Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

PERCOBAAN II

PENETAPAN WAKTU PENGAMBILAN CUPLIKAN

DAN ASUMSI MODEL KOMPARTEMEN

Disusun oleh :

1. Mafidatul Khoiriyah (1041311090)

2. Maharani Inka R.N (1041311091)

3. Myrna Ayu N.U (1041311102)

4. Naila N.A. (1041311103)

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI

“YAYASAN PHARMASI SEMARANG”

2015
PERCOBAAN II

PENETAPAN WAKTU PENGAMBILAN CUPLIKAN

DAN ASUMSI MODEL KOMPARTEMEN

I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mampu memperkirakan model kompartemen kinetika obat berdasarkan kurva
semi logaritma kadar obat dalam darah terhadap waktu.
2. Mahasiswa mampu menetapkan jadwal dan jumlah pencuplikan serta lamanya
sampling untuk pengukuran parameter farmakokinetika berdasarkan model
kompartemen yang telah ditetapkan
3. Mampu menggunakan dosis obat yang tepatuntuk subyek uji

II. DASAR TEORI

Model Farmakokinetik merupakan suatu hubungan matematik yang menggambarkan


perubahan konsentrasi terhadap waktu dalam sistem yang diperiksa (Mutschler,1991).

Obat berada dalam suatu keadaan dinamik dalam tubuh. Dalam suatu sistem biologik
peristiwa – peristiwa yang dialami obat seringterjadi secara serentak. Dalam
menggambarkan sistem biologik yang komplekstersebut, dibuat penyederhanaan anggapan
mengenai pergerakan obat itu.

Suatu hipotesis atau model disusun dengan menggunakn istilah matematik, yang
memberi arti singkat dari pernyataan hubungan kuantitatif. Berbagai model matematik dapat
dirancang untuk meniru proses laju absorpsi, distribusi dan eliminasi obat. Model matematik
ini memungkinkan pengembangan persamaan untuk menggambarkan konsentrasi obat
dalam tubuh sebagai fungsi waktu. Model farmakokinetik berguna untuk :

a. Memperkirakan kadar obat dalam plasma, jaringan dan urine pada berbagai pengaturan
dosis
b. Menghitung pengaturan dosis optimum untuk tiap penderita secara individual
c. Memperkirakan kemungkinan akumulasi obat dngan aktivitas farmakologi atau
metabolit – metabolit
d. Menghibungakan kemungkinan konsentrasi obat dengan aktivitas farmakologik atau
toksikologik
e. Menilai perubahan laju atau tingkat availabilitas antar formulasi
f. Menggambarkan perubahan faal atau penyakit yang mempengaruhi absorbsi, distribusi
dan eliminasi
g. Menjelaskan interaksi obat (Shargel dan Yu, 1988).

Lama pengambilan cuplikan perlu diperhatikan. Jika darah digunakan sebagai


cuplikan, pencuplikan dilakukan sampai 3-5 x t½ eliminasi obat. Jika digunakan urine,
sampai 7-10x t½ eliminasi. Macam model kompartemen, yakni :

1. Model Mammillary
Model terdiri atas satu atau lebih kompartemen perifer yang dihubungkan ke suatu
kompartemen sentral. Kompartemen sentral mewakili plasma dan jaringan-jaringan yang
perfusinya tinggi dan secara cepat berkesetimbangan dengan obat. Model mamillary
dapat dianggap sebagai suatu sistem yang berhubungan secara erat, karena jumlah obat
dalam setiap kompartemen dalam setiap sistem tersebut dapat diperkirakan setelah obat
dimasukkan ke dalam suatu kompartemen tertentu. Menurut Mammillary model
kompartemen dibagi menjadi :

a) Kompartemen satu terbuka iv


Perfusi terjadi sangat cepat seperti tanpa proses distribusi sebab distribusi tidak
diamati karena terlalu cepatnya. (Hanya ada satu fase yaitu eliminasi).

b) Kompartemen satu terbuka ev


Sebelum memasuki kompartemen sentral, obat harus mengalami absorbsi. (Terdiri
dari 2 fase yaitu absorbsi dan eliminasi)
c) Kompartemen 2 terbuka iv
Kompartemen dianggap hanya satu dan ada proses distribusi dari sentral ke perifer
atau sebaliknya. Tidak ada proses absorbsi tetapi ada proses eliminasi.

d) Kompartemen 2 terbuka ev
Obat mengalami proses absorpsi, distribusi dan eliminasi.

