yang
mengalami pengolahan tersebut. Proses ini pada umumnya
merupakan proses pada tahap akhir dalam satu rangkaian proses
pengolahan air limbah sebelum dibuang ke saluran umum. Setelah
proses disinfeksi ini, masih ada beberapa jenis mikroorganisme yang
tetap bertahan hidup di dalam air yang diolah tersebut. Pada
Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT
85
umumnya terjadi penghancuran virus, bakteri dan protozoa yang
terdapat dalam air.
Beberapa metode disinfeksi yaitu : (1) Penambahan zat kimia;
(2) Penggunaan materi fisik, seperti panas dan cahaya; (3)
Penggunaan mekanik; (4) Penggunaan elektromagnetik, akustik,
dan radiasi.

Metode yang paling banyak digunakan adalah metode


penambahan bahan kimia. Penggunaan zat khlor (khlorinasi)
merupakan cara yang paling banyak digunakan, namun kekurangan
dari sistem ini menghasilkan senyawa carcinogen seperti
trihalomethane dan khloroform. Sistem lain yang sering pula
digunakan adalah penggunaan ozone, namun kekurangan sistem ini
tidak meninggalkan sisa konsentrasi untuk mencegah organisme
tumbuh kembali. Kedua proses masing-masing mempunyai
kekurangan, sehingga dalam penerapannya sangat tergantung pada
kondisi.

Khlorinasi banyak digunakan pada penyediaan air domestik


yang memperoleh air baku dari air permukaan atau air tanah.
Disamping itu sering pula digunakan pada air bersih yang telah
diolah. Zat khlor merupakan zat pengoksidasi, oleh karena itu jumlah
khlor yang dibutuhkan tergantung pada konsentrasi organik dan zat
NH3-N dalam air yang diolah.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


86
Pada umumnya zat khlor dimasukkan ke dalam air dalam
bentuk gas Cl2, khlor dioksida (ClO2), sodium hipokhlorit (NaOCl)
dan calsium hipokhlorit Ca(OCl)2. Khlor bentuk calcium hipokhlorit
lebih banyak digunakan dari pada bentuk gas, karena
penanganannya lebih mudah.

a. Reaksi kimia zat khlor

Apabila khlor dalam bentuk gas ditambahkan ke dalam air,


akan terjadi 2 reaksi yaitu reaksi hidrolisa dan reaksi ionisasi. Pada
reaksi hidrolisa terbentuk hipokhlorit (HOCl), pada reaksi ionisasi
terbentuk ion (OCl-). Reaksi keseimbangannya sebagai berikut:

Reaksi hidrolisa : Cl2 + H2O  HOCl + H+ + Cl-

Reaksi ionisasi : HOCl  H+ + OCl-

b. Sisa Khlor Bebas

Sisa khlor didefinisikan sebagai jumlah (HOCl) dan OCl - ,


biasanya digunakan pula sebagai ukuran keefektifan khlor. Jumlah
sisa khlor sebagai standar pada sistem penyediaan air adalah 0,5 –
1,0 gr/m3 . Sisa khlor dapat digunakan pula sebagai ukuran jumlah
khlor yang masih ada. Dari ketiga bentuk hasil reaksi, bentuk (HOCl)
merupakan bentuk yang paling efektif sebagai disinfektan.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


87
c. Reaksi Dengan Amonia

Reaksi hipokhlorit dengan amonia menghasilkan senyawa


khloramin dan gas nitrogen (N2) serta oksida nitrogen (N2O).

Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

HOCl + NH3  NH2Cl (monochloramine) + H2O


HOCl + NH2Cl  NHCl2 (dichloramine) + H2O
HOCl + NHCl2  NCl3 (nitrogen trichloride) + H2O

Reaksi-reaksi tersebut sangat tergantung pada pH,


temperatur, waktu kontak dan perbandingan awal antara chlorine
dengan amonia. Pada umumnya senyawa yang paling dominan
adalah monochloramine dan dichloramine. Chlorine yang ada dalam
senyawa-senyawa tersebut disebut chlorine terikat yang tersedia.
Chloramine merupakan disinfektan juga, namun kekuatannya lebih
kecil dari pada hipokhlorit.

d. Breakpoint Khlorinasi

Breakpoint khlorinasi adalah angka pada saat jumlah khlor


cukup untuk menghasilkan sisa khlor bebas. Terdapat 4 tahap yang
terlibat dalam hal ini (seperti pada Gambar 8.19).

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


88
Tahap 1 : zat-zat yang mudah teroksidasi, yaitu Fe2+, H2S dan
zat-zat organik bereaksi terlebih dahulu menghasilkan
khlorida.
Tahap 2 : terbentuk senyawa chloramine dan chloro-organik
Tahap 3 : penambahan khlor selanjutnya akan mengoksidasi
senyawa-senyawa di tahap 2, menghasilkan N2O,
chloride, dan N2, reaksinya sebagai berikut :

NH2Cl + NHCl2 + HOCl  N2O + 4 HCl


2 NH2Cl + HOCl  N2 + H2O + 3 HCl

Tahap 4: tahap breakpoint, semua chloramine dan sebagian


besar senyawa chloro-organik telah dioksidasi.
Penambahan khlor selanjutnya akan menghasilkan sisa
khlor bebas (HOCl) dan (Ocl-).

