Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Telah sejak lama, kita mendengar bahwa persediaan bahan bakar minyak
di bumi ini mulai menipis. Ada banyak perkiraan oleh pakar bahwa tahun sekian
pasokan bahan bakar minyak akan benar-benar habis. Sementara untuk
memperbarui minyak yang terkandung di bumi, juga bukan hal mudah dan instan.
Sehingga, mau tidak mau, manusia dipaksa untuk terus menemukan energi
alternatif sebagai pengganti dari bahan bakar minyak. Salah satu energi alternatif
yang dapat dikembangkan adalah energi biomassa.
Disadari atau tidak, sejak zaman dulu manusia telah menggunakan
biomassa sebagai sumber energi. Contohnya adalah penggunaan kayu bakar untuk
menyalakan api unggun. Kayu bakar merupakan bahan biologis yang terdapat di
alam dan dapat dimanfaatkan langsung sebagai sumber energi tanpa perlu diolah
terlebih dahulu. Namun sejak ditemukannya bahan bakar fosil, penggunaan
biomassa mulai terlupakan. Minyak bumi, gas bumi, dan batubara lebih dipilih
sebagai sumber energy dalam kehidupan di masyarakat.
Sejumlah isu akan terjadinya krisis energi yang mengancam kelangsungan
hidup manusia memerlukan klarifikasi dalam rangka memahami potensi biomass
sebagai sumber energi yang berkesinambungan: mengenai sumber daya dan
ketersediaannya, aspek logistik, biaya-biaya rantai bahan bakar, dan dampaknya
terhadap lingkungan.
Para ilmuwan memperkirakan dalam hitungan tahun persediaan minyak
dunia akan terkuras habis. Karena itu penggunaan sumber energi alternatif kini
digiatkan, termasuk di antaranya penggunaan biomassa. Disisi lain juga timbul
pertanyaan berapa kuantitas residu yang dapat digunakan dari suatu sumber
biomassa, dimana dan bagaimana harus dikembangkan, apa dan bagaimana
kebutuhan infrastruktur harus dipenuhi, kesemuanya memerlukan pertimbangan
yang seksama. Makalah singkat ini akan memaparkan potensi pengembangan
biomassa sebagai sumber energi alternatif.

1
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apa definisi dari biomassa?
2. Bagaimana cara pengolahan biomassa?
3. Apa saja jenis-jenis biomassa?
4. Apa saja manfaat penggunaan biomassa?
5. Apa saja kelebihan dan kekurangan energy biomassa?
6. Bagaimana cadangan energi biomassa di indonesia?
7. Bagaimana cadangan energi biomassa di dunia?

1.3 Tujuan Umum

Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk mengetahui potensi


energy biomassa sebagai energi nonkonvensional.

1.4 Tujuan Khusus


Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
a. Mengetahui definisi dari biomassa
b. Mengetahui cara pengolahan biomassa

c. Mengetahui jeni-jenis biomassa

d. Mengetahui manfaat penggunaan biomassa

e. Mengetahui kelebihan dan kekurangan energy biomassa

f. Mengetahui cadangan biomassa di Indonesia

g. Mengetahui cadangan biomassa di dunia

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Biomassa


Secara umum biomassa merupakan bahan yang dapat diperoleh dari
tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung dan dimanfaatkan
sebagai energi atau bahan dalam jumlah yang besar. “Secara tidak langsung”
mengacu pada produk yang diperoleh melalui peternakan dan industri makanan.
Biomassa disebut juga sebagai “fitomassa” dan seringkali diterjemahkan sebagai
bioresource atau sumber daya yang diperoleh dari hayati. Basis sumber daya
meliputi ratusan dan ribuan spesies tanaman, daratan dan lautan, berbagai sumber
pertanian, perhutanan, dan limbah residu dan proses industri, limbah dan
kotoran hewan. Tanaman energi yang membuat perkebunan energi skala besar
akan menjadi salah satu biomassa yang menjanjikan, walaupun belum
dikomersialkan pada saat ini. Biomassa secara spesifik berarti kayu, rumput
Napier, rapeseed, eceng gondok, rumput laut raksasa, chlorella, serbuk gergaji,
serpihan kayu, jerami, sekam padi, sampah dapur, lumpur pulp, kotoran
hewan, dan lain-lain. Biomass jenis perkebunan seperti kayu putih, poplar
hibrid, kelapa sawit, tebu, rumput gajah, dan lain-lain adalah termasuk
kategori ini.
Biomassa adalah bahan biologis yang berasal dari organisme atau makhluk
hidup. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, definisi Biomassa adalah jumlah
keseluruhan organisme yang terdapat dalam suatu habitat (perairan). Biomasa
adalah salah satu sumberdaya hayati yang bisa di rubah menjadi sumber energi
yang dapat di perbaharui. Biomassa terbentuk dari energi matahari yang telah
ditransformasi menjadi energi kimia oleh tumbuhan hijau melalui proses
fotosintesis. Karena itu biomassa lebih identik dari tumbuhan daripada dari
hewan. Meski sebenarnya, cangkupan definisi biomassa itu sendiri terdiri dari
berbagai jenis organisme hidup, baik produknya, limbah olahan ataupun sisa
metabolismenya.
Dalam berbagai situasi, biomassa juga didefinisikan sebagai bahan-bahan
organik berumur relatif muda yang berasal dari tumbuhan atau hewan, baik yang