2. Model Caternary
Dalam farmakokinetika model mammilary harus dibedakan dengan macam
model kompartemen yang lain yang disebut model caternary. Model caternary terdiri
atas kompartemen-kompartemen yang bergabung satu dengan yang lain menjadi satu
deretan kompartemen. Sebaliknya, model mammilary terdiri atas satu atau lebih
kompartemen yang mengelilingi suatu kompartemen sentral.
3. Model Fisiologik (Model Aliran)
Model fisiologik juga dikenal sebagai model aliran darah atau model perfusi,
merupakan model farmakokinetik yang didasarkan atas data anatomik dan fisiologik
yang diketahui. Makna yang nyata dari model fisiologik adalah dapat digunakannya
model ini dalam memprakirakan farmakokinetika pada manusia dari data hewan. Jadi,
parameter-parameter fisiologik dan anatomik dapat digunakan untuk memprakirakan
efek obat pada manusia berdasar efek obat pada hewan (Shargel dan Yu, 1988).

Dalam sebuah analisis obat dalam cairan hayati, ada hal-hal penting dalam rangka
penelitian farmakokinetika yang digunakan sebagai parameter-parameter antara lain:

a. Tetapan (laju) invasi atau tetapan absorpsi


b. Volume distribusi menghubungkan jumlah obat di dalam tubuh dengan konsentrasi
obat (C) di dalam darah atau plasma
c. Ikatan protein
d. Tetapan (laju) eliminasi dan waktu paruh dalam plasma (t1/2)
e. Klirens renal, eksternal dan total
f. Luas di bawah kurva dalam plasma (AUC)
g. Ketersediaan hayati (Mutshler ; 1997).

Metode-metode tradisional untuk mendeteksi dan mengukur obat pada sampel


pasien umumnya memerlukan banyak tenaga, peralatan yang khusus, dan berlangsung
relative lambat, bahkan di institusi-institusi yang memiliki fasilitas analisis di tempat.
Untungnya telah muncul immunoassay yang dapat diterapkan untuk mmengukur
berbagai obat dengan indeks terapi yang rendah dengan pengukuran kadarnya sangat
penting untuk merencanakan terapi.

(Ronald A. Sacher, 2004, hal. 599)

Spektrofotometri adalah salah satu metode tradisional yang masih digunakan


untuk banyak obat yang memiliki spectrum absorbs khas. Banyak obat baru yang
kompleks dengan sifat dan ikatan-ikatan kimiawi tidak lazim yang sering dapat diukur
dengan spektrofotometri setelah ekstraksi dari serum atau cairan biologis lain. Obat
kemudian dimasukkan ke dalam suatu pelarut atau diderivatkan atau diturunkan
sedemikian rupa sehingga puncak absorbs menjadi maksimum.

(Ronald A. Sacher, 2004, hal. 600)


Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu,
berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan bahwa parameter tersebut
memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Beberapa parameter analisis yang harus
dipertimbangkan dalam validasi metode analisa diuraikan dan didefinisikan sebagaimana
cara penentuannya.

1. Kecermatan

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajad kedekatan hasil analisis


dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan
kembali (recovery) analit yang ditambahkan.

2. Keseksamaan

Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajad kesesuaian antara hasil


uji individual, diukur melalui penyetaraan hasil individual dari rata-rata jika prosedur
diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang
homogeny.

3. Selektifitas (spesifisitas)

Selektifitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang hanya


mengukur zat tertentu saja seara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain
yang mungkin ada dalam matriks sampel.

4. Linieritas dan rentang

Linieritas adalah kemmapuan metode analisis yang memberikan respon yang


secara langsung atua dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional
terhadap konsentrasi analit dalam sampel.

(Majalah Ilmu Kefarmasian Vol. I no. 3, 2004, hal. 117-135)


Acetaminophen (BM:151,16)

OH
O

N
H
acetaminophen

Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0%
C8H9NO2, dihitung terhadap zat anhidrat.

