Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem endokrin merupakan suatu sistem yang bekerja dengan perantaraan
zat- zat kimia (hormon) yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin. Kelenjar endokrin
merupakan kelenjar buntu (sekresi interna) yang mengirim hasil sekresinya
langsung masuk ke dalam darah dan cairan limfe, beredar ke dalam jaringan
kelenjar tanpa melewati duktus (saluran). Permukaan sel kelenjar menempel pada
dinding stenoid/kapiler darah. Hasil sekresinya disebut hormon (Syarifuddin,
2002:200).
Sistem endokrin sendiri terdiri dari kelenjar-kelenjar endokrin dan bekerja
sama dengan sistem saraf, memiliki peranan penting dalam pengendalian kegiatan
organ-organ tubuh. Kelenjar endokrin mengeluarkan suatu zat yang disebut
dengan hormon. Kelenjar endokrin terdiri dari kelenjar hipofisis (pituitari), tiroid,
paratiroid, adrenal, pulau-pulau Langerhans pankreas, ovarium dan testis (Parker,
2009:104).
Kelenjar paratiroid yaitu kelenjar yang menghasilkan hormon paratiroksin
yang diperlukan untuk menaikkan kadar kalsium. Produksi hormon paratiroid
akan meningkat apabila kadar kalsium di dalam plasma menurun dalam keadaan
fisiologi normal. Salah satu fungsi kelenjar paratiroid adalah menjaga konsentrasi
ion kalsium plasma dalam batas sempit meskipun terdapat variasi-variasi yang
luas (Parker, 2009:104).
Jika salah satu fungsi kelenjar paratiroid terganggu, terdapat gangguan pada
kelenjar paratiroid yang salah satunya disebut dengan hiperparatiroid.
Hiperparatiroid merupakan produksi berlebihan hormon paratiroid yang ditandai
dengan dekalsifikasi tulang dan terbentuknya batu ginjal yang mengandung
kalsium. Pada pasien dengan hiperparatiroid, satu dari ke empat kelenjar
paratiroid yang tidak normal dapat membuat kadar hormon paratiroid menjadi
tinggi tanpa memperdulikan kadar kalsium. Dengan kata lain akan terjadi sekresi
hormon yang banyak walaupun kadar kalsium dalam darah normal atau
meningkat.

1
Diabetes Mellitus (DM) merupakan kategori penyakit tidak menular (PTM)
yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara global, regional,
nasional maupun lokal. World Health Organization (WHO) memprediksi adanya
peningkatan jumlah diabetisi (penderita diabetes) yang cukup besar dari 8,4 juta
jiwa pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun 2030 dengan
pertumbuhan sebesar 152% (WHO, 2006).
Maka dari itu sangat dibutuhkan tindakan berupa asuhan keperawatan pada
diabetes millitus tipe II khususnya, agar angka prevalensi diabetes dapat menurun
dalam tahun ke tahunnya. Hal yang paling dibutuhkan agar tidak terkena diabetes
adalah dengan pengaturan pola makan dan menjaga gaya hidup sehat karena
banyaknya orang yang menderita diabetes disebabkan pola makan dan gaya hidup
sehat.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang timbul dalam makalah ini :
1. Bagaimana konsep dari hiperparatiroid ?
2. Bagaimana penerapan konsep asuhan keperawatan pada hiperparatiroid ?
3. Bagaimana konsep dari diabetes militus ?
4. Bagaimana penerapan konsep asuhan keperawatan pada Diabetes militus ?

C. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami konsep dasar penyakit hiperparatiroid
dan diabetes melitus.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang konsep penyakit keperawatan
dari hiperparatoroid dan diabetes melitus.
2. Mampu menerapkan proses asuhan keperawatan pada kasus dengan
hiperparatiroid dan diabetes melitus.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit Hiperparatiroid


1. Pengertian
Hiperparatiroid adalah produksi berlebihan hormon paratiroid oleh
kelenjar paratiroid, ditandai dengan dekalsifikasi tulang dan pembentukan batu
ginjal, yang mengandung kalsium. (Brunner & Suddarth, 2002)
Hiperparatiroid merupakan produksi berlebihan dari kelenjar paratiroid
yang mengakibatkan level kalsium di dalam darah meningkat. Biasanya
peningkatan kadar hormon paratiroid disebabkan oleh tumor kelenjar paratiroid
atau kelenjar lain. Akibat hormon paratiroid yang berlebihan, reasorpsi tulang
distimulasi sehingga kadar kalsium dalam serum tinggi. Kadar fosfat serum
yang rendah menyertai kadar hormon paratiroid yang tinggi. Tulang menjadi
rapuh dan lemah. Banyak terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan lebih dari
50% pasien dengan hiperparatiroid ditandai dengan adanya batu ginjal. (Better
Health Channel, 2013)
Dari penjelasan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hiperparatiroid
merupakan produksi berlebihan dari hormon paratiroid (PTH) yang dapat
mengakibatkan kadar kalsium meningkat. Sehingga dapat menimbulkan gejala
seperti nyeri pada tulang dan pembentukan batu di ginjal.

Gambar 2.1 Hiperparatiroid

3
2. Klasifikasi
Hiperparatiroid juga dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu :
a. Hiperparatiroid Primer adalah penyakit endokrin yang ditandai dengan
hipersekresi hormon paratiroid. Hiperparatiroid primer adalah yang paling
tersering.
b. Hiperparatiroid Sekunder merupakan kondisi yang terjadi akibat dari
stimulasi faktor eksternal terhadap kelenjar paratiroid untuk meningkatkan
sekresi PTH. Pada hiperparatiroid sekunder tidak pernah ditemukan
peningkatan serum kalsium. Hal ini merupakan konsekuensi dari kondisi
hipoparatiroid kronis. Pada kondisi ini hormon paratiroid bekerja pada
tulang dan dapat menyebabkan penyakit tulang yang parah. Biasanya terjadi
pada pasien gagal ginjal dan pasien dengan diet rendah vitamin D (riketsia).
Merupakan komplikasi yang sering dan serius pada pasien hemodialisis.
c. Hiperparatiroid Tersier adalah sekresi berkelanjutan dari jumlah hormon
paratiroid yang banyak setelah terjadi hiperparatiroid sekunder yang
berkepanjangan. Pada hiperparatiroid tersier biasanya terdapat hiperplasia
asimetris pada kelenjar paratiroid. Dapat juga terjadi setelah transplantasi
ginjal.
Dari klasifikasi di atas, dapat disimpulkan bahwa hiperparatiroid
primer merupakan kejadian yang paling sering dan kerusakan diakibatkan
karena adanya kerusakan pada kelenjar paratiroid sendiri. Sedangkan pada
hiperparatiroid sekunder, diakibatkan karena kerusakan pada organ lain
yang menyebabkan kerusakan kelenjar paratiroid. Dan hiperparatiroid
tersier, diakibatkan kerusakan pada kelenjar paratiroid sendiri dan kerusakan
akibat dari organ lain, sehingga hiperparatiroid tersier merupakan gabungan
antara hiperparatiroid primer dan sekunder.

