Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi nikmat, taufik,
hidayah serta inayah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan
judul “Manusia, Moralitas, dan Hukum” dengan tiada halangan suatu apa pun.

Dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Ibu Utti Surwirta, Dra., M.Pd selaku Dosen mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar.
2. Teman – teman kelompok, serta semua pihak yang telah membantu kami.

Penulis telah berupaya semaksimal mungkin untuk menyusun makalah ini dengan
sebaik-baiknya, namun mungkin masih ada kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari semua pihak.

Akhirnya dengan tersusunnya makalah ini, semoga ada guna dan manfaatnya,
khususnya di dunia pendidikan dan masyarakat. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi dan
memberkahi hidup dan perjuangan kita, Amin.

Ciamis, Mei 2017

Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.........................................................................................................................i

Daftar Isi.................................................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................... 1

A. Latar Belakang......................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.................................................................................................. 2

C. Tujuan.................................................................................................................... 2

D. Manfaat................................................................................................................. 2

BAB 2 PEMBAHASAN....................................................................................................... 3

A. PENTINGNYA MORAL DAN HUKUM................................................................. 3

B. MORAL SEBAGAI SUMBER BUDAYA DAN KEBUDAYAAN..............................4

C. NILAI, NORMA, ETIKA, DAN MORAL DALAM HIDUP

BERMASYARAKAT............................................................................................... 6

C.1. Nilai Norma......................................................................................................... 6

C.2. Nilai Etika........................................................................................................... 9

C.3. Nilai Moral.......................................................................................................... 10

D. PENTINGNYA MORALITAS DAN PELAKSANAAN HUKUM

SERTA HAMBATAN-HAMBATANNYA..................................................................12

D.1. Penting Moralitas............................................................................................. 12

D.2. Pelaksanaan Hukum serta Hambatan-Hambatannya........................................... 14

BAB 3 PENUTUP............................................................................................................... 21

A. Kesimpulan.......................................................................................................... 21
B. Saran.................................................................................................................... 21

Daftar Pustaka.........................................................................................................................iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hakikatnya manusia adalah makhluk moral. Untuk menjadi makhluk sosial yang memiiki
kepribadian baik serta bermoral tidak secara otomatis, perlu suatu usaha yang disebut
pendidikan. Menurut pandangan humanisme manusia memiliki kemampuan untuk
mengarahkan dirinya ketujuan yang positif dan rasional. Manusia dapat mengarahkan,
mengatur, dan mengontrol dirinya. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan ialah upaya
untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani
(Slamet Sutrisno, 1983, 26). Perkembangan kepribadian seseorang tidak lepas dari pengaruh
lingkungan sosial budaya tempat tumbuh dan berkembangnya seseorang (cultural backround
of personality).

Setiap orang pasti akan selalu berusaha agar segala kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi
dengan baik sehingga dapat mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Kebutuhan hidup
manusia selain ada kesamaan juga terdapat banyak perbedaan bahkan bertentangan antara
satu dengan yang lain. Agar dalam usaha atau perjuangan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya tidak terjadi tabrakan antara yang satu dengan yang lain dalam masyarakat, maka
diperlukan adanya suatu aturan, norma atau kaidah yang harus dipatuhi oleh segenap warga
masyarakat. Oleh sebab itu di negara Indonesia, kehidupan manusia dalam bermasyarakat
diatur oleh hukum juga diatur oleh norma-norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, serta
kaidah-kaidah lainnya. Kaidah-kaidah sosial itu mengikat dalam arti dipatuhi oleh anggota
masyarakat di mana kaidah itu berlaku. Hubungan antara hukum dan kaidah-kaidah sosial
lainnya itu saling mengisi.

Di Indonesia sendiri, penegakan hukum selalu menjadi suatu kewajiban yang mutlak
harus diadakan dalam negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Kewajiban tersebut bukan
hanya dibebankan pada petugas resmi yang telah ditunjuk dan diangkat oleh Pemerintah akan
tetapi adalah juga merupakan kewajiban dari pada seluruh warga masyarakat. Bukan
merupakan rahasia umum lagi bahwa kadang-kadang terdapat noda hitam dalam praktek
penegakan hukum yang perlu untuk dibersihkan sehingga hukum dan keadilan benar-benar
dapat ditegakkan. Sebagai salah satu pilar yang sangat penting dalam sistem ketatanegaraan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penyelesaian berbagai permasalahan hukum
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia harus diakui tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat.
B. Rumusan Masalah

1. Apakah hukum dan moralitas itu penting dalam kehidupan bermasyarakat?


2. Bagaimana moral sebagai sumber kebudayaan?
3. Bagaimana hubungan norma, etika, dan hukum dalam kehidupan bermasyarakat?
4. Bagaimana pelaksanaan hukum di Indonesia?
5. Apa saja hambatan-hambatan yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia?

C. Tujuan

1. Mengetahui pentingnya hukum dan moralitas dalam kehidupan bermasyarakat.


2. Mengetahui bagaimana moral dikatakan sebagai sumber kebudayaan.
3. Mengetahui hubungan norma, etika, dan hukum dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Mengetahui pelaksanaan hukum di Indonesia.
5. Mengetahui apa saja hambatan-hambatan yang terjadi dalam penegakan hukum di
Indonesia.

D. Manfaat

1. Agar generasi muda sekarang tidak hanya cerdas namun juga memiliki moral yang baik
sehingga ilmu yang dimilikinya dapat disumbangkan untuk kemajuan bangsa dan budaya
Indonesia.
2. Mendidik generasi muda untuk menjadi manusia yang taat dengan nilai dan norma-norma
yang berlaku di negara Indonesia.
3. Mendidik generasi muda untuk mampu berpartisipasi dalam pelaksanaan hukum di
Indonesia dan mampu mengatasi hambatan-hambatan dalam penegakan hukum di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENTINGNYA MORAL DAN HUKUM

Manusia dan hukum adalah dua identitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam
ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana
ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu
bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang
bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu,
dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.Untuk mewujudkan
keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di
antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order) yang
bernama masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang
teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan
(hukum) dan si pengatur (kekuasaan).

Nilai moral dan hukum mempunyai keterkaitan yang sangat erat sekali. Nilai
dianggap penting oleh manusia itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan
harus diaplikasikan dalam perbuatan. Moralitas diidentikan dengan perbuatan baik dan
perbuatan buruk(etika) yang mana cara mengukurannya adalah melalui nilai- nilai yang
terkandung dalam perbuatan tersebut.

Pada dasarnya nilai, moral, dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani
manusia. pertama, berfungsi mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri
sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. kedua, menarik perhatian pada
permaslahan-permasalahan moral yang kurang ditanggapi manusia. Ketiga, dapat menjadi
penarik perhatian manusia kepada gejala “Pembiasaan emosional”

Selain itu fungsi dari nilai, moral dan hukum yaitu dalam rangka untuk pengendalian
dan pengaturan. Pentingnya system hukum ialah sebagai perlindungan bagi kepentingan-
kepentingan yang telah dilindungi agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan karena
belum cukup kuat untuk melindungi dan menjamin mengingat terdapat kepentingan-
kepentingan yang tidak teratur. Untuk melindungi lebih lanjut kepentingan yang telah
dilindungi kaidah-kaidah tadi maka diperlukanlah system hukum.