Pemerian : serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.

Kelarutan : larut dalam air mendidih dan dalam NaOH 1N; mudah larut dalam
etanol

(Depkes RI.1995).

Resorpsinya, dari usus cepat dan praktis tuntas, secara rectal lebih lambat. PP-
nya 25%, plasma t 1/2 nya 1-4 jam. Antara kadar plasma dan efeknya tidak ada
hubungan. Dalam hati zat ini diuraikan menjadi metaboli-metabolit toksis yang
diekskresi dengan kemih sebagai konjugat glukuronida dan sulfat.

Efek samping tak jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan
darah. Pada penggunaan kronis dari 3-4g sehari dapat terjadi kerusakan hati dan pada
dosis diatas 6g mengakibatkan necrosis hati yang tidak reversible.

(Tjay Tan Hoan.2007.hal:318)


Natrium Salisilat (BM:160,11)

Natrium salisilat mengandung tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih dari
100,5% C7H5NaO3 dihitung terhadap zat anhidrat.

Pemerian : serbuk mikrohablur atau amorf atau keping, tidak berwarna, atau
merah muda lemah, tidak berbau atau bau khas lemah, dan
dipengaruhi cahaya. Larutan segar ( 1 dalam 10 )bereaksi netral atau
asam terhadap lakmus.
Kelarutan : mudah larut secara lambat didalam air dan dalam gliserin; sangat
mudah larut dalam air mendidih dan dalam metanol mendidih; larut
secara lambat dalam etanol.
Identifikasi : larutan ( 1 dalam 20 ) menunjukan reaksi Natrium cara A dan B dan
reaksi Salisilat seperti yang tertera pada uji identifikasi umum.

(Depkes RI.1979.hal 424)


III. ALAT DAN BAHAN
A. ALAT
 Labu takar
 Mikropipet
 Tabung reaksi
 Tabung penampang darah
 Vortex-mixer
 Sentrifuge
 Spektrofotometer

B. BAHAN
 Na.salisilat
 Paracetamol
 Asam trikloroasetat (TCA) 5%
 Asam trikloroasetat (TCA) 20%
 Natrium nitrit 0,1%
 Natrium nitrit 10%
 Asam sulfamat 0,5%
 Asam sulfamat 15%
 N(1-naftil)etilendiamin 0,1%
 HCl 6N
 Heparin
 NaOH 0,1%
 NaOH 10%
IV. SKEMA KERJA

NATRIUM SALISILAT
a. Pembuatan larutan Baku induk Natrium Salisilat

Ditimbang 50,0 mg Natrium Salisilat

Dimasukkan dalam labu takar 100,0 ml

Dilarutkan dengan aquadest,dihomogenkan

Larutan stok Natrium Na-salisilat 2 mg/ml atau 2000 𝜇𝑔/ ml

b. Pembuatan Kurva Baku Internal Natrium Salisilat

Dihitung volume stok Natrium Salisilat dan volume darah yang digunakan untuk
membuat deret konsentrasi 0; 25; 50 ; 75 ; 100 ; 125 μg/ml sebanyak 500 μl

Darah + heparin Baku Induk Natrium Salisilat

Divortex

Ditambah 4,5 ml pereaksi Trinder

Divortex

Disentrifuge (10 menit, 2500 rpm)

Diambil beningan dan di ukur serapannya pada panjang gelombang maksimal


c. Penetapan Dosis Natrium salisilat

Ditimbang bobot tikus yang digunakan dalam praktek

Dihitung dosis untuk tikus dengan konversi dari dosis lazim untuk Natrium
Salisilat manusia (750mg/50 kgBB)
d. Uji Pendahuluan Farmakokinetika Natrium Salisilat

Ditimbang bobot tikus yang digunakan dalam praktek

Dihitung dosis untuk tikus dengan konversi dari dosis lazim untuk Natrium
Salisilat manusia (750mg/50 kgBB)

Dibuat larutan stok suspensi untuk Natrium Salisilat ( bobot tikus terbesar)

Diambil darah tikus sebagai blangko

Diberikan suspensi Natrium Salisilat secara per oral (p.o) kepada tikus sesuai
dengan dosis dan VP