4
3. Etiologi
a. Hiperparatiroid Primer
Disebabkan oleh sekresi PTH yang tidak normal sehingga
meimbulkan hiperkasemia (Taniegra, 2004). Penyebabnya antara lain :
1. Adenoma pada salah satu kelenjar paratiroid, penyebab tersering sekitar
85%
2. Hipertrofi pada keempat kelenjar paratiroid (hiperplasia paratiroid) dan
adenoma multipel sekitar 15%
3. Karsinoma pada kelenjar palatiroid sekitar <1%
4. Radiasi ionisasi secara eksternal pada leher, dengan presentasi yang
minimal
5. Mendapatkan terapi garam lithium (untuk psikosis), dapat menyebabkan
overaktif kelenjar paratiroid, dengan aktivitas yang berlebihan tetap
muncul meskipun setelah pemutusan pengobatan (terapi)
6. Sebagian kecil disebabkan oleh hiperfungsi kelenjar paratiroid yang
dapat diwariskan sekitar 20%.
b. Hiperparatiroid Sekunder
Pada hiperparatiroid sekunder, merupakan hasil dari respon paratiroid
secara patofisiologik atau fisiologis pada hipokalsemia yang berusaha
mempertahankan homeostasi kalsium. Berapa penyebabnya antara lain :
1. Gagal ginjal kronis, merangsang produksi hormone paratiroid berlebih,
salah satunya hipokalsemia, kekurangan produksi vitamin D karena
hiperpospatemia berperan penting dalam perkembangan hyperplasia
paratiroid yang akhirnya berkembang menjadi hiperparatiroid sekunder
2. Kurang efektifnya PTH pada beberapa penyakit (defisiensi vitamin D,
kelainan gastrointestinal).
3. Malabsorbsi, pada kelainan hepato bilier
4. Kegagalan satu atau lebih komponen dari mekanisme homeostatik
kalsium
5. Metastase kanker prostat
6. Hungry Bone Syndrome
7. Genetik (pseudohypoparathyroidsm)

5
c. Hiperparatiroid Tersier (Idiopatik)
1. Perubahan fungsi otonom jaringan paratiroid yaitu hiperparatiroidisme
hypercalcemic
2. Hiperparatiroid sekunder yang berlansung lama
3. Penyakit ginjal kronis yang berlangsung lama
4. Gejala hipokalsemia yang lama (biasanya akibat gagal ginjal kronis),
menyebabkan kelenjar paratiroid menjadi hiperplasia, sekresi yang
berlebihan dari PTH dari kelenjar paratiroid menghasilkan hiperkalsemia.
(Taniegra, 2004)

4. Manifestasi Klinis
Menurut (Diamond, 2000) hiperparatiroid ditemukan sejak tahun 1925.
Gejala klasik yang sering dikenal adalah :
a. Moans (efek psikologis dan neurologis)
b. Groans (nyeri abodominal ulser)
c. Stones (ginjal), dan
d. Bones (fraktur)

5. Patofisiologi
Kelenjar paratiroid mengeluarkan hormon paratiroid (parathyroid
hormone, PTH) yang bersama-sama dengan Vit D3 (1.25-
dthydroxycholccalciferal), dan kalsitonin mengatur kadar kalsium dalam darah.
Sintesis PTH dikendalikan oleh kadar kalsium plasma, hormon tidak akan di
sintesis bila kadar kalsium tinggi dan akan dirangsang bila kadar kalsium
rendah. PTH akan merangsang reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal,
meningkatkan absorbsi kalsium pada usus halus, sebaliknya mengurangkan
reabsorbsi fosfat dan melepaskan kalsium dari tulang. Jadi PTH akan aktif
bekerja pada tiga titik sasaran utama dalam mengendalikan homeostasis
kalsium iaitu di ginjal, tulang dan usus.
Hiperparatiroid primer terjadi akibat meningkatnya sekresi PTH,
biasanya adanya suatu edema paratiroid. Normalnya, kadar kalsium yang
rendah menstimulasi sekresi PTH, sedangkan kadar kalsium yang tinggi

6
menghambat sekresi PTH. Pada hiperparatiroid primer, PTH tidak tertekan
dengan meningkatnya kadar kalsium, hal ini menimbulkan keadaan
hiperkalsemia. Dalam beberapa hal, peningkatan kalsium serum merupakan
satu – satunya tanda disfungsi paratiroid dan terdeteksi dengan pemeriksaan
rutin. Akibat peningkatan kalsium pada otot menimbulkan hipotonusitas otot –
otot kerangka, reflek tendon dan otot – otot gastrointestinal. Melemahnya otot
dan timbulnya kelemahan sering dijumpai. Jika kadar kalsium serum
meningkat antara 16 sampai 18 mg/dl, krisis hiperkalsemia akut terjadi.
Muntah –muntah dengan hebat menyebabkan dehidrasi dan ketidakseimbangan
elektrolit.
Hiperparatiroid sekunder timbul karena suatu keadaan hipokalsemi
kronik, seperti pada gagal ginjal. Hiperplasi kelenjar paratiroid terjadi dengan
meningkatnya PTH. Pada beberapa pasien dengan keadaan ini, kelenjar
paratiroid memiliki sifat otonom dan kehilangan sifat responsivitasnya
terhadap kadar kalsium serum (hiperparatiroid tersier).

7
6. Pathway

Kekurangan Vitamin D Adenoma paratiroid Kadar kalsium darah yang rendah Peningkatan cepat dari konsentrasi
serum hormon paratiroid

Karsinoma sel
skuamosa HIPERPARATIROID

Reabsorbsi kalsium
PTH di sirkulasi Vitamin D3 aktif dalam ginjal
meningkat

Ekskresi kalsium dalam urin Mudah terjadi absopsi kalsium makanan di usus

Tulang Efek reseptor Hiperkalsemia Hipofosfatemia

Kadar 11,2 – 12 Potensial eksitasi


Reabsorbsi kalsium meningkat Ginjal Traktus digestinal
jaringan saraf dan
otot
Lemah, letih,
Hiperkalsiuria Absorbsi usus lesu
meningkat
Kelemahan otot
Nefrolithiasis Kadar 12 <

Kontipasi

Penurunan Ekskresi kalsium Kadar peningkatan Otak dan sistem Jantung Lambung
kerja ginjal dan dan dan fosfor kalsium saraf
gagal ginjal ekstraseluler dan
mengendap di
jaringan Konsentrasi Aritmia Sekresi asam
menurun, depresi , lambung
gangguan
Deminerali kesadaran,
sasi tulang Rasa sakit Psikosis,
atau nyeri Iritabilitas

Pertumbuhan Faktor resiko


osteoclast fraktur Jaringan Kartilago ( Tendon (
meningkat subkutis khondrokals tendonitis )
inosis )

Terdapat sel-sel
raksasa benigna

Tumor tulang Sumber : Web of Caution (WOC).2002

8
7. Komplikasi
Menurut (Diamond, 2000), potensi yang mengancam bila hiperparatiroid
tidak segera ditangani akan terjadi :
a. Osteoporosis dan osteopenia, pasien dengan serum PTH yang terus-menerus
meningkat dan secara persisten dapat meningkatkan resiko abnormalitas di
skeletal dan renal. Dan banyak menjadi masalah pada psien yang sudah tua
dan akhirnya terjadi penurunan densitas tulang secara progresif.
b. Fraktur tulang
c. Batu ginjal
d. Peptic Ulcers
e. Pankreatitis
f. Keluhan sistem nervous
g. Stupor
h. Koma

