Anda di halaman 1dari 16

STRATEGI BARU PADA TERAPI GANGGUAN BIPOLAR

PENDAHULUAN

Sekitar 20-30 tahun yang lalu pilar utama psikiatri adalah skizofrenia. Kini

ketertarikan di bidang psikiatri mengarah ke paradigma baru - gangguan bipolar.

Pengetahuan, keterampilan dan pengalaman dalam pengobatan gangguan afektif

bipolar ditambah dengan wawasan baru mengenai dasar molekuler gangguan dan

faktor psikososial penting dalam asal-usul dan perkembangan gangguan bipolar,

menghasilkan pendekatan personal terapi psikofarmaka dan psikoterapi (Goodwin

& Geddes 2007). Meningkatnya minat pada gangguan bipolar mengantar kepada

pengenalan kelompok gangguan yang lebih luas yang memiliki variabilitas afektif

periodik yang sama. Prevalensi gangguan bipolar tipe I dan tipe II adalah 2,1%

(Dilsaver 2011). Selain gangguan afektif bipolar tipe I dan tipe II dan

cyclothymia, yang bersama-sama membentuk 3-4% dari populasi umum saat ini,

kelompok ini semakin mencakup keseluruhan dari spektrum bipolar. Secara

bersama, gangguan tersebut mempengaruhi 5-8% dari populasi umum dan

merupakan tantangan diagnostik dan terapeutik terbesar untuk psikiatri

kontemporer. Gangguan bipolar Tipe I dan II serta cyclothymia tidak sulit untuk

didiagnosis, tetapi bipolaritas harus dicurigai pada setiap awitan awal depresi

unipolar, episode penyakit yang sering dan dalam keluarga yang positif memiliki

riwayat bipolar dan gangguan komorbid lainnya. Gangguan ini yakni: alkoholisme

dan gangguan penyalahgunaan zat lainnya, episode tantrum dan kekerasan yang

tak terkendali, upaya bunuh diri, depresi postpartum dan depresi psikotik.

Keadaan yang disebutkan tadi sering resisten terhadap terapi antidepresan


konvensional atau bahkan bisa memburuk dan kemudian membutuhkan

pendekatan terapeutik khusus (Lieber). Mengenali gangguan afektif bipolar

sebagai hal yang heterogenik dalam fenomenologinya, etiopathogenesis dan

komorbiditas, secara signifikan menegakkan diagnosis dini dan telah memberikan

jalan untuk strategi terapeutik baru. Strategi baru pada pengobatan gangguan

afektif bipolar ini telah didasarkan pada heterogenitas dan pengetahuannya

tentang seberapa signifikan peran dalam kejadian yang juga memiliki peristiwa

kehidupan yang negatif, stressor yang melalui koneksi biologis mempotensiasi

reaksi imun melalui inflamasi dan perubahan metabolik yang menyebabkan

eksitotoksisitas pada sistem saraf pusat. Sehingga saat ini, selain stabilisator

mood, antidepresan dan antipsikotik konvensional pada terapi gangguan afektif

bipolar, semakin diperkenalkan juga agen adjuvan: inhibitor transport glutamate,

inhibitor sitokin proinflamasi, inhibitor siklooksigenase 2, regulator metabolisme

dan antioksidan (Ghaemi 2000, McInture & Cha 2011). Strategi baru dalam

pengobatan gangguan bipolar masih berfokus pada pengobatan fase akut

(depresif, manik, campuran) dan pencegahan episode baru, namun menekankan

terapi komparatif defisit kognitif, gejala sisa persisten, kondisi komorbiditas dan

pencegahan upaya bunuh diri yang umum terjadi pada gangguan ini (Müller-

Oerlinghausen et al. 2002). Strategi terbaru telah mendorong pemeriksaan ulang

yang menghadapi sebuah dilema - mengikuti algoritma pengobatan atau untuk

dokter lebih kepada pendekatan personal dengan kinerja diagnostik dan terapeutik

yang lebih baik diikuti dengan pencegahan bunuh diri dan pengobatan gejala sisa

yang lebih baik (Alda et al. 2009).