K. Bertens menyatakan ada setidaknya empat perbedaan antara hukum dan


moral, pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas (hukum lebih dibukukan
daripada moral), kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun
hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga
sikap bathin seseorang, ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi
yang berkaitan dengan moralitas, keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan
akhirnya atas kehendak negara sedangkan moralitas didasarkan pada norma-norma moral
yang melebihi para individu dan masyarakat.
B. NILAI MORAL SEBAGAI SUMBER BUDAYA DAN KEBUDAYAAN
1. Nilai dan Sistem Budaya

Kehidupan manusia dalam masyarakat, baik secara pribadi atau individu maupun
kelompok, seantiasa berhubungan dengan nilai-nilai, moral, dan norma. Nilai-nilai, norma,
dan moral tersebut berfungsi memberi motivasi dan arahan bagi seluruh anggota masyarakat
dalam bersikap, berbuat, dan bertingkah laku. Nilai atau value berasal dari kata valere yang
berarti : kuat, baik, berharga (Bambang Daroeso, 1983,26). Sesuatu dikatakan bernilai ,
artinya sesuatu itu mempunyai hal yang berharga, berguna, indah yang memperkaya batin,
yang menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai-nilai atau sistem nilai yag
telah menjadi milk bersama masyarakat akan dapat berfungsi sebagai perekat bagi
masyarakat, bahkan dijadikan pedoman bagi seluruh anggota masyarakat.

Nilai bersumber pada budi pekerti, oleh karena itu nilai sebagai suatu sistem merupakan
salah satu wujud kebudayaan yang bersifat abstrak. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar atau seluruh warga masyarakat,
mengenai hal-hal yang harus mereka anggap baik, paling benar, amat bernilai dalam hidup.
Oleh karena itu sistem nilai budaya biasanya dijadikan pedoman tertinggi bagi seluruh
anggota masyarakat. Sistem-sistem tata kelakuan manusia dari sifatnya lebih konkret, seperti
aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma lain, semuanya bersumber pada sistem nilai
budaya tersebut (Koentjaraningrat, 1994,25). Nilai-nilai budaya tersebut telah mempribadi
pada anggota masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah. Sistem nilai budaya merupakan
wujud riil dari kebudayaan, dan setiap masyarakat atau bangsa memilii sistem nilai budaya
sendiri yang membentuk kepribadian bangsa, oleh karena itu Pancasila sebagai kepribadian
bangsa bersifat unik, khas, atau khusus.

2. Membangun Kebudayaan Nasional, Nilai-nilai Budaya Positif dan Nilai-nilai


Budaya Negatif.

Bagi banga Indonesia, berbagai persoalan dalam negeri yang berjalan bebarengan dengan
munculnya fenomena globalisasi seolah- olah menghentakan kesadaran nasional untuk
memperteguh identitas nasionalnya, tanpa harus menjadi ekslusif. Penyegaran identitas
nasional berarti mengungkapkan unsur-unsur positif yang dimiliki bangsa Indonesia di
tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa. Nilai- nilai tradisional yang dapat mendorong
pembangunan nasional antara lain :

 Berorientasi vertikal kearah atasan (Pimpinan, tokoh masyarakat), aspek positif dari nilai
budaya ini ialah dapat memudahkan taktik untuk mengajak rakyat berpartisipasi dalam
usaha pembangunan dengan cara memberi contoh tauladan, misalanya hidup hemat dan
sederhana, mentaati hukum, serta disiplin.
 Nilai budaya sifat tahan menderita dan keuletan.
 Nilai budaya bahwa manusia wajib terus berikhtiyar atau berusaha dan berjuang.
 Nilai budaya sikap toleran terhadap pendirian atau keyakinan yang lain.
 Nilai budaya yang berupa semangat dan jiwa gotong-royong serta rasa solidaritas.
(Koentjoroningrat, 1994,69-71).
Sikap mental bangsa Indonesia yang dapat menghambat pembangunan nasional (nilai-
nilai budaya negatif). Dalsm rangka mempercepat proses pembangunan nasional diseluruh
bidang kehidupan bangsa apalagi setelah bangsa Indonesia dilanda krisis multidimensi yang
berkepanjangan, maka kita harus berusaha keras memberantas sikap buruk yang masih
melekat dalam diri kita masing-masing pada khususnya dan dalam kepribadian bangsa
Indonesia pada umumnya. Sikap mental negatif yang dapat menghambat pembangunan
nasional antara lain :

 Sifat mentalitas yang meremehkan mutu.


 Sifat mentalitas yang suka menerabas
 Sifat tak percaya diri sendiri.
 Sifat tak berdisiplin murni.
 Sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab yang kokoh. (Koentjoroningrat,
1994, 45)

Di masyarakat, warga masyarakat apapun profesi/ kegiatannya harus mendapatkan


bimbingan dan kalau perlu diberi modal agar dapat menghasilkan produk yang bermutu dan
sekaligus menumbuhkan kembangnya rasa percaya diri.

Sifat mental yang tidak disiplin masih merupakan aspek negatif dari kepribadian bangsa
Indonesia yang harus segera diberantas karena dapat menghambat segala usaha pembangunan
serta merusak citra bangsa. Cara yang dapat ditempuh antara lain:

 Mulai dari masa anak-anak dibiasakan hidup tertip, mematuhi peraturan.


 Para pemimpin harus memberi contoh untuk bersikap desiplin.
 Hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu.
 Menghilangkan sikap disiplin semu (berpura-pura) dikalangan masyarakat.

Sifat tidak bertanggung jawab dikalangan masyarakat bangsa Indonesia masih cukup
tinggi. Hal ini dapat kita lihat gejalanya antara lain:

 Kebiasaan suka melempar kesalahan diri dari pihak lain (mencari kambing hitam)
 Suka mengingkari janji/ tidak menepati janji yang ditetapkan atau disanggupi.
 Suka mengentengkan masalah, meskipun menyangkut perasalahan yang penting.

Sifat buruk masyarakat ini harus diberantas dan dicegah jangn sampai berkembang
khususnya dikalangan anak-anak dan remaja/ pemuda. Dan sudah barang tentu lewat proses
pendidikan.

3. Aspek Subyektif dan Obyektif Kebudayaan


a. Aspek Subyektif kebudayaan ialah pribadi-pribadi manusia sebagai pencipta
kebudayaan, taraf perkembangan budaya para anggota masyarakat.
b. Aspek Obyektif kebudayaan meliputi segala hasil cipta karsa, rasa, dan karsa manusia
baik kebudayaan yang bersifat maeri maupun kebudayaan yag bersifat non materi, hasil
perkembangan budaya manusia (Djojodiegoeno, 1961,26)
2. Baik buruknya kebudayaan tergantung pada faktor manusia (subjek) yang menciptakan
kebudayaan dan sekaligus sebagai pengembang serta pendukung kebudayaan. Agar dapat
dihasilkan kebudayaan haruslah merupakan sumber daya manusia yang berkualitas serta
memiliki nilai-nilai moral yang tinggi.

C. NILAI NORMA, ETIKA, DAN MORAL DALAM HIDUP BERMASYARAKAT

C.1. Nilai Norma

Setiap orang pasti akan selalu berusaha agar segala kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi
dengan baik sehingga dapat mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Kebutuhan hidup
manusia selain ada kesamaan juga terdapat banyak perbedaan bahkan bertentangan antara
satu dengan yang lain. Agar dalam usaha atau perjuangan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya tidak terjadi tabrakan antara yang satu dengan yang lain dalam masyarakat, maka
diperlukan adanya suatu aturan, norma atau kaidah yang harus dipatuhi oleh segenap warga
masyarakat. Pengetian dari norma itu sendiri adalah ketentuan yang berisi perintah-perintah
atau larangan-larangan yang harus dipatuhi warga masyarakat demi terwujudnya nilai-nilai.