8. Pemeriksaan Diagnostik
Pada pasien dengan hiperparatiroid, dapat dilakukan pemeriksaan
diagnostik antara lain (Better Health Channel, 2013) dan (Diamond,2000) :
a. Pemeriksaan darah, untuk memeriksa kadar kalsium, kreatinin, fosfor,
magnesium dan level PTH (paratiroid hormon). Selain itu juga untuk
mengkaji fungsi hati.
b. Pemeriksaan urin, 24 jam kalsium urin (untuk exclude kondisi yang jarang
dari ekskresi kalsium yang rendah atau familial hypocalciuric
hypercalcaemia) dan memeriksa fungsi ginjal (creatinin clearance).
c. Abdominal Ultrasound, pada beberapa kasus memeriksan gambaran dari
ginjal (melihat adanya pembentukan batu) dan pankreas (melihat adanya
pankreatitis) jika dibutuhkan.
d. X-Ray tulang dan tes densitas tulang, bertujuan untuk melihat kemungkinan
adanya kalsifikasi tulang, penipisan dan osteoporosis. Pada hipertiroid,
tulang menipis, terbentuk kista dalam tulang serta tuberculae pada tulang.
Selain itu tes ini menentukan efek yang merusak skeleton akibat
peningkatan PTH yang terus-menerus.

9
e. Sestamibi, merupakan imaging study yang paling banyak digunakan untuk
gambaran paratiroid. Sensitivitas dalam pemeriksaan diagnostik sekitar 90%
f. Pemeriksaan ECG, bertujuan untuk mengidentifikasi kelainan gambaran
EKG akibat perubahan kadar kalsium terhadap otot jantung. Pada
hipertiroid, akan dijumpai gelombang Q-T yang memanjang.
g. Pemeriksaan EMG (Elektromiogram), bertujuan utuk mengidentifikasi
perubahan kontraksi otot akibat perubahan kadar kalsium.

9. Penatalaksaan Medis
a. Terapi yang diberikan bergantung pada penyebab dan keparahan penyakit.
b. Pengangkatan dengan cara bedah jaringan paratiroid abnormal untuk
hiperparatiroidisme primer. Pada periode preoperative anjurkan pasien
untuk minum cairan 2000 ml atau lebih untuk mencegah pembentukan
kalkulus.
c. Hindari diuretic tiazid karena dapat menurunkan ekskresi kalsium ginjal.
d. Mobilitas yang cukup agar tulang yang mengalami stress normal
melepaskan sedikit kalsium.
e. Berikan fosfat oral.
f. Pemberian hidrasi yang cukup.

B. Konsep Penyakit Diabetes Melitus


1. Penyakit
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner
dan Suddarth, 2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula
(glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
(Arjatmo, 2002).
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (purnamasari, 2009).

10
Dari berbagai definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Diabetes
Melitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan hormonal dan
melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dimana
seseorang tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tidak dapat
menggunakan insulin yang diproduksi dengan baik, karena proses autoimmun,
dipengaruhi secara genetik dengan gejala yang pada akhirnya menuju tahap
perusakan imunologi sel – sel yang memproduksi insulin.

Gambar 2.2 Diabetes Melitus dengan ganggren


2. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :
a. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
b. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
c. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
d. Diabetes mellitus gestasional (GDM)

3. Etiologi
a. Diabetes tipe I:
1) Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA.
2) Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal
dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi
terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai

11
jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan
insulin endogen.
3) Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan destruksi selbeta.

b. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor
genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
2) Obesitas
3) Riwayat keluarga

4. Manifestasi Klinis
a. Diabetes Tipe I
1) Hiperglikemia saat berpuasa.
2) Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia.
3) Keletihan dan kelemahan.
4) Ketoasidosi diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas
bau buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)
b. Diabetes Tipe II
1) Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif.
2) Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung,
poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi
vaginal, penglihatan kabur.
3) Komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular
perifer).

12
5. Patofisiologi
a. DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas
menghasilkan insulin karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans.
Dalam hal ini menimbulkan hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post
prandial.
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan
muncul glukosuria (glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic)
sehingga pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliurra)
dan rasa haus (polidipsia). Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme
protein dan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul
gejala peningkatan selera makan (polifagia). Akibat yang lain
yaitu terjadinya proses glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan)
dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga efeknya berupa pemecahan
lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat mengganggu keseimbangan
asam basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis (Corwin, 2000)
b. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin
dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada
reseptor kurang dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja
glukosa tidak dapat masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan
glukosa.
Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat
peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel
beta tidak mampu mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat
dan terjadilah DM tipe II (Corwin, 2000)

13
6. Pathway
Etiologi DM tipe 1
Sumber : WOC - Genetic Etiologi DM tipe 2
Pengeluaran insulin
- Imunologi Defisiensi insulin Kerusakan pankreas - Usia
berlebihan
- Lingkungan - Obesitas
- Riwayat keluarga
Kurang pengetahuan DM

Sistim pencernaan Sistim muskulus- Sistim perkemihan Sistim pernafasan Sistim cardio Sistim persarafan
keletal vaskuler

Penebalan dinding Penebalan dinding Glukosa diubah oleh


Glucagon 
Glukosa diubah oleh arteri renalis kapiler Penebalan dinding aldose reduktase
aldose reduktase arteri coronaria menjadi sorbitol
Glukoneogenesis menjadi sorbitol Penyempitan dan kekakuan Penyempitan dan
di arteri renalis kekakuan di kapiler Penyempitan dan
Lemak paru kekakuan di arteri Pe sorbitol dan pe
Pe sorbitol dan pe Aliran darah ke ginjal tidak coronaria mio inositol
Ketogenesis mio inositol lancar
Aliran darah ke paru
Suplai nutrisi dan oksigen tidak lancar Aliran darah ke Gangguan pd sel
Ketonemia Gangguan pd sel jantung tak lancar Schwan dan akson
terhambat
Schwan dan akson Suplai nutrisi dan
pH  Nefron mengalami iskemik
oksigen terhambat Suplai nutrisi dan Degenerasi akson
oksigen terhambat
Demielinasi
Mual muntah Kerusakan glomerulus dan
Kematian jaringan Neuropati perifer
tubulus ren
Kelemahan pada parenkim paru Perfusi ke jantung
Resti ggn nutrisi kurang dr ekstremitas Gagal ginjal menurun Parestesia, baal,
kebutuhan tubuh sensibilitas nyeri
Gangguan ventilasi,
berkurang
Tirah baring Oliguri, anuri difusi, perfusi Jantung mengalami
iskemik
14 Resiko cedera
Gangguan integritas kulit Gangguan mobilitas fisik Gangguan eliminasi urine Gangguan pola nafas,
kerusakan pertukaran gas Infark miokard

Perubahan kenyamanan
7. Kompilkasi
Diabetes Mellitus bila tidak ditangani dengan baik akan
menyebabkan komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata,
ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, saraf, dan lain-lain (corwin,
2000)

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Adanya glukosa dalam urine. Dapat diperiksa dengan cara benedict
(reduksi) yang tidak khasuntuk glukosa, karena dapat positif pada diabetes.
b. Diagnostik lebih pasti adalah dengan memeriksa kadar glukosa
dalam darah dengan cara Hegedroton Jensen (reduksi).
1) Gula darah puasa tinggi < 140 mg/dl.
2) Test toleransi glukosa (TTG) 2 jam pertama < 200 mg/dl.
3) Osmolitas serum 300 m osm/kg.
4) Urine = glukosa positif, keton positif, aseton positif atau
negative (Bare & suzanne, 2002)

9. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktifitas
insulin dan glukosa dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi
vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapi dari setiap tipe diabetes adalah
mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadnya
hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien. Penatalaksanaan
untuk diabetes mellitus terdiri dari penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan
keperawatan (Smeltzer, 2002) Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan
diabetes :
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi (jika diperlukan)
5. Pendidikan.