PENTINGNYA DETEKSI DAN PENGOBATAN AWAL GANGGUAN

BIPOLAR

Gangguan bipolar adalah gangguan berulang di mana 46- 65% kasus

terjadi sebelum usia sembilan belas tahun. Onset gangguan lebih dini memiliki

prognosis, dan hasil yang buruk dan berhubungan dengan gangguan kejiwaan

tingkat tinggi (ADHD, gangguan kecemasan, gangguan kepribadian, alkoholisme

dan kecanduan lainnya) dan komorbiditas fisik (penyakit kardiovaskular, sindrom

metabolik, gangguan endokrin, nyeri punggung bawah, dll.), yang juga

berkontribusi pada hasil yang buruk. Karena alasan yang disebutkan, ada

keterkaitan yang lebih besar dalam mengenali gejala prodormal gangguan bipolar

dan terapi onset dini (Correll et al. 2007, Kilbourne dkk. 2004). Hal ini akan

memerlukan adanya perubahan dalam klasifikasi DSM dan ICD karena kriteria

saat ini meniadakan klasifikasi tersebut. Menurut kriteria saat ini, mayoritas

pasien bipolar telah diterapi awal karena mengalami gangguan depresi berulang.

Konsekuensi dari deteksi terlambat dan penundaan pengobatan yang tepat adalah:

kegagalan terapi, gangguan memburuk, beralih ke fase yang berlawanan,

munculnya pola siklik yang cepat, penundaan implementasi tatalaksana

psikoterapi dan psikososial yang tepat dan meningkatkan risiko bunuh diri.

Membedakan depresi bipolar dari depresi unipolar tidaklah mudah. Depresi

bipolar ditandai oleh: ketidakstabilan afektif yang lebih besar selama satu episode,

retardasi motorik yang menonjol dan tidur berkepanjangan. Depresi unipolar

ditandai dengan: insomnia, penurunan berat badan dan agitasi. Tantangan dalam

mendiagnosis gangguan afektif bipolar terletak di dalam batasan karakterisasi


pada keadaan manic/hypomanic dalam riwayat personal, dari sudut pandang

pasien, sering dianggap sebagai periode kesehatan yang baik. Karena itu, saat ini

kebanyakan pasien bipolar tipe II diperlakukan sebagai depresi unipolar, terutama

jika tidak ada data heteroanamnesis tentang riwayat pribadi pasien. Untuk

mengenal lebih baik gangguan afektif bipolar, perlu upaya gigih dalam mencari

indikator psikopatologi bipolar sambil membedakan gangguan afektif (Bowden

2001). Indikator-indikator ini terlihat di bagian yang "lebih lembut" dari spektrum

bipolar dan untuk mendeteksinya skala diagnostik khusus digunakan, yang disebut

sebagai Skala Diagnostik Bipolar Spectrum (BSDS) yang terbagi dalam dua

bagian. Di bagian pertama pasien menanggapi 19 pernyataan secara positif atau

negatif. Pernyataan-pernyataan ini menggambarkan gejala utama spektrum

bipolar. Setiap jawaban positif memiliki satu poin. Di bagian kedua, pasien

memilih tingkat keparahan gejala mulai dari 0-6 poin (Bipolar Spectrum

Diagnostic Scale (BSDS)).

ALGORITMA ATAU TERAPI PENDEKATAN PRESONALISASI?

Saat ini pengobatan gangguan afektif bipolar terutama didasarkan pada

kepatuhan terhadap pedoman terapi, namun heterogenitas yang luas dan tujuan

terapeutik yang diperluas tidak cukup dibedakan dalam pedoman ini. Pedoman

yang valid untuk meringankan gejala fase akut dan pencegahan episode baru

menyarankan pendekatan terapeutik algoritmik berdasarkan satu pasien bipolar

rata-rata secara statistik, terapi harus dimulai dengan satu obat dan jika tidak ada

respon beralih ke obat baru atau ditambahkan ke terapi sebelumnya. Jika masih

tidak ada respon pilihan terapeutik yang keempat harus dipilih (Yatham et al.
2006, Grunze dkk. 2003, Grunze et al. 2004, Kovatch 2005, Young et al. 2004).

