Anda di halaman 1dari 17

FILSAFAT PENDIDIKAN

NILAI KEPENDIDIKAN DARI SULAWESI TENGAH

DISUSUN OLEH

RENI ARTHA PRATIWI

A24115099

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TADULAKO

2018

Page | 1
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun
mampu menyelesaikan tugas makalah ini.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu, yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang
dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran
dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas
TADULAKO.

Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi
perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Penulis

Page | 2
Datar Isi

KATA PENGANTAR..................................................................................................................... 2
Datar Isi ..................................................................................................................................... 3
BAB I .......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 4
Latar Belakang....................................................................................................................... 4
Rumusan masalah…………………………………………………………………………………………………………….5

Tujuan ................................................................................................................................... 5
BAB II ......................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ........................................................................................................................... 6
Pengertian Budaya Dan Kebudayaan .................................................................................... 6
Suku Kaili ............................................................................................................................... 7
Kondisi Sosial Suku Kaili ........................................................................................................ 9
Budaya Sulawesi Tengah (Nolama Tai) ............................................................................... 10
Nilai – Nilai .......................................................................................................................... 13
BAB III ...................................................................................................................................... 15
PENUTUP ................................................................................................................................. 15
Kesimpulan.......................................................................................................................... 15
Saran ................................................................................................................................... 16
Daftar Pustaka......................................................................................................................... 17

Page | 3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Republik Indonesia dikenal dengan negara kepulauaan yang
terbentang milai dari sabang (di bagian paling barat) hingga merauke (di bagian
paling timur). Karenanya macam-macam suku bangsa di indonesia, memperkaya
khasanah nusantara dengan keragaman budaya dan adat istiadat suku bangsa tersebut.
Salah satu contoh suku dari bermacam-macam suku di indonesia adalah suku
kaili. Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar
mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah
Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah
antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau.
Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten
Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku
Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi,
Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami
daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.
Sama halnya dengan suku-suku lain di indonesia bahwa suku kaili
mempunyai budaya dan adat istiadat yang masih berlaku. Mulai adat istiadat dari saat
dia masih di dalam kandungan sampai adat istiadat ketika mereka meninggal. salah
satu contohnya adalah pada kehamilan anak pertama dan kandungan berumur 7 bulan
maka adat istiiadat di suku kaili akan diadakan upacara selamatan kandungan atau
sering disebut dengan No jemparaka manu (memisah-misahkan bagian dari pada
daging ayam) atau bisa disebut mantale (membuat sesajian). Tujuan dari upacara ini
adalah dimaksudkan agar kelahiran sang bayi dapat berlangsung dengan selamat
tanpa cacat jasmani dan rohani, serta keselamatan ibu yang akan melahirkan, dan juga
agar ibu terhindar dari gangguan-gangguan rate.

Page | 4
1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana keberagaman kebudayaan di dalam suatu wilayah khususnya


Sulawesi Tengah.
b. Bagaimana kondisi social yang terjadi di dalam masyarakat di wilayah
Sulawesi Tengah.
c. Bagaimana nilai- nilai yang terjadi dengan lingkungan hidup masyarakat di
Sulawesi Tengah.

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui bagaimana keberagaman kebudayaan di dalam suatu
wilayah khususnya Sulawesi Tengah.
b. Untuk mengetahui bagaimana kondisi social budaya yang terjadi di dalam
masyarakat di wilayah Sulawesi Tengah.
c. Untuk mengetahui bagaimana nilai-nilai yang terjadi dengan lingkungan
hidup masyarakat di Sulawesi Tengah.

Page | 5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Budaya Dan Kebudayaan


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk
dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat,
bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang
yang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang
berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu di pelajari.

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi


dengan orang dari budaya lain terlihat dari definisi budaya : Budaya adalah suatu
perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung
pandangan atas keistimewaannya sendiri. “Citra yang memaksa” itu mengambil
bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di
Amerika, “keselarasan individu dengan alam” di Jepang dan “kepatuhan kolektif” di
Cina. Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya
dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan
nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk
memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.