15
10. Terapi Obat
a. Tablet OAD (Oral Antidiabetes)
1) Mekanisme kerja sulfanilurea
a) kerja OAD tingkat prereseptor : pankreatik, ekstra pancreas
b) kerja OAD tingkat reseptor
2) Mekanisme kerja Biguanida
Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik, tetapi mempunyai efek lain
yang dapat meningkatkan efektivitas insulin, yaitu:
a) Biguanida pada tingkat prereseptor  ekstra pankreatik
(1) Menghambat absorpsi karbohidrat
(2) Menghambat glukoneogenesis di hati
(3) Meningkatkan afinitas pada reseptor insulin
b) Biguanida pada tingkat reseptor : meningkatkan jumlah reseptor insulin
c) Biguanida pada tingkat pascareseptor : mempunyai efek intraseluler
b. Insulin
1) Indikasi penggunaan insulin
a) DM tipe I
b) DM tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan OAD
c) DM kehamilan
d) DM dan gangguan faal hati yang berat
e) DM dan infeksi akut (selulitis, gangren)
f) DM dan TBC paru akut
g) DM dan koma lain pada DM
h) DM operasi
i) DM patah tulang
j) DM dan underweight
k) DM dan penyakit Graves
2) Beberapa cara pemberian insulin
a) Suntikan insulin subkutan : Insulin reguler mencapai puncak kerjanya pada
1-4 jam, sesudah suntikan subcutan, kecepatan absorpsi di tempat suntikan
tergantung pada beberapa factor antara lain:
(1) lokasi suntikan
ada 3 tempat suntikan yang sering dipakai yitu dinding perut,
lengan, dan paha. Dalam memindahkan suntikan (lokasi) janganlah

16
dilakukan setiap hari tetapi lakukan rotasi tempat suntikan setiap 14
hari, agar tidak memberi perubahan kecepatan absorpsi setiap hari.
(2) Pengaruh latihan pada absorpsi insulin
Latihan akan mempercepat absorbsi apabila dilaksanakan dalam
waktu 30 menit setelah suntikan insulin karena itu pergerakan otot yang
berarti, hendaklah dilaksanakan 30 menit setelah suntikan.
(3) Pemijatan (Masage)
Pemijatan juga akan mempercepat absorpsi insulin.
(4) Suhu
Suhu kulit tempat suntikan (termasuk mandi uap) akan
mempercepat absorpsi insulin.
a. Dalamnya suntikan
Makin dalam suntikan makin cepat puncak kerja insulin
dicapai. Ini berarti suntikan intramuskuler akan lebih cepat
efeknya daripada subcutan.
b. Konsentrasi insulin
Apabila konsentrasi insulin berkisar 40 – 100 U/ml, tidak
terdapat perbedaan absorpsi. Tetapi apabila terdapat penurunan
dari u –100 ke u – 10 maka efek insulin dipercepat.
(5) Suntikan intramuskular dan intravena
Suntikan intramuskular dapat digunakan pada koma diabetik atau
pada kasus-kasus dengan degradasi tempat suntikan subkutan.
Sedangkan suntikan intravena dosis rendah digunakan untuk terapi
koma diabetik.

17
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Asuhan Keperawatan Hiperparatioid


1. Pengkajian
a. Identitas
Nama, umur bisa terjadi pada semua kalangan umur terutama pada
wanita yang berumur 50 tahun keatas mempunyai resiko yang lebih besar 2
kali dari pria, jenis kelamin, agama dan suku bangsa
b. Keluhan Utama
1) Sakit kepala, kelemahan, lethargi, dan kelelahan otot
2) Gangguan pencernaan seperti mual, muntah, anoreksia, obstipasi,
dan nyeri lambung yang akan disertai penurunan berat badan.
3) Depresi
4) Nyeri tulang dan sendi
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien tampak lemah, biasanya adanya peningkatan ukuran kelenjar
tiroid, anoreksia, obstipasi, dan nyeri lambung yang akan disertai penurunan
berat badan, depresi, nyeri tulang dan sendi.
d. Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan pada keluarga riwayat penyakit yang dialami pasien seperti:
apakah pasien sebelumnya pernah mengalami penyakit yang sama dan
apakah keluarga mempunyai penyakit yang sama.
e. Riwayat penyakit dalam keluarga
f. Riwayat trauma / fraktur tulang
g. Riwayat radiasi daerah leher dan kepala

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang mencakup :
a. Observasi dan palpasi adanya deformitas tulang
b. Amati warna kulit, apakah tampak pucat
c. Perubahan tingkat kesadaran

18
Pengkajian fokus :
1. Breath (B1)
Gejala: nafas pendek, dispnea nocturnal paroksimal, batuk
dengan/tanpa sputum kental dan banyak.
Tanda: takipnea, dispnea, peningkatan frekensi/kedalaman (pernafasan
Kussmaul)
2. Blood (B2)
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi,
Tanda: hipertensi (nadi kuat, edema jaringan, pitting pada kaki, telapak
tangan), disritmia jantung, pucat, kecenderungan perdarahan.
3. Brain (B3)
Gejala : penurunan daya ingat, depresi, gangguan tidur, koma.
Tanda : gangguan status mental, penurunan tingkat kesadaran, ketidak
mampuan konsentrasi, emosional tidak stabil
4. Bladder (B4)
Gejala : penurunan frekuensi urine, obstruksi traktus urinarius, gagal
fungsi ginjal (gagal tahap lanjut), abdomen kembung,diare, atau
konstipasi.
Tanda : perubahan warna urine, oliguria, hiperkalsemia, Batu ginjal
biasanya terdiri dari kalsium oksalat atau kalsium fosfat
5. Bowel (B5)
Gejala : anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan.
Tanda : distensi abdomen, perubahan turgor kulit, kelainan lambung
dan pankreas(tahap akhir), Ulkus peptikum
6. Bone(B6)
Gejala: kelelahan ekstremitaas, kelemahan, malaise.
Tanda: penurunan rentang gerak, kehilangan tonus otot, kelemahan
otot,atrofi otot
7. Integritas ego
Gejala: faktor stress (finansial, hubungan)
Tanda: menolak, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung, perubahan
kepribadian.