Norma merupakan suatu aturan-aturan yang berisi perintah, larangan, dan sanksi-sanksi
bagi yang melanggarnya. Pada dasarnya norma merupakan nilai, tetapi disertai dengan sanksi
yang tegas terhadap pelanggarnya. Norma merupakan aturan-aturan dengan sanksi-sanksi
yang dimaksudkan untuk mendorong bahkan menekan perorangan, kelompok, atau
masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial.

Secara umum kita dapat membedakan norma menjadi dua norma yaitu: norma khusus
dan norma umum.

a. Norma Khusus adalah aturan yang berlaku dalam kegiatan atau kehidupan khusus,
misalnya aturan olahraga, aturan pendidikan, atau aturan sekolah dan sebagainya.
b. Norma Umum adalah norma yang bersifat umum atau universal.

Didalam kehidupan masyarakat terdapat norma-norma (aturan-aturan) yang mengatur


perilaku anggota masyarakat, yaitu sebagai berikut.

1. Norma Agama
Norma agama bersumber dari ajaran agama. Nilai-nilai yang bersumber dari ajaran gama
bersifal absolut karena berasal dari Tuhan. Agama adalah suatu keyakinan yang
kebenarannya bersifat mutlak, tidak tergantung pada cara berfikir dan cara merasa manusia.
Ajaran agama berisi perintah, larangan dan kebolehan yang disampaikan kepada umat
manusia melalui Malaikat dan Rasul-Nya. Sanksi dari norma agama berupa siksa di akhirat
kelak. Contoh dari moral agama adalah beribadah, dilarang berbohong, harus berbakti pada
orang tua, dan lain-lain.

2. Norma Kesusilaan
Adalah aturan hidup yang bersumber dari suara hati manusia tentang mana perbuatan
yang baik dan mana perbuatan tidak baik. Norma kesusilaan mendorong manusia untuk
memiliki akhlak mulia, dan sebaliknya bagi manusia yang melanggar norma kesusilaan dapat
menyeret manusia melakukan perbuatan yang nista. Sanksi terhadap norma kesusilaan berupa
rasa penyesalan diri. Contohnya adalah berlaku jujur, berbuat baik terhadap sesama, dan lain-
lain.

3. Norma Kesopanan
Adalah aturan hidup bermasyarakat yang landasannya berupa kepatutan, kepantasan serta
kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Horma kesopanan sering disebut juga dengan tata
krama. Norma kesopanan ditunjukkan kepada sikap lahiriah setiap anggota masyarakat emi
ketertiban dan suasana keakraban dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Sanksi bagi yang
melanggar adalah celaan dari masyarakat. Contohnya adalah maka tidak boleh sambil bicara,
orang muda harus menghormati orang yang lebih tua, dan lain-lain

4. Norma Hukum
Norma hukum adalah seperangkat peraturan yang dibuat oleh negara atau badan yang
berwenang.norma hukum berisi perintah negara yang dilaksanakan dan larangan-larangan
yang tidak boleh dilakukan oleh warga negara.sifat dari norma ini adalah tegas dan memaksa.
Sifat ”memaksa” dengan sanksinya yang tegas inilah yang merupakan kelebihan dari norma
hukum,jika dibandingkan dengan norma-norma yang lainnya.demi tegaknya hukum,negara
mempunyai lembaga beserta aparat-apratnya di bidang penegakan hukum seperti
polisi,jaksa,dan hakim.bila seseorang melanggar hukum,ia akan menerima sanksinya berupa
hukuman misalnya hukuman mati,penjara,kurungan,dan denda. Contohnya adalah mematuhi
rambu lalu lintas, dilarang membunuh, dan lain-lain.

C.1.1. Hubungan Antar-Norma


Kehidupan manusia dalam bermasyarakat, selain diatur oleh hukum juga diatur oleh
norma-norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, serta kaidah-kaidah lainnya. Kaidah-kaidah
sosial itu mengikat dalam arti dipatuhi oleh anggota masyarakat di mana kaidah itu berlaku.
Hubungan antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya itu saling mengisi. Artinya kaidah
sosial mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dalam hal-hal hukum tidak
mengaturnya. Selain saling mengisi, juga saling memperkuat. Suatu kaidah hukum, misalnya
“kamu tidak boleh membunuh” diperkuat oleh kaidah sosial lainnya. Kaidah agama,
kesusilaan, dan adat juga berisi suruhan yang sama.

Dengan demikian, tanpa adanya kaidah hukum pun dalam masyarakat sudah ada
larangan untuk membunuh sesamanya. Hal yang sama juga berlaku untuk “pencurian”,
“penipuan”, dan lain-lain pelanggaran hukum. Hubungan antara norma agama, kesusilaan,
kesopanan dan hukum yang tidak dapat dipisahkan itu dibedakan karena masing-masing
memiliki sumber yang berlainan. Norma Agama sumbernya kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Norma kesusilaan sumbernya suara hati (insan kamil). Norma kesopanan
sumbernya keyakinan masyarakat yang bersangkutan dan norma hukum sumbernya peraturan
perundang – undangan.
Fungsi norma sosial di dalam kehidupan bermasyarakat adalah sebagai pedoman
hidup yang berlaku bagi semua anggota masyarakat pada wilayah tertentu; memberikan
stabilitas dan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat; mengikat warga masyarakat,
karena norma disertai dengan sanksi dan aturan yang tegas bagi para pelanggarnya;
menciptakan kondisi dan suasana yang tertib dalam masyarakat; dan adanya sanksi yang
tegas akan memberikan efek jera kepada para pelanggarnya, sehingga tidak ingin mengulangi
perbuatannya melanggar norma.

Berdasarkan kekuataan daya pengikatnya,norma-norma sosial dibagi menjadi tata


cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), adat-istiadat(customs), dan hukum
(laws).
a. Tata cara (usage)
Proses interaksi yang terus-menerus akan melahirkan pola-pola tertentu yang
dinamakan tata cara(usage). Tata cara merupakan norma yang menunjukan pada suatu
bentuk perbuatan dengan sanksinya ringan terhadap pelanggarnya dibandingkan norma
lainnya. Misalnya, pada waktu makan bersendawa atau mendecak, tidak mencuci tangan
sebelum makan. Pelanggaran terhadap norma ini tidak akan mengakibatkan sanksi berat,
melainkan hanya sekedar celaan atau dinyatakan tidak sopan oleh orang lain.
b. Kebiasaan (folkways)
Kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Kebiasaan
memiliki kekuatan yang lebih besar daripada tata cara, misalnya memberikan salam pada
waktu bertemu, membungkukan badan sebagai tanda penghormatan kepada orang yang lebih
tua. Sanksinya yang akan diterima bagi pelanggarannya dapat berupa teguran, sindiran,
digunjingkan, dan dicemooh.
c. Tata Kelakuan (mores)
Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber pada ajaran agama, filsafat, nilai
kebudayaan atau ideologi yang dianut oleh masyarakat. Tata kelakuan adalah aturan yang
berlandaskan pada apa yang baik dan seharusnya dilakukan manusia. Apabila orang
melanggar kebiasaan akan dianggap aneh, tetapi kalau melanggar tata kelakuan akan disebut
jahat. Contohnya adalah larangan berzinah, berjudi, minum-minuman keras ,penggunaan
narkoba. Pelanggaran terhadap tata kelakuan ini mengakibatkan sanksi yang berat, misalnya
diusir dari kampungnya sehingga mores juga disebut norma berat.
d. Adat – Istiadat (customs)
Adat istiadat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat mengikatnya
sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat akan menderita yang
kadang-kadang secara tidak langsung dikenakan. Contohnya adat istiadat yang berlaku di
masyarakat lampung, seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya apabila terjadi
perceraian maka tidak hanya bersangkutan yang tercemar namanya, tetapi seluruh
keluarganya bahkan sukunya. Sanksinya berupa pengucilan, dikeluarkan dari
masyarakat/sukunya atau harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti upacara adat.
e. Hukum(laws)
Hukum merupakan norma yang bersifat formal,berupa aturan tertulis yang dibuat oleh
lembaga yang berwenang dan memiliki sanksi yang tegas dan memaksa.
C.2. Nilai Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos
sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat
tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap,
cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan. Filsafat etika adalah salah satu
cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat baik buruk tingkah laku manusia. Oleh karena
itu etika diartikan filsafat tingkah laku atau lebih tepatnya ilmu yang membahas atau
mempelajari perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh
pikiran manusia. Etika berupa aturan – aturan, misalnya etika pergaulan yaitu aturan
bagaimana bergaul yang baik, kode etik guru, kode etik dokter, kode etik jaksa, dan lain-lain.
Tujuan untuk mempelajari etika adalah Untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai
penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu.

Etika memberi pegangan atau orientasi dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Ini berarti tindakan manusia selalu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapainya. Etika
ada dua yaitu etika deontologi dan etika teleologi. Etika deontologi menekankan manusia
untuk bertindak secara baiki. Suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan
berdasakan akibat atau tujuan baik pada dirinya sendiri. Tindakan itu bernilai moral karena
tindakan itu dilaksanakn berdasarkann kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas
dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Etika deontologi sangat menekankan motivasi,
kemauan baik dan watak yang kuat dari pelaku. Kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya
sendiri terlepas dari apapun juga.n maka, dalam menilai seluruh tindakan, kemauan baik
harus selalu dinilai9 pertama dan menjadi kondisi dari segalanya.

Etika teleologi mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang akan
dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan nakibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau kalau akibat
yang ditimbulkannya baik dan berguna. Etika teleologi lebih situsional, karena tujuan dan
akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Karena itu, setiap
norma dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi.

Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum yang berisi prinsip serta moral
dasar dan etika khusus atau etika terapan yang berlaku khusus. Etika khusus ini masih dibagi
lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Etika sosial ada enam yaitu sikap terhadap
sesama; etika keluarga; etika profesi misalnya untuk pustakawan; arsiparis; dokumentalis;
pialang; informasi; etika politik; etika lingkungan hidup; dan kritik ideologi.

C.3. Nilai Moral

Ditinjau dari sudut etimologis, kata moral berasal dari kata mos, bentuk jamaknya
mores yang berarti adal istiadat atau kebiasaan. Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah
istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai
positif. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan
seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara
hati, serta nasihat, dan lain-lain. Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan
perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.

Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak
memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus
dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses
sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral
dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau
sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit.

Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki
moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam
kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan
masyarakat setempat.Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber
interaksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa
yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan
masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya.
Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang
berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama.

Ciri manusia bermoral atau manusia tidak bermoral, jika dilihat dari pengertian dan
beberapa istilah terkait pengertian moral ciri orang bermoral dan tidak bermoral adalah jika
seseorang melakukan tindakan sesuai dengan nilai rasa dan budaya yang berlaku ditengah
masyarakat tersebut dan dapat diterima dalam lingkungan kehidupan sesuai aturan yang
berlaku maka orang tersebut dinilai memiliki moral. Kata moral atau akhlak sering kali
digunakan untuk menunjukkan pada suatu perilaku baik atau buruk, sopan santun dan
kesesuaiannya dengan nilai-nilai kehidupan pada seseorang.

Moral berkaitan dengan masalah perbuatan manusia, pikiran serta pendirian tentang apa
yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan tidka patut untuk dilakukan
seseorang. Dikatakan moralnya baik apabila sikap, tingkah laku dan perbuatannya sesuai
dengan pedoman sebagaimana digariskan oleh ajaran Tuhan. Sanksi moral itu sendiri berupa
sanksi dari Tuhan yang ditimpakan kelak diakhirat, sanksi pada diri sendiri yang bersifat
kejiwaan (sedih, resah, malu,dsb), dan sanksi yang berasal dari keluarga atau masyarakat
(dicemooh, dicela, dikucilkan,dsb).

C.3.1. Hubungan antara etika dengan moral


Etika berupa aturan-aturan, misalnya etika pergaulan yaitu aturan bagaimana bergaul
yang baik, kode etik guru, kode etik dokter, kode etik jaksa, dsb. Kalau etika berupa
aturannya, maka moral merupakan buah atau hasilnya. Contoh : seseorang yang selalu
mematuhi etika, maka orang tadi dikatakan bermoral, atau moralnya baiik. Sebaliknya
seseorang yang selalu atau sering melanggar etika, dikatakan moralnya buruk, atau amoral.
Jadi antara etika dengan moral hubungannya sangat erat.
Selain itu jika dilihat dari segi istilah, moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal
kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing
mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata
‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata
tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata
’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari
bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin. Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan
pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar
nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila kita mengatakan
bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan
norma-norma yang tidak baik.

Jadi yang membedakan antara etika dengan moral yaitu apabila etika yang dijadikan
sebagai tolak ukur untuk mengukur tingkah laku manusia adalah pikiran atau akal sedangkan
apabila moral yang dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengukur tingkah laku
manusia adalah budaya, adat istiadat, kebiasaan, dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan.
Moral di pakai untuk perbuatan yang sedang di nilai, sedangkan etika di pakai untuk system
nilai yang ada.

C.3.2. Hubungan antara etika, norma dan hukum


Jika kita membahas tentang norma, etika, dan hukum tentunya kita tidak dapat
melepaskannya dari segi moral. Dari arti kata, etika dapat disamakan dengan moral. Moral
berasal dari bahasa latin mos yang berarti adat kebiasaan. Beberapa ahli memiliki pendapat
yang berbeda-beda tantang hubungan antara moral dan etika. Menurut Lawrence Konhberg
terdapat hubungan antara moral dengan etika. Menurut Lawrence Konhberg pendidikan
moral merupakan dasar dari pembangunan etika. Pendidikan moral itu sendiri terdiri dari
ilmu sosiologi, budaya, antropologi, psikologi, filsafat,pendidikan, dan ilmu poitik. Pendapat
Lawrence Konhberg berbeda dengan pendapat Sony Keraf. Soni Keraf membedakan antara
moral dengan etika.

Nilai-nilai moral mengandung nasihat, wejangan, petuah, peraturan, dan perintah


turun temurun melalui suatu budaya tertentu. Sedangkan etika merupakan refleksi kritis dan
rasional mengenai nilai dan norma manusia yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan
perilaku hidup manusia. Karena etika dan moral saling mempengaruhi, maka keduanya tentu
memiliki hubungan yang erat dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Norma
sebagai bentuk perwujudan dari etika dan moral yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat. Norma tersebut dapat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Meski tiap daerah memiliki norma yang berbeda-beda namun tujuannya tetap sama yaitu
mengatur kehidupan bermasyarakat agar tercipta suasana yang mendukung dalam hidup
bermasyarakat.
Sedangkan hukum merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan bermasyarakat yang memiliki etika, moral, dan norma-norma didalamnya Hukum
berperan sebagai `penjaga` agar etika, moral, dan norma-norma dalam masyarakat dapat
berjalan dengan baik. Apabila terjadi pelanggaran terhadap etika,moral, dan norma maka
hukum akan berperan sebagai pemberi sanksi. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi sosial
sebagai akibat dari pelanggaran norma-norma sosial masyarakat dan sanksi hukum apabila
norma-norma yang dilanggar juga termasuk dalam wilayah peraturan hukum yang berlaku.

D. PENTINGNYA MORALITAS DAN PELAKSANAAN HUKUM SERTA


HAMBATAN-HAMBATANNYA

D.1. Pentingnya Moralitas

Berbicara tentang Moralitas, mari kita lihat terlebih dahulu di dalam Kamus Bahasa
Indonesia apa definisi tentang moralitas, Moralitas berarti Budi Pekerti, Sopan Santun, Adat
Kesopanan. Sementara kata Moralitas, berasal dari kata “Moral” dan moral di dalam kamus
didefinisikan sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai budi
pekerti. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan
baik dan buruk (Bertens,2002:7). Jadi, jika kita berbicara tentang ”Moralitas atau Moral”
pasti kita merujuk kepada cara berfikir dan bertindak yang dilandasi oleh budi pekerti yang
luhur. Istilah moral juga biasanya dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu
perbuatan, kelakuan, sifat dan perangkai dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau
tidak layak, patut maupun tidak patut. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat,
agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber.

Masalah moral merupakan masalah kemanusiaan, jadi sudah sewajarnya apabila


dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara masalah moralitas menjadi
masalah penting yang harus diperhatikan dalam rangka meningkatkan hubungan sosialnya
dengan masyarakat sekitar yang merupakan realitas kehidupan yang harus dihadapi. Pada
tahap awal pembentukan kepribadian misalnya, seorang bayi mulai mempelajari pola
perilaku yang berlaku dalam masyarakat dengan cara mengadakan hubungan dengan orang
lain. Dalam hal ini pertama-tama dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Lambat laun
setelah menjadi anak-anak dia mulai membedakan dirinya dengan orang lain. Dia mulai
menyadari perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak. Bila ia melakukan perbuatan yang
benar dia akan disukai oleh lingkungan dan bila berbuat salah dia akan ditegur. Tahap demi
tahap seorang anak akan mempunyai konsep tentang dirinya, kesadaran itu dapat diamati dari
tingkah laku dalam interaksinya dengan lingkungan. Maka dalam proses interaksi tersebut
diperlukan nilai-nilai moral sebagai petunjuk arah, cara berfikir, berperasaan dan bertindak
serta panduan menentukan pilihan dan juga sebagai sarana untuk menimbang penilaian
masyarakat terhadap sebuah tindakan yang akan diambil, dan nilai-nilai moralitas juga
penting untuk menjaga rasa solidaritas di kalangan kelompok atau masyarakat serta dapat
menjadi benteng perlindungan atau penjaga stabilitas budaya kelompok atau masyarakat
tertentu.
Melihat kondisi penerus bangsa yang saat ini telah kacau balau. Dimana banyak
peristiwa yang menunjukkan sikap tidak bermoral seperti tindakan pencurian, pemerkosaan,
pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai kehidupan di negara kita
tercinta ini. Belum lagi tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini
morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi,
sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar
belakang pendidikan tinggi baik dalam negeri maupun luar negeri. Faktor-faktor yang
mengakibatkan seseorang menjadi tidak beramoral adalah:

Faktor pertama, yaitu pengajaran tentang moral yang terlambat. Pada dasarnya,
pendidikan moral harus diajarkan dan diterapkan mulai usia dini, karena potensi anak-anak
yang lebih mudah mencontoh suatu perilaku baik/buruk dibandingkan pada saat dewasa.
Ketika pendidikan moral dilakukan sejak usia dini, maka pendidikan moral tersebut akan
menjadi kerangka berpikir atau kebiasaan anak tersebut ketika beranjak dewasa.

Faktor kedua, yaitu proses transformasi pendidikan moral yang tidak diimbangi oleh
pendidik yang bermoralitas. Bagaimana seorang anak atau murid mampu menyerap dengan
baik pendidikan moral yang diajarkan oleh orang tua atau gurunya, jika pendidiknya sendiri
tak mampu menunjukkan perilaku yang bermoral. Ibarat peribahasa, buah jatuh tak jauh dari
pohonnya atau guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Seseorang akan mampu
menyerap dengan baik informasi yang diterimanya jika informasi tersebut berlangsung
dikehidupan nyata. Oleh sebab itu mengapa murid lebih suka melakukan praktek daripada
hanya mendengarkan teori-teori saja.

Faktor ketiga, yaitu kesadaran diri pada manusia itu sendiri. Pada dasarnya orang-
orang yang tidak/kurang bermoral bisa belajar untuk jadi bermoral jika orang tersebut
memiliki keinginan, kemauan, kesadaran dan harapan. Oleh sebab itu tidak ada salahnya, jika
orang tersebut dibekali oleh pendidikan agama (spiritual) dan contoh-contoh nyata perilaku
yang bermoral dari orang-orang disekitarnya.

D.1.1. Hubungan antara Hukum dan Moralitas


Dalam kehidupan bermasyarakat tidak akan terlepas dari ikatan nilai-nilai, baik
nilai-nilai agama, moral, hukum, keindahan, dan sebagainya. Hubungan antara hukum dan
moralitas sangat erat sekali. Tujuan hukum ialah mengatur tata tertib hidup bermasyarakat
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sedangkan moral bertujuan mengatur tingkah laku
manusia sesuai dengan tuntutan nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat. Hukum
berisikan perintah dan larangan agar manusia tidak melanggar aturan-aturan hukum baik
yang tertulis maupun tidak tertulis. Moral menuntut manusia untuk bertingkah laku baik dan
tidak melanggar nilai-nilai etika atau moral. Berbeda dengan hukum, maka hakikat moralitas
pertama-tama terletak dalam kegiatan batin manusia. Moral berkaitan dengan masalah
perbuatan manusia, pikiran serta pendirian tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik,
mengenai apa yang patut dan tida patut untuk dilakukan seseorang. Dikatakan moralnya baik
apabila sikap dan perbuatannya sesuai dengan pedoman sebagaimana digariskan oleh ajaran
Tuhan, hukum yang ditetapkan pemerintah serta kepentingan umum. Pelanggaran terhadap
norma hukum sekaligus juga melanggar norma moral. Karena itu bagi pelanggar norma
hukum akan mendapat dua sanksi sekaligus, yaitu sanksi hukum dan sanksi moral. Sanksi
hukum berupa hukuman sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah. Sedangkan
sanksi moral berupa: (1) sanksi dari Tuhan, (2) sanksi pada diri sendiri, dan (3) sanksi yang
berasal dari keluarga atau masyarakat.

D.2. Pelaksanaan Hukum serta Hambatan-Hambatannya.


Hukum adalah seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang salah, yang
dibuat dan diakui eksistensinya oleh pemerintah yang dituangkan baik dalam aturan tertulis
(peraturan) maupun yang tidak tertulis yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakatnya secara keseluruhan dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan tersebut
(Achmad Ali). Hukum yang berlaku bagi suatu negara mencerminkan perpaduan antara sikap
dan pendapat pimpinan pemerintahan negara dan keinginan masyarakat luas mengenai
hukum tersebut. Letak perbedaan hukum dan moral, yaitu norma-norma moral itu berakar
pada batin manusia, sedangkan peraturan-peraturan hukum itu lain karena hukum positif
mengendalikan kemungkinan paksaan, ialah paksaan yang diatur dalam negara harus
dilaksanakan. Sesuatu itu hanya menurut hukum diwajibkan, karena hukum mengatakannya,
dan hukum itu hanya mengikat karena dibentuk dengan cara yang ditunjuk oleh Undang-
Undang Dasar. Dan UUD itu mengikat karena UUD itu merupakan kesepakatan seluruh
rakyat dalam negara.

Hukum yang berlaku terdiri dari dan diwujudkan oleh aturan-aturan hukum yang
saling berhubungan, dan oleh karena itu keberadaannya merupakan suatu susunan atau
tatanan sehingga disebut tata hukum. Tata hukum di Indonesia ditetapkan oleh masyarakat
hukum Indonesia atau oleh negara Indonesia. Oleh sebab itu tata hukum Indonesia ada sejak
Proklamasi Kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini berarti bahwa sejak saat itu
bangsa Indonesia telah mengambil keputusan untuk menentukan dan melaksanakan
hukumnya sendiri, yaitu hukum bangsa Indonesia dengan tata hukumnya yang baru ialah
Tata Hukum Indonesia.

Dasar-dasar dan asas-asas tata hukum nasional sebagai berikut:


1. Dasar Pokok Hukum Nasional RI adalah Pancasila.
2. Hukum nasional bersifat: Pengayoman, Gotong royong, Kekeluargaan, Toleransi, Anti
kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme.
Dengan adanya UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 6, materi muatan peraturan perundanga-
undangan mengandung asas:
a. Pengayoman;
b. Kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
d. Kekeluargaan;
e. Kenusantaraan;
f. Bhineka Tunggal Ika;
g. Keadilan;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. Ketertiban dan kepastian hukum;
j. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan.

3. Semua hukum sebanyak mungkin diberi bentuk tertulis.


4. Selain hukum tertulis diakui berlaku hukum tidak tertulis.
5. Hakim membimbing perkembangan hukum tak tertulis melalui yurisprudensi ke arah
keseragaman hukum yang seluas-luasnya dan dalam hukum kekeluargaan ke arah sistem
parental.
6. Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin dihimpun dalam
bentuk kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Dagang, Hukum Acara
Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum AcaraPeradilan Tata Usaha Negara).
7. Untuk membangun masyarakat sosialis Indonesia diusahakan unifikasi hukum.
8. Dalam perkara pidana:
a. Hakim berwenang sekaligus memutuskan aspek perdatanya baik karena jabatannya
maupun atas tuntutan pihak yang berkepentingan.
b. Hakim berwenang mengambil tindakan yang dipandang patut dan adil di samping atau
tanpa pidana.

9. Sifat pidana harus memberikan pendidikan kepada terhukum untuk menjadi warga yang
bermanfaat bagi masyarakat.
10.Dalam bidang hukum acara perdata diadakan jaminan supaya peradilan berjalan
sederhana, cepat, dan murah (Pasal 4 Ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004).
11.Dalam bidang hukum acara pidana diadakan ketentuan-ketentuan yang merupakan
jaminan kuat untuk mencegah:
a. Seseorang tanpa dasar hukum yang cukup kuat ditahan atau lebih lama dari yang
diperlukan.
b. Penggeledahan, penyitaan, pembukaan surat-surat dilakukan sewenang-wenang.

Hukum di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Konsentris, artinya adanya satu tangan yang mengatur/membuat (yaitu pengundang-


undang).
2. Konvergen, artinya hukum Indonesia bersifat terbuka terhadap perubahan dan
perkembangan.
3. Tertulis, untuk lebih menjamin kepastian hukum.

D.2.1. Pelaksana Hukum.


Pelaksana atau penegak hukum dalam tatanan hukum di Indonesia terdiri dari
Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman. Kendati, dalam ketentuan perundangan lembaga-
lembaga ini terpisah, namun masih memiliki jalur koordinasi keatasnya, hingga ke presiden.
Lembaga-lembaga tersebut tidak ada yang bebas dan independen, karena garis koordinasi
bersifat vertikal bertanggung jawab kepada kepala negara.
1. Kepolisian.
Tugas Kepolisian menurut UU Kepolisian Bab III Pasal 13 yaitu:
a. Selaku alat negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum.
b. Melaksanakan tugas kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan
pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Bersama-sama dengan segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya
membina ketentraman masyarakat dalam wilayah negara guna mewujudkan keamanan dan
ketertiban masyarakat.
d. Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya
usaha dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c.

Kendati jajaran kepolisian kian berbenah dengan semboyan profesionalisme dan


melayani kepentingan masyarakat, namun dalam prakteknya kerap terjadi distorsi kebijakan.
Masyarakat sering mempertanyakan eksistensi pihak kepolisian ini.
Pertama mengenai aspek kemaksimalan tugas, Kedua Sensitifitas problema/kriminalitas
masyarakat, Ketiga, Kejujuran dan Kenetralan Tugas. Badan (lembaga) yang seharusnya
menjadi pengayom masyarakat ternyata sekarang menjadi lembaga angker dan menakutkan.

2. Kejaksaan.
Tugas kejaksaan menurut Keputusan Presiden RI No. 86 Tahun 1999 pada Bab I Pasal
2, yaitu: “Kejaksaan mempunyai tugas melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan dan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan serta turut
menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang
hukum”.

Lembaga ini memiliki banyak masalah yang juga meresahkan masyarakat. Jaksa selaku
Penuntut Umum telah juga ternoda, karena ulah sebagian oknum jaksa nakal dan silau dengan
materi. Kenakalan jaksa tidak hanya dalam kasus-kasus yang telah dilimpahkan di
Pengadilan. Namun, kenakalan itu juga di luar Pengadilan. Misalnya, kasus-kasus yang masih
dalam tahap penyelidikan/penyidikan. Di tingkat penyelidikan atau penyidikan kerap terjadi
penyalah-gunaan wewenang. Tertuduh/tersangka atau keluarganya bisa saja melobi jaksa
yang menyelidik/menyidik kasusnya meminta kasusnya di-peti es-kan atau istilah formalnya
SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan).

3. Kehakiman.
Kekuasaan kehakiman dapat dilihat dalam UU Tentang Kekuasaan Kehakiman Bab III
Pasal 19. Sedangkan tugas pokok hakim yaitu: “Menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan perkara-perkara (melaksanakan persidangan)”.

Departemen kehakiman hingga kini belum mampu memberantas kenakalan para hakim
di seluruh negeri ini. Betapa tidak, sebenarnya munculnya cibiran tentang mafia peradilan
lebih ditujukan kepada para hakim. Kita tahu, wajah hukum negeri ini telah dicoreng dengan
banyaknya kasus-kasus yang terjadi karena praktik vonis yang tanpa dasar atau cenderung
menurut selera para hakim. Dari hari ke hari, Lembaga ini kerap ditunding melahirkan hakim
nakal. Putusan-putusan hakim sering mengusik hati nurani dan rasa keadilan masyarakat.
Kita tentu masih ingat misalnya Tommi Suharto yang seabrek-abrek kejahatannya, divonis
hanya 15 tahun penjara. Anehnya, beberapa hari mendekam dipenjara, tanpa dasar dan
alasan yang rasional ia mendapatkan keringanan masa tahanan (remisi). Dan masih banyak
lagi kasus-kasus kelas kakap yang belum dapat dituntaskan pihak Kejaksaan. Sebenarnya,
praktik mafia peradilan tidak hanya ditujukan kepada dua lembaga tersebut, tapi juga dengan
pengacara. Sekarang ini, tugas pengacara banyak mengalami perubahan fungsi. Semula
mendampingi klien dan membelanya, baik di dalam maupun di luar Pengadilan (litigasi dan
non litigasi). Kini, sudah bergeser menjadi calo perkara dan pelobi atau makelar kasus. Meski
tidak semua, namun kebanyakan pengacara menangani perkara karena pertimbangan
financial, sekalipun mereka harus mematikan hati nurani. Ukuran keberhasilan (menang)
suatu kasus bukan karena kemampuan analisis cerdas pengacara dalam mengotopsi dan
menggali dasar hukum kasus yang sedang ditangani, melainkan berdasarkan kalkulasi
seberapa banyak uang klien yang akan disuguhi kepada hakim yang menangani suatu kasus.

D.2.2. Hambatan-hambatan Penegakan Hukum


Penegakan hukum adalah merupakan suatu kewajiban yang mutlak harus diadakan
dalam negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Kewajiban tersebut bukan hanya
dibebankan pada petugas resmi yang telah ditunjuk dan diangkat oleh Pemerintah akan tetapi
adalah juga merupakan kewajiban dari pada seluruh warga masyarakat. Bukan merupakan
rahasia umum lagi bahwa kadang-kadang terdapat noda hitam dalam praktek penegakan
hukum yang perlu untuk dibersihkan sehingga hukum dan keadilan benar-benar dapat
ditegakkan. Sebagai salah satu pilar yang sangat penting dalam sistem ketatanegaraan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penyelesaian berbagai permasalahan hukum yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia harus diakui tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat.
Hambatan-hambatan yang dihadapi antara lain:

1. Kurang optimalnya komitmen para pemegang fungsi pembentukan perundang-undangan


dalam mematuhi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan lemahnya koordinasi
antarinstansi/lembaga dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan karena
masing-masing mempunyai kepentingan (ego sektoral). Akibatnya, ketidakpastian dan
penegakan peraturan perundang-undangan lebih mengemuka dan pada akhirnya rakyatlah
yang dirugikan karena sangat bertentangan dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban
dan ketenteraman.
2. Kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain juga masih belum
memperlihatkan kinerja yang menggembirakan. Dapat dilihat dari banyaknya kasus yang
diputuskan oleh pengadilan yang bersifat kontroversial, yang bertentangan dengan moral
dan rasa keadilan masyarakat.
3. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum terhadap perkembangan kejahatan yang
sifatnya sudah dalam lingkup kejahatan antarnegara (transnational crime) terutama
mengenai tindakan pencucian uang termasuk uang dari hasil korupsi.
4. Kurangnya tenaga perancang peraturan perundang-undangan (legal drafter) yang
berkualitas sehingga sering menimbulkan multiinterpretasi dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan, baik di pusat maupun di daerah.
5. Upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum dan pemahaman terhadap pelindungan dan
penghormatan HAM masih belum memberikan dampak yang menggembirakan dalam
masyarakat. Merupakan suatu kenyataan bahwa kegiatan penyuluhan hukum dan
pemahaman terhadap nilai-nilai HAM belum memengaruhi perilaku setiap anggota
masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
6. Rendahnya moral penegak hukum dan masyarakat di Indonesia. Menimbulkan berbagai
kasus dalam hukum seperti korupsi, mafia hukum, dan mafia pajak dimana kasus-kasus ini
menyeret para pejabat tinggi di pengadilan.
D.2.3. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Berbagai upaya dan langkah telah dilakukan oleh Pemerintah untuk melakukan
pembenahan sistem dan politik hukum, di antaranya adalah (1) pengubahan serta penetapan
peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi, keperluan, dan perkembangan
dalam masyarakat, tidak diskriminasi, serta mempertimbangkan keadilan dan kesetaraan
gender; (2) pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain; (3)
peningkatan kemampuan profesional aparat hukum; (4) serta peningkatan kesadaran hukum
dan HAM. Namun, hasil-hasil pembenahan sistem dan politik hukum yang telah dicapai
masih belum menunjukkan kinerja yang memuaskan. Untuk mendorong kinerja
pembangunan, pembenahan sistem dan politik hukum diperlukan tindakan sebagai berikut.
Dalam rangka Perencanaan Hukum dan Pembentukan Hukum, hal yang penting untuk
dilakukan adalah membangun komitmen di antara lembaga pembentuk hukum untuk
mematuhi kesepakatan di dalam Prolegnas. Peran Prolegnas cukup penting dalam rangka
menciptakan koordinasi yang baik antara departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen
dan Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rangka pembentukan
undang-undang. Selain itu, perlu dirumuskan dan disusun mekanisme yang lebih kuat dalam
rangka pembentukan undang-undang antara DPR dan Pemerintah sehingga dapat disusun
penentuan kriteria yang jelas dalam menetapkan prioritas RUU yang akan dibahas bersama
antara DPR dan Pemerintah serta menjadi jaminan bahwa RUU yang disepakati antara DPR
dan Pemerintah tersebut akan benar-benar dijalankan. Di samping itu, upaya harmonisasi
peraturan perundang-undangan terus-menerus dilakukan berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004
dengan tujuan untuk menciptakan keserasian, harmoni, dan tidak tumpang tindih antara
peraturan yang satu dan peraturan yang lain yang juga harus diikuti dengan peningkatan
kualitas tenaga perancang peraturan perundang-undangan. Tersedianya peraturan perundang-
undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat merupakan landasan dan pedoman dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Diharapkan dengan adanya kebijakan
satu pintu dari amanat undang-undang tersebut, produk perundang-undangan yang akan
dihasilkan tersebut benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat, menjamin
kepastian hukum, mampu memberi dukungan terhadap proses pemulihan ekonomi, sosial,
politik, dan keamanan, memberi pelindungan dan penghormatan terhadap HAM, tidak
diskriminatif, dan memberikan pelindungan terhadap hak perempuan dan anak.
Upaya pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang laindalam
rangka penegakan supremasi hukum tidak akan tercapai tanpa didukung oleh lembaga
peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain. Oleh karena itu, diperlukan serangkaian
langkah untuk meningkatkan peran lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang
lain. Fungsi pengawasan terhadap lembaga peradilan dan perilaku hakim terus menerus
ditingkatkan melalui pemberdayaan lembaga pengawasan yang telah ada terutama di
lingkungan internal dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan terhadap lembaga
peradilan dan kinerjanya ataupun lembaga yang sedang dalam proses pembentukan, antara
lain dengan pembentukan Komisi Yudisial dan Dewan Kehormatan Hakim. Demikian pula,
di dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, berbagai upaya telah
dilakukan antara lain penguatan terhadap peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Sementara itu, koordinasi antarlembaga yang tugas dan
fungsinya melakukan pemberantasan korupsi terus ditingkatkan sehingga proses hukum
penanganan perkara korupsi mulai dari tingkat penyidikan sampai dengan penuntutan dapat
dipercepat dan diselesaikan sampai kepada tindakan secara hukum.
Untuk mendorong kinerja penegakan hukum, pada tanggal 2 Mei 2005
telahditerbitkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor). Keanggotaan tim tersebut meliputi
unsur Kejaksaan RI, Kepolisian RI, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP). Tujuan dibentuknya Tim Tastipikor itu adalah untuk meningkatkan koordinasi
dalam rangka mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi dengan masa kerja selama
dua tahun. Untuk meningkatkan kualitas para penegak hukum, upaya pembekalan
kemampuan teknis terus menerus dilakukan bagi aparat penegak hukum, termasuk para
hakim, dengan tujuan agar para penegak hukum dan para hakim senantiasa mampu mengikuti
perubahan keadaan model tindak pidana. Persoalan penting yang lain adalah kurangnya
integritas para penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Berkaitan dengan
itu, modifikasi model perekrutan para penegak hukum dengan mempertimbangkan perlunya
mengakomodasi pengujian terhadap integritas calon penegak hukum dan calon hakim
diharapkan mampu memberikan jawaban atas kurangnya integritas para penegak hukum pada
saat ini.
Upaya lain adalah dengan meningkatkan kualitas putusan pengadilan, putusan yang
memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan tidak diskriminatif dari pengadilan tingkat pertama
sampai dengan tingkat kasasi serta putusan Mahkamah Konstitusi, dengan didukung oleh
pembangunan sistem informasi agar dapat secara mudah diakses oleh masyarakat sebagai
bentuk transparansi dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk mendukung
kemampuan dan keterampilan teknis yudisial aparat penegak hukum, pendidikan dan
pelatihan dilaksanakan dengan menekankan pada kemampuan, akhlak dan budi pekerti
sebagai standar penilaian untuk menjadi aparat penegak hukum yang menjunjung tinggi nilai
kejujuran dan tidak menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan tugas sebagai aparat
penegak hukum. Demikian pula, peningkatan dalam pendidikan dan pelatihan bagi aparatur
hukum, terutama para penegak hukum, dalam mengantisipasi kejahatan canggih yang
berkaitan dengan penghapusan bukti dalam perkara korupsi terus dilakukan kerja sama dan
koordinasi dengan negara-negara lain. Di samping itu, terus menerus diupayakan untuk
membuat perjanjian kerja sama dengan berbagai negara lain yang diduga sebagai tempat
persembunyian atau pelarian bagi para koruptor sehingga dapat dilakukan pengembalian
kerugian negara akibat korupsi.
Untuk mewujudkan masyarakat yang berorientasi pada hukum, dilakukan kegiatan
penyuluhan hukum dan HAM dengan metode komunikasi interpersonal, media cetak, dan
media elektronik. Penyuluhan hukum dan HAM melalui komunikasi interpersonal dilakukan,
antara lain, melalui kegiatan tatap muka dan bersifat dialogis. Sementara itu, kegiatan yang
dilakukan melalui media cetak, antara lain, melalui penyebaran pamflet penyuluhan hukum
dan HAM, dan pemasangan berbagai spanduk pada tempat-tempat yang strategis. Selanjutnya
melalui media elektronik dilakukan kegiatan penyuluhan hukum dan HAM, antara lain,
dalam bentuk penyiaran sandiwara radio dan televisi. Hal itu, antara lain, terlihat dalam
kegiatan lembaga Ombudsman Nasional secara berkala di televisi dan kegiatan kepolisian
melalui kegiatan ”Halo Polisi”.
Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia dewasa ini, apalagi konteks pengambilan
keputusan hukum membutuhkan moral, sebagaimana moral memerlukan hukum. Apa artinya
hukum jika tidak disertai moralitas. Hukum dapat memiliki kekuatan jika dijiwai oleh
moralitas. Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas,
hukum tampak kosong dan hampa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Nilai moral dan hukum mempunyai keterkaitan yang sangat erat sekali. Pada dasarnya
nilai, moral, dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia.pertama, berfungsi
mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai
bagian dari masyarakat. kedua, menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan moral
yang kurang ditanggapi manusia. Ketiga, dapat menjadi penarik perhatian manusia kepada
gejala “Pembiasaan emosional”.

Nilai-nilai moral mengandung nasihat, wejangan, petuah, peraturan, dan perintah


turun temurun melalui suatu budaya tertentu. Sedangkan etika merupakan refleksi kritis dan
rasional mengenai nilai dan norma manusia yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan
perilaku hidup manusia. Karena etika dan moral saling mempengaruhi, maka keduanya tentu
memiliki hubungan yang erat dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Norma
sebagai bentuk perwujudan dari etika dan moral yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat.

Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan hukum di Indonesia antara


lain: Kurang optimalnya komitmen para pemegang fungsi pembentukan perundang-undangan
dalam mematuhi Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Lemahnya koordinasi
antarinstansi/lembaga dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, Kinerja
lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang masih belum memperlihatkan kinerja
yang menggembirakan. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum terhadap
perkembangan kejahatan yang sifatnya sudah dalam lingkup kejahatan antarnegara
(transnational crime) terutama mengenai tindakan pencucian uang termasuk uang dari hasil
korupsi. Kurangnya tenaga perancang peraturan perundang-undangan(legal drafter) yang
berkualitas. Upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum dan pemahaman terhadap
pelindungan dan penghormatan HAM masih belum memberikan dampak yang
menggembirakan dalam masyarakat. Rendahnya moral penegak hukum di Indonesia.

B. Saran

Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia dewasa ini, telah banyak orang-orang


intelektual seperti para pejabat tinggi Indonesia saat ini. Namun ketika intelektual tersebut
tidak diimbangi dengan moralitas maka yang terjadi adalah banyaknya kasus-kasus beramoral
seperti korupsi yang menyeret mereka ke dalam pengadilan. Oleh sebab itu, kita sebagai
penerus muda yang akan menggantikan posisi pejabat tinggi Indonesia saat ini, sebaiknya
mulai berbenah diri, tidak hanya menuntut ilmu saja, namun juga harus diimbangi dengan
pendidikan moral agar kelak kita bisa menjadi pemimpin negara yang bermoral. Karena apa
artinya hukum jika tidak disertai moralitas. Hukum dapat memiliki kekuatan jika dijiwai oleh
moralitas. Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas,
hukum tampak kosong dan hampa.
DAFTAR PUSTAKA
http://anton44n.wordpress.com/2009/02/01/hubungan-antara-etika-norma-dan-hukum/
http://massofa.wordpress.com/2008/11/17/pengertian-etika-moral-dan-etiket/
http://pondok24.wordpress.com/2010/04/13/catatan-kritis-pelaksanaan-hukum-di-indonesia/
http://wiki.answers.com/Q/Perbezaan_dan_persamaan_antara_akhlak_etika_dan_moral
http://zridoangk.blogspot.com/2009/03/manusia-moralitas.html

Anda mungkin juga menyukai