Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALAH

FILARIASIS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas KMB 1
Dosen Pengampu Ns. Diana TL ,M.Kep ,Sp.Kep.MB

Di Susun Oleh:
1. ANA SILFIA ALFIANI (16.006)
2. LEILA LEZILCA (16.051)

AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM IV/DIPONEGORO


SEMARANG
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Filariasis ( penyakit kaki gajah ) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah
penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria ynag ditularkan
melalui gigitan berbagai spesies nyamuk. Di Indonesia, vektor penular filariasis hingga saat
ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anophele, Culex, Mansonia, Aedes, dan
Armigeres. Filariasis dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, tangan, dan
organ kelamin.
Filariasis merupakan jenis penyakit reemerging disease, yaitu penyakit yang dulunya
sempat ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali. Kasus penderita filariasis
khas ditemukan di wilayah dengan iklim sub tropis dan tropis ( Abercrombie et al, 1997)
seperti di Indonesia. Filariasis pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1877, setelah
itu tidak muncul da sekarang muncul kembali. Filariasis tersebar luas hampir di seluruh
Propinsi di Indonesia. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu
tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai
lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang.
Untuk memberantas filariasis sampai tuntas, WHO sudah menetapkan Kesepakatan
Global ( The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem
by The Year 2020 ) yaitu program pengeliminasian filariasis secara masal. WHO sendiri telah
menyatakan filariasis sebagai urutan kedua penyebab cacat permanen di dunia. Di Indonesia
sendiri, tela h melaksanakan eliminasi filariasis secara bertaha p dimulai pada tahun 2002 di
5 kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahunnya.
Upaya pemberantasan filariasis tidak bisa dilakukan olleh pemerintah semata,
masyrakat juga harus ikut memberantas penyakit ini sebagai secara aktif. Dengan mengetahui
mekanisme penyebarab filariasis dan upaya pencegahan, pengobatan serta rehabilitasinya
duharapkan program Indonesia Sehat Tahun2010 dapat terwujud salah satunya adalah
terbebas dari endemi filariasis.
B. RUMUSAN MASALAH
1.1 Apa yang dimaksud dengan filariasis?
1.2 Bagaimana klasifikasi penyakit filariasis meliputi etiologi, manifestasi klinis ,
patofisiologi , penatalaksanaan medis serta pemeriksaan penunjang
1.3 Bagaimana pengkajian keperawatan , diagnosa keperawatan , dan rencana
keperawatan untuk pasien penderita faliariasis.