19
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik, termasuk :
1) Pemeriksaan laboratorium : dilakukan untuk menentukan kadar kalsium
dalam plasma yang merupakan pemeriksaan terpenting dalam menegakkan
kondisi hyperperetiroidisme primer akan ditemukan peningkatan kadar
serum ; kadar serum posfat anorganik menurun sementara kadar kalsium
dan posfat urine meningkat
2) Pemeriksaan radiologi, akan tampak penipisan tulang dan terbentuk kista
dan trabekula pada tulang, tulang menipis, ada dekalsifikasi.

d. Analisa Data
NO DATA ETIOLOGI PROBLEM
1. DS: Hiperparatiroid Ketidakseimbangan
Pada data subjektif nutrisi kurang dari
umumnya akan ada keluhan Penurunan absorbsi kebutuhan tubuh
dalam nafsu makan, lemah, kalsium di gastrointestinal
mual dan muntah
DO: Fungsi gastrointestinal
Pada pengkajian akan terganggu
tampak lemah, bibir mukosa
pucat, akan tampak adanya Vomiting, Reflux, Anorexia,
sariawan, dan dan ketika di konstipasi
palpasi rambut rontok
dengan berlebih. Penurunan berat badan

Ketidakseimbangan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh

2. DS: Hiperparatiroidisme Kerusakan eliminasi


Pada data subjektif tubular ginjal urine
umumnya akan ada keluhan
sulit berkemih. mereabsorpsi kalsium secara

20
DO : berlebihan
Pada pemeriksaan urine
tampak adanya oliguria, deposit kalsium pada parenkim
tampak perubahan warna ginjal
urine dan pada pemeriksaan
USG BNO 3 posisi akan nefrolithiasis
tampak adanya massa.

meningkatkan sekresi bentuk


aktif vitamin D di ginjal.

Terbentuk Batu ginjal yang


biasanya terdiri dari kalsium
oksalat atau kalsium fosfat

Kerusakan eliminasi urine

2. DS: Absorbsi Ca di usus Konstipasi


Pada data subjektif
umumnya akan ada keluhan Pemadatan feses
defekasi kurang dari 2 kali
dalam seminggu dan sulir Konstipasi
mengeluarkan feses
DO:
Pada saat di palpasi akan
tampak distensi abdomen,
dan di aukultasi bising usus
menurun.

3. DS : - Adenoma, hiperplasia Risiko cidera: fraktur


DO: - patologi
PTH naik

21
Resorbsi tulang naik

Osteitis fibrosa sistik

Demineralisasi tulang

Risiko cidera

e. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan utama yang dapat dijumpai pada klien dengan
hiperparatiroid antara lain :
1) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia dan mual.
2) Kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan keterlibatan ginjal sekunder
terhadap hiperkalsemia, dan hiperfosfatemia
3) Konstipasi berhubungan dengan efek merugikan dari hiperkalsemia pada
saluran gastrointestinal.
4) Risiko cedera berhubungan dengan demineralisasi tulang yang
mengakibatkan fraktur patologi.

f. Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
1. Ketidakseimbang TUPAN : 1. Kaji adanya alergi 1. Perlu adanya
an nutrisi kurang Setelah dilakukan makanan. konsultasi untuk
dari kebutuhan tindakan menyamakan
tubuh keperawatan 3x24 persepsi mengenai
berhubungan jam diharapkan klien pemenuhan
dengan anoreksia akan mendapat kebutuhan nutrisi.
dan mual. asupan makanan 2. Kolaborasi dengan ahli 2. Untuk
yang adekuat. gizi untuk menentukan menanggulangi
TUPEN : jumlah kalori dan masalah gangguan
Setelah dilakukan nutrisi yang dibutuhkan fungsi gastrointestin
tindakan pasien. al, sehingga
keperawatan 1x24 pikanerlu asupan

22
jam diharapkan nutrisi yang
tercapainya tujuan memperhatikan
sesuai kriteria hasil : tekstur dan kaya
a. tidak adanya serat.
mual 3. Yakinkan diet yang 3. Mengetahui porsi
b. Kembali pada dimakan mengandung nutrisi adekuat pada
atau dapat tinggi serat untuk klien.
mempertahankan mencegah konstipasi.
berat badan ideal. 4. Berikan makanan yang 4. Mengetahui
sudah dikonsultasikan efektifitas pola
dengan ahli gizi (diit asupan nutrisi
rendah kalsium untuk sebelumnya
memperbaiki penatalaksanaan
hiperkalsemia) lebih lanjut.
2. Kerusakan TUPAN : 1. Pantau eliminasi urine 1. Untuk mencegah
eliminasi urine Setelah dilakukan meliputi frekuensi, terjadinya batu
berhubungan tindakan konsistensi, bau, ginjal pada pasien.
dengan keperawatan 3x24 volume, dan warna
keterlibatan ginjal Jam diharapkan yang tepat.
sekunder terhadap klien akan kembali 2. Dapatkan spesimen 2. Agar tercapai
hiperkalsemia, pada haluaran urine urine pancar tengah keseimbangan
dan normal. untuk urinalisis dengan cairan tubuh,
hiperfosfatemia. TUPEN : tepat dengan
Setelah dilakukan memperhatikan
tindakan kemampuan ginjal
keperawatan 1x24 yang belum bekerja
Jam Tujuan tercapai optimal.
sesuai kriteria hasil : 3. Instruksikan pasien 3. Untuk mengetahui
a. tidak untuk berespon segera kondisi
terbentuknya batu terhadap kebutuhan hemodinamik kien.
b. haluaran urine 30 eliminasi urine.
– 60 ml/jam 4. Ajarkan pasien untuk 4. Mengetahui asupan
minum 200 ml cairan dan haluaran cairan
saat makan diantara normal klien.
waktu makan dan
diawal petang.
5. Informasikan pada 5. Mengetahui tingkat
pasien tentang tanda perkembangan
dan gejala infeksi nutrisi klien dengan
saluran kemih. menghindari atau
membatasi asupan
kalsium.

23
3. Konstipasi TUPAN : Setelah 1. Kaji warna dan 1. Menentukan
berhubungan dilakukan tindakan konsistensi feses. kesiapan terhadap
dengan efekkeperawatan 3x24 pemberian makan
merugikan dari Jam diharapkan peroral dan
hiperkalsemia klien akan kemungkinan
pada saluran mempertahankan terjadinya
gastrointestinal. pola BAB normal. komplikasi.
TUPEN : 2. Kaji adanya inpaksi. 2. Menandakan
Setelah dilakukan pembentukan gas
tindakan dan akumulasi atau
keperawatan 1x24 kemungkinan ileus
Jam diharapkan paralitik.
tujuan tercapai 3. Pantau adanya tanda dan 3. Makanan kasar
sesuai kriteria hasil : gejala ruptur usus. (buah, sayur
BAB setiap hari khususnya kulit dan
(sesuai dengan bijinya) dan
kebiasaan pasien). meningkatknya
cairan, merangsang
eliminasi dan
mencegah terjadinya
konstipasi.
4. Ajarkan pada pasien 4. Melunakan feses,
tentang efek diet (misal : merangsang
cairan dan serat ) pada peristaltik dan
eliminasi. membantu
mengembalikan
fungsi usus.
5. Tekankan penghindaran 5. Meningkatkan
mengejan selama eliminasi.
defekasi untuk
mencegah perubahan
pada tanda vital.
4. Risiko cedera Tujuan : Setelah 1. Lindungi klien dari 1.Untuk mencegah
berhubungan dilakukan tindakan kecelakaan jatuh, karena terjadinya cidera pada
dengan keperawatan klien rentan untuk pasien.
demineralisasi diharapkan klien mengalami fraktur patologis
tulang yang tidak akan bahkan oleh benturan ringan
mengakibatkan mengalami cedera. sekalipun. Bila klien
fraktur patologi. mengalami penurunan
kesadaran pasanglah tirali
tempat tidurnya.
2. Hindarkan klien dari satu 2.Mencegah