Banyak pasien dapat dibantu dengan pendekatan ini, tetapi kesempatan untuk

membantu kelompok pasien yang secara signifikan hanya akan merespon terapi

khusus (tidak disediakan dalam algoritme) atau yang membutuhkan terapi untuk

gejala yang tidak cukup dikenal di dalam panduan (defisiensi neurokognitif,

gejala sisa, upaya bunuh diri, dll.) yang diabaikan. Oleh karena itu, keuntungan

dari pendekatan yang dipersonalisasi pada pengobatan gangguan bipolar sedang

ditekankan. Rekomendasi panduan tidak hanya pada pendekatan ini tetapi

diperluas pada segmen "lebih lembut" spektrum bipolar dan tujuan terapeutik baru

(defisiensi neurokognitif, gejala sisa, ipaya bunuh diri). Untuk tujuan terapi baru

agen pengobatan dipilih berdasarkan pemahaman baru tentang landasan molekuler

dan faktor asal usul psikososial dan perkmbangan gangguan afektif bipolar.

Dengan asumsi heterogenitas fenotipe karena variabilitas fitur genetik dan

epigenetik serta perbedaan individu dalam interaksi lingkungan, gejala bervariasi

dan keterkaitan dengan beragam keadaan mental dan komorbid fisik. Pendekatan

baru bergantung pada farmakoterapi sebagai hal vital untuk terapi gangguan

afektif bipolar, tetapi juga peran penting diberikan paada psikoedukasi,

psikoterapi (interpersonal, keluarga, kognitif-perilaku) dan manajemen gaya

hidup. Fokus utama ada pada tiga aspek: 1. pengobatan secara individual dan

farmakogenetik yang disesuaikan menggunakan agen yang diakui; 2.

mempertimbangkan modalitas pengobatan baru (inhibitor protein C kinase,

inhibitor glikogenik sintase kinase, inhibitor neurotransmisi glutamate ) dan 3.

meningkatkan hasil prognosis yang yang sejauh ini terabaikan yakni patologi
gangguan afektif bipolar seperti defisit neurokognitif, gejala sisa dan tingginya

mortalitas (Alda et al. 2009).

DASAR MOLEKULAR GANGGUAN BIPOLAR DAN STRATEGI

PENGOBATAN BARU

Dari obat penstabil mood yang diketahui, hanya lithium yang dapat

dikenali sebagai obat utama untuk pengobatan gangguan bipolar. Semua obat lain

yang digunakan untuk pengobatan gangguan ini utamanya digunakan untuk

kelompok terapeutik lain: antikonvulsan, antipsikotik, antidepresan dan ansiolitik.

Untuk alasan ini, lithium telah dibedakan tidak hanya sebagai baku emas terapi

tetapi fondasi untuk menghasilkan agen baru dengan mekanisme aksi yang serupa

dan efek samping yang lebih sedikit. Agen terapeutik baru untuk gangguan afektif

bipolar dapat ditentukan secara dua arah: 1) meneliti dan menemukan mekanisme

aksi molekuler yang relevan dari obat yang ada untuk gangguan afektif bipolar

dan merancang obat baru yang akan menggunakan mekanisme tersebut: 2)

meneliti dan mengungkapkan patofisiologi penyakit itu sendiri dan menggunakan

pengetahuan ini untuk mendesain agen yang akan meringankan, menghilangkan

atau menghambat perkembangan patologis. Memahami dasar molekuler gangguan

afektif bipolar agak jarang dilakukan, tetapi ada semakin banyak bukti tentang

ketidakstabilan membran sel dan ketidakseimbangan neurotransmitter

konsekuensial yang mungkin mendasari gangguan afektif bipolar. Karena proses

molekuler patologis tingkat postsynaptic khususnya tingkat messenger kedua,

ketidakstabilan membran sel terjadi. Ini dikuatkan oleh hasil penelitian efek

lithium pada tingkat postsynaptic molekuler dan karena sistem mesengger kedua
berfungsi untuk transduksi sinyal berbagai neurotransmitter, jalur tersebut dapat

menjelaskan efektifitas lithium dalam berbagai tahap gangguan afektif bipolar.