Dilakukan pencuplikan darah lewat


is dan vena pemberian
volume ekor pada waktu ke 0; 15; 30; 60 ;90
;120 ;150 ;180 menit sebanyak 500 𝜇𝑔/ ml

Masing-masing cuplikan ditambah 4,5 ml pereaksi tinder

Divortex

Disentrifuge 2500 rpm selama 10 menit

Diambil 1500 𝜇𝑔/ ml plasma bening

Ukur abs dengan panjang gelombang dari 400-600nm

Dibuat kurva waktu vs log Cp


Ditentukan model kompartemen dan jadwal, jumlah, serta lamanya sampling
cuplikan berdasarkan model kompartemen

Ditentukan dosis Natrium Salisilat berdasarkan model farmakokinetika yang


telah ditetapkan.
PARACETAMOL

a. Pembuatan larutan Baku induk Paracetamol

Ditimbang 100,0 mg Paracetamol

Dimasukkan dalam labu takar 100,0 ml

Dilarutkan dengan aquadest,dihomogenkan

Larutan stok Paracetamol 1000 𝜇𝑔/ ml


b. Pembuatan Kurva Baku Internal Parasetamol

Dihitung volume stok Paracetamol dan volume darah yang digunakan untuk
membuat deret konsentrasi 0 ; 100 ; 200 ; 300; 400 ;500; 600 ; 700 μg/ml
sebanyak 250 μl

Darah + heparin Baku Induk Paracetamol

Divortex

Ditambah 2,0 ml TCA 20%


dengan vortexing

Disentrifuge (10 menit, 2500 rpm)

Diambil 1.5 ml plasma bening

Dimasukkan labu takar 10,0 ml

Di dalam tiap-tiap labu takar

Ditambah 0,5ml HCl 6


N 1,0 ml NaNO2 10%

Ditambah 1,0 ml NaNO2


10%
Dicampur baik-baik

Didiamkan 15’ (suhu 150C)


Ditambah 1,0 ml Asam
Sulfamat 1% dan 3,5 NaOH
10%
Di ad dengan aquadest,
homogenkan

Dibaca absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 435


nm
c. Penetapan Dosis Paracetamol

Ditimbang bobot tikus yang digunakan dalam praktek

Dihitung dosis untuk tikus dengan konversi dari dosis lazim untuk
Parasetamol (750 mg/50 kgBB)

d. Uji Pendahuluan Farmakokinetika Paracetamol

Ditimbang bobot tikus yang digunakan dalam praktek

Dihitung dosis untuk tikus dengan konversi dari dosis lazim untuk
Parasetamol (750 mg/50 kgBB)

Dibuat larutan stok suspensi untuk Parasetamol ( bobot tikus terbesar)

Diambil darah tikus sebagai blangko

Diberikan suspensi Parasetamol secara per oral (p.o) kepada tikus sesuai
dengan dosis dan VP

Dilakukan pencuplikan darah lewat


is dan venapemberian
volume ekor pada waktu ke 0 ; 15 ; 30 ; 60 ;
90 ; 120 ; 150 ; 180 menit sebanyak 250 𝜇𝑔/ ml

Ditambah 2,0 ml TCA 20% divortexing

Disentrifuge (10 menit, 2500 rpm)

Diambil plasma bening (supernatan)

Dimasukkan labu takar 10,0 ml

Di dalam tiap-tiap labu takar

Ditambah 0,5ml HCl 6


N 1,0 ml NaNO2 10%
Ditambah 1,0 ml NaNO2
10%

Dicampur baik-baik

Didiamkan 15’ (suhu 150C)

Ditambah 1,0 ml Asam


Sulfamat 1% dan 3,5 NaOH
10%

Diad dengan aquadest


,homogenkan

Dibaca intensitas warna pada λ max

Dibuat kurva waktu vs log Cp

Ditentukan model kompartemen dan jadwal, jumlah, serta lamanya sampling


cuplikan berdasarkan model kompartemen

Ditentukan dosis Parasetamol berdasarkan model farmakokinetika yang telah


ditetapkan.
V. DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

Anda mungkin juga menyukai