24
posisi yang menetap, ubah terjadinyadekubitus
posisi klien dengan hati-
hati.
3. Bantu klien memenuhi 3. Agar klien tetap
kebutuhan sehari-hari dapat memenuhi ADL
selama terjadi kelemahan nya meski terjadi proses
fisik. penyakit.
4. Taruh barang-barang 4. Membantu proses
kebutuhan pasien di tempat pemenuhan ADL.
yang dapat dijangkau oleh
pasien.
5. Istirahatkan pasien secara 5.Penting untuk
teratur mencegah peningkatan
tekanan pada sendi.
6. Kolaborasi dengan 6.Mengajarkan pasien
fisioterapi untuk aktifitas agar dapat beraktifitas
dan cara menggunakan alat normal meski terserang
bantu berjalan bila sakit.
dibutuhkan. Anjurkan klien
agar berjalan secara 7. Asupan vitamin D
perlahan-lahan. harus lebih tinggi,
7. Kolaborasi pemberian sekitar 400-800 IU
vitamin D. perhari.

g. Evaluasi
Setelah mendapatkan intervensi keperawatan, maka pasien dengan trauma
Hiperparatiroid diharapkan sebagai berikut :
1. Asupan makanan yang adekuat dan dapat mempertahankan berat badan
serta tidak adanya mual muntah
2. Haluaran urine baik dengan 30-60 ml/Jam
3. Pola defekasi baik dengan tanda defekasi setiap hari dan tidak adanya
distensi abdomen
4. Tidak mengalami cedera.

25
B. Asuhan Keperawatn Diabetes Melitus
1. Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem endokrin diabetes melitus
dilakukan mulai dari pengumpulan data yang meliputi : biodata, riwayat
kesehatan, keluhan utama, sifat keluhan, riwayat kesehatan masa lalu,
pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari. Hal yang perlu dikaji pada klien
degan diabetes melitus :
1. Aktivitas dan istirahat :
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan
tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melaksanakan acara dan koma
2. Sirkulasi
Riwayat hipertensi, penyakit jantung ibarat IMA, nyeri, kesemutan pada
ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola
mata cekung.
3. Eliminasi
Poliuri,nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat.
4. Nutrisi
Nausea, vomitus, berat tubuh menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
5. Neurosensori
Sakit kepala, menyatakan ibarat mau muntah, kesemutan, lemah otot,
disorientasi, letargi, koma dan bingung.
6. Nyeri
Pembengkakan perut, meringis.
7. Respirasi
Tachipnea, kussmaul, ronchi, wheezing dan sesak nafas.
8. Keamanan
Kulit rusak, lesi/ulkus, menurunnya kekuatan umum.
9. Seksualitas
Adanya peradangan pada tempat vagina, serta orgasme menurun dan terjadi
impoten pada pria.

26
Pengkajian luka :
Lokasi & letak luka

Status infeksi
Stadium luka

LUKA GANGGREN DIABETIK

Status neurologi
Bentuk & ukuran luka

Status vaskuler
Gambar 3.1 Pengkajian luka pada DM

a. Lokasi & Letak luka:


Misalnya : pasien dating ke RS dengan letak luka pada ibu jari kaki,
kemungkinan penyebabnya adalah pemakaian sepatu yang terlalu sempit
sehingga terjadi penekanan oleh sepatu. Kejadian luka dapat diminimalkan
dengan tidak menggunakan sepatu yang sempit.
b. Stadium Luka :
Secara umum stadium luka dibedakan sebagai berikut:
1) Berdasarkan anatomi kulit ( Pressure ulcers panel, 1990)
a) Partial thickness yaitu hilangnya lapisan epidermis hingga lapisan
dermis paling atas.
b) Pull thickness yaitu hilangnya lapisan dermis hingga lapisan subcutan.
Stadium I : kulit berwarna merah, belum tampak adanya lapisan
epidermis yang hilang
Stadium II: Hilangnya lapisan epidermis / lecet sampai batas dermis
paling atas.
Stadium III: Rusaknya lapisan dermis bagian bawah hingga lapisan
subcutan.
Stadium IV: Rusaknya lapisan subcutan hingga otot dan tulang.

27
2) Berdasarkan warna dasar luka ( Netherlands wounncare consultant
society,1984) :
a) Red ( Merah) : merupakan jaringan sehat, granulasi / epitilisasi,
vaskuler baik mungkin luka akan berwarna pink, merah, merah tua.
b) Yellow ( kuning) : Luka berwarna kuning muda, kuning kehijauan,
kuning tua ataupun kuning kecoklatan, merupakan jaringan mati yang
lunak, fibrinolitik, dan avaskulerisasi.
c) Black ( Hitam): jaringan nekrotik dan avskularisasi.
3) Stadium wagner ( khusus luka ganggren diabetic) :
a) Superficial ulcers:
(1)Stadium 0: Tidak terdapat lesi, kulit dalam keadaan baik, tetapi
dengan bentuk tulang kaki yang menonjol / charcot arthropathies.
(2)Stadium I: Hilangnya lapisan kulit hingga dermis & kadang tampak
tulang menonjol.
b) Deep Ulcers :
(1)Stadium II : Lesi terbuka dengan penetrasi ke tulang atau tendo
disertai goa.
(2)Stadium III : Penetrasi dalam, osteomylitis, plantar abses atau
infeksi hingga tendon
c) Ganggren :
Stadium IV : Seluruh kaki dalam kondisi nekrotik ( ganggren ).
c. Bentuk & Ukuran Luka :
Misalnya : Jika mengukur kedalam luka / goa pada luka, gunakan alat
ukur kapas lidi / pinset steril sekali pakai ( selanjutnya ukur dg meteran &
dokumentasikan).
1) Pengukuran Luka dengan Tiga Demensi
Pengukuran ini mempergunakan arah jarum jam. Dilakukan dengan
mengkaji panjang, lebar dan kedalamam luka, hal ini wajib dilaksanakan
oleh perawat untuk menilai ada/ tidaknya goa (sinus trackat atau
undermining) yang merupakan ciri khas luka ganggren diabetik. Ukur
kedalaman luka dengan mempergunakan lidi kapas / pinset steril dengan
hati-hati dengan arah pengukuran searah jarum jam.

28
12
11 1
10 2

9 3

8 4
2 cm di jam 6
7 5
6
Gambar 3.2 Pengukuran luka menggunakan arah jarum jam
Keterangan:
a). 2 cm : lokasi goa yang terdapat di jam 6 dengan
kedalaman luka 2 cm
b). 3 x 2 cm : adalah panjang 3 cm x lebar luka 2 cm
c). 1 cm : adalah kedalaman luka.
d. Status Vaskuler.
1) Palpasi : Status perfusi dinilai dengan melakukan palpasi pada
daerah tibia dan dorsalis pedis untuk menilai ada / tidaknya denyut
nadi ( arteri dorsalis pedis ) Pada pasien dengan lanjut usia ( lansia)
terkadang sulit diraba, jalan keluarnya dapat menggunakan alat
stetoskope ultra sonic dopler
2) Capillery Refill merupakan waktu pengisian kaviler dan di evaluasi
dengan memberi tekanan pada ujung jari atau ujung kuku kaki (
ektremitas bawa, setelah tampak kemerahan atau putih bila
dilakukan penekanan pada ujung kuku. Pada beberapa kondisi
menurunnya atau bahkan hilangnya deng nadi, pucat, kulit dingin
merupakan indikasi iskemia ( arteri insufgiciency ) dengan
capillary refill lebih dari 40 detik.