Efek terapeutik lithium dalam gangguan afektif bipolar diperoleh pada level

sistem messenger kedua sebagai berikut: 1) penghambatan inositol

monophosphatase – melemahkan transduksi sinyal dalam jalur sinyal

phosphatidylinositol dan memodulasi respon sel terhadap perubahan sistem

neurotransmitter; 2) menghambat enzim glikogen sintase kinase - 3 (GSK-3) –

komponen dari banyak jalur sinyal dengan beragam efek saat diinhibisi; 3)

penghambatan siklooksigenase 2 yang memediasi jalur asam arakhidonat (Atack

et al. 1995, Rapoport & Basetti 2002, Quiroz dkk. 2004). Stabilisator mood lain

bertindak pada enzim yang berbeda yang terlibat dalam transduksi sinyal

postsynaptic dan mekanisme tersebut berfungsi sebagai dasar untuk merancang

obat-obatan baru . Perubahan pada tingkat messenger kedua adalah konsekuensi

dari faktor genetik dan epigenetik yang masing-masing merubah respon sistem

stress yang kemudian memicu episode tertentu. Berbagai stressor menyebabkan

gangguan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal pada tingkat yang berbeda dan

mungkin juga menyebabkan perubahan glutamat dan transportasi neurotransmitter

lainnya pada sistem saraf pusat . Karena itu, dalam gangguan afektif bipolar agen

psikoaktif yang berbeda dapat menjadi efisien. Meskipun demikian, obat utama

dalam terapi gangguan ini seharusnya adalah stabilisator mood yang dirancang

untuk memasuki inti patofisiologi gangguan. Kandidat yang diteliti adalah:

inhibitor sintesis glukokortikoid, antagonis reseptor glukokortikoid (Mifepristone

(RU-486), antagonis reseptor CRF 1 (Antalarmin). Karena sistem glutamatergi


terutama terlibat dalam patofisiologi gangguan afektif, agen terapeutik lain sedang

diselidiki diantaranya modulator reseptor glutamat, antagonis NMDA (lamotrigin,

riluzole, memantine, Felbamat, Zinc) dan modulator reseptor AMPA (Ampalex).s

Dengan perubahan signifikan dalam neuroplastisitas otak mengenai gangguan

afektif bipolar, bersama dengan agen yang disebutkan sebelumnya, agen untuk

modulasi kaskade neurotropik, melibatkan NGF dan BDNF (inhibitor

phosphodiestherase) sedang diuji. Agen ini harus mencegah perubahan

degeneratif pada sistem saraf dan konsekuensi jangka panjang dengan adanya

defisiensi kognitif permanen dan gejala sisa gangguan afektif. Obat yang ideal

untuk gangguan bipolar seharusnya efektif untuk: a) pengobatan mania

akut/hipomania, depresi dan campuran serta tanpa efek samping yang signifikan;

b) terapi episode akut siklus cepat ; c) penghapusan subsindrom dan sindrom

gejala residual afektif.: d) eliminasi gejala psikotik pada episode afektif akut; e)

pencegahan relaps dan episode baru; f) pencegahan bunuh diri; g) menurunkan

keadaan komorbid ; h) pencegahan jangka panjang ; i) mencegah defisiensi

kognitif; j) memulihkan keseluruhan sosial dan aktivitas kerja.. Secara alami,

dalam waktu dekat, molekul ajaib semacam itu tidak akan ditemukan tetapi kita

semua adalah saksi pergeseran besar menuju cita-cita ini (Zarate dkk. 2006, Gould

et al. 2004, Coyle & Duman 2003).