C. TUJUAN
2.1 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan faliariasis?
2.2 Untuk mengetahui klasifikasi penyakit filariasis meliputi etiologi, manifestasi
klinis , patofisiologi , penatalaksanaan medis serta pemeriksaan penunjang
2.3 Untuk mengetahui pengkajian keperawatan , diagnosa keperawatan , dan rencana
keperawatan untuk pasien penderita faliariasis.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian penyakit filariasis
Filariasis ( penyakit kaki gajah ) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah suatu
infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam saluran limfe dan
kelenjar limfe manusia yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis )
dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin baik perempuan maupun laki – laki.
Cacing filaria berasal dari kelas Secernentea, filum Nematoda. Tiga spesies filaria yang
menimbulkan infeksi pada manusia adalah Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, dan Brugia
Timori ( Elmer R. Noble, 1989 ). Parasit filaria ditularkan melalui gigitan berbagai spesies
nyamuk, memiliki stadium larva, dan siklus hidup yang kompleks. Anak dari cacing dewasa
disebut mikrofilaria.
Pada Wuchereria Bancrofti, mikrofilarianya berukuran ± 250µ, cacing betina dewasa
berukuran panjang 65 – 100 mm dan cacing jantan dewasa berukuran panjang ± 40 mm ( Juni
Prianto L. A . dkk., 1999 ). Diujung daerah kepala membesar, mulutnya berupa lubang
sederhana tanpa bibir ( Oral stylet ), sedangkan pada Brugia Malayi dan Brugia Timori,
mikrofilnya berukuran ± 280µ. Cacing dewasa jantan panjangnya 23 mm dan cacing betina
dewasa panjangnya 39 mm ( Juni Prianto L. A . dkk., 1999 ). Mikrofilnya dilindungi oleh
suatu selubung transparan yang mengelilingi tubuhnya. Aktifitas mikrofilaria sering terjadi
pada malam hari dibandingkan pada siang hari. Pada malam hari mikrofilaria dapat
ditemukan beredar di dalam sistem pembuluh darah tepi. Hal ini terjadi karena mikrofilaria
memiliki granula – granula flouresen yang peka terhadap sinar matahari. Bila terdapat sinar
matahari maka mikrofilaria akan bermigrasi ke dalam kapiler – kapiler paru – paru. Ketika
tidak ada sinar matahari, mikrofilaria akan bermigrasi ke dalam sistem pembuluh darah tepi.
Mikrofilaria ini akan muncul di peredaran darah pada waktu 6 bulan sampai 1 tahun setelah
terjadinya infeksi dan dapat bertahan hidup hingga 5 – 10 tahun.
Hospes cacing filaria ini dapat berupa hewan dan atau manusia yang mengandung parasit
dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada umumnya laki – laki lebih mudah
terinfeksi, karena memiliki lebih banyak kesempatan mendapat infeksi ( eksposure ). Hospes
reservoar adalah hewan yang dapat menjadi hospes bagi cacing filaria, misalnya Brugia
Malayi yang dapat hidup pada kucing, kera, kuda dan sapi.
Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis
cacing filarianya dan habitat nyamuk itu sendiri. Wuchereria Bancrofti yang terdapat di
daerah perkotaan ditularkan oleh Culex Quinquefasciatus, menggunakan air kotor dan
tercemar sebagai tempat perindukannya. Wuchereria Bancrofti yang ada di daerah pedesaan
dapat ditularkan oleh berbagai macam spesies nyamuk. Di Irian
Jaya, Wuchereria bancroftiterutama ditularkan oleh Anopheles farauti yang menggunakan
bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Di daerah pantai di
NTT, Wuchereria bancrofti ditularkan oleh Anopheles subpictus. Brugia malayi yang hidup
pada manusia dan hewan ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Mansonia
uniformis, Mansonia bonneae, dan Mansonia dives yang berkembang biak di daerah rawa di
Sumatera, Kalimantan, dan Maluku. Di daerah Sulawesi, Brugia malayi ditularkan
oleh Anopheles barbirostris yang menggunakan sawah sebagai tempat
perindukannya. Brugia timori ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang berkembang biak
di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. Brugia timori hanya
ditemukan di daerah NTT dan Timor Timur.

1.2 klasifikasi penyakit filariasis meliputi etiologi, manifestasi klinis , patofisiologi ,


penatalaksanaan medis serta pemeriksaan penunjang
1. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial : Wuchereria Bancrofti,
Brugia Malayi, Brugia Timori. cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia
terutama dalam kelenjar getah bening dan darah. infeksi cacing ini menyerang jaringan
viscera, parasit ini termasuk kedalam superfamili Filaroidea, family onchorcercidae.

Cacing ini dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama 4 - 6 tahun dan
dalam tubuh manusia cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak cacing (microfilaria)
yang beredar dalam darah terutama malam hari. Penyebarannya diseluruh Indonesia baik di
pedesaan maupun diperkotaan. Nyamuk merupakan vektor filariasis Di Indonesia ada 23
spesies nyamuk yang diketahui bertindak sebagai vektor dari genus: mansonia, culex,
anopheles, aedes dan armigeres. Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu tergantung dari
spesies dan tipenya.Di Indonesia semuanya nokturna kecuali type non periodic Secara umum
daur hidup ketiga spesies sama Tersebar luas di seluruh Indonesia sesuai dengan keadaan
lingkungan habitatnya. ( Got, sawah, rawa, hutan ).
2. PATOFISIOLOGI
Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit
akan menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi
perubahan dari larva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan
menghasilkan produk – produk yang akan menyebabkan dilaasi dari pembuluh
limfa sehingga terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde.
Akibat dari aliran retrograde tersebut maka akan terbentuk limfedema.
(Witagama,dedi.2009)