Gambar 5.19: Kurva khlorinasi “Break Point”

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


89
Foto contoh tabung sistem disinfektan IPAL BPPT ini dapat
dilihat seperti pada Gambar 5.20.

Gambar 5.20: Tabung Klorinasi Dengan Kaporit Tablet.

5.3. Unit Re-use Air Limbah Gedung BPPT.


5.3.1. Proses Filtrasi (Penyaringan)

Tujuan penyaringan adalah untuk memisahkan padatan


tersuspensi dari dalam air yang diolah. Pada penerapannya filtrasi
digunakan untuk menghilangkan sisa padatan tersuspensi yang tidak
terendapkan pada proses sedimentasi. Pada pengolahan air
buangan, filtrasi dilakukan setelah pengolahan kimia-fisika atau
pengolahan biologi. Ada dua jenis proses penyaringan yang umum
digunakan, yaitu penyaringan lambat dan penyaringan cepat.
Penyaringan lambat adalah penyaringan dengan memanfaatkan
energi potensial air itu sendiri, artinya hanya melalui gaya gravitasi.
Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT
90
Penyaringan ini dilakukan secara terbuka dengan tekanan
atmosferik. Sedangkan penyaringan cepat adalah penyaringan
dengan menggunakan tekanan yang melebihi tekanan atmosfir.

Berdasarkan jenis media filter yang digunakan, penyaringan


dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu filter media granular
(butiran) dan filter permukaan. Pada jenis media granular, media
yang paling baik mempunyai karakteristik sebagai berikut: Ukuran
butiran membentuk pori-pori yang cukup besar agar partikel besar
dapat tertahan dalam media, sementara butiran tersebut juga dapat
membentuk pori yang cukup halus, sehingga dapat menahan
suspensi. Butiran media bertingkat, sehingga lebih efektif pada saat
proses pencucian balik (backwash). Saringan mempunyai
kedalaman yang dapat memberikan kesempatan aliran mengalir
cukup panjang. Sejauh ini media yang paling baik adalah pasir yang
ukuran butirannya hampir seragam dengan ukuran antara 0,6 hingga
0,8 mm.

Laju operasi untuk penyaringan ditentukan oleh kualitas air


baku, pengolahan kimia yang diterapkan dan media filter. Pada
umumnya laju penyaringan pada saringan pasir cepat adalah 82,4
liter per menit/m2. Sistem yang ada pada saat ini dapat menaikkan
aliran hingga 206 liter per menit/m 2. Unggun saringan yang terdiri
dari dua jenis media, yaitu arang dan pasir menghasilkan lapisan
media arang yang butirannya besar (berat jenis 1,4-1,6) berada
diatas media pasir yang lebih halus (berat jenis 2,6). Susunan media

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


91
dari atas ke bawah kasar-halus, akan memudahkan aliran air. Flok
yang besar akan tertahan butiran arang di bagian atas/permukaan
unggun.

Filter bertekanan dengan media pasir silika biasanya digunakan


untuk menyaring atau memisahkan zat padat tersuspesi yang
dihasilkan oleh proses oksidasi zat besi atau mangan dengan
okasigen atau udara maupun oksidasi dengan kalium permanganat
atau senyawa khlorine. Jika proses oksidasi berjalan dengan baik
maka proses penyaringan dengan filter bertekanan menggunakan
media pasir silika dapat berjalan dengan efektif.

Untuk proses penyaringan air bersih dengan menggunakan


Filter Pasir Bertekanan, kecepatan penyaringan bervariasi antara
100 – 1000 m3/m2/hari. Mernurut IDE (1990), untuk Media tunggal
berkisar antara 120 – 250 m3/m2/hari, untuk Filter dengan dua jenis
media (dual media filter) kerkisar antara 200 – 400 m3/m2/hari.

Menurut GOTA dan YAMAMOTO (1969), Kecepatan filtrasi


7,5 m m3/m2/jam, tebal lapisan pasir 45-75 cm, diameter partikel
pasir 0,4 – 0,5 mm, Head loss berkisar antara 0,3 – 0,5 kg/cm2.
Menurut Southern Chemicals untuk saringan pasir bertekanan
kecepatan penyaringan berkisar antara 20 – 25 m3/m2/hari.

Secara umum konstruksi filter pasir bertekanan ditujukkan


seperti pada Gambar 5.20. Materilal yang digunakan bervariasi

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


92
sesuai dengan penggunaan serta kapasitas pengolahan. Untuk
kapasitas penyaringan yang besar umumnyan menggunakan
material mild steel yang dilapis dengan rubber atau fiberglass atau
menggunakan bahan dari stainless steel, sedangkan untuk kapsitas
yang kecil umumnya menggunakan material dari fiberglass, PVC
atau stainles steel.