PENDEKATAN KONTEMPORER UNTUK PENGOBATAN GANGGUAN

BIPOLAR

Gangguan afektif bipolar ditandai dengan heterogenitas klinis, genetik dan

patofisiologi dan pengobatannya sering membutuhkan pendekatan yang


dipersonalisasi. Monoterapi memberikan keberhasilan yang jarang tercapai.

Kombinasi yang paling sering digunakan dalam praktek adalah kombinasi dari

stabilisator mood dengan antipsikotik atipikal atau antidepresan. Tuntutan klinis

gangguan ini memerlukan penyesuaian farmakoterapi untuk episode aktual atau

fase gangguan dan pencegahan episode baru. Perhatian khusus difokuskan pada

psikoedukasi dan psikoterapi spesifik sebagai strategi yang diperlukan untuk

memastikan kepatuhan pengobatan (Alda et al. 2009).

Tatalaksana farmakologis akut

Dalam prakteknya, pendekatan farmakoterapi seharusnya disesuaikan

dengan fitur gangguan afektif bipolar terlepas dari kebanyakan episode manik

atau depresi.

Penstabil gangguan bipolar dengan episode utama manik

Lini pertama stabilisator mood episode manik adalah: lithium, sodium

valproate, divalporex (seminatrium valproate), carbamazepine dan antipsikotik

generasi kedua. Pilihan pengobatan lini kedua adalah: clonazepam, lorazepam dan

beberapa benzodiazepin lainnya (Alda et al. 2009, Yatham dkk. 2006, Grunze et

al. 2003, Grunze et al. 2004, Kovatch 2005, Young et al. 2004, Rush dkk. 2000).

Semua antipsikotik generasi kedua cocok untuk pengobatan episode mania akut

tetapi juga sebagai terapi tambahan untuk pengentasan gejala psikotik. Pilihan

agen pada pasien yang beresiko paling rendah untuk beralih ke dalam episode

depresi adalah: olanzapine (McElroy et al. 1998), quetiapine (Vieta et al. 2002),

risperidone (Sherk et al. 2007), dan aripriprazole (Vieta et al.).


Penstabil gangguan bipolar dengan episode utama depresif

Dalam perawatan episode depresif sebagai agen lini pertama disebutkan

stabilisator mood berikut : lamotrigin, lithium, kombinasi olanzapine-fluoxetine

dan terapi elektrokonvulsif (ECT). FDA telah menyetujui kombinasi quetiapine

dan olanzapine-fluoxetine untuk pengobatan depresi bipolar. Lini kedua

stabilisator mood adalah: bupropion, paroxetine, venlafaxine dan beberapa

antidepresan baru lainnya (Alda et al. 2009, Yatham dkk. 2006, Grunze dkk.

2003, Grunze et al. 2004, Kovatch 2005, Young et al. 2004, Rush dkk. 2000,

Goldsmith dkk. 2003).

Implikasi praktis

Stabilisator mood telah diterapkan dalam pengobatan gangguan afektif

bipolar (BAD) menurut panduan terkini dari asosiasi psikiatri tertentu dan

kelompok konsensus ahli. Mereka umumnya membantu dokter menyimpulkan

pilihan pengobatan terbaik pada situasi klinis tertentu. Panduan tersebut tidak

berisi konsensus penuh juga tidak hanya merekomendasikan agen yang disetujui

oleh FDA atau EMEA, jadi rekomendasi "off-label" tidak jarang. Meskipun

begitu, tidak ada penstabil mood yang ideal yang akan memiliki onset yang cepat

pada semua bentuk gangguan afektif bipolar, meningkatkan fungsi kognitif,

menghilangkan gejala sisa danberhasil dalam mempertahankan remisi dengan

toleransi baik dan penggunaan yang mudah. Karena hal ini, praktik

menggabungkan beberapa obat dan pilihan obat disesuaikan dengan profil klinis

dan genetik pasien. Keuntungan dari monoterapi adalah kejelasan terapi dan
interpretasi hasil perawatan yang lebih baik. Terapi kombinasi memastikan