Perubahan larva stadium 3 menjadi parasit dewasa menyebabkan antigen


parasit mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingga melepaskan sitokin seperti IL
1, IL 6, TNF α. Sitokin - sitokin ini akan menstimulasi sum- sum tulang sehingga
terjadi eosinofilia yang berakibat meningkatnya mediator proinflamatori dan
sitokin juga akan merangsang ekspansi sel B klonal dan meningkatkan produksi
IgE. IgE yang terbentuk akan berikatan dengan parasit sehingga melepaskan
mediator inflamasi sehingga timbul demam. Adanya eosinofilia dan meningkatnya
mediator inflamasi maka akan menyebabkan reaksi granulomatosa untuk
membunuh parasit dan terjadi kematian parasit. Parasit yang mati akan
mengaktifkan reaksi inflam dan granulomatosa. Proses penyembuhan akan
meninggalkan pembuluh limfe yang dilatasi, menebalnya dinding pembuluh limfe,
fibrosis, dan kerusakan struktur. Hal ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan
limfa ke interstisial yang akan menyebabkan perjalanan yang kronis.
(harun,riyanto.2010)

3. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada
sistem limfatik dengan konsekuensi limfangitis dan limfadenitis. Selain itu, juga
oleh reaksi hipersensitivitas dengan gejala klinis yang disebut occult filariasis.
Dalam proses perjalanan penyakit, filariasis bermula dengan limfangitis dan
limfadenitis akut berulang dan berakhir dengan terjadinya obstruksi menahun dari
sistem limfatik. Perjalanan penyakit berbatas kurang jelas dari satu stadium ke
stadium berikutnya, tetapi bila diurutkan dari masa inkubasi dapat dibagi menjadi:
1. Masa prepaten
Merupakan masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia
yang memerlukan waktu kira-kira 3¬7 bulan. Hanya sebagian tdari penduduk di
daerah endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik
inipun tidak semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa
kelompok ini termasuk kelompok yang asimtomatik baik mikrofilaremik ataupun
amikrofilaremik.
2. Masa inkubasi
Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga munculnya gejala klinis
yang biasanya berkisar antara 8-16 bulan.
3. Gejala klinik akut
Gejala klinik akut menunjukkan limfadenitis dan limfangitis yang disertai panas
dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala
klinis akut dapat mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik.
4. Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria
jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan limfadenitis masih dapat terjadi.
Gejala kronis ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas
penderita serta membebani keluarganya. (Witagama,dedi.2009)
Filariasis bancrofti Pada filariasis yang disebabkan Wuchereria bancrofti
pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis,
epididimitis dan orchitis. Limfadenitis inguinal atau aksila, sering bersama
dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 3-15 hari.
Serangan biasanya terjadi beberapa kali dalam setahun.
Filariasis brugia Pada filariasis yang disebabkan Brugia malayi dan Brugia
timori limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering terjadi setelah
bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh limfe
menjadi keras dan nyeri, dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan
kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi
12 kali dalam satu tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang
terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan
parut yang khas, setelah 3 minggu hingga 3 bulan
Filariasis bancrofti Keadaan yang sering dijumpai adalah hidrokel. Di
dalam cairan hidrokel dapat ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis
terjadi di seluruh tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada,
dengan ukuran pembesaran di tungkai dapat 3 kali dari ukuran asalnya. Chyluria
dapat terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan
penurunan berat badan dan kelelahan. Elefantiasis terjadi di tungkai bawah di
bawah lutut dan lengan bawah. Ukuran pembesaran ektremitas umumnya tidak
melebihi 2 kali ukuran asalnya. (Witagama,dedi.2009)

4. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut sudoyo ( 2006 ), penatalaksanaan filariasis adalah