29
Capillery Repill Time ( dasar memperkirakan kecepatan
aliran darah/ perfusi)
- Normal : 10-15 detik.
- Iskemia : 15- 25 detik
- Iskemia berat: 25- 40detik
- Iskemia sangat berat: lebih
dari 40dtk

Gambar 3.3 Ukuran perfusi / CRT


3) Edema merupakan penilaian ada/ tidaknya edema dengan
melakukan penekanan dengan jari tangan pada tulang yang
menonjol umumnya pada tibia malleolus. Kulit / jaringan yang
mengalami edema tampak lebih coklat kemerahan atau mengkilat,
adanya edema menunjukkan gangguan aliran darh balik vena.
Tingkat Edema
0 – 0,6 cm : + 1 ( medle)
0,6 – 1,2 cm: + 2 ( moderate)
1,2 – 2,5 cm: +3 ( severe )

Gambar 3.4 Tingkatan Edema


4) Temperatur Kulit memberi informasi tentang kondisi perfusi
jaringan dan fase inflamasi serta merupakan variable penting dalam
menilai adanya peningkatan atau penurunan perfusi jaringan
terhadap tekanan ( ransangan tekanan ). Cara melakukan penilaian
dengan melakukan palpasi / menempelkan punggung tangan pada
kulit sekitar luka & membandingkan dengan kulit bagian lain yang
sehat.
e. Status Neurologi
Pengkajian status neurologi penting pada pasien diabetis melirus
untuk menilai fungsi motorik, sensorik, dan saraf otonom. Pada motorik
lakukan inspeksi pada bentuk kaki seperti jari2 telapak kaki yg menonjol,
adanya kallus karena penekanan secara terus menerus yang dapat
menjadi luka. Penilaian sensorik dapat berupa baal, kesemutan, dilakukan
dengan cara melakukan palpasi / sentuhan pada jari2 satu persatu ,
telapak kaki dan anjurkan pasien untuk memejamkan mata, hal ini

30
dilakukan untuk menilai sensitivitas pada ekstremitas bawah, selanjutnya
penilaian otonom dilakukan dg cara inspeksi pada kaki secara seksama
terhadap adanya kekeringan, luka/lecet kulit terkelupas akibat
berkurangnya pengeluaran keringat ( kekeringan)
f. Infeksi.
Psedomonas dan stapilococcus aureus merupakan mikroorganisme
patogen yang paling sering muncul pada luka ganggren & merupakan jenis
luka kronis yang terkontaminasi, adanya kolonisasi bakteri mengindikasikan
luka tersebut telah terinfeksi. Luka yang telah terinfeksi menunjukkan
adanya infeksi secara:
1) Infeksi Sistemik: Pada pemeriksaan laboratorium , adanya peningkatan
jumlah leukosit (lekositosis) lebih dari batas normal, dan peningkatan /
penurunan suhu tubuh.
2) Lokal Infeksi : Tampak peningkatan jumlah eksudat, berbau tidak sedap,
penurunan vaskularisasi, adanya jaringan nekrotik/ slough, eritema/
kemerahan pada kulit sekitar luka, terba hangat/ panas dan nyeri tekan
setempat.Infeksi dapat meluas dg cepat hingga tulang (osteomylitis)
dapat dilihat dg X-rays) atau bahkan adanya krepitasi pada daerah luka
mengindikasikan adanya gas ganggren ( sangat berbahaya & menular)
perawat wajib waspada gunakan alat pelindung diri saat pengkajian luka.
Pemerikasaan kultur pus / darah merupakan rekomendasi untuk
pemberian antibiotika oleh dokter.
Tehnik Pengambilan Kultur Pus
- Cuci luak dg Nacl0,9%& diamkan 5-10
mnt sampai cairan eksudat keluar
- Lakukan teknik pengambilan pus dg zig- Gambar 3.5 Teknik
zag ( 10X swab) dg tehnik steril ( dg lidi Pengambilan kultur pus.
kapas steril)
- Simpan dlm tempat steril & segera kirim
ke laboratorium

Zig-Zag Teknik

31
2. Analisa Data
NO DATA ETIOLOGI PROBLEM
1. DS: Gangguan metabolisme KH Ketidakseimbangan
Pada data subjektif umumnya nutrisi kurang dari
akan ada keluhan dalam Liposis meningkat kebutuhan tubuh
nafsu makan, lemah, mual
dan muntah Ketosis
DO:
Pada pengkajian akan tampak Mual muntah
lemah, bibir mukosa pucat,
akan tampak adanya Ketidakseimbangan nutrisi
sariawan, dan dan ketika di kurang dari kebutuhan tubuh
palpasi rambut rontok dengan
berlebih.
2. DS : Gangguan metabolisme KH Defisit volume cairan
Pada data subjektif umumnya
akan ada keluhan lemah dan Penggunaan glukosa
sering merasa haus.
DO : Hiperglikemi
Pada pemeriksaan akan
tampak turgor kulit jelek, Glikosuria
membran mukosa kering,
ketika di palpasi akan adanya Diuresis osmotik menurun
takikardia, dan berat badan
menurun. Volume sirkulasi menurun

Defisit volume cairan


3. DS : Mengendapnya glukosa dalam Kerusakan integritas
Pada data subjektif adanya pembuluh darah kulit
keluhan mengenai luka di
tubuhnya. Suplai O2 dan nutrisi ke
jaringan terhambat

32
DO :
Pada pemeriksaan tampak Nekrotik jaringan gangren
adanya luka, turgor kulit
jelek, membran mukosa Kerusakan integritas kulit
kering, dan kemerahan.
4. DS :- Angiopati Resiko infeksi
DO :- Mikroangiopati

Perubahan kulit

Ulserasi

Resiko infeksi

3. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan gangguan metabolisme.
b. Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare, muntah,
poliuria, evaporasi.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan nekrotik jaringan.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan ulserasi.