manifestasi dari skill terapi individu dan penyesuaian yang lebih baik untuk profil

genetik dan klinis pasien. Hanya pada jumlah persentase tertentu dari pasien

merespon baik terhadap obat tertentu. Menambahkan obat lebih banyak,

meningkatkan kemungkinan responterapi yang menguntungkan. Meskipun begitu,

pedoman menyarankan monoterapi awal (lithium atau valproate dalam mania atau

lamotrigin didepresi) jika pasien agitasi atau psikotik tidak perlu ragu untuk

memberikann kombinasi lithium atau antikonvulsan dengan antipsikotik generasi

kedua (misalnya, lamotrigin + olanzapine) karena presentasi klinis yang kompleks

membutuhkan pendekatan pengobatan yang kompleks (Perlis 2005, Fountoulakis

et al. 2007). Peringatan khusus disarankan saat menggunakan antidepresan

mengenai kemungkinan beralih ke episode manik. Untuk alasan ini, antidepresan

digunakan pada episode depresif akut sebagai bagian dari terapi gabungan dan

harus dihentikan setelah gejala depresi hilang. Hal ini sangat penting khususnya

antidepresan trisiklik dan inhibitor monoamino oksidase. Penghambat reuptake

serotonin selektif kurang kuat dalam menyebabkan peralihan ke episode mania

dan beberapa dari mereka digunakan lebih bebas untuk stabilisasi mood.

Efektivitas dalam pengobatan depresi bipolar telah terlihat pada pemberian

paroxetine dan bupropione, sendiri atau dikombinasikan dengan antipsikotik atau

antikonvulsan (Alda et Al. 2009, Perlis 2005, Suppes & Kelly 2006). Ghaemi dan

rekan (2003) dalam literatur tentang penerapan antidepresan dalam gangguan

afektif bipolar telah menemukan hal berikut ini: 1) risiko tinggi episode siklus

cepat ketika menggunakan antidepresan; 2) tidak seperti lithium, antidepresan


tidak secara signifikan mencegah risiko bunuh diri pada gangguan afektif bipolar;

3) antidepresan memiliki kemanjuran kurang dibandingkan dengan stabilisator

mood pada depresi bipolar akut dan kurang efisien dalam keadaan relaps dan

pencegahan episode baru; 4) stabilisator mood, terutama lithium dan lamotrigin,

efektivitasnya ditunjukkan dalam terapi akut dan profilaksis bipolar episode

depresif. Berdasarkan temuan ini mereka membuat kesimpulan berikut: a)

antidepresan telah menunjukkan risiko mania dan jangka panjang deteriorasi

signifikan karena seringnya episode sikluscepat; b) antidepresan seharusnya tidak

secara rutin diaplikasikan untuk depresi bipolar ringan hingga moderat; c)

antidepresan harus dihentikan setelah penarikan episode akut atau pertahankan

selama pengobatan hanya ketika episode depresi terjadi berulang. Dengan kata

lain, tidak seorang pun melarang penggunaan antidepresan dalam depresi bipolar

tetapi pendekatan yang rasional dan hati-hati mengenai kemungkinan konsekuensi

dari terapi seperti itu diperlukan (Ghaemi et al. 2003). Episode campuran

gangguan bipolar dan siklus cepat merupakan tantangan terapeutik tertentu. FDA

telah menyetujui carbamazepine dan sebagian besar antipsikotik atipikal

(olanzapine, risperidone, aripriprazole, ziprasidone) untuk terapi episode

campuran tetapi sering digunakan juga valproate dan lamotrigine. Seringnya

antidepresan harus dihindari karena risiko destabilisasi mood. Dalam terapi

episode siklus cepat semua agen yang mungkin mengurangi keadaan ini harus

dihilangkan atau dikurangi. Ini berlaku terutama untuk antidepresan. Pengobatan

seharusnya diterapkan dengan tepat memilih stabilizer mood (lithium, valproate,

lamotrigin, carbamazepine) dalam kombinasi dengan antipsikotik atipikal, atau


hormon tiroid dosis tinggi (Alda et al. 2009, Suppes & Kelly 2006, Calabrese dkk.

2000). Litium telah menunjukkan keberhasilan dalam pengurangan risiko bunuh

diri (Baldessarini et al. 2006). Masalah khusus adalah perawatan refraktor

gangguan afektif bipolar, paling sering depresi bipolar refrakter. Lamotrigine telah

menunjukkan keberhasilan paling banyak, dan percobaan tentang kombinasi terapi

gangguan tidur dan terapi cahaya masih diselidiki (Nierenberg et al. 2006,

Benedetti et al. 2005). Sejumlah antikonvulsan baru dengan campuran, khasiat

negatif atau tidak terbukti untuk terapi gangguan afektif bipolar sedang diteliti

(gabapentine, pregabalin, tiagabine, levetiracetame, oxcarbazepine,phenytion,

topiramate, zonisamide) (Yatham 2004, Evins 2003).

Strategi untuk pencegahan gangguan bipolar

Farmakoterapi

Strategi pencegahan gangguan bipolar membedakan pencegahan kekambuhan dan

profilaksis. Setelah menekan gejala akut gangguan ini (pengaruh

patologis,agresivitas, hiperaktif,gejala psikotik, gangguan tidur) pemeliharaan

terapi ditandai dengan dosis serendah mungkin untuk pencegahan onset episode

baru, pemeliharaan fungsi kognitif dan kualitas gaya hidup. Hal ini menyarankan

adanya pengurangan dosis progresif dan lebih disukai monoterapi dengan

penghentian lebih lanjut obat-obatan lain . Hanya setelah semua gejala mulai

berangsur hilang, dengan pemulihan keadaan eutimik tanpa gejala sisa, terapi

profilaksis bisa dilakukan. Secara tradisional, pengobatan profilaksis

direkomendasikan jika ada bukti sering timbul episode lebih awal. Baru-baru ini,
onset pencegahan disarankan untuk sedini mungkin, bahkan setelah episode mania

pertama. Dalam gangguan afektif bipolar tipe II inisiasi pencegahan tergantung

pada frekuensi episode depresif dan manik. Agen terapi utama masih lithium

meskipun valproate sering digunakan. Studi terkontrol menunjukkan antipsikotik

atipikal sebagai agen pencegahan yang berhasil, khususnya pada episode berulang

dengan gejala psikotik. Untuk sebagian besar episode depresif gangguan afektif

bipolar lamotrigine telah direkomendasikan. Antidepresan dalam profilaksis

gangguan afektif bipolar harus dihindari (Alda et al. 2009, Ghaemi et al. 2004).

Psikedukasi dan teknik psikoterapi

Perawatan gangguan afektif bipolar bisa dibandingkan dengan memberikan terapi

sesuai perubahan afektif pasien yang ditentukan oleh stressor kehidupan yang

tidak dapat diprediksi dan peristiwa kehidupan yang negatif (perceraian,

hilangnya orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dll.), perubahan dalam ritme

sosial (berganti pekerjaan, pindah, pernikahan dll.) bersama dengan perubahan

dan penghentian terapi. Penyesuaian farmakoterapi tidak cukup untuk pencegahan

episode gangguan afektif bipolar. Itulah mengapa strategi terapi baru gangguan

afektif bipolar dilakukan pada berbagai intervensi psikoterapi yang ditujukan guna

meminimalkan perubahan tak terduga selama proses gangguan bipolar untuk

memastikan keberhasilan terapeutik maksimal pengobatan farmakologis. Aplikasi

dari teknik khusus tergantung pada fase terapi (Frank et al. 2000). Psikoedukasi

seharusnya dimulai lebih awal, segera setelah keadaan pasien memungkinkan, dan

dilanjutkan selama terapi. Terapi ini tidak hanya memberi tahu pasien tentang

penyakit dan obat-obatan tetapi merupakan teknik yang rumit untuk mengatasi
penyakit kronis dan kondisi komorbiditas lainnya, pengaturan gaya hidup,

memperoleh kebiasaan positif, mengenali gejala prodromal dan mengetahui

pentingnya kepatuhan pengobatan untuk mencegah kekambuhan dan episode baru

(Colom et al. 2003, Vieta & Colom 2004, Lam et al. 2005).

Teknik psikoterapi yang paling sering digunakan adalah: terapi ritme

sosial, terapi interpersonal, terapi kognitif-perilaku dan terapi berorientasi

keluarga. Terapi irama sosial didasarkan pada model kronobiologis gangguan

bipolar yang menganggap orang dengan gangguan ini memiliki bawaan

ketidakstabilan ritme chornobiological dan membutuhkan dukungan sistemik.

Selain psikoedukasi, teknik ini cocok untuk gangguan afektif bipolar dengan

episode mania yang dominan. Terapi interpersonal dikembangkan oleh Klerman

pada awal tahun tujuh puluhan karena sebagian besar psikoterapi yang tepat untuk

pasien dengan depresi bipolar afektif dengan episode depresif dominan. Terapi

interpersonal, diterapkan dengan terapi kognitif-perilaku dan terapi berorientasi

keluarga (Frank et al. 2000, Lam et al. 2005, Miklovitz 2008, Miklovitz dkk.

2007, Miklovitz dkk. 2000).

Psikoedukasi dan psikoterapi membantu pasien yang menderita gangguan

afektif bipolar dan keluarga mereka dalam menghadapi penyakit kronis ini,

pencegahan episode baru dan kepatuhan pengobatan yang lebih besarMengakui

hetero, yang memberikan efikasi farmakoterapi yang lebih baik danmenstabilkan

kondisi tersebut. Pengobatan psikoterapeutik, sebagai komponen penting untuk

pendekatan terapeutik integrative dalam mengelola gangguan afektif bipolar, yang

penting selama fase pengobatan yang dan profilaksis (Miklowitz 2006).


KESIMPULAN

Strategi baru dalam pengobatan gangguan bipolar mengakui heterogenitas genetik

dan klinis dan pentingnya faktor psikososial terkait asal-usul dan perkembangan

penyakit. Kesemuanya masih terfokus pada pengobatan fase akut (depresif,

manik, campuran) dan pencegahan episode baru, perhatian lebih banyak diberikan

kepada pengobatan defisit kognitif, gejala residual persisten, keadaan

komorbiditas dan pencegahan bunuh diri. Panduan ini telah memperluas segmen

"lebih lembut” dari spektrum bipolar dan tujuan terapeutik baru (defisit

neurokognitif, gejala sisa, upaya bunuh diri). Farmakoterapi tetap vital dalam

terapi gangguan afektif bipolar, namun sekarang dengan teknik terintegrasi

psikoedukasi, psikoterapi dan perubahan gaya hidup pasien. Ada tiga utama aspek

pendekatan farmakoterapi baru: 1. secara individual dan pengobatan yang

disesuaikan secara farmakogenetik dengan agen yang diakui; 2.

mempertimbangkan modalitas terapi baru(inhibitor protein kinase C, inhibitor

glikogeniksintase kinase, inhibitor neurotransmisi glutamat) dan 3. meningkatkan

hasil yang menargetkan patologi gangguan afektif bipolar yang sejauh ini

diabaikan seperti defisit neurokognitif, gejala sisa dan mortalitas tinggi. Teknik

psikoterapi yang paling sering digunakan adalah: terapi ritme sosial, terapi

interpersonal, terapi kognitif-perilaku dan terapi berorientasi keluarga.

Anda mungkin juga menyukai