Dengan demikian, budayalah yang menyiapkan suatu kerangka yang koheren


untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan
perilaku orang lain.

Page | 6
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian


nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta seluruh struktur-struktur sosial,
religius dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman
Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.

Dari berbagai pengertian menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pengertian dari kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat
pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh
manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang
bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

2.2 Suku Kaili


Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun
tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah
Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah
antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau.
Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten
Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku

Page | 7
Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tsomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi,
Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami
daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.Untuk menyatakan "orang Kaili"
disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah
satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari
nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah
ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk
Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung
Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan
karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya
pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut
surut.
Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan
dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya
berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yg berbeda satu dengan lainnya. Namun
demikian, suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata
"Ledo" ini berarti "tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan
bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para
pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa
Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi
dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis
dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu
bahasa Tara (Talise,Lasoani,Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke
Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde
(Ganti,Banawa,Loli,Dalaka, Limboro,Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya,
Sibovi,Pandere, bahasa Edo (Pakuli,Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa Da'a

Page | 8
(Jono'oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e (Tojo, Unauna dan Poso).
Semua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak".

2.3 Kondisi Sosial Suku Kaili


Masyarakat Sulawesi Tengah juga mengembangkan suatu nilai yang dapat
menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong
royong (nolunu). Nilai hidup ini merupakan realisasi kebersamaan mereka dalam
menghadapi suatu kerja, yang manifestasinya dapat terlihat dalam segala aktivitas
hidup sehari-hari, seperti bantu-membantu dalam suatu pekerjaan besar yang
membutuhkan banyak tenaga kerja, memberi pertolongan kepada keluarga yang
sedang dirundung musibah, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang akan lebih cepat
terselesaikan jika dikerjakan bersama-sama.
Demikian pula masyarakat Sulawesi Tengah mengembangkan sopan santun
dalam tata cara pergaulan yang menentukan bagaimana orang seharusnya bersikap
terhadap sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Adat sangat membatasi dan
mengatur pergaulan muda-mudi. Mereka tidak dibenarkan bertemu berduaan tanpa
didampingi seorang tua, karena itu perkawinan diatur oleh orangtua dari kedua belah
pihak yang bersangkutan. Jika adat ini dilanggar, maka yang melanggar akan dikenai
denda adat (nigivu) dengan memberikan sejumlah hewan tergantung dari besar
kecilnya pelanggaran yang dilakukan.

Hal-hal yang tidak boleh dilakukan seseorang yang dianggap dapat merugikan
orang lain juga diatur oleh adat yang berlaku dalam masyarakat. Biasanya pelaku
pelanggaran adat akan dikenakan denda adat atau sanksi social lainnya, seperti
menjadi bahan pembicaraan atau ejekan masyarakat, dikucilkan dari masyarakatnya,
diusir dari lingkungan tempat tinggalnya, bahkan terjadi pembunuhan sebagai
tindakan balas dendam, atau bentuk-bentuk denda dan sanksi lainnya. Sebagai
contoh, seorang wanita dengan sengaja sampai pada perbuatan melanggar susila
(pelanggaran yang dilakukan disebut salah kana), maka pelakunya bisa saja dibunuh

Page | 9
oleh keluarga pihak wanita yang diganggu. Kalau pembunuhan tidak sampai terjadi,
pelanggar akan dikenakan denda seperti yang telah ditentukan oleh adat.

Pendidikan moral ditanamkan di dalam lingkungan keluarga secara ketat.


Yang paling berperan dalam masalah pendidikan anak-anak adalah ibu. Oleh sebab
itu anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, lebih dekat hubungannya kepada
ibu daripada ayah mereka.