4. Intervensi Keperawatan

No Dignosa Tujuan Intervensi Rasional


1. Ketidakseimbangan TUPAN : 1. Timbang berat badan. 1. Penurunan berat
nutrisi kurang dari Setelah dilakukan badan menunjukkan
kebutuhan tubuh tindakan tidak ada
berhubungan keperawatan 3x24 kuatnya nutrisi
dengan defisiensi jam diharapkan klien.
insulin/penurunan klien akan 2. Auskultasi bowel 2. Hiperglikemia dan
intake oral. mendapat asupan sound. ketidakseimbangan
makanan yang cairan
adekuat. dan elektrolit
menyebabkan

33
TUPEN : penurunan motilifas
Setelah dilakukan usus.
tindakan 3. Berikan makanan 3. Pemberian makanan
keperawatan 1x24 lunak / cair. oral
jam diharapkan dan lunak berfungsi
tercapainya tujuan untuk
sesuai kriteria hasil meresforasi fungsi
: usuS.
1. Peningkatan 4. Observasi tanda 4. Metabolisme KH
barat badan. hipoglikemia akan
2. Pemeriksaan misalnya : penurunan menurunkan
albumin dan tingkat kesadaran, kadarglukosa
globulin dalam denyut nadi cepat, dan bila saat itu
batas normal. lapar, kecemasan dan diberikan insulin
3. Turgor kulit nyeri kepala. akan menyebabkan
baik, hipoglikemia.
mengkonsumsi 5. Berikan Insulin. 5. Akan mempercepat
makanan sesuai pengangkutan
program. glukosa ke dalam sel
2. Defisit volume TUPAN : 1. Kaji pengeluaran urine 1. Membantu dalam
cairan berhubungan Setelah dilakukan memperkirakan
dengan tindakan kekurangan
hiperglikemia, keperawatan 3x24 volume total.
diare, jam diharapkan 2. Pantau tanda-tanda 2. Perubahan tanda-
muntah, poliuria, klien hidrasi vital tanda vital
evaporasi. adekuat. dapat diakibatkan
TUPEN : oleh rasa nyeri dan
Setelah dilakukan indikator
tindakan untuk menilai
keperawatan 1x24 keadaan
jam diharapkan perkembangan
tercapainya tujuan penyakit.
sesuai kriteria hasil 3. Monitor pola napas 3. Paru-paru
: mengeluarkan asam
1) Nadi perifer karbonat melalui
dapat teraba, turgor pernapasan
kulit baik. menghasilkan
2) Vital sign dalam alkalosis
batas normal, respiratorik .
haluaran urine 4. Observasi frekuensi 4. Koreksi
lancer. dan kualitas hiperglikemia dan
3) Kadar elektrolit pernapasan. asidosis akan

34
dalam batas normal mempengaruhi
pola dan frekuensi
pernapasan.
5. Kaji pengeluaran urine 5. Memberikan
perkiraan
kebutuhan akan
cairan pengganti
fungsi ginjal.
3. Kerusakan TUPAN : 1. Observasi tanda – tanda Kemerahan, edema,
integritas kulit Setelah dilakukan infeksi. luka drainase, cairan
berhubungan tindakan dari luka menunjukkan
dengan adanya keperawatan 3x24 adanya infeksi.
luka. jam diharapkan 2. Ajarkan klien untuk 2. Mencegah cross
integritas kulit utuh mencuci tangan dengan contamination.
dan terhindar dari baik.
infeksi. 3. Pertahankan kebersihan 3. Gangguan sirkulasi
TUPEN : kulit. perifer dapat terjadi bila
Setelah dilakukan menempatkan pasien
tindakan pada kondisi resiko
keperawatan 1x24 iritasi kulit.
jam diharapkan 4. Dorong klien 4. Peningkatan
tercapainya tujuan mengkonsumsi pengeluaran urine akan
sesuai kriteria hasil diet secara adekuat dan mencegah statis
: : intake cairan 3000 ml/hari. dan mempertahankan
1. Tidak ada tanda– PH urine yang dapat
tanda infeksi. mencegah terjadinya
2. Tidak ada luka. perkembangan
3. Tidak ditemukan bakteri.
adanya perubahan 5. Antibiotik bila ada 5. Mencegah terjadinya
warna kulit. indikasi perkembangan bakteri.
4. Resiko infeksi TUPAN : 1. Kaji keadaan kulit yang 1. Mengetahui keadaan
berhubungan Setelah dilakukan rusak. peradangan untuk
dengan penurunan tindakan membantu dalam
fungsi leucosit/ keperawatan 3x24 menanggulangi atau
gangguan sirkulasi. jam diharapkan dapat dilakukan
tidak ada tanda pencegahan.
tanda infeksi. 2. Bersihkan luka dengan 2. Mencegah terjadinya
TUPEN : teknik septic dan inteksi sekunder pada
Setelah dilakukan antiseptic. anggota tubuh yang
tindakan lain.
keperawatan 1x24 3. Kompres luka dengan 3. Selain untuk
jam diharapkan larutan Nacl. membersihkan luka dan

35
tercapainya tujuan juga untuk
sesuai kriteria hasil mempercepat
: pertumbuhan jaringan
1. Luka sembuh 4. Anjurkan pada klien 4. Kelembaban dan
2. Tidak ada agar menjaga predisposisi kulit
edema sekitar terjadinya lesi. kotorsebagai
luka. predisposisi
3. Tidak terdapat terjadinya lesi.
pus, luka cepat 5. Pemberian obat 5. Antibiotik untuk
mengering. antibiotic. membunuh
kuman.

5. Evaluasi
Setelah mendapatkan intervensi keperawatan, maka pasien
dengan trauma Diabetes Melitus diharapkan sebagai berikut :
1. Asupan makanan yang adekuat dan dapat mempertahankan berat
badan serta tidak adanya mual muntah
2. Hidrasi adekuat dengan tanda tanda vital normal dan kadar
elektrolit dalam batas normal.
3. Tidak ditemukan adanya perubahan warna kulit.
4. Tidak terdapat pus, luka cepat mengering.

36
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hiperparatiroidisme adalah berlebihnya produksi hormon paratiroid oleh
kelenjar paratiroid ditandai dengan dekalsifikasi tulang dan terbentuknya batu
ginjal yang mengandung kalsium. Hiperparatiroidisme dibagi menjadi 3, yaitu
hiperparatiroidisme primer, sekunder dan tersier. Hiperparatiroid khususnya
primer adalah gangguan endokrin nomor tiga yang paling umum. Kelainan
hormon paratiroid banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tumor jinak
(adenoma soliter), paratiroid carsinoma, dan hiperplasia pada sel kelenjar
paratiroid yang dapat mengakibatkan terjadinya hiperparatiroidisme.
Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit kronik yang menimbulkan
gangguan multisistem dan mempunyai karakteristik hyperglikemia yang
disebabkan defisiensi insulin atau kerja insulin yang tidak adekuat. Pengkajian
data penyakit Diabetes Mellitus dapat memberikan hasil bervariasi antara pasien
satu dengan yang lain. Pada umumnya data dan gejala yang ditemukan timbul
sebagai akibat terjadinya kekurangan insulin sehingga glukosa tidak masuk ke
dalam sel. Perawatan dan pengobatan Diabetes Mellitus terdiri dari diet, yang
merupakan hal yang sangat berperan, latihan fisik yang tepat, obat-obatan dan
juga pendidikan kesehatan mengenai penyakit tersebut.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis menyarankan beberapa hal
diantaranya :
1. Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada klien dengan
hiperparatiroid dan diabetes melitus.
2. Mahasiswa dapat mengaplikasikan teori yang ada dalam paraktik
keperawatan pada pasien dengan hiperparatiroid dan diabetes melitus.
3. Mahasiswa diharapkan dapat melakukan asuhan keperawatan pada
klien dengan hiperparatiroid dan diabetes melitus.

37
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara,
Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC.

Doenges, Marilyn E, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih
bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC.

Carpenito, Lynda Juall, 1997, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih
bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC.

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP PPNI

38

Anda mungkin juga menyukai