1. Perawatan umum
a. Istrahat ditempat tidur, pindah tempat kedaerah yang dingin akan megurangi
derajat serangan akut.
b. Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi skunder dan abses
c. Pengikatan didaerah pembendungan akan mengurangi edema
2. Medis
Dietilkarbamasin sitrat (DEC) merupakan obat filariasis yang ampuh, baik
untuk filariasis bancrofti maupun brugia, bersifat makrofilarisidal dan
mikrofilarisidal. Obat ini ampuh, aman dan murah, tidak ada resistensi obat,
tetapi memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara.
Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada
berbagai bagian tubuh, persendian, pusing, anoreksia, kelemahan, hematuria
transien, alergi, muntah dan serangan asma. Reaksi lokal dengan atau tanpa
demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, limfedema transien, hidrokel,
funikulitis dan epididimitis. Reaksi samping sistemik terjadi beberapa jam setelah
dosis pertama, hilang spontan setelah 2-5 hari dan lebih sering terjadi pada
penderita mikrofilaremik.
Reaksi samping ditemukan lebih berat pada pengobatan filariasis brugia,
sehingga dianjurkan untuk menurunkan dosis harian sampai dicapai dosis total
standar, atau diberikan tiap minggu atau tiap bulan. Karena reaksi samping DEC
sering menyebabkan penderita menghentikan pengobatan, maka diharapkan dapat
dikembangkan penggunaan obat lain (seperti Ivermectin) yang tidak/kurang
memberi efek samping sehingga lebih mudah diterima oleh penderita.
DEC tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis. Pengobatan diberikan
peroral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam
darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air kemih. DEC tidak diberikan pada
anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat
atau dalam keadaan lemah.
Pada filariasis bancrofti, Dietilkarbamasin diberikan selama 12 hari sebanyak
6 mg/kg berat badan, sedangkan untuk filariasis brugia diberikan 5 mg/kg berat
badan selama 10 hari. Padaoccult filariasis dipakai dosis 5 mg/kg berat badan
selama 23 minggu.
Pengobatan sangat baik hasilnya pada penderita dengan mikrofilaremia,
gejala akut, limfedema, chyluria dan elephantiasis dini. Sering diperlukan
pengobatan lebih dari 1 kali untuk mendapatkan penyembuhan sempurna.
Elephantiasis dan hidrokel memerlukan penanganan ahli bedah.
Pengobatan nonfarmako pada filariasis adalah istirahat di tempat tidur,
pengikatan di daerah pembendungan untuk mengurangi edema, peninggian
tungkai, perawatan kaki, pencucian dengan sabun dan air, ekstremitas digerakkan
secara teratur untuk melancarkan aliran, menjaga kebersihan kuku, memakai alas
kaki, mengobati luka kecil dengan krim antiseptik atau antibiotik, dekompresi
bedah, dan terapi nutrisi rendah lemak, tinggi protein dan asupan cairan tinggi
Dalam pelaksanaan pemberantasan dengan pengobatan menggunakan DEC
ada beberapa cara yaitu dosis standard, dosis bertahap dan dosis rendah.
Dianjurkan Puskesmas menggunakan dosis rendah yang mampu
menurunkan mf rate sampai < 1%. Pelaksanaan melalui peran serta masyarakat
dengan prinsip dasa wisma. Penduduk dengan usia kurang dari 2 tahun, hamil,
menyusui dan sakit berat ditunda pengobatannya. DEC diberikan setelah makan
dan dalam keadaan istirahat.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut sudoyo ( 2006 ), pemeriksaan diagnostik filariasis adalah

1. Pemeriksaan darah lengkap


2. Pemeriksaan USG Dopler skrotum pada pria dan payudara pada wanita
memperlihatkan adanya cacing dewasa yang bergerak aktif di dalam pembuuh
getah bening yang mengalami dilatasi
3. Pemeriksaaan PCR untuk mendeteksi DNA W. Bancrofi sudah mulai
dikembangkan.
4. Tes ELISA dan ICT untuk memeriksa antigen W. Bancrofit yang bersirkulasi.
5. Pemeriksaan serologi antibodi ( antibody subklas IgG4 ), digunakan untuk
mendeteksi W. Bancrofit.