3
terbentuk dari hasil produksinya, sisa metabolismenya, ataupun limbah yang di
hasilkannya. Biomassa dapat di peroleh dari berbagai bidang industri budidaya,
baik pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, maupun perikanan.
Dewasa ini biomassa telah menjadi sumber energi yang dapat di
perbaharui yang paling populer. Energi biomassa menjadi salah satu sumber
energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Biomassa sebagai sumber energi
tidak akan pernah habis, karena bahan biologis yang di butuhkan untuk membuat
energi biomassa akan selalu tersedia selama kehidupan di muka bumi ini masih
ada.

2.1.1 Tinjauan Komposisi Biomassa


Ada berbagai jenis biomassa dan komposisinya juga beragam. Beberapa
komponen utama adalah :
- selulosa (50-40%)
- hemi selulosa (20–30%)
- lignin (20-25%)
Dari segi penggunaan energy, biomassa yang mengandung selulosa dan
lignin seperti pohon berada dalam jumlah yang banyak dan mempunyai potensi
yang tinggi.
(a) Selulosa
Polisaklarida yang tersusun dari D-glukosa yang terhubung secara seragam
oleh ikatan β-glukosida. Rumus molekulnya adalah (C 6H12O6)n. Derajat
polimerasinya, ditunjukkan oleh n, dengan nilai kisaran yang lebar mulai dari
beberapa ribu hingga puluhan ribu. Hidrolisis total selulosa menghasilkan D-
glukosa (sebuah monosakarida), akan tetapi hidrolisis parsial menghasilkan
disakarida (selobiosa) dan polisakarida yang memiliki n berurutan dari 3 ke 10.
Selulosa memiliki struktur Kristal dan memiliki resistenti yang tinggi terhadap
asam dan basa
(b) Hemiselulosa

Hemiselulosa bercabang terikat erat secara acak dan ke permukaan setiap


mikrofibril selulosa, dimana unit-unitnya adalah terdiri atas monosakarida dengan
5 karbon seperti D-xilosa, D-arabinosa dan monosakarida karbon-6 seperti D-

4
manosa, D-glaktosa dan D-glukosa. Jumlah monosakarida karbon-5 lebih banyak
dibandingkan monosakarida karbon-6 dan rumus molekulnya rata-ratanya adalah
(C5H8O4)n. karena derajat polimerisasi (n) hemiselulosa antara 50 sampai 200,
yaitu lebih kecil dari selulosa, maka ia lebih mudah terurai dibandingkan selulosa.
Dan kebanyakan hemiselulosa dapat larut dalam larutan alkali.

(c) Lignin
Merupakan senyawa dimana unit komponennya, fenilpropana dan
turunannya, terikat 3 dimensi. Strukturnya kompleks dan sejauh ini belum
spenuhnya dipahami. Struktur 3 dimesinya yang kompleks menyebabkan ia sulit
untuk diuraikan oleh mikroorganisme dan bahan-bahan kimia. Berdasarkan
pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa lignin memberikan kekuatan mekanis
dan juga perlindungan untuk tumbuhan itu sendiri. Selulosa, hemiselulosa, dan
lignin dapat ditemukan secara universal dalam berbagai jenis biomassa dan
merupakan sumber daya karbon alami yang paling berlimpah dibumi.

Gambar 2.1 Struktur biomassa yang tersusun dari selulosa, hemiselulosa dan lignin

2.1.2

2.2 Teknologi Pengolahan Biomassa


Penggunaan biomassa untuk membangkitkan energi listrik disebut
biopower atau biomassa power. Biopower menjadi hal yang menarik
diperbincangkan akhir-akhir ini sebab 1MWh energi listrik yang dihasilkan dari
biopower menghindarkan emisi CO2 sebesar 1 ton. Biopower adalah penggunaan
biomassa melalui pembakaran langsung, atau mengubahnya menjadi bahan bakar

5
bebentuk gas atau minyak, untuk menghasilkan energi listrik. Teknologi
pengkonversian biomassa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu proses termal
dan proses biologis.

2.2.1 Proses Termal


Ada 4 proses pemanasan dalam menghasilkan energi biomassa, yaitu:
1. Direct-fired
2. Co-firing
3. Gasifikasi
4. Pirolisis

2.2.1.1 Direct-fired
Direct-fired dilakukan dengan membakar biomassa secara langsung untuk
menghasilkan uap panas, menggerakkan turbin dan generator hingga dihasilkan
energi listrik.
Sebelum dibakar, biomassa harus dikeringkan terlebih daulu, lalu kecilkan
ukurannya selanjutnya dijadikan briket (pellet). Pembriketan adalah proses
densifikasi bahan organik lepas, seperti sekam padi, sekam