Orang Kaili pada masa lalu mengenal beberapa lapisan sosial, seperti
golongan raja dan turunannya (madika), golongan bangsawan (to guru nukapa),
golongan orang kebanyakan (to dea), golongan budak (batua). Selain itu mereka juga
memandang tinggi golongan social berdasarkan keberanian (katamang galaia),
keahlian (kavalia), kekayaan (kasugia), kedudukan (kadudua) dan usia (tetua).
Pada masyarakat Sulawesi Tengah dikenal sistem kepemimpinan formal, dan
informal. Kepemimpinan formal dalam desa di daerah Sulawesi Tengah dikepalai
oleh seorang kepala desa. Kepala desa ini dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu
oleh sekretaris desa, kepala urusan-urusan dan kepala dusun. Kemudian
kepemimpinan secara informal diketuai oleh kepala adat dan anggota adat lainnya
(tokoh-tokoh adat), pemuka-pemuka agama (para ulama, imam dan pembantu-
pembantunya), dan organisisasi social kemasyarakatan seperti organisasi pemuda,
organisasi wanita, dan sebagainya.

2.4 Budaya Sulawesi Tengah (Nolama Tai)


Upacara ini adalah upacara selamatan kandungan pada kehamilan anak yang
pertama apabila kandungan berusia 7 bulan. Upacara ini sering dinamakan No
jemparaka manu (memisah-misahkan bagian daripada daging ayam) atau biasa
disebut mantale (membuat sesajian). Nama-nama itu ditonjolkan sesuai dengan
penonjolan dari bagian upacara ini yaitu memenggal bagian daging ayam untuk
upacara sebagai sesajian utama dalam upacara Nolama Tai. Upacara ini bagi

Page | 10
masyarakat Kaili berbeda kualitas dan kuantitasnya sesuai dengan kedudukan sosial
seseorang atau Vati seseorang dalam masyarakat.

Tujuan upacara ini adalah dimaksudkan agar kelahiran sang bayi dapat
berlangsung dengan selamat tanpa cacat jasmani dan rohani, serta keselamatan ibu
yang akan melahirkan, dan juga agar ibu terhindar dari gangguan-gangguan rate.

Dari mantera-mantera sando (dukun) diketahui bahwa tujuan upacara ini


adalah agar anak yang lahir kelak tidak tuli, kudisan, bodoh, nakal, penyakitan, dan
sebagainya. Menurut kepercayaan masyarakat Kaili bahwa leluhur mereka yang
disebut rate selalu mengganggu dan menjadi sebab berbagai penyakit tersebut di atas,
dan bagi bayi dalam kandungan apabila upacara diabaikan.

Dalam upacara nolama bagi keluarga bangsawan, pertama ialah mengadakan


undangan (pegaga), yaitu suatu undangan dengan jalan mengundang langsung dari
rumah ke rumah jauh sebelum upacara diadakan. Bila telah tiba hari yang ditentukan,
undangan-undangan dijemput kembali (neala) dari rumah ke rumah. Kegiatan ini
disebut peonggotaka (suatu penghormatan dari keluarga yang berpesta) kepada orang
tua adat.

Pada hari upacara diadakan penyembelihan kambing/domba yang disembelih


tersebut dibakar/dipanggang di atas api (nilambu), sehingga seluruh bulu-bulunya
habis terbakar. Maksudnya agar kulitnya dapat diproses menjadi bahan makanan.
Sebelum dagingnya dipotong-potong hatinya diambil lebih dahulu yang biasa disebut
nompesule (mengambil hati) dan langsung ditusuk dan dibakar sebagai bahan
sesajian atau nilanjamaka (dijadikan sesajian).

Selesai dipotong-potong, paha kanan dari domba/kambing tersebut digantung


di depan pintu untuk bagian dukun. Di samping memproses daging-daging untuk
dimasak, diadakanlah upacara nantalenjaka (upacara sesajian) di depan pintu rumah
sebelum para undangan hadir. Seluruh perlengkapan sesajian yang disebutkan di atas
telah siap tersaji, dikeliling oleh ibu hamil dan ibu-ibu yang telah lanjut usia, sebagai

Page | 11
peserta upacara inti tersebut. Dukun mulai nogane (mengucapkan mantera/sastra suci)
dan duduk berhadapan dengan ibu hamil yang diupacarakan. Isi manteri antara lain
meminta keselamatan/perlindungan kepada rate; arwah nenek moyang yang sudah
meninggal disebut rate njae dan yang baru meninggal disebut rate vou. Maksudnya
agar ibu tidak mengalami kesukaran pada waktu melahirkan.

Disamping membaca mantera tersebut dukun mengipas-ngipaskan daun


kelapa (pucuk kelapa muda) kepada ibu hamil dengan isyarat melemparkan keluar
jendela atau pintu. Maksudnya agar penyakit yang mennggagu dari sebab pengaruh
rate tersebut dapat hilang atau keluar. Ada pula adat yang menggunakan banja
mpagana (mayang pinang) yang disapukan di atas kepala ibu (tidak menggunakan
pucuk kelapa muda). Ada pula vati yang mengadakan upacara nolenggai tai, yang
dianggap masyarakat Kaili sebagai adat Orang Bugis (vati ntobugi), yang pada
umumnya dilaksanakan dikalangan keluarga bangsawan. Nolenga Tai (menggoyang-
goyangkan) perut ini dilaksanakan oleh seorang dukun yang ahli. Cara
pelaksanaannya ialah ibu hamil tadi tidur terlentang di atas 7 lapis sarung/kain, lalu
dukun mengangkat kain tersebut satu persatu pada bagian belakangnya, sehingga
perut perangkat dan digoyangkan selama tujuh kali. Maksudnya ialah agar posisi
anak dalam kandungan menjadi baik, dan ibu tidak merasakan sakit pada bagian
belakangnya. Di kalangan keluarga biasa hal ini kurang dilaksanakan.

Selesai acara tersebut dukun dan peserta upacara tersebut makan sebagian dari
makanan sesajian tersebut, dan sebagian lagi dari makanan tersebut dibawa keluar
rumah untuk sesajian di tempat tertentu baik yang sengaja dibuat dan atau di alam
bebas seperti di pohon-pohon kayu besar, di tepi sungai, dan sebagainya yang diantar
sendiri oleh dukun upacara ini yang disebut nompaura. Sebagai acara penutup, dukun
membuat/mempersiapkan tuvu mbuli. Tuvu mbuli berarti hidup berkembang biak
dalam satu rumpun. Suatu simbol kehidupan yang ideal, yaitu dalam suasana dingin
dan berketurunan banyak (Tuvu = hidup, Mbuli = standar).

Page | 12
Tuvu Mbuli tersebut tidak lain sebuali gelas/mangkok yang diisi air dan
dedaunan yang melambangkan 2 hal tersebut, yaitu daun siranindi (setawar dingin)
sebagai lambang ketenangan dan ketahanan hidup dari tantangan hidup, serta tava
kodombuku, semacam pohon yang tahan hidup di musim kemarau, mudah
berkembang biak dan akarnya lama usianya. Selesai upacara tersebut dan setelah
undangan hadir seluruhnya, maka diadakanlah pesta makan. Dengan demikian selesai
upacara Nolama tersebut

2.5 Nilai – Nilai


Jika diamati secara seksama, pelaksanaan upacara Novero oleh masyarakat
suku Kaili merupakan bentuk ekpresi dari keyakinananya kepada Yang Gaib,
pengharapan dan pemahaman terhadap alam sekitar. Adanya keyakinan dalam
masyarakat bahwa jika ada perempuan yang hamil sakit, maka perempuan tersebut
sedang diganggu oleh mahluk halus memunculkan “kesadaran” masyarakat untuk
melakukan penyikapan secara cepat dan tepat, yaitu dengan mengadakan upacara
Novero. Upacara Novero, dengan demikian, merupakan cara masyarakat suku Kaili
untuk membujuk dan menaklukkan mahluk halus. Dengan kata lain, pelaksanaan
upacara Novero merupakan cara masyarakat suku Kaili merespon sebuah fenomena
yang didasarkan pada pemahaman dan keyakinan mereka.

Penggunaan peralatan-peralatan upacara yang dipersiapkan secara khusus


merupakan symbol-simbol yang mengekspresikan pengharapan masyarakat suku
Kaili. Misalnya Tuvu mbuli digunakan agar keluarga selalu hidup bahagia; siranindi
(daun si tawar dingin) digunakan agar anak yang akan lahir selalu bersikap tenang
dalam menghadapi tantangan; Tinggora dan Doke adalah bentuk pengharapan agar
anak mempunyai kekuatan, keberanian, dan mempunyai kemauan kuat; Piring adat
adalah simbol kesejahteraan dan kecukupan pangan; dan Kain Mesa sebagai simbol
kebangsawanan. Penggunaan pantangan-pantangan berkaitan dengan keyakinan yang
berlandaskan pada pemahaman terhadap berbagai fenomena alam yang terjadi
disekitarnya. Keberadaan pantangan tersebut merupakan cara masyarakat suku Kaili

Page | 13
agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang kurang baik sehingga mengakibatkan
tidak tercapainya tujuan upacara.
Masyarakat suku Kaili, meyakini bahwa tindakan kurang baik yang dilakukan
oleh kedua suami dan istri yang sedang mengandung akan berpengaruh secara
langsung kepada bayinya. Misalnya larangan mencela atau mengejek orang cacat
muncul karena ada keyakinan bahwa anak yang dikandung akan lahir dalam keadaan
cacat. Adanya keyakinan bahwa perbuatan buruk yang dilakukan oleh orang tua si
bayi akan berdampak buruk kepada si bayi menunjukkan bahwa ada proses
pensakralan perbuatan-perbuatan yang kurang baik.

Page | 14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun
tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah
Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah
antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau.
Budaya kaili Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara,
Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam
kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus
dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat.
Bagi suku kaili apa bila ada anggota dari sukunya yang hamil maka kehamilan
itu harus di jaga. Dalam adat istiadat suku kaili apa bila seseorang hamil maka akan
diadakan upacara selamatan kandungan pada masa hamil pertama (Nolama Tai).
Upacara ini apabila kandungan berusia 7 bulan. Upacara ini sering dinamakan No
jemparaka manu (memisah-misahkan bagian daripada daging ayam) atau biasa
disebut mantale (membuat sesajian).
Selain itu ada juga Upacara novero (upacara pengobatan apabila sang ibu
yang hamil kurang sehat) atau moragi ose adalah suatu upacara pengobatan yang bila
ibu hamil kurang sehat dan lemah, yang dianggap sebagai gangguan mahluk halus
yang jahat. Novero (mengobati penyakit) atau moragi ose (memberi warna warni
beras) bertujuan untuk menyembuhkan ibu hamil dari penyakit yang dideritanya
karena nilindo nuviata (diganggu mahluk halus)

Page | 15
3.2 Saran
Dengan semakin berkembangnya zaman, serta pengaruh globalisasi dan juga
pengaruh budaya-budaya asing. Kebudayaan-kebudayaan yang ada semakin tergeser
dan hampir punah. Untuk mencegah punahnya kebudayaan tersebut perlu dilakukan
berbagai tindakan. Berbagai kebudayaan yang beragam yang ada di provinsi Sulawesi
Tengah seharusnya tetap dijaga dan dilestarikan. Para generasi penerus harus tetap
mempertahankan kebudayaan-kebudayaan yang telah ada. Pemerintah setempat juga
harus terlibat dalam proses pelestarian kebudayaan dengan melakukan upaya-upaya
berupa pembentukan lembaga-lembaga, sosialisasi dan lain-lain.

Mengambil hal-hal yang positif dari kebudayaan dan adat istiadat tersebut
dalam ilmu kesehatan. Dan kita sebagai warga indonesia harus selalu menjaga
kekayaan budaya dan adat istiadat di indonesia ini.

Page | 16
Daftar Pustaka

Anonim. 2010. Perkembangan Budaya Sulawesi Tengah. https ://


debyadjjah.wordpress.com/2010/03/01/perkembangan-budaya-sulawesi-
tengah/. (diakses 1 Juni 2018).

Anonim. 2011. Perkembangan Budaya Sulawesi Tengah. https :// nagagya.net16.net-


situs nagaya powered by mambo generated/2011/04/02/.(diakses 1 Juni 2018).

Page | 17

Anda mungkin juga menyukai