Ligasi dari vena spermatika interna dapat dilakukan dengan berbagai teknik. Teknik yang paling
pertama dilakukan dengan memasang clamp eksternal pada vena lewat kulit skrotum. Operasi
ligasi varikokel termasuk retroperitoneal, inguinal atau subinguinal, laparoskopik, dan
microkroskopik varikokelektomi.
3. Teknik Laparoskopik
Teknik ini merupakan modifikasi dari teknik retroperitoneal dengan keuntungan dan
kerugian yang hampir sama. Pembesaran optikal dibutuhkan untuk melakukan teknik
ini, untuk memudahkan menyingkirkan pembuluh limfatik dan arteri testikular sewaktu
melakukan ligasi beberapa vena spermatika interna apabila vena comitantes bergabung
dengan arteri testikular. Teknik ini memiliki beberapa komplikasi seperti trauma pada
usus, pembuluh darah intraabdominal dan visera, emboli, dan peritonitis. Komplikasi ini
lebih serius dibandingkan dengan varikokelektomi open.
Indikasi dilakukan operasi:
Komplikasi
Perdarahan
Infeksi
Atrofi testis atau hilangnya testis
Kegagalan mengkoreksi varikokel
Apabila varikokel berhasil dikoreksi: tidak terabanya palpasi varix setelah 6 bulan
postoperasi, orchalgia, oligoastenospermia)
Hidrokel
Rekurens; dikarenakan ligasi inkomplit
Iskemia testis dan atrofi; karena trauma dari arteri testikular
5. Teknik embolisasi8
Embolisasi varikokel dilakukan dengan anestesi intravena sedasi dan lokal anestesi.
Angiokateter kecil dimasukkan ke sistem vena, dapat lewat vena femoralis kanan
atau vena jugularis kanan.
Kateter dimasukan dengan guiding fluoroskopi ke vena renalis kiri (karena
kebanyakan varikokel terdapat di sisi kiri) dan kontras venogram.
Dilakukan ISV venogram sebagai “peta” untuk mengembolisasi vena.
Kateter kemudian dimanuever ke bawah vena menuju kanalis inguinalis internal.
Biasanya vena atau cabangnya terembolisasi dengan injeksi besi atau platinum
spring-like embolization coils.
Vena kemudian terblok pada level kanalis inguinalis interna dan sendi sakroiliaka.
Dapat ditambahkan sclerosing foam untuk menyelesaikan embolisasi.
Pada tahap akhir, venogram dilakukan untuk memastikan semua cabang ISV terblok,
kemudian kateter dapat dikeluarkan.
Dibutuhkan tekanan manual pada daerah tusukan selama 10 menit, untuk mencapai
hemostasis.
Tidak ada penjahitan pada teknik ini. Setelah selesai, pasien diobservasi selama
beberapa jam, kemudian dapat dipulangkan. Angka keberhasilan proses ini
mencapai 95%.
Gambar 3 Embolisasi
1. Teori Hormonal
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon
testosteron dan hormon estrogen. Karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim
aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma.
Hiperplasia stomal pada jaringan prostat periuretral adalah satu temuan mikroskopis awal pada
pria dengan BPH. Pada suatu saat, estrogen menginisiasi hiperplasia stromal, yang juga
menginduksi hiperplasia epithelial. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif
testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain
yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Peranan dari growth faktor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. Basic
Fibroblast Growth Faktor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan
konsentrasi lebih besar pada pasien dengan BPH.
Prostat pada orang dewasa dalam hal ini kelenjar periuretral pada keadaan normal berada dalam
keadaan keseimbangan “steady state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati. Sel baru
biasanya tumbuh dari stem cell. Keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu
dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Oleh
karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormone dan faktor pencetus
lain, maka jumlah stem cell ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat.
Terjadinya proliferasi abnormal stem cell sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel
stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar adrenal
(10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon
binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas
inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung
masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5α-reductase menjadi
5-dihidrotestosteron, yang kemudian bertemu dengan reseptor yang ada di dalam sitoplasma sel
prostat menjadi kompleks DHT-reseptor. Kemudian DHT-reseptor ini mengalami transformasi
reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada
kromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintesis protein
menyebabkan terjadinya proliferasi sel kelenjar prostat