1.3 Bagaimana pengkajian keperawatan , diagnosa keperawatan , dan rencana


keperawatan untuk pasien penderita faliariasis.
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a. Riwayat kesehatan
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun.
Cacing filariasis menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk infektif yang
mengandung larva stadium III. Gejala yang timbul berupa demam berulang-ulang 3-
5 hari, demam ini dapat hilang pada saat istirahat dan muncul lagi setelah bekerja
berat.
b. Aktifitas / Istirahat
Gejala : Mudah lelah, intoleransi aktivitas, perubahan pola tidur.
Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktivitas
( Perubahan TD, frekuensi jantung)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan peradangan pada kelenjar getah
bening
2. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar limfe
3. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan fisik
4. Mobilitas fisik terganggu berhubungan dengan pembengkakan pada anggota
tubuh
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bakteri, defisit imun, lesi pada
kulit
C. RENCANA KEPERAWATAN
1. Diagnosa Keperawatan : Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan peradangan
pada kelenjar getah bening
Hasil yang diharapkan : Suhu tubuh pasien dalam batas normal.
Intervensi Rasional
• Berikan kompres pada daerah frontalis dan axial
• Monitor vital sign, terutama suhu tubuh
• Pantau suhu lingkungan dan modifikasi lingkungan sesuai kebutuhan, misalnya
sediakan selimut yang tipis
• Anjurkan kien untuk banyak minum air putih
• Anjurkan klien memakai pakaian tipis dan menyerap keringat jika panastinggi.
• Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi pengobatan.
Rasionalisai :
• Mempengaruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus, mengurangi panas tubuh
yang mengakibatkan darah vasokonstriksi sehingga pengeluaran panas secara
konduksi.
• Untuk mengetahui kemungkinan perubahan tanda-tanda vital
• Dapat membantu dalam mempertahankan / menstabilkan suhu tubuh pasien.
• Diharapkan keseimbangan cairan tubuh dapat terpenuhi
• Dengan pakaian tipis dan menyerap keringat maka akan mengurangi penguapan
• Diharapkan dapat menurunkan panas dan mengurangi infeksi
2. Diagnosa Keperawatan : Nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjarlimfe.
Hasil yang diharapkan : Nyeri hilang
Intervensi :
1. Berikan tindakan kenyamanan (pijatan / atur posisi), ajarkan teknik relaksasi.
2. Observasi nyeri (kualitas, intensitas, durasi dan frekuensi nyeri).
3. Anjurkan pasien untuk melaporkan dengan segera apabila ada nyeri.
4. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi pengobatan
(obat anelgetik).
Rasional:
1. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dapat
meningkatkankoping.
2.Menentukan intervensi selanjutnya dalam mengatasi nyeri
3.Nyeri berat dapat menyebabkan syok dengan merangsang sistem
syarafsimpatis, mengakibatkan kerusakan lanjutan
4. Diberikan untuk menghilangkan nyeri.
5.Diagnosa keperawatan : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
pembengkakan limfe
Intervensi :
· Lakukan Retang Pergerakan Sendi (RPS)
· Tingkatkan tirah baring / duduk
· Berikan lingkungan yang tenang
· Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi
· Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas
Rasional :
· Meningkatkan kekuatan otot dan mencegah kekakuan sendi
· Meningkatkan istirahat dan ketenangan, menyediakan enegi untuk
penyembuhan
· Meningkatkan istirahat dan ketenangan, menyediakan enegi untuk
penyembuhan
· tirah baring lama dapat meningkatkan kemampuan
· Menetapkan kemampuan / kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan
intervensi
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Melakukan tindakan sesuai dengan apa yang telah direncanakan dan mencatat setiap
tindakan yang dilakukan pada pasien dengan tujuan untuk kesejahteraan dan
kesehatan klien.
E. EVALUASI KEPERAWATAN
Mengevaluasi semua tindakan yang telah diberikan pada pasien. Jika dengan
tindakan yang diberikan pasien mengalami perubahan menjadi lebih baik maka
tindakan dapat dihentikan jika sebaliknya keadaan pasien menjadi lebih buruk,
kemungkinan besar tindakan harus mengalami perubahan atau perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI,Ditjen PPM & PL- Direktorat P2B2 Subdit Filariasis & Schistosomiasis,

2002, Pedoman Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah (Filariasis), Jakarta.

Doengoes C Marilym. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Price S.A Wilson. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Jakarata: EGC

Smeltzer C Suzanne. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC
Sudoyo, Aru W, dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.

Jakarta: FKUI

Syaifudin. (2006). Anatomi Fisioloi; untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi III.

Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai