Anda di halaman 1dari 16

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Submandibula


Pada daerah leher terdapat rongga yang dibentuk oleh fascia servikalis. Fascia
servikalis dibagi menjadi dua yaitu fascia superfisialis dan profunda. Muskulus platism
memisahkan kedua fascia tersebut. Muskulus platisma inferior yang berinsersi ke bagian
inferior mandibula berasal dari fascia servikalis profunda. Fascia servikalis berada di
bawah kulit kepala dan leher berupa lapisan yang melapisi jaringan apiposa, saraf sensoris,
pembuluh darah superfisialis, system limfatik, otot platisma, dan otot-otot ekspresi wajah.4
Kurang lebih terdapat sebelas rongga yang berada pada rongga leher dalam. Rongga-
rongga tersebut dibentuk oleh lapisan fascia servikalis. Pada bagian anterior, fasia
menempel pada os hyoid yang berperan penting membatsi penyebaran infeksi. Oleh karena
itu ruang –ruang leher dalam dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan hubungannya
dengan tulang hyoid. Rongga yang berada di atas tulang hyoid yaitu rongga peritonsil,
rongga submandibula, rongga parafaring, rongga temporal, rongga buccal, dan rongga
parotis. Rongga ygn meliputi seluruh panjang leher yaitu rongga retrofaring, rongga
bahaya, rongga prevertebra, dan rongga karotis. Rongga yng berada di bawah tulang hyoid
yaitu rongga pretrakea.
Rongga submandibula merupakan dua ruang potensial dari dasar mukosa mulut ke
lapisan superficial dari fascia servikalis profunda yang menyelubungi rongga antara
mandibula dan tulang hyoid. Otot milohyoid membagi rongga submandibukla menjadi dua
rongga yaitu rongga sublingual (supramilohyoid) dan rongga submaksila (inframilohyoid).
Pada sebelah atas rongga submandubula dibatasi oleh dasar mukosa mulut dan lidah,
sedangkan pada sebelah bawah dibatasi oleh fascia yang membentang dari os hyoid ke
mandibula. Sebelah atas muskulus mylohyoid terdapat glandula sublingualis dan sebelah
bawahnya terdapat glandula submandibula. Kedua kompartemen tersebut saling
berhubungan secara bebas melalui bagian porterior dari otot milohyoid. Oleh karena itu,
infeksi rongga submandibula dapat menyebar secara posterior ke rongga parafaring dan
rongga pretrakea secara inferior.
Akar gigi molar dua dan tiga berada dibawah perlekatan otot milohyoid ke
mandibula dan infeksi gigi posterior dapat menyebar langsung ke kompartemen
inframilohyoid sedangkan infeksi gigi yang bagian depan dapat menyebar langsung ke

20
kompartemen supramilohyoid. Kompartemen supramilohyoid mengandung jaringan ikat
longgar areolar, kelenjar sublingual, duktus Wharton (submandibula), otot geniohyoid dan
nervus lingual dan hypoglossal. Infeksi rongga supramilohyoid sering menimbulkan gejala
indurasi, pembengkakan, nyeri tekan di dasar mulut, penonjolan dan peninggian lidah
dapat terjadi.

Gambar 1. Anatomi Leher Dalam1

Gambar 2. Anatomi Rongga Submandibula18

21
3.2 Abses Submandibula
3.2.1 Etiologi
Abses leher dalam umumnya melibatkan berbagai mikroba dalam waktu yang
bersamaan.3,4 Etiologi abses leher dalam yang paling umum melibatkan S. viridans,
Klebsiella pneumoniae,dan S. aureus. Terkadang dapat dijumpai Streptococcus
pneumoniae, S. pyogenes, Neisseria, dan H. influenzae. Bakteri anaerob yang umum
ditemukan adalah Peptostreptococcus, Bacteroides fragilis, Prevotella,
Porphyromonas spp., Fusobacterium spp., dan Eikenella corrodens.4 Pada anak-
anak dan pengguna narkoba suntik, bakteri E. corrodens yaang resisten clindamycin
dan metronidazole sering ditemukan. Prevalensi infeksi MRSA (methicillin-resistant
S. aureus) pada pasien dengan gangguan sistem imun, balita, dan anak-anak
mengalami peningkatan dalam beberapa tahun belakangan ini. Pada pasien diabetes
melitus, K. pneumoniae menjadi patogen yang paling umum dijumpai.4

3.2.2 Patofisiologi
Infeksi bakteri yang bersumber dari molar kedua atau ketiga menyumbang
70% kejadian infeksi submandibula akibat bakteri yang dapat menjalar masuk ke
ruang submandibula karena akar dari molar kedua dan ketiga berada di bawah
perlekatan otot milohyoid ke mandibula, sehingga infeksi dari geligi bagian posterior
dapat menjalar masuk ke ruang inframilohyoid.3,4 Sementara itu, geligi bagian
anterior memiliki akar yang terletak di atas garis milohyoid, sehingga infeksi yang
terjadi pada geligi yang lebih anterior dapat menyebabkan abses pada ruang
supramilohyoid.4 Tetapi, kompartemen supramilohyoid dan inframilohyoid
terhubung pada bagian posterior otot milohyoid dan infeksi dapat meluas sampai ke
ruang parafaring pada bagian posterior dan visera anterior pada bagian inferior.4
Infeksi yang terjadi umumnya melibatkan Streptococci grup A, bersamaan dengan
Staphylococci, Fusobacterium, dan Bacteroides. Sementara itu, pada pasien dengan
gangguan sistem imun, infeksi dapat melibatkan organisme atipikal seperti
Pseudomonas, E. coli, Candida, atau Clostridium.3

3.2.3 Manifestasi Klinis


Gejala klinis abses submandibula meliputi demam, pembengkakan
submandibula disertai nyeri, dapat berfluktuasi atau tidak. Dapat juga terjadi trismus
22
(inflamasi m. pterigoides), indurasi submandibula, kulit di submandibula eritema dan
edema, dan tortikolis (terbatasnya gerakan kepala/otot leher karena proses inflamasi
pada leher).5,6
Secara umum, gejala abses adalah:
a. Nyeri
b. Bengkak
c. Eritema pada jaringan
d. Trismus
e. Demam
Pembengkakan pada abses biasanya:
a. Terasa nyeri
b. Panas
c. Kurang dari 2 minggu
d. Berkembang sangat cepat
e. Disertai sakit gigi atau terlihat caries gigi

Tabel 1. Perbandingan Gejala Abses Leher Dalam7


Space Pain Trismus Swelling Dysphagia Dyspnea
Submandibular Present Minimal Mouth floor (tender), Present if Present if
submylohoid bilateral bilateral
involvement involvement
Lateral pharyngeal
- Anterior Severe Prominent Anterior lateral Present Occasional
pharynx, angle of jaw
- Posterior Minimal Minimal Posterior lateral Present Severe
pharynx (hidden)
Retropharyngeal Present Minimal Posterior pharynx Present Present
(and danger)
Masticator
- Masseteric and Present Prominent May not be seen Absent Absent
pterygoid
- Temporal Present None Face, orbit Absent Absent
Buccal Minimal Minimal Cheek Absent Absent
Parotid Severe None Angle of jaw Absent Absent

23
Gambar 3. Inspeksi Abses Submandibular8

3.2.4 Diagnosis
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus kadang-kadang sulit untuk
menentukan lokasi abses terutama jika melibatkan beberapa daerah leher dalam dan
jika pasien sudah mendapatkan pengobatan sebelumnya.9

Anamnesis
Dari anamnesis keluhan yang menyebabkan pasien datang ke rumah sakit
biasanya karena pembengkakan dan nyeri pada leher, demam, dan kesulitan
membuka mulut. Pada tahap lanjut diikuti kesulitan menelan dan kadang gangguan
pernafasan. Riwayat penyakit dahulu bermanfaat untuk melokalisasi etiologi dan
perajalanan abses. Dari riwayat sebelumnya 80% penderita abses submandibula
pernah mengalami infeksi gigi.Pasien harus ditanya tentang:5,6,10
 gejala klinis
 riwayat tonsilitis dan abses peritonsil
 riwayat trauma retrofaring (contoh: intubasi)
 karies gigi dan abses

24
 riwayat sakit gigi, mengorek atau mencabut gigi
 riwayat hygiene gigi yang buruk

Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik biasanya dijumpai pembengkakan pada daerah
mandibula, fluktuatif, nyeri tekan, dan ada tanda-tanda peradangan. Pada palpasi
akan teraba kenyal dan bila dilakukan insisi didapatkan material yang bernanah atau
purulen (tanda khas). Angulus mandibula mungkin tidak dapat diraba. Lidah
terangkat keatas dan terdorong ke belakang.10,11,12

Pemeriksaan Penunjang
 Foto polos jaringan lunak AP dan lateral
Pada foto polos jaringan lunak anteroposterior dan lateral didapatkan gambaran
pembengkakan jaringan lunak (radioopak), cairan di dalam jaringan lunak, dan
pendorongan trakea.9

 CT scan dengan kontras


Jika hasil pemeriksaan foto polos jaringan lunak menunjukkan kecurigaan
abses leher dalam, maka pemeriksaan CT Scan idealnya dilakukan. CT Scan dengan
kontras merupakan standar untuk evaluasi infeksi leher dalam. Pemeriksaan ini dapat
menentukan lokasi, batas-batas, dan perluasan abses. Pada gambaran CT Scan
dengan kontras akan terlihat abses berupa daerah hipodens yang berkapsul, dapat
disertai udara di dalamnya, dan edema jaringan sekitar. CT Scan dapat menentukan
waktu dan perlu tidaknya operasi.9,13

 MRI
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan Magnetic resonance
Imaging (MRI) yang dapat mengetahui lokasi abses, perluasan,dan sumber
infeksi.9,14

25
 USG
Ultrasonografi (USG) adalah pemeriksaan penunjang diagnostik yang tidak
invasive dan relative lebih murah dibandingkan CT Scan, cepat dan dapat menilai
lokasi dan perluasan abses.9,14

 Foto panoramik
Foto panoramic digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya fokal infeksi
pada gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses submandibula yang
diduga sumber infeksinya berasal dari gigi.9

 Foto polos thoraks


Foto polos toraks posisi posteroanterior diperlukan untuk melihat adanya
komplikasi berupa gambaran pneumomediastinum, pendorongan saluran nafas,
pneumonia akibat aspirasi abses.9

 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin dapat melihat adanya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda infeksi. Analisis gas darah dapat menilai adanya sumbatan jalan
nafas. Pemeriksaan kultur dan sensitivitas kuman sangat dibutuhkan untuk
menentukan antibiotik yang akan diberikan walaupun pemeriksaan ini sering
mendapatkan hasil negatif karena pasien sudah mendapat terapi antibiotika.9,15

3.2.5 Diagnosis Banding


Diagnosis banding abses submandibula antara lain Ludwig’s angina. Ludiwig’s
angina merupakan selulitis di daerah submandibula, dengan tidak ada fokal abses.
Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak, trismus,
nyeri, disfagia, massa submandibula, sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh
lidah yang terangkat ke atas dan terdorong kebelakang.6

3.2.6 Komplikasi
Komplikasi terjadi karena keterlambatan diagnosis, terapi yang tidak tepat dan
tidak adekuat. Komplikasi diperberat jika disertai dengan penyakit diabetes mellitus,
adanya kelainan hati dan ginjal dan kehamilan. Proses peradangan dapat menjalar

26
secara hematogen, limfogen atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya.
Infeksi dari submandibula paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas
antara ruangan ini cukup tipis.12 Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui
ruang mastikor melewati musculus pterygoid medial kemudian ke parafaring.
Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.9,17
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah
menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan mediastinitis.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh
karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat,
bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan
septikemia.9,17

Gambar 3. Komplikasi Abses Submandibular7

3.2.7 Tatalaksana
Manajemen jalan napas
Obstruksi jalan napas atas menjadi komplikasi utama infeksi leher dalam, terutama
pada kasus infeksi yang melibatkan beberapa ruang.3,4 Setiap pasien dengan infeksi
leher dalam harus mendapat pantauan jalan napas setidaknya dalam 48 jam setelah
intervensi bedah karena risiko pembengkakan jaringan sesudah operasi.4 Manajemen
jalan napas yang agresif diindikasikan pada respiratory distress atau ancaman
gangguan jalan napas pada pemeriksaan fisik atau radiologis (pembengkakan faring,
edema jalan napas, atau kompresi jalan napas oleh abses). Pada kasus yang lanjut,
pasien yang berada dalam posisi supinasi dapat menyebabkan obstruksi jalan napas

27
total, sehingga harus menjadi perhatian khusus saat pasien akan menjalani tindakan
diagnostik atau bedah yang tidak melibatkan manajemen jalan napas.3,4
Intubasi dapat dicoba sebelum trakeotomi pada pasien infeksi leher dalam, tetapi
mungkin sulit dilakukan akibat perubahan anatomi jalan napas, jaringan lunak, atau
trismus yang menghalangi akses ke mulut. Pada pasien dengan abses dinding faring,
perhatian khusus harus diberikan karena risiko yang tinggi akan ruptur abses dan
aspirasi pus.4 Pada infeksi yang tidak terlalu berat, trismus dapat ditanggulangi
dengan anestesi umum, tetapi pada kasus yang berat anestesi umum dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas total. Keuntungan intubasi dengan ETT adalah
prosedur yang cepat dan mencegah risiko pada tindakan operatif. Kerugian
pemasangan ETT adalah kesulitan pemasangannya pada edema jalan napas,
ketidaknyamanan, kebutuhan sedasi dan ventilasi mekanis, dan risiko stenosis laring
dan trakea.3,4
Trakeotomi dalam anestesi lokal diindikasikan pada jalan napas berat atau saat
trismus atau edema tidak memungkinkan pemasangan ETT atau jika tindakan
intubasi gagal. Tindakan insisi harus dibedakan tujuannya, antara insisi untuk
trakeotomi dan insisi untuk drainase harus terpisah.3,4 Trakeotomi sebisa mungkin
dihindari jika ruang anterior visera atau pretrakeal terlibat dalam infeksi.
Keunggulan trakeotomi adalah jalan napas yang aman, kebutuhan sedasi minimal,
dan transfer dari ICU yang lebih cepat. Kerugian trakeotomi adalah risiko tindakan
operatif dan risiko stenosis trakea. Risiko trakeotomi yang lain pada infeksi leher
dalam adalah mediastinitis, aspirasi pus, ruptur arteri, dan kematian.4
Krikortirotomi atau trakeotomi darurat dapat dilakukan pada kasus yang
membutuhkan tindakan operatif segera untuk menjaga jalan napas. Pemasangan tube
krikotirotomi dapat mencederai dinding posterior trakea dan meningkatkan risiko
stenosis subglotis. Krikotirotomi harus diubah menjadi trakeotomi dalam waktu 24-
48 jam.3,4

Antibiotik empiris
Setiap pasien dengan infeksi leher dalam harus mendapat terapi antibiotik
empiris sampai hasil kultur dan resistensi tersedia. Terapi empiris harus mencakup
bakteri aerob dan anaerob.3,4 Penisilin dengan inhibitor beta-laktamase (seperti
amoxicillin atau ticarcillin ditambah clavulanic acid) atau antibiotik resisten beta-
laktamase (seperti cefoxitin, cefuroxime, imipenem, atau meropenem) dengan
28
kombinasi obat yang efektif terhadap bakteri anaerob (seperti clindamycin atau
metronidazole) dianjurkan sebagai terapi empiris.4 Pada pasien yang dicurigai
terinfeksi MRSA (methicillin-resistant S. aureus), seperti pada pengguna narkoba
suntik atau pasien dengan disfungsi imun atau neutropenia, vancomycin dapat
diberikan sebagai terapi empiris. Ceftriaxone dan clindamycin dapat digunakan
sebagai terapi empiris terhadap MRSA pada anak kecil untuk mencegah resistensi
vancomycin.4 Penambahan gentamycin terhadap K. pneumoniae yang resisten
clindamycin sangat dianjurkan untuk pasien dengan diabetes; tetapi fungsi ginjal
pasien harus dipantau ketat pada penggunaan aminoglikosida untuk pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Terapi antibiotik parenteral harus diberikan sampai pasien
tidak demam selama setidaknya 48 jam, diikuti dengan terapi oral amoxiclav,
clindamycin, ciprofloxacin, trimethoprim-sulfamethoxazole, atau metronidazole.3,4

Intervensi bedah
Intervensi bedah menjadi terapi utama kasus infeksi leher dalam yang berat
atau disertai komplikasi. Indikasi pembedahan meliputi gangguan jalan napas, sepsis,
descending infection, diabetes melitus, atau tidak adanya perbaikan dalam 48 jam
setelah terapi antibiotik parenteral yang sesuai. Abses di atas 3 cm yang melibatkan
ruang prevertebral, viscera anterior, atau karotis, atau yang melibatkan dua ruang
atau lebih, harus didrainase.3,4 Drainase dapat dilakukan melalui insisi intraoral atau
ekstraoral dan drainase abses dangkal, atau pendekatan yang lebih ekstensif untuk
infeksi dalam, atau tindakan bedah invasif minimal. Abses yang kecil dan unilokular
merespons dengan baik dengan tindakan aspirasi, tetapi abses yang lebih besar atau
multilokular membutuhkan insisi dan drainase.4 Spesimen yang didapat dari tindakan
bedah, seperti pus dan jaringan mati, harus diperiksa secara mikrobiologis.3,4
Resusitasi cairan pada pasien seringkali dibutuhkan karena pasien seringkali datang
dengan dehidrasi.4
Pendekatan dari eksternal leher dibutuhkan untuk drainase abses visera
anterior, submandibula, parafaring, prevertebra, dan karotis, dan untuk abses
retrofaring dengan komplikasi yang tidak dapat didrainase melalui pendekatan
intraoral. Luka yang telah dilakukan debridement luas sebaiknya dibiarkan terbuka
dengan tertutup balutan antimikroba supaya luka dapat diinspeksi dengan mudah.
Pada infeksi yang turun ke rongga di bawahnya, drainase leher saja sudah cukup

29
pada infeksi yang berada di atas karina. Drainase pada dinding toraks diperlukan jika
infeksi meluas di bawah karina.4

3.2.8 Pencegahan
Infeksi odontogenik menjadi sumber utama infeksi leher dalam, terutama pada
infeksi geligi posterior.3,4 Selain itu, diabetes melitus menjadi faktor risiko utama
abes leher dalam, karena hiperglikemi mengganggu kerja neutrofil dan jaras
komplemen, selain meningkatkan virulensi patogen.4 Disfungsi imun akibat diabets
yang tidak terkontrol mengganggu kerja imun, sehingga menyebabkan abses yang
lebih parah, seringkali melibatkan berbagai ruang. K. pneumoniae menjadi patogen
yang paling umum ditemukan pada pasien diabetes, dan dapat ditanggulangi dengan
penambahan gentamycin. Meskipun demikian, manajemen infeksi leher dalam pada
pasien diabetes membutuhkan terapi yang lebih agresif disertai kontrol kadar gula
darah sampai di bawah 200 mg/dL.4
Supresi imun akibat infeksi HIV, kemoterapi, gagal ginjal kronis, penyakit
hati, dan terapi steroid jangka panjang meningkatkan risiko infeksi berat dan
atipikal.3,4 Pasien dengan gangguan funsi imun mungkin datang dengan tanda klinis
dan gejala yang tidak khas. Infeksi leher dalam dapat menjadi manifestasi klinis
pertama dari infeksi HIV, sehingga pemeriksaan laboratorium sebaiknya mencakup
pemeriksaan HIV.4 Antibiotik empiris dengan demikian harus mencakup patogen
potensial pada pasien dengan gangguan fungsi imun, dan patogen harus segera
diidentifikasi demi keberhasilan terapi.3,4
Pasien pengguna narkoba suntik memiliki risiko tinggi infeksi karotis jika
injeksi dilaukan di leher.3,4 Pasien pengguna narkoba suntik memiliki risiko yang
tinggi untuk infeksi organisme resisten, seperti MRSA dan E. corrodens. Terapi
antibiotik harus mencakup vancomycin dan terapi anaerob yang efektif terhadap E.
corrodens, seperti ciprofloxacin atau aminoglikosida, pada pasien pengguna narkoba
suntik.4
Kista kongenital pada leher harus dicurigai pada pasien dengan infeksi leher
dalam yang berulang. Infeksi pada kista dapat merespons dengan baik dengan terapi
antibiotik, tetapi eksisi total dinding kista diperlukan untuk mencegah berulangnya
infeksi.4
Keganasan primer pada kepala dan leher dapat muncul dengan infeksi leher
dalam sebagai tanda pertamanya, terutama pada pasien dengan usia lebih tua,
30
umumnya di atas 40 tahun.3,4 Pasien umumnya datang dengan gejala yang sama
dengan infeksi leher dalam lainnya, tetapi pada anamnesis pasien akan menunjukkan
gejala keganasan sebelum munculnya infeksi.4 Dengan demikian, sebaiknya
anamnesis untuk infeksi leher dalam mencakup gejala keganasan pada kepala dan
leher.3,4

31
BAB IV
ANALISIS KASUS

Abses submandibula dapat terjadi pada semua usia dan jenis kelamin. Tidak ada
kekerapan timbulnya abses berdasarkan usia dan jenis kelamin. Abses terbentuk karena
adana fokal infeksi yang menyebar secara lokal, limfogen atau hematogen. Pasien datang
dengan keluhan benjolan di dagu yang semakin meluas sejak enam hari yang lalu. Pasien
mengeluh nyeri pada daerah yang bengkak dan demam. Awalnya demam tidak terlalu
tinggi dan keluhan hanya berupa tidak nyaman saat membuka mulut. Lalu gejala menjadi
semakin berat seperti kemerahan pada daerah yang bengkak, nyeri dan teraba hangat serta
demam yang dirasakan semakin berat. Nyeri pada gigi dirsakan terus menerus. Nafsu
makan pasien berkurang. Saat pasien dirujuk ke RSMH, keluhan bertmbah menjadi mulit
membuka mulut dan sulit berbicara. Nyeri saat menelan mulai dirasakan dan demmam
menjadi semakin berat. Pasien mengaku gigi bawah sebelah kanan nyeri dan berlubang
sejak 10 hari yang lalu, akan tetapi gejala nyeri pada gigi bersifat hilang timbul. Pasien
memiliki kebiasaan mencongkel sisa makanan menggunakan tusuk gigi pada gigi yang
berlubang.
Gejala yang dikeluhkan pasien berupa adanya inflamasi pada daerah dagu sampai
leher. Keluhan yang bertambah menunjukkan adanya perkembangan penyakit. Adanya
riwayat sakit gigi dan gigi berlubang menunjukkan adanya fokal infensi yang
melatarbelakangi terjadinya inflamasi di daerah tersebut. Berdasarkan lokasi dari gigi yang
sakit dan berlubang dapat diperkirakan bahwa inflamasi yang terjadi akibat dari
pembentukan abses pada ruang submandibula akibat penjalaran lokal dari fokal infeksi
yang berupa gigi molar kedua dan ketiga. Infeksi yang meluas dari gigi menyebabkan
terbentuknya abses submndibula. Pus terbentuk terus menerus sehingga gejala menjadi
semakin berat baik itu demam, nyeri tekan, pembesaran pembengkakan pada daerah dagu
dan leher. Kesulitan membuka mulut dan berbicara kemungkinan terjadi karena
terbatasnya gerakan otot pembuka mulut pada dagu karena pembengkakan di daerah
tersebut.
Pasien mengaku memiliki riwayat sakit kencing manis dan hipertensi. penyakit
diabetes dan hipertensi pada pasien sudah diketahuinya sejak 10 tahun akan tetapi tidak
terkontrol obat. Penyakit kencing manis atau diabetes mellitus membuat pasien lebih

32
rentan mengalami infeksi. Hal itu dapat melatarbelakangi perburukan keadaan abses dan
infeksi gigi.
Hasil pemeriksaan fisik kepala didapatkan wajah yang asimetris dan kemerahan di
daerah mandibula serta terdapat nyeri tekan. Pada regio mandibula ditemukan
pembengkakan ukuran 9x6 cm, hiperemis, teraba hangat, nyeri tekan, tegang, terdapat
fluktuasi dan tepi rahang tidak teraba. Pada region leher didapatkan pembengkakan,
kemerahan, hangat tegang dan berfluktuasi serta nyeri tekan. Hasil pemeriksaan lokalis
menunjukkan adanya infeksi pada daerah mandibula yang menyebar sampai leher.
Kecurigaan adanya abses submandibula didukung dengan temuan fisik pada daerah
mandibula sampai leher.
Pada pemeriksaan rongga mulut didapatkan pembengkakan pada sublingual. Hal
tersebut kemungkinan dari terbentuknya pus di dasar mulut yang terdapat rongga
submandibula. Pemeriksaan jantung didapatkan batas jantung kiri melebar. Hasil
pemeriksaan fisik jantung tersebut dikonfirmasi dengan hasil rontgen dada yang
menunjukkan adanya pembesaran jantung kiri. pemeriksaan paru, abdomen, dan
ekstremitas tidak terdapat kelainan yang berarti.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil gula darah sewaktu yang lebih tinggi
dari normal. Hasil foto STL AP-PA menunjukkan bayangan opak densitas jaringan lunak
didaerah submandibula bilateral. Kesan yang didapatkan pada pemeriksaan STL adalah
massa jaringan lunak submandibula (colli) bilateral dan kolom udara terbuka. Temuan
tersebut dapat mendukung kecurigaan awal yang berupa abses submandibula.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang sudah dilakukukn diagnosis
yang dapat ditegakkan adalah abses submandibula dengan diabetes mellitus tipe II dan
hipertensi grade 1. Penatalaksanaan kasus ini adalah insisi dan drainase abses
submndibula. Antibiotik intravena diberikan yaitu seftriakson 1 gr/12 jam, metronidazol
500 mg/8 jam, dan gentamisin 80 mg/8 jam. Terapi diabetes mellitus diberika insulin long
acting (Levemir®) 12 unit/24 jam dan Insulin fast acting (Novorapid®) 8 unit/ 8 jam. Obat
antihipertensi yang diberikan adalah amlodipin tablet 10 mg/24 jam.

33
DAFTAR PUSTAKA
1. Novialdi, A.A., “Penatalaksanaan Abses Submandibula dengan Penyulit
Uremia dan Infark Miokardium Lama”, Bagian Teling Hidung Tenggorokan
Bedah Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas., 2012.
2. Fachruddin, D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. Hal 229
3. Costain N, et al. “Ludwig’s Angina”, American Journal of Medicine. 2011;
124(2):115-117. DOI: 10.1016/j.amjmed.2010.08.004
4. Viera F, et al. “Deep Neck Infection”, Otolaryngol Clin N Am. 2008; 41:459-
483. DOI: 10.1016/j.otc.2008.01.002
5. Fachruddin, D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. Hal 229
6. Anniko M,Sprekelsen Mb, Bonkowsky V. Otorhinology Head and Neck
Surgery. New York: Springer. Page 414-415
7. Dr David Maritz.Deep space infections of the neck and floor of mouth-Hand
Out
8. Pictures of submandibular neck. Otolaryngology Houston. http://prosites-
otohouston.homestead.com/neckabscess.html, diunduhpada 16 Mei 2018
9. Scott BA, Steinberg CM, Driscoll BP. Infection of The Deep Space of The
Neck. Dalam: Bailley BJ, Jhonson JT,Kohut RI editors. Otolaryngology Head
and NeckSurgery. Philadelphia: JB. Lippincott Company 2001. Hal 701-15
10. Cummings CW, Robbins KT. Otolaryngology Head and Neck Surgery.
Pennsylvania: Elsevier Mosby. 2005. Hal 64-67
11. Calhoun KH, Head and Neck Surgery-Otolaryngology Volume two. 3nd
Edition. USA: Lippincott Williams and Wilkins. 2001. 705,712-3
12. Ballenger JJ. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jilid 1.
Edisi ke-13. Jakarta: Bina Rupa Aksara,1994.295-304
13. Munoz A, Castillo M, Melchor MA, Gutierrez R. AcuteNeck Infection:
Prospective Comparison between CT and MRI in 47 patient. J comput Assist
Tomogr. 2001; 25:733-41

34
14. Al-Ebrahim KE. Descending NecrotizingMediastenitis: ACaseReport and
Review of TheLiterature. Eur J Cardio-thoracSurg 1995;9:161-2
15. Abdurrachman H. Roesmarjono, Munir M. Infeksi Kuman Anaerob pada
Abses Leher Dalam. Konggres PERHATI VIII. Medan. 1980.
16. Standring, S. 2004. Grays Anatomy. The Anatomical Basis of Clinical
Practise. Churcill Living Stone: Elsevier
17. Hibbert J. Laryngology and Head and Neck Surgery. Oxford: Butterworth-
Heinemann. 1997. Hal 5,16,17
18. Widuri, Asti, “Abses Submandibula”, Mutiara Medika, 2004.
19. Helsy, I., Lumintang, N., Limpeleh, H., “Profil Abses Submandibula di Bagian
Bedah RS Prof. Dr. R.D. Kando Manado”, 2012.
20. Sakaguchi M, Sato S, Ishiyama T, Katsuno T, Taguchi K. characterization and
management of deep neck infection. J. Oral Maxillofac Surg. 1997;26:131-134
21. Fachruddin DR, Helmi. Penatalaksanaan infeksi leher dalam. Up-date 1995.
Prinsip dasar penatalaksanaan penyakit infeksi, dalam rangka dies natalis FK-
UI ke-46(1995)

35

Anda mungkin juga menyukai