Gambar 5.21: Konstruksi Filter Pasir Bertekanan Yang Banyak


Digunakan

5.3.2. Proses Adsorpsi

Adsorpsi adalah penumpukan materi pada interface antara


dua fase. Pada umumnya zat terlarut terkumpul pada interface.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


93
Proses adsorpsi memanfaatkan fenomena ini untuk menghilangkan
materi dari cairan. Banyak sekali adsorbent yang digunakan di
industri, namun karbon aktif merupakan bahan yang sering
digunakan karena harganya murah dan sifatnya nonpolar. Adsorbent
polar akan menarik air sehingga kerjanya kurang efektif. Pori-pori
pada karbon dapat mencapai ukuran 10 angstrom. Total luas
permukaan umumnya antara 500 – 1500 m2/gr. Berat jenis kering
lebih kurang 500 kg/m3.

Gambar 5.22: Foto Multi Media Filter Sistem Re-use Gedung BPPT.

5.3.3. Ultra Filtrasi

Saat ini teknologi filtrasi untuk penjernihan air ada dua tipe
yaitu tipe konvensional dengan menggunakan saringan pasir dan
tipe baru dengan menggunakan membrane. Teknologi membrane
saat ini berkembang sangat pesat dan mulai banyak diaplikasikan
untuk berbagai kegunaan mengingat banyak sekali keunggulan-
Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT
94
keunggulan yang dimilikinya dibanding teknologi konvensional.

Membran UF yang digunakan adalah tipe hollow fiber yang


terbuat dari poly sulfone dan diproduksi oleh Kristal.TM America.
Tingkat filtrasi dengan membrane ini adalah dapat menahan partikel
ukuran 0.1 ~ 0.01 micron dengan tekanan pompa yang rendah dan
tanpa bahan kimia dalam prosesnya sehingga memiliki biaya operasi
yang rendah. Hasil akhir air menggunakan sistem ini selalu konstan
dan bisa menghilangkan bakteri pada waktu yang bersamaan
dengan proses penghilangan material yang tersuspensi dalam air.

Kelebihan teknologi membrane ini diantaranya adalah :

1. Teknologi membrane adalah teknologi yang berwawasan


lingkungan dan ramah lingkungan, tidak menggunakan bahan
kimia yang berbahaya dan menimbulkan pencemaran.
2. Teknologi membrane memberikan jaminan kualitas air yang
lebih konstan
3. Teknologi membrane dapat memberikan operational cost yang
lebih tetap bila dibandingkan dengan teknologi konvensional.

Diagram alir teknologi ultra filtrasi ini dapat dilihat seperti


pada gambar 5.23, sedangan diagram alir sistem re-use air limbah
gedung BPPT dengan dengan teknologi multi media filter yang
digabung dengan sistem ultra filtrasi dapat dilihat seperti pada

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


95
gambar 5.24. Gambar 5.26 menunjukkan lay out sistem IPAL dan re-
use dalam pengelolaan limbah gedung BPPT, Jakarta.

Gambar 5.23 : Diagram Alir Teknologi Ultra Filtrasi

Gambar 5.24 : Sistem Re-use Air Limbah Gedung BPPT

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


96
Gambar 5.25 : Foto Sistem Re-use Air Limbah Gedung BPPT

Gambar 5.26 : Lay Out Sistem IPAL dan Re-use Gedung BPPT
Jakarta.
Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT
97
5.4. Fasilitas Pendukung
Water Meter meter
Untuk melengkapi sistem kontrol dan monitoring sistrem
operasional IPAL ini, maka pada sistem outlet IPAL tersebut
dipasang water meter. Ada beberapa fungsi flwo meter ini antara lain
:
- sebagai alat bantu sistem kontrol debit proses agar IPAL dapat
berfungsi dengan baik.
- Sebagai alat monitoring debit limbah yang terolah setiap
harinya guna kontrol kapasitas IPAL.
- Sebagai alat monitoring untuk penyusunan laporan rutin jumlah
pembuangan limbah ke lingkungan.

Gambar 5.27 : menunjukkan water meter IPAL BPPT Jakarta.

Gambar 5.27 : Water Meter Outlet IPAL BPPT.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


98
Peralatan analisa

IPAL PT. Pertamina ini juga sudah dilengkapi dengan fasilitas


ruangan untuk melakukan monitoring kualitas outet dan dilengkapi
dengan beberapa peralatan untuk analisa kualitas outlet IPAL.
Dengan adanya peralatan swa pantau ini, maka diharapkan kualitas
outlet akan terpantau secara rutin dan jika ada troubel dari IPAL
dapat segera diketahui dan diambil tindakan untuk perbaikan.

Gambar 5.28 : Peralatan Analisa Swa Pantau IPAL BPPT.

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


99
Gambar 5.29 : Foto IPAL Gedung BPPT

Gambar 5.30 : Foto IPAL Gedung BPPT

Pusat Teknologi Lingkungan, (PTL) – BPPT


100

Anda mungkin juga menyukai