PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa definisi dari biomassa?
2. Bagaimana cara pengolahan biomassa?
3. Apa saja jenis-jenis biomassa?
4. Apa saja manfaat penggunaan biomassa?
5. Apa saja kelebihan dan kekurangan energy biomassa?
6. Bagaimana cadangan energi biomassa di indonesia?
7. Bagaimana cadangan energi biomassa di dunia?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
terbentuk dari hasil produksinya, sisa metabolismenya, ataupun limbah yang di
hasilkannya. Biomassa dapat di peroleh dari berbagai bidang industri budidaya,
baik pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, maupun perikanan.
Dewasa ini biomassa telah menjadi sumber energi yang dapat di
perbaharui yang paling populer. Energi biomassa menjadi salah satu sumber
energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Biomassa sebagai sumber energi
tidak akan pernah habis, karena bahan biologis yang di butuhkan untuk membuat
energi biomassa akan selalu tersedia selama kehidupan di muka bumi ini masih
ada.
4
manosa, D-glaktosa dan D-glukosa. Jumlah monosakarida karbon-5 lebih banyak
dibandingkan monosakarida karbon-6 dan rumus molekulnya rata-ratanya adalah
(C5H8O4)n. karena derajat polimerisasi (n) hemiselulosa antara 50 sampai 200,
yaitu lebih kecil dari selulosa, maka ia lebih mudah terurai dibandingkan selulosa.
Dan kebanyakan hemiselulosa dapat larut dalam larutan alkali.
(c) Lignin
Merupakan senyawa dimana unit komponennya, fenilpropana dan
turunannya, terikat 3 dimensi. Strukturnya kompleks dan sejauh ini belum
spenuhnya dipahami. Struktur 3 dimesinya yang kompleks menyebabkan ia sulit
untuk diuraikan oleh mikroorganisme dan bahan-bahan kimia. Berdasarkan
pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa lignin memberikan kekuatan mekanis
dan juga perlindungan untuk tumbuhan itu sendiri. Selulosa, hemiselulosa, dan
lignin dapat ditemukan secara universal dalam berbagai jenis biomassa dan
merupakan sumber daya karbon alami yang paling berlimpah dibumi.
Gambar 2.1 Struktur biomassa yang tersusun dari selulosa, hemiselulosa dan lignin
2.1.2
5
bebentuk gas atau minyak, untuk menghasilkan energi listrik. Teknologi
pengkonversian biomassa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu proses termal
dan proses biologis.
2.2.1.1 Direct-fired
Direct-fired dilakukan dengan membakar biomassa secara langsung untuk
menghasilkan uap panas, menggerakkan turbin dan generator hingga dihasilkan
energi listrik.
Sebelum dibakar, biomassa harus dikeringkan terlebih daulu, lalu kecilkan
ukurannya selanjutnya dijadikan briket (pellet). Pembriketan adalah proses
densifikasi bahan organik lepas, seperti sekam padi, sekam kopi, serbuk gergaji.
Dengan pembriketan, maka karakteristik biomassa sebagai bahan bakar akan
meningkat. Panas yang didapat dari pembkanaran biomassa (briket) digunakan
untuk menghasilkan uap panas yang diumpankan ke boiler. Uap panas yang
dihasilkan akan memutar roda turbin dan melalui suatu generator, putaran tersebut
akan menghasilkan energi listrik.
Pembriketan biomassa akan meningkatkan karakteristik penanganan
biomassa, meningkatkan nilai kalori per satuan volum, mengurangi ongkos angkut
dan membuat biomassa dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Proses utama
pembriketan meliputi pengeringan, penggerindaan, pengayakan, pemadatan dan
pendinginan. Hasil samping utama produk pertanian,meliputi kayu, serbuk gergaji
dan lain sebagaimana dapat dijadikan briket.
2.2.1.2 Co-firing
Co-firing adalah proses pembakaran langsung dengan mengkombinasikan
bahan bakar antara batubara dengan biomassa untuk menghasilkan energi. Cara
6
ini dilakukan untuk menurunkan emisi yang dikeluarkan oleh batubara sehingga
menurunkan dampak pemanasan global yang sedang marak di perdebatkan. Selain
menurunkan emisi, kombinasi antara batubara dengan biomassa, seperti penelitian
yang dilakukan oleh National Energy Laboratory (NREL) menunjukan bahwa
kombinasi ini dapat meningkatkan efisiensi turbin hingga 33 % – 37%.
Beberapa keuntungan yang dihasilkan dari kombinasi batubara dan
biomassa yaitu:
1. Menurunkan kadar sulfur dioksida yang dapat menyebabkn hujan asam,
2. Mengurangi kabut
3. Mencegah polusi ozon
4. Menurunkan kandungan karbon dioksida yang dihasilkan dari hasil
pembakaran
2.2.1.3 Gasifikasi
7
Pada temperatur di atas 600ºC arang bereaksi dengan uap air dan karbon
dioksida. Untuk menghasilkan hidrogen dan karbon monoksida sebagai
komponen utama gas hasil.
4. Tahap oksidasi.
Sebagian kecil biomassa atau hasil pirolisis dibakar dengan udara untuk
menghasilkan panas yang diperlukan oleh ketiga tahap tersebut di atas. Proses
oksidasi (pembakaran) ini dapat mencapai temperatur 1200ºC, yang berguna
untuk proses perekahan tar lebih lanjut.
Tahap-tahap proses diatas dilaksanakan dalam satu alat yang disebut
gasifier atau reaktor gasifikasi.
Aplikasi pada proses gasifikasi salah satunya adalah sebagai sumber energi
alternatif untuk pembangkit listrik. Dimana bahan bakar gas hasil dari
pembakaran (secara gasifikasi) dari sampah organik digunakan untuk
memanaskan air hingga berubah fase menjadi uap panas (steam) bertekanan tinggi
untuk ditransportasikan untuk memutar turbin uap. Shaft dari turbin uap
dikoneksikan ke shaft generator dan ketika shaft turbin berotasi mengakibatkan
shaft generator berotasi dan kemudian membangkitkan listrik. Setelah uap (steam)
melewati turbin uap suhuya menjadi lebih rendah dan tekanannya menurun dan
dikondensasikan pada cooling system oleh kondensor hingga fasenya kembali
berubah menjadi air.
8
Gambar 2.2 Instalasi Gasifikasi Biomassa
2.2.1.4 Pirolisis .
Pirolisis atau bisa di sebut thermolisis adalah proses dekomposisi kimia
dengan menggunakan pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Proses ini merupakan
salah satu bagian dari proses gasifikasi, proses ini akan memecah secara kimiawi
biomassa untuk membentuk substansi lain.
Proses pirolisis dapat dibagi menjadi beberapa fase dimana menjadi
pedoman kesuksesan prosesnya.
1) Fase pengeringan.
2) Fase pirolisis.
3) Fase evolusi gas.
Pada suhu 200 °C pengeringan fisik disertai produksi uap air, jika yang
dimasukkan bahan biomassa yang basah maka perlu disertakan atau dimasukkan
steam (uap air panas) ke dalam reaktor, Pirolisis terjadi pada suhu 200 – 500 °C.
Struktur makromolekul pecah menjadi gas, komponen organik cair, karbon padat.
Evolusi gas terjadi pada 500 – 1200 °C, produk hasil pirolisis diturunkan lebih
lanjut, karbon padat dan produk organik cair menghasilkan gas yang stabil.
Hidrokarbon besar molekul besar dipecah menjadi metana dan karbon padat.
Metana direaksikan dengan uap air dikonversi menjadi karbon monoksida dan
hidrogen. Karbon padat direksikan dengan uap air atau karbon dioksida
dikonversi menjadi karbon monoksida dan hidrogen.
9
Sebelum dimasukkan ke reaktor, biomassa dikecilkan ukurannya terlebih
dahulu, hingga ukurannya tidak lebih besar dari 14 m3sh. Pirolisis cepat
dilakukan pada suhu 500ºC tekanan 101kPa. Setelah proses pirolisis selesai, arang
padat dipisahkan dari cairan yang dihasilkan dengan alat pemisah berputar. Arang
yang dihasilkan tersebut selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar untuk
memanaskan reaktor.
Hasil pirolisis 1 kg biomassa yang berasal dari sampah perkotaan adalah
10% air, 20% arang (kandungan energi sekitar 4500kkal/kg), 30% gas (kandungan
energi sekitar 3570 kkal/m3) dan 40% minyak (kandungan energi sekitar
5950kkal/kg).
Proses ini bertujuan untuk menghasilkan gas yang dapat terbakar melalui
proses yang mengikutsertakan komponen biologi, yaitu bakteri. Proses ini akan
menghasilkan gas dari sampah organik seperti kotoran ternak dan sisa–sisa
makanan.
2. Fermentasi
Zat yang telah dirombak pada proses hydrolisis, oleh bakteri anaerob
diuraikan menjadi karbohidrat dan enzim serta asam organik.
10
3. Acetogenesis
Produk dari hasil fermentasi diubah menjadi asetat, hidrogen dan
karbondioksida oleh bakteri asetogenik.
4. Methanogenesis
Mengubah produk dari proses acetogenesis menjadi methana dengan
bantuan bakteri metanogenik.
11
The Embraer EMB 202 Ipanema merupakan pesawat pertama yang berbahan
bakar ethanol dan banyak dimanfaatkan di lahan pertanian (agricultural aircraft).
Selain itu, telah dikembangkan juga syngas berbahan dasar kayu yang
dimanfaatkan sebagai generator.
12
menggunakan bahan bakar pelet kayu. Kalori pelet kayu setara dengan
kalori batubara rendah.
2. Produksi karbon lebih rendah dari batubara.
3. Biaya listrik yang dihasilkan pelet kayu pengganti batubara sama dengan
yang dihasilkan gas alam yang tentu saja lebih murah dari batubara.
4. Posisi staf yang diperlukan untuk kehadiran PLTU pelet kayu (termasuk
penyiapan infrastruktur pelet kayu) sekitar 3.480 orang, sedangkan PLTU
batubara dengan daya yang sama membutuhkan staf sekitar 2.540 orang
(menambah lapangan kerja)
5. Permintaan pelet kayu berkelanjutan dalam jangka panjang memotivasi
pemangku kepentingan untuk melestarikan dan memperbaiki manajemen
hutan, sekaligus mengembangkan lahan kritis menjadi hutan tanaman
industri khusus pelet kayu (misalnya kayu Kaliandra Merah, Mahang /
Macaranga Gigantean, Karamunting / Melastoma Malabatricum)
6. Permintaan pelet kayu yang datang dari segenap penjuru dunia terus
berdatangan ke Indonesia yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat
13
Densitas bahan semula sekitar 130kg/m3, tetapi densitas pelet menaik hingga
di atas 1100kg/m3, sehingga memudahkan untuk disimpan dan ditranspor,
sekaligus kinerja bakarnya menaik.
2. Pelet Bagas
Pelet bagas adalah bioenergi yang baru. Pelet bagas berfungsi sebagai
pengganti kayu bakar, batubara, minyak bakar, dan LPG. Pelet ini dapat
digunakan sebagai pemanas ruangan, kompor, boiler air panas dan industri,
dan PLTBm.
14
3. Kaliandra Merah
Kaliandra merah (KM) merupakan bahan baku terbaik pelet kayu
(4600kkal/kg, arangnya 7.400 kKal/kg) dibandingkan petai Cina, gamal, dan
sengon buton dari sisi laju tumbuh, penyuburan tanah melalui fiksasi nitrogen
dalam tanah, dan berat jenis, sehingga kadar abu dapat lebih rendah.
Lagipula, umur KM dapat mencapai 29 tahun sekali tanam. KM tidak hanya
sebagai bahan baku pelet kayu (1 Ha KM dapat menghasilkan kayu 20-
65m3/tahun), daunnya sebagai pakan ternak (protein tinggi), dan bunganya
sebagai ladang ternak lebah (produksi madu berasal dari nektar bunga KM
terkenal di dunia, 1 Ha KM menghasilkan madu 1 ton/tahun) selama 15 tahun
tanpa perawatan berarti. Ia tumbuh baik di ketinggian 400-600m di atas muka
laut, pH~5, dan sedikit air. Tanaman tersebut sekaligus berfungsi sebagai
tanaman penutup tanah sedang (perdu) (penyubur tanah / konservasi lahan /
penahan erosi di tanah miring) guna menghindari banjir karena akar
tunjangnya menghunjam ke dalam tanah, dan akar halus lainnya yang
memanjang hingga ke permukaan tanah.
15
Penggintil terdiri atas pegumpan, penggulung, dan lumping
sebagaimana disajikan pada Gambar 2.2 menunjukkan diagram
skematik penggintil untuk pellet kayu. Penggintil jenis ini paling
populer di seluruh dunia.
4. Proses pendinginan
Karena pelet yang telah dibuat memiliki suhu yang tinggi dan
mengadung kadar air yang tinggi pula, maka diperlukan proses
pendinginan.
5. Proses penapisan
Pelet yang berkualitas rendah akan dikeluarkan di dalam proses ini dan
akan digunakan sebagai energi untuk pengeringan.
Perbandingan Pelet jerami (terhadap jerami padi) adalah: Kandungan air:
8-10% (15-30%); kadar abu 3% (15-20%); Nilai kalori: 18,5 MJ/kg (13,98
MJ/kg) atau 4422 kKal/kg (3341 kKal/kg). Pembakaran pelet jerami
menghasilkan karbon netral yang dapat digunakan kembali pada pertumbuhan
biomassa berikutnya.
Pembuatan pelet jerami dapat menaikkan densitas curahnya, mengurangi
biaya transpor, kandungan energi menaik (4422kKal/kg), kadar abu rendah
(3%), dan abu pembakaran pelet jerami dapat digunakan sebagai pupuk
mineral untuk pertumbuhan tanaman.
2.3.2 Biodiesel
Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkyl
ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi
bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti
minyak sayur atau lemak hewan.
Sebuah proses dari esterifikasi lipid digunakan untuk mengubah minyak
dasar menjadi ester yang diinginkan dan membuang asam lemak bebas.
Setelah melewati proses ini, tidak seperti minyak sayur langsung, biodiesel
memiliki sifat pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari minyak
bumi, dan dapat menggantikannya dalam banyak kasus. Namun, dia lebih
16
sering digunakan sebagai penambah untuk diesel petroleum, meningkatkan
bahan bakar diesel petrol murni ultra rendah belerang yang rendah pelumas.
Biodiesel dapat dibuat dari berbagai minyak nabati (minyak nabati atau lemak
hewani) melalui proses esterifikasi gliserida atau dikenal dengan proses
alkoholisis.
Ester merupakan suatu senyawa turunan asam karboksilat dimana gugus
hidroksi dari asam karboksilat digantikan oleh gugus alkoksi. Esterifikasi
merupakan rekasi pembentukan ester antara asam karboksilat dan alcohol.
Esterifikasi adalah reaksi ionic yang merupakan kombinasi dari rekasi adisi
dan penyusunan ulang (reaarangement).
Teknik produksi biodiesel yang dilakukan saat ini pada umumnya yaitu
transesterifikasi. Cara ini merupakan teknik yang paling ekonomis karena
proses memerlukan temperature rendah dan tekanan atmosfir (150ºF, 20Psi)
tingkat konversi tinggi (mencapai 98%) dengan waktu rekasi yang cukup
singkat dan reaksi samping yang minimal konversi langsung ke metal ester
(biodiesel) tanpa melalui tahapan intermediate tidak memerlukan konstruksi
yang rumit
Minyak atau lemak direaksikan dengan alcohol seperti methanol, dengan
bantuan katalis. Dari proses ini dihasilkan glycerin dan metal ester
(Biodiesel). Methanol kemudian di-recovery. Katalis yang digunakan
umumnya KOH atau NaOH yang tercampurkan secara baik dalam alcohol.
Tahapan-tahapan proses produksi biodiesel berbahan baku minyak sawit
serta produk sampingnya meliputi :
Penyiapan bahan baku dan reaksi esterifikasi
Bahan baku berupa CPO disiapkan untuk mengkondisikan bahan baku serta
mengurangi tingkat kesulitan pemurnian produk pada proses selanjutnya.
Proses penyiapan bahan baku terdiri dari :
1. Pemanasan untuk mencairkan CPO sekaligus untuk mencapai temperature
operasi reaksi esterifikasi
2. Proses degumming, yakni proses penghilangan pengotor berupa zat-zat
terlarut atau zat-zat yang bersifat koloidal seperti resin, gum, protein dan
fosfatida dalam minyak mentah. Proses degumming biasanya dilakukan
17
dengan beberapa cara yaitu : pemanasan, penambahan asam, penambahan
basa, proses hidrasi atau menggunakan reagen khusus. Proses degumming
dengan menggunakan asam dan pemanasan memiliki kelebihan karena
tidak menyebabkan proses penyabunan asam lemak bebas, yang dapat
menyerapzat lender dan sebagian pigmen. Selain itu, dengan cara ini
kandungan asam lemak bebas dalam CPO tidak akan hilang, bahkan dalam
proses selanjutnya sisa asam tersebut dapat dijadikan katalis pada reaksi
esterifikasi asam lemak bebas yang masih utuh menjadi metal ester,
sehingga perolehan produk lebih banyak. Rekasi esterifikasi tersebut
berlangsung menurut persamaan rekasi berikut ini :
4. Reaksi Transesterifikasi
Reaksi transesterifikasi berlangsung pada temperature sekitar 60ºC dan
dilakukan selama 4 – 6 jam. Untuk mendapatkan yield yang tinggi, reaksi
transesterifikasi dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, katalis yang
digunakan sebanyak 2/3 bagian katalis total. Sisanya direaksikan dengan
produk hasil reaksi tahap pertama yang dipisahkan gliserolnya.
Produk dari reaksi transesterifikasi sempurna didalam reaktor berupa
cairan yang terpisah menjadi dua lapisan. Lapisan atas merupakan lapisan
metal ester kotor, sedangkan lapisan bawah adalah gliserol kotor. Jika reaksi
belum sempurna, akan ada lapisan ketiga ditengah berupa minyak yang tidak
terkonversi.
18
5. Pemurnian metil ester
Selanjutnya, metil ester yang diperoleh dimurnikan. Proses ini pada
umumnya melalui tahapan recovery methanol dan penghilangan pengotor.
Lapisan metal ester yang mengandung methanol dipanaskan, kemudian uap
methanol dikondensasikan.
Kemudian metil ester dibersihkan untuk menghilangkan sisa katalis dan
kotoran lain seperti sabun. Untuk meningkatkan kemurnian metal ester
dilakukan dua tahap pembersihan, yaitu menggunakan gliserol murni dan
penetralan diikuti dengan pencucian dengan air. Gliserol disemprotkan ke
permukaan metal ester dan karena lebih berat akan turun melewati metal ester
sambil membawa sisa-sisa pengotor. Pada tahap akhir, gliserol dipisahkan
kembali dari metal ester.
Pencucian menggunakan air dilakukan dengan beberapa metode sekaligus,
dimana diharapkan pencucian berlangsung efektif dan biodiesel yang
diperoleh cukup bersih. Metode pencucian tersebut adalah :
1. Menambahkan asam asetat. Dimaksudkan untuk menetralkan biodiesel dan
mengeluarkan sisa sodium. Penambahan asam asetat akan mengurangi
pemakaian air.
2. Menggunakan percikan air bersih. Air yang dipercikkan dipermukaan
biodiesel akan turun sepanjang lapisan biodiesel sambil melarutkan sisa-
sisa katalis dan kotoran
3. Menggunakan metode pengadukan mekanis. Pengadukan dilakukan sekitar
50 – 70 rpm untuk meningkatkan kontak air dengan biodiesel. Setelah
melalui tahap pencucian, metal ester dikeringkan untuk menghilangkan
sisa air pencuci dengan dipanaskan sampai suhu 120ºC. Metil ester kering
kemudian didinginkan sampai temperature dibawah 38ºC agar gliserol
yang masih tersisa membeku. Selanjutnya metal ester disaring dan
dimasukkan ke dalam tangki penyimpanan.
4. Perolehan kembali methanol dan pemurnian gliserol
Larutan gliserol kotor hasil pemisahan, dipanaskan untuk memperoleh
kembali methanol yang ada di dalamnya. Uap Metanol kemudian
dikondensasikan dan disalurkan kembali ke tangki Metanol. Gliserol bebas
19
methanol diencerkan dengan menambahkan 2/3 bagian air bersih, dan
dipanaskan agar sisa asam lemak bebas hasil hidrolisis tersabunkan oleh sisa
NaOH. Ester dari sabun yang terbentuk dikeluarkan dari larutan dengan cara
menambahkan sejumlah garam NaCl. Larutan Gliserin kemudian
ditambahkan H2SO4 dan Aluminium Hidroksida sampai mencapai pH 4,5.
Padatan yang terbentuk kemudian disaring. Larutan dinetralkan dengan
penambahan 50 % larutan NaOH, kemudian didistilasi. Gliserol yang teah
murni (kemurnian > 99,5%) disimpan, dan sebagian dikirim ke unit
pembersihan Biodiesel.
20
Kelemahan Biodiesel:
1. Biodiesel saat ini sebagian besar diproduksi dari jagung yang dapat
menyebabkan kekurangan pangan dan meningkatnya harga pangan. Hal
ini bisa memicu meningkatnya kelaparan di dunia.
2. Biodiesel 20 kali lebih rentan terhadap kontaminasi air dibandingkan
dengan diesel konvensional, hal ini bisa menyebabkan korosi, filter
rusak, pitting di piston, dll.
3. Biodiesel secara signifikan lebih mahal dibandingkan dengan diesel
konvensional.
4. Biodiesel memiliki kandungan energi yang jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan diesel konvensional, sekitar 11% lebih sedikit
dibandingkan dengan bahan bakar diesel konvensional.
5. Biodiesel dapat melepaskan oksida nitrogen yang dapat mengarah pada
pembentukan kabut asap.
6. Biodiesel, meskipun memancarkan emisi karbon yang secara signifikan
lebih aman dibandingkan dengan diesel konvensional, masih
berkontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.
2.3.3 Bioetanol
Ethanol merupakan senyawa Hidrokarbon dengan gugus Hydroxyl (-
OH) dengan 2 atom karbon (C) dengan rumus kimia C2H5OH. Secara umum
Ethanol lebih dikenal sebagai Etil Alkohol berupa bahan kimia yang
diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung karbohidrat (pati)
seperti ubi kayu,ubi jalar,jagung,sorgum,beras,ganyong dan sagu yang
kemudian dipopulerkan dengan nama Bioethanol. Bahan baku lain-nya adalah
tanaman atau buah yang mengandung gula seperti tebu, nira, buah mangga,
nenas, pepaya, anggur, lengkeng, dll. Bahan berserat (selulosa) seperti
sampah organik dan jerami padi pun saat ini telah menjadi salah satu
alternatif penghasil ethanol. Bahan baku tersebut merupakan tanaman pangan
yang biasa ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia,sehingga jenis
tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan
sebagai sumber bahan baku pembuatan bioethanol. Namun dari semua jenis
21
tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang setiap hektarnya paling
tinggi dapat memproduksi bioethanol. Selain itu pertimbangan pemakaian ubi
kayu sebagai bahan baku proses produksi bioethanol juga didasarkan pada
pertimbangan ekonomi. Pertimbangan ke-ekonomian pengadaan bahan baku
tersebut bukan saja meliputi harga produksi tanaman sebagai bahan baku,
tetapi juga meliputi biaya pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan
bahan baku, dan biaya bahan baku untuk memproduksi setiap liter ethanol.
Secara umum ethanol biasa digunakan sebagai bahan baku industri
turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi,
kosmetika dan kini sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor.
Mengingat pemanfaatan ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol
yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk
ethanol yang mempunyai grade 90-95% biasa digunakan pada industri,
sedangkan ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 95-99% atau disebut
alkohol teknis dipergunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar
industri farmasi. Sedangkan grade ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan
sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor harus betul-betul
kering dan anhydrous supaya tidak menimbulkan korosif, sehingga
ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade tinggi antara 99,6-99,8 % (Full
Grade Ethanol = FGE). Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap
proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.
22
hydrolisa enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa)
larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan
proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan
yeast atau ragi. Reaksi yang terjadi pada proses produksi ethanol/bio-ethanol
secara sederhana ditujukkan pada reaksi 1 dan 2.
23
seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum) disamping
bahan lainnya. Persiapan bahan baku beragam bergantung pada jenis bahan
bakunya, sebagai contoh kami menggunakan bahan baku Singkong (ubi kayu).
Singkong yang telah dikupas dan dibersihkan dihancurkan untuk memecahkan
susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik.
24
Sakarifikasi selesai (dilakukan dengan melakukan pengetesan kadar gula
sederhana yang dihasilkan).
Fermentasi
Pada tahap ini, tepung telah telah berubah menjadi gula sederhana
(glukosa dan sebagian fruktosa) dengan kadar gula berkisar antara 5 hingga
12 %. Tahapan selanjutnya adalah mencampurkan ragi (yeast) pada cairan
bahan baku tersebut dan mendiamkannya dalam wadah tertutup (fermentor)
pada kisaran suhu optimum 27 s/d 32 derajat celcius selama kurun waktu 5
hingga 7 hari (fermentasi secara anaerob). Keseluruhan proses membutuhkan
ketelitian agar bahan baku tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya.
Dengan kata lain,dari persiapan baku,liquifikasi,sakarifikasi,hingga
fermentasi harus pada kondisi bebas kontaminan. Selama proses fermentasi
akan menghasilkan cairan etanol/alkohol dan CO2.
Hasil dari fermentasi berupa cairan mengandung alkohol/ethanol berkadar
rendah antara 7 hingga 10 % (biasa disebut cairan Beer). Pada kadar ethanol max 10
% ragi menjadi tidak aktif lagi,karena kelebihan alkohol akan beakibat racun bagi
ragi itu sendiri dan mematikan aktifitasnya.
25
Distilasi
Distilasi atau lebih umum dikenal dengan istilah penyulingan
dilakukan untuk memisahkan alkohol dalam cairan beer hasil fermentasi.
Dalam proses distilasi, pada suhu 78 derajat celcius (setara dengan titik didih
alkohol) ethanol akan menguap lebih dulu ketimbang air yang bertitik didih
95 derajat celcius. Uap ethanol didalam distillator akan dialirkan kebagian
kondensor sehingga terkondensasi menjadi cairan ethanol. Kegiatan
penyulingan ethanol merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses
produksi bioethanol.
Dehidrasi
Hasil penyulingan berupa ethanol berkadar 95 % belum dapat larut
dalam bahan bakar bensin. Untuk substitusi BBM diperlukan ethanol
berkadar 99,6-99,8 % atau disebut ethanol kering. Dalam proses pemurnian
ethanol 95 % akan melalui proses dehidrasi (distilasi absorbent)
menggunakan beberapa cara,antara lain : 1. Cara Kimia dengan menggunakan
batu gamping 2. Cara Fisika ditempuh melalui proses penyerapan
menggunakan Zeolit Sintetis 3 angstrom. Hasil dehidrasi berupa ethanol
berkadar 99,6-99,8 % sehingga dapat dikatagorikan sebagai Full Grade
Ethanol (FGE),barulah layak digunakan sebagai bahan bakar motor sesuai
standar Pertamina. Alat yang digunakan pada proses pemurnian ini disebut
Dehidrator.
26
Akhir proses penyulingan (distilasi) ethanol menghasilkan limbah padat
(sludge) dan cair (vinase). Untuk meminimalisir efek terhadap pencemaran
lingkungan, limbah padat dengan proses tertentu dirubah menjadi pupuk
kalium,bahan pembuatan biogas,kompos,bahan dasar obat nyamuk bakar dan
pakan ternak. Sedangkan limbah cair diproses menjadi pupuk cair. Dengan demikian
produsen bioethanol tidak perlu khawatir tentang isu berkaitan dengan dampak
lingkungan.
Manfaat Bioetanol
Manfaat bioetanol sendiri dalam kehidupan sehari-hari adalah
sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan karena memiliki
bilangan oktan yang cukup tinggi, selain itu juga bioetanol dijadikan sebagai
bahan baku beralkohol. Adapun manfaat bioetanol yang lainnya adalah:
· Sebagai bahan bakar kendaraan
· Sebagai bahan dasar minuman beralkohol
· Sebagai bahan kimia dasar senyawa organik
· Sebagai bahan bakar roket
· Sebagai antiseptik
· Sebagai antidote beberapa racun
· Sebagai pelarut untuk parfum, cat dan larutan obat.
27
Negara yang menggunakan etanol akan mengurangi
ketergantungannya pada impor minyak asing, dan juga mengurangi efek
harga minyak yang tak stabil. Produksi etanol dalam jumlah besar di dalam
negeri akan memastikan bahwa uang akan tetap berputar di dalam negeri dan
bukannya dibelanjakan pada minyak asing yang mahal. Tentu saja
peningkatan produksi etanol dalam negeri juga akan menciptakan lebih
banyak pekerjaan, dan juga sangat mungkin akan menurunkan harga bahan
bakar.
Pembakran etanol lebih bersih daripada bahan bakar fosil yang berarti
mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini merupakan keuntungan etanol
yang paling signifikan bagi lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar
fosil.
Bahan bakar etanol juga memiliki kelemahan dan fakta bahwa sebagian
besar produksi etanol berasal dari tanaman pangan memiliki potensi untuk
meningkatkan harga pangan dan bahkan menyebabkan kekurangan pangan.
Isu bahan bakar vs makanan adalah bahan perdebatan utama, karena dengan
adanya peningkatan penggunaan etanol maka banyak lahan yang akan
dipergunakan untuk memproduksi etanol, bukan untuk menghasilkan
makanan, dan ini akan menyebabkan kekurangan jumlah pangan yang diikuti
dengan peningkatan harga pangan, dan kemungkinan akan menghasilkan
lebih banyak masalah kelaparan di dunia.
Etanol menghasilkan energi per satuan volume lebih rendah dibandingkan
dengan bensin. Etanol juga cenderung sangat korosif karena dapat dengan
mudah menyerap air dan kotoran. Tanpa sistem penyaringan yang tepat,
etanol dapat menyebabkan korosi di dalam blok mesin terjadi dengan cepat.
Saat kompresi, mesin yang didesain untuk etanol murni memiliki efisiensi
bahan bakar 20-30% lebih rendah dibandingkan mesin yang didesain untuk
bensin murni. Mesin yang menggunakan campuran etanol tinggi akan
menjadi masalah saat cuaca dingin (musim dingin).
Selain itu, beberapa keunggulan yang dapat diperoleh dari bioethanol
adalah sebagai berikut:
28
1. Nilai oktan yang tinggi menyebabkan campuran bahan bakar terbakar tepat
pada waktunya sehingga tidak menyebabkan fenomena knocking.
2. Emisi gas buang tidak begitu berbahaya bagi lingkungan salah satunya gas
CO2 yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan untuk proses
fotosintesa serta emisi NO yang rendah
3. Efisiensi tinggi dibanding bensin
29
mengakibatkan bioetanol kalah bersaing dengan BBM bersubsidi.
Disamping itu proses pembuatan biodiesel yang menggunakan unit
destilasi juga memerlukan energi yang besar sehingga modal yang
diperlukan untuk biaya produksi pun meningkat.
Terlebih lagi, apabila industri ingin mengekspor bioetanol ke
negara lain, pajak impor yang ditetapkan sangat besar, yakni 30%. Hal ini
yang menyebabkan pasar bioetanol sepi peminat.
30
- Meningkatkan subsidi bioetanol dibarengi dengan pengurangan subsidi
premium
- Melakukan budidaya tanaman-tanaman sebagai bahan baku bioetanol yang
tidak bersaing dengan pangan dan memperluas wilayahnya
Disamping itu, pemerintah harus konsisten melaksanakan kebijakan
terkait bioetanol agar pemanfaatan energi terbarukan ini bisa berjalan dengan
optimal dan dapat menjaga ketahanan energi Indonesia di masa depan.
2.3.4 Biogas
Biogas merupakan teknologi pembentukan energi dengan
memanfaatkan limbah, seperti limbah pertanian, limbah peternakan, dan
limbah manusia. Selain menjadi energi alternatif, biogas juga dapat
mengurangi permasalahan lingkungan, seperti polusi udara dan tanah.
Misalnya, seekor sapi potong yang berbobot 400―500 kg/ekor
menghasilkan kotoran ternak segar sebanyak 20―29 kg/harinya. Bisa
dibayangkan berapa banyak limbah yang dihasilkan dari sebuah peternakan
yang mengelola puluhan sampai ratusan ekor sapi potong. Kondisi tersebut
sebenarnya merupakan peluang usaha untuk dijadikan bahan baku pembuatan
biogas. Hasil dari pembuatan biogas dapat dijadikan sumber energi serta sisa
keluaran berupa lumpur (sludge) dapat dijadikan pupuk siap pakai sehingga
dapat menambah penghasilan bagi
peternak sapi itu sendiri.
31
(anaerob), sehingga proses penguraian oleh mikroorganisme dapat berjalan
secara optimal. Berikut beberapa keuntungan yang dihasilkan dari digester
anaerob:
a). Keuntungan Pengolahan Limbah
1. Digunakan untuk proses pengolahan limbah yang alami.
2. Lahan yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan dengan lahan untuk
proses kompos.
3. Memperkecil rembesan polutan.
4. Menurunkan volume limbah yang dibuang.
32
Sektor peternakan skala usaha kecil umumnya dilakukan masyarakat
pedesaan dengan memelihara 2―5 ekor ternak. Sementara itu peternak skala
usaha besar biasanya memelihara puluhan sampai ratusan ternak secara
intensif.
Sapi/kerbau 0,023-0,040
Babi 0,040-0,059
Ayam 0,065-0,116
Manusia 0,020-0,028
33
Limbah peternakan seperti kotoran padat dan cair dapat dijadikan
bahan baku biogas yang akan menghasilkan energi dan pupuk organik.
Umumnya, kebutuhan energi untuk memasak satu keluarga rata-rata 2000
liter per hari, sedangkan produksi biogas dari seekor sapi berkisar 600―1000
liter biogas per hari. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan energi
untuk memasak satu keluarga dibutuhkan 2—3 ekor sapi
34
Jenis rumput laut yang berpotensi dijadikan bahan baku biogas adalah
Euchema cottoni karena memiliki imbangan C/N (43,98) yang dapat
digunakan untuk pembuatan biogas. Selain rumput laut, jenis tumbuhan air
yang dapat dimanfaatkan yaitu eceng gondok
(Eichhornia crassipes). Tumbuhan air yang mengapung ini sering
dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan karena
memiliki tingkat kecepatan tumbuh yang tinggi. Karena itu, ketersediaan
eceng gondok yang melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal
dapat dijadikan bahan baku pembuatan biogas.
35
selulosa sebesar 41% dan hemiselulosa sebanyak 36%. Kedua bahan itu
dapat diubah menjadi biogas.
3. Pemanfaatan Biogas
Berkembangnya usaha pemanfaatan limbah menjadi biogas turut
mengembangkan beragam alat instalasi biogas, seperti kompor biogas, rice
cooker, lampu biogas, pompa air, traktor pertanian, dan alat pasteurisasi
36
yang dimodifikasi agar sesuai dengan penggunaan biogas. Alat tersebut
fungsinya sama dengan yang terdapat di pasaran, hanya saja bahan bakar
yang digunakan berbeda dan sama mudahnya dalam penggunaan.
37
b. Agar masyarakat tertarik menggunakan biogas , berbagai kegiatan
yang perlu dilakukan yakni pemasaran dan promosi terutama oleh
pemerintah.
3. Sosial Budaya
a. Kotoran masih dianggap sesuatu yang menjijikan dan belum
dimanfaatkan terutama sebagai bahan biogas
b. Persepsi ini perlu dihapus secara perlahan, Kotoran ternak memiliki
nilai ekonomi, baik sebagai energi maupun pupuk organik yang
potensial sebagai pendapatan tambahan peternak.
c. Kebijakan pemerintah yang jelas dan konsisten terutama dalam
penyediaan anggaran yang memadai pada tahap pemasyarakatan
biogas.
38
perkembangan bioenergi dan perumusan kebijakan yang terkait.
39
diajukan. Kebijakan mitigasi ini akan membantu untuk meningkatkan manfaat
persaingan energi biomassa terhadap bahan bakar fosil karena biomassa dapat
menggantikan emisi CO yang dilepaskan oleh bahan bakar fosil. Akan tetapi, telah
dipahami dengan baik bahwa konversi biomassa ke bioenergi membutuhkan input
energi tambahan, biasanya dari bahan bakar fosil itu sendiri. Siklus hidup
keseimbangan energi biomassa harus positif jika dibandingkan dengan bahan bakar
fosil yang lazim, tetapi bergantung pada jenis proses, permintaan kumulatif energi
fosil terkadang hanya sedikit lebih rendah atau bahkan terkadang lebih tinggi dari
apa yang diperlukan oleh bahan bakar fosil cair. Sistem bioenergi seharusnya
dibandingkan dengan sistem bahan bakar berdasarkan dasar siklus hidup atau
menggunakan LCA.
40
pertanian yang berkelanjutan dikarenakan pengurangan penggunaan bahan bakar
fosil. Bantuan yang lain adalah melalui pemberian uang tunai. Jika para petani ini
menanam bahan baku untuk produksi etanol lalu menjualnya dengan harga yang
lebih tinggi, maka mereka akan mendapatkan uang untuk membeli listrik. Karena
mereka yang menggunakan etanol sebagai bahan bakar lebih kaya jika
dibandingkan para petani, maka mekanisme ini bisa dianggap sebagai
“redistribusi kekayaan”.
41
Gambar 2.10. Efek Rumah Kaca
Gas rumah kaca terdiri dari karbon dioksida (CO2), metana, nitrogen
oksida, dan beberapa gas lainya yang terperangkap dalam atmosfer. Menurut data
UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change)
konsentrasi global karbon dioksida dan beberapa gas rumah kaca lainnya terus
mengalami peningkatan. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca ini
menyebabkan peningkatan temperatur sehingga suhu udara atmosfer menjadi
lebih panas. Tanaman atau biomassa akan mengurangi konsentrasi karbon
dioksida dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Karbon dioksida (CO2) diserap
tumbuhan untuk tumbuh dan berkembang. Ketika biomassa dibakar, karbon (C)
akan diubah ke dalam bentuk karbon dioksida dan kembali ke atmosfer.
Bila proses ini berlangsung secara terus menerus, maka jumlah konsentrasi
karbon dioksida di atmosfer akan selalu seimbang. Tetapi bila konsumsi energi
fosil meningkat maka konsentrasi karbon dioksida akan meningkat. Sehingga
penambahan biomassa dibutuhkan untuk menyeimbangkan kembali jumlah
karbon dioksida yang diserap dan dilepaskan. Saat ini, kenyataannya terdapat
peningkatan konsumsi jumlah energi fosil seperti gas dan minyak tidak diimbangi
dengan peningkatan jumlah biomassa. Sehingga yang terjadi adalah deforestation
atau penggundulan hutan, pembalakan dan sebagainya. Hal tersebut makin
meningkatkan konsentrasi karbon dioksida. Maka dari itu, penggunaan biomassa
sebagai pengganti bahan bakar dapat mengurangi konsentrasi karbon dioksida.
42
Sampah organik seperti sampah pertanian (jerami, tongkol), limbah
pengolahan biodiesel (cangkang biji jarak pagar, cangkang sawit), sampah kota,
limbah kayu, ranting, dan pengolahan kayu (sawdust) merupakan limbah yang
keberadaanya kurang bermanfaat. Limbah tersebut bila dibiarkan atau dibuang
tanpa dibakar terlebih dahulu, dapat melepaskan gas metana yang berbahaya.
Hasil pembakaran limbah merupakan abu yang memiliki volum 1% bila
dibandingkan dengan limbah padat. Untuk meningkatkan nilai kalor dan
mengurangi emisi limbah organik biasanya dilakukan proses karbonisasi. Selain
itu pembentukan menjadi briket bermanfaat sebagai bahan bakar padat.
43
Hujan asam merupakan fenomena yang disebabkan oleh asam sulfur dan
asam nitrit. Asam-asam ini terbentuk melalui reaksi antara air, oksigen, sulfur
dioksida, dan nitrogen oksida. Zat reaktan terebut berasal dari emisi pembakaran
yang kurang sempurna dari bahan bakar fosil. Asam yang terbentuk jatuh ke bumi
dalam bentuk hujan asam, kabut, dan salju. Akibat hujan asam ini meningkatkan
keasaman danau dan sungai, sehingga akan sangat berbahaya bagi makhluk hidup.
Hujan asam juga merusak bahan bangunan dan cat.
Melalui pembakaran biomassa efek hujan asam ini akan direduksi, karena
pembakaran biomassa akan menghasilkan partikel emisi SO2 dan NOx yang lebih
sedikit dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil. Pembakaran biomasa
lebih efisien dan sempurna bila diproses melalui karbonisasi karena akan
menghasilkan bahan bakar yang terbebas dari volatile matter atau gas mudah
terbakar. Untuk mencegah dampak buruk bagi lingkungan dapat dilakukan dengan
mengurangi atau menghentikan proses yang merupakan penyumbang gas rumah
kaca, yaitu pembakaran bahan bakar fosil. Pembakaran bahan bakar berkaitan erat
dengan pemenuhan sektor energi bagi peningkatan perekonomian suatu negara.
Pengembangan biomasa sebagai sumber energi untuk substitusi bahan bakar bisa
menjadi solusi untuk mengurangi beredarnya gas rumah kaca di atmosfer. Dengan
penggunaan biomassa sebagai sumber energi maka konsentrasi CO2 dalam
atmosfer akan seimbang.
Gandum, tebu, dan jagung adalah contoh bahan pangan yang juga dapat
diolah menjadi energi dari biomassa. Energi tersebut tergolong energi ramah
lingkungan yang bahan dasarnya disediakan alam. Namun, penggunaan energi
dari biomassa kadang membawa dampak sampingan yang tidak diinginkan. Salah
satunya adalah naiknya harga bahan baku pangan. Di Jerman, 100 kilogram
gandum menghasilkan energi biomassa seharga 25 Euro. Tapi bila gandum
tersebut dijual sebagai bahan baku pangan, harganya hanya 18 Euro. Kini di
sejumlah negara muncul kekuatiran bahwa para petani bahan pangan beralih ke
produksi tanaman untuk biomassa. Padahal, produksi bahan pangan saat ini saja
belum mencukupi untuk menutup kebutuhan pangan dunia.
44
BAB III
CADANGAN BIOMASSA
Jawa Timur,
60.325.92 12.327.42 sekam 21.114.07 Jawa Tengah,
3 Padi
5 5 padi 4 Jawa Barat
Sumber : Anonim
45
Sumatera Utara dengan kapasitas masing - masing 1 MW. Kemudian di
Kalimantan Barat dengan kapasitas 1 MW dan pembangkit listrik biomassa di
Nusa Tenggara Timur (NTT) juga berkapasitas 1 MW. Disamping PLT Biogas
POME, pemerintah juga mendanai pengembangan PLT Sampah di Palembang
dengan kapasitas 1 MW. Pembangkit lain yang dikembangkan pemerintah yaitu
PLT sampah kota yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta
dengan kapasitas 7 MW.
Sementara untuk pembangkit yang dikembangkan oleh swasta diantaranya
pembangkit listrik biomassa dan sampah kota di Bali yang dikembangkan oleh PT
Charta Putra dengan kapasitas 0,4 MW untuk biomassa dan 1,7 MW sampah kota.
Kemudian Excess Power dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III di Sumatera
Utara yang berasal dari palm waste dengan kapasitas 7 MW.
Lalu PLT Biogas Pome yang dikembangkan oleh PT Pratama di Sumatera
Utara denngan kapasitas 2 MW, selain itu PLT palm waste yang dikembangkan
oleh PT Kencana Group di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan dengan
kapasitas masing - masing 6 dan 10 MW. Ada lagi yang dikembangkan oleh Prima
Gasifikasi Indonesia berbasis PLT palm waste di Tanjung Baru dengan kapasitas 2
MW, kemudian 2,5 MW di Pangkalan Kerinci dan 1 MW di Karimun Jawa.
Disamping itu, PLT Biogas POME yang dikembangkan PT Karya Mas
Energi di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat dengan kapasitas masing -
masing 2 MW, disamping itu di dua titik di Provinsi Riau dengan kapasitas
masing - masing 1 MW.
Bukan hanya itu, terdapat 3,1 MW PLT Biogas POME yang
dikembangkan oleh REA Kaltim Plantations. Kemudian PLT palm waste yang
dikembangkan oleh Growth Steel Group (GSG) di Kalimantan Barat dengan
kapasitas masing – masing 10 MW, lalu di Jambi dengan juga dengan kapasitas 10
MW serta dua unit di Sumatera Utara dengan kapasitas masing – masing 10 MW.
Pengembang lain, yaitu PT Gikoko Kogyo yang mengembangkan PLT
Sampah Kota di TPA Sumur Batu Bekasi dengan kapasitas 3x1 MW lalu PT
Sumber Organik yang mengembangkan PLT sampah kota di Surabaya dengan
kapasitas 9 MW terakhir PT Cakrawala Agro pengembangan listrik hutan energi
di Sulawesi Selatan dengan kapasitas 10 MW.
46
Pelet Kayu
Indonesia mampu menghasilkan listrik biomassa ~49,8 GW (Indonesia
hanya perlu tambahan listrik nasional 35 GW). Potensi biomassa Indonesia
sekitar 146,7juta ton/tahun yang berasal dari residu padi (150GJ/tahun ), kayu
karet (120 GJ/tahun ), residu gula (78 GJ/tahun ), residu kelapa sawit (67
GJ/tahun ), dan sampah organik lain (20GJ/tahun ).
47
19 juta ton [10 (panas) + 9 (industri)] (kurang 7 juta ton), Kanada (4 juta ton)
(kurang 1juta ton), Asia (Jepang & Korsel) kurang 1 juta ton. Kedua negara
Asia itu akan menjadi importir pelet kayu terbesar pada dekade mendatang
(diduga sekitar 5 juta ton tahun 2020).
Produksi pelet kayu dunia sudah mendekati 25,5 juta ton (2014).
Sementara, pemasaran pelet kayu global untuk pembangkit listrik dan panas
terus tumbuh sekitar 14,1% per tahun. Tahun 2020, kebutuhan pelet kayu
diperkirakan melambung hingga 80 juta ton. Oleh karena itu, beberapa
negara, misalnya Korsel, Jepang, Eropa (impor ~14 juta ton/2014), AS, dan
Kanada berusaha mencari pasokan bahan baku ke negara tropis yang salah
satunya ke Indonesia. Di lain pihak, contoh harga pelet kayu di Eropa (Swiss,
Jerman, dan Austria) (hingga Jan 2016) dapat dilihat dalam Gambar di atas
(~Euro).
Gambar 3.4 Harga Pelet Kayu di Eropa (Swiss, Jerman dan Austria)
Khusus untuk Indonesia, pabrik pelet kayu terbesar ada di Semarang, yang
produksi pelet kayunya populer di Korsel, karena kualitasnya bagus (kalori
tinggi, kandungan kimia dan abu cukup rendah). Korsel melakukan proyek-
proyek kerma di Jatim dan Jateng, Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Indonesia akan menjadi target Korsel untuk menjadi pemasok pelet kayu di
masa datang di Asia terutama untuk bahan biopelet yang berasal dari
pelepah / cangkang sawit, bagas tebu, jerami, kaliandra merah, dan lain-lain.
48
Pelet Bagas, serbuk Gergaji, jerami padi/gandum, sekam padi, bagas /
ampas tebu (mengandung gula 2,5%, nilai kalori 1.825kKal), batang
jagung/sorgum, sampah daun, rumput, ranting, dan bagian tanaman yang
telah dianggap limbah dapat menjadi sumber pelet kayu. Pelaku usaha pelet
kayu mulai menanam kayu cepat panen yang minim perawatan, dan
kandungan energinya tinggi sebagai campuran limbah tsb. Sebagai contoh:
Petai cina (Leucaena leucocephala), kaliandra merah (Caliandra calotahun
yrsus), dan Gamal (Gliricidia sepium). Tujuan membuat pelet kayu adalah
nilai kalor limbah kayu tersebut hendak ditingkatkan agar menjadi BAHAN
BAKAR berkalori mendekati batubara (5.000 - 6.000 kKal), yaitu sekitar
4.200 - 4.800 kKal dengan kadar abu sekitar 0,5-3%.
Bioetanol
Menurut artikel di Bisnis Indonesia(tanggal 15 desember 2013) populasi
kendaraan di Indonesia tidak kurang dari 100 juta unit. Dari jumlah tersebut
80 juta unit adalah sepeda motor. Pertumbuhan kendaraan bermotor di
Indonesia, khususnya sepeda motor melonjak secara signifikan pada beberapa
tahun belakangan dengan pertumbuhan eksponensial. Hal ini berakibat pada
kebutuhan BBM yang meningkat pula. Dengan kondisi seperti ini, dimana
BBM semakin lama semakin menipis, bioetanol berpotensi menjadi bahan
bakar alternatif pengganti bensin dengan keunggulannya seperti pembakaran
lebih sempurna, mengurangi emisi karbon monoksida dan lain-lain.
Selain itu, potensi biomassa diprediksi berpotensi membangkitkan energi
listrik hingga 49.810 megawatt. Saat ini diperkirakan pemanfaatan biomassa
baru mampu memproduksi listrik 445 megawatt. Namun, hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan
sehingga potensi tersebut bersifat sektoral dimana akan terjadi kesulitan
pendistribusian biomassa tersebut untuk diolah menjadi bioetanol.
Saat ini, teknologi yang digunakan dalam produksi bioetanol
memanfaatkan bahan baku non pangan atau biasa disebut bioetanol generasi
kedua, dimana bioetanol generasi pertama menggunakan bahan baku yang
berbasis pangan. Bioetanol generasi kedua menggunakan bahan baku seperti
49
limbah pertanian maupun kehutanan. Salah satu bahan baku yang paling
potensial digunakan adalah limbah ampas tebu, dengan luas tanaman tebu di
Indonesia sekitar 470.000 Ha(menghasilkan sekitar 3,6 juta kl bioetanol).
Sementara itu, berdasarkan peraturan menteri ESDM 25/2013, pemerintah
menargetkan pemanfaatan biodiesel sebesar 30% pada tahun 2025(khusus
untuk pembangkit listrik) dan menurunkan pamanfaatan bioetanol pada tahun
2015 sampai tahun 2025 dan meningkatkan pemanfaatannya pada tahun 2025
sebesar 20%.
Dengan regulasi yang dibuat oleh pemerintah tersebut diharapkan
pemanfaatan bioetanol semakin meningkat. Mekanisme pemanfaatan
bioetanol sendiri dilakukan dengan pencampuran bioetanol dan bensin
dengan persentase tertentu hingga pada tahun 2025 ditargetkan komposisi
campuran bensin dan bioetanol adalah 80:20. Dilain hal, pelaksanaan dari
regulasi tersebut melalui mandatori pemerintah terhadap penggunaan
bioetanol nyaris tidak menunjukan realisasinya. Dalam hal ini, pemerintah
masih kurang serius menerapkan kebijakan diversifikasi energi tersebut.
Akibatnya, pangsa pasar bioetanol pun mengalami keterpurukan.
Hal ini berakibat pada industri-industri bioetanol di Indonesia yang
semakin terancam bangkrut, khususnya pada pabrik-pabrik skala rumahan.
Pada awalnya, industri beranggapan bahwa bioetanol yang mereka hasilkan
akan diterima oleh Pertamina, atau lembaga lain yang bertugas sebagai
pembeli siaga (off taker). Namun, karena kualitas bioetanol tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan Pertamina(kemurnian 99%), dimana bioetanol
yang dihasilkan hanya memiliki kemurnian 90%. Hal ini disebabkan hanya
perusahaan-perusahaan besarlah yang memiliki teknologi yang mampu
menghasilkan kemurnian hingga 99%(full grade ethanol).
Selain itu, kebijakan pemerintah dinilai masih belum disiapkan dengan
matang. Pasalnya, belum adanya sistem yang berkelanjutan dari mulai
distribusi bioetanol dari para pengusaha bioetanol hingga dapat diterima oleh
Pertamina. Sebagai contoh, pada distribusi beras, badan penyangga yang
mengelolanya adalah bulog, pada listrik, yakni PLN. Negara-negara lain
50
seperti Brazil, Thailand, Filipina yang pengembangan bioetanolnya sudah
lebih maju pun memiliki lembaga penyangga terhadap industri bioetanol.
PT Molindo Raya
PT Molindo Raya Surabaya adalah produsen utama bioetanol di Indonesia.
Dengan kapasitas terpasang sebesar 40.000 Kl/hari(330 hari kerja pertahun),
operating capacity nya saat ini(tahun 2008) adalah ± 35.000 Kl/tahun. Bahan
baku yang digunakan dalam memproduksi bioetanol adalah molases yang
disuplai dari pabrik-pabrik sekitar. Pabrik ini dapat memproduksi etanol
untuk bahan bakar kendaraan bermotor sebanyak 10.000 kiloliter per tahun.
51
yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Kebutuhan bahan baku pabrik bioetanol
ini sebesar 120.000 ton tetes tebu.
52
Saat ini, 8 produsen bioetanol telah memiliki izin usaha niaga BBN
dengan kapasitas produksi bioetanol sebesar 416 ribu kl/tahun, dimana
kapasitas sebesar 200 ribu kl/tahun siap untuk diproduksi.
Pada kurun waktu 23 tahun mendatang, kebutuhan bensin akan meningkat
3 kali lipat dari sekarang, dengan kondisi pengembangan bioetanol yang
masih belum cukup baik, diprediksi bioetanol belum mampu menggantikan
bensin.
Saat ini bahan baku yang potensial digunakan dalam membuat bioetanol di
Indonesia antara lain molases atau tetes tebu, ketela pohon, ubi jalar, sorgum
dan lain-lain. Setiap hektar lahan tebu dapat menghasilkan tetes tebu sekitar
10-15 ton(sekitar 766-1150 liter bioetanol grade bahan bakar). Pada tahun
2013 luas tanaman tebu di Indonesia sekitar 470.000 Ha(sekitar 3,6 juta kl
bioetanol). Untuk mengembangkan bioetanol lebih lanjut diperlukan
penambahan luas lahan baru yang selama ini masih menjadi kendala. Luas
lahan sagu di Indoensia sekitar 1,2 juta Ha dengan potensi produksi sagu
sekitar 5 juta ton pati kering. Dengan insteGnsitas produksi 600 liter per ton
pati, maka dapat dihasilkan bioetanol sebesar 2,85 juta kl. Selain tebu dan
sagu, sumber bahan baku bioetanol yang potensial antara lain: Nipah, Aren
dan Lontar. Nipah diperkirakan dapat menghasilkan 750 ribu bioetanol
(dengan 25% produksi).Permasalahan pengembangan bioetanol di Indonesia
adalah bersaingnya penggunaan hasil bahan baku tersebut terhadap kebutuhan
pangan maupun obat-obatan.
Selain itu, dengan subsidi sebesar 3500 Rp./liter, harga bioetanol belum
cukup kompetitif sehingga kurang menarik minat industri dalam negeri dan
investor. Permasalahan utama yang dihadapi sekarang adalah HIP yang
menjadi acuan harga bioethanol sudah tidak sesuai dengan keekonomian,
alias terlalu murah. Kementerian ESDM mengajukan usulan kenaikan HIP
menjadi sekitar Rp9 ribu per liter. Ini sesuai dengan biaya produksi bioetanol
yang sekitar Rp9 ribu-Rp9200 per liter. Sementara harga bioetanol saat ini
hanya sekitar Rp8 ribu per liter.
Di lain hal, Pertamina sebagai BUMN, memiliki peran yang strategis
untuk menciptakan dan mengembangkan pasar bioetanol sehingga industri-
53
industri yang bergerak dalam produksi bioethanol bisa tetap berjalan dan
berkembang.
sumber : Statistik EBTKE, Ditijen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
54
Tabel 3.4 Traditional use of biomass for cooking in developing Asia – 2013
Bioetanol
55
Industri biofuel dunia saat ini masih didominasi oleh produksi bioetanol,
yang mencapai sekitar 700.000 barel per hari, sementara itu biodiesel
produksinya hanya sekitar 75.000 barel per hari pada tahun 2006. Amerika
serikat dan Brazil adalah negara utama produsen dan konsumen bioetanol,
dengan produksi 80% dari total produksi dunia. Dan konsumsi bioethanol
oleh Amerika Serikat dan Brazil mencapai 75% dari total konsumsi dunia.
Bioetanol juga berkembang pesat di negara-negara Uni Eropa seperti Jerman,
Spanyol dan Swedia. Sementara itu Honggaria, Lithuania dan republik Czech
adalah negara baru produsen bioetanol. Di Asia, bioetanol mulai berkembang
di beberapa negara antara lain India, Thailand, China, Malaysia dan Indonesia
(Indonesian Commercial Newsletter 2008).
Amerika Serikat
Sejak tahun 1979, pemerintah Amerika Serikat telah menerapkan insentif
pajak terhadap pengguna biofuel dalam bentuk Federal Excise Tax
Exemption, dan saat ini sedang meningkatkan penggunaan Fuel Flexible
Vechicles, dan memberikan insentif terhadap pembangunan SPBU. Beberapa
negara bagian seperti Minnesota, Hawaii, Montana, dan Oregon saat ini telah
menerapkan E10 (bioetanol yang dicampur dengan bensin dengan
perbandingan 10:90), dengan bahan baku jagung.
Brazil
Menurut data dari kementerian ESDM, Brazil telah mengembangkan
bioetanol yang bersumber dari tebu dengan melakukan uji coba pada
kendaraan sejak tahun 1925, dan dikembangkan dalam periode cukup lama
dengan dukungan penuh dari pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif,
dan saat ini pengembangan biofuel di Brazil telah menggunakan mekanisme
pasar. Dari seluruh produksi tebu, perbandingan untuk pemanfaatan sebagai
gula dan bioetanol adalah sekitar 50:50.
India
Kebijakan pengembangan bioetanol diarahkan pada pemanfaatan Molasses
yang berasal dari komoditas tebu, sehingga tidak mengganggu penyediaan
gula. Saat ini telah ditetapkan kebijakan E5 dan secara bertahap
dikembangkan ke E10 pada 2012. Serangkaian percobaan terhadap industri
56
otomotif untuk penerapan E5 dan telah dinyatakan layak, namun saat ini
masih belum dapat ditingkatkan kearah yang lebih tinggi karena masih
dianggap dapat mengganggu mesin kendaraan. Indian Oil telah menerapkan
E5 di beberapa negara bagian India sejak 2003, dan pemanfaatannya akan
lebih baik apabila menerapkan catalityc converter kit.
57
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
a. Energi biomassa menjadi salah satu sumber energi alternatif pengganti
bahan bakar fosil. Biomassa sebagai sumber energi tidak akan pernah
habis, karena bahan biologis yang di butuhkan untuk membuat energi
biomassa akan selalu tersedia selama kehidupan di muka bumi ini
masih ada.
c. Kelebihan dari energi biomassa adalah sifatnya yang terbarukan dan tidak
akan habis juga pengolahan yang fleksibel dimana kita dapat menentukan
jenis energi seperti apa yang kita butuhkan. Kekurangan dari energi
biomassa ialah sifatnya yang berlawanan dengan pangan dan dibutuhkan
lahan yang luas untuk menanam.
4.2 Saran
58
a. Jagalah kelestarian lingkungan kita dari berbagai macam polusi
b. Mulailah kita mengembangkan energy – energy alternative untuk
menyelamatkan cadangan minyak bumi yang telah kritis
59
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, D. 2003. Sampah organik, kotoran kerbau sumber energi alternatif. Media
Indonesia.Senin, 02 Juni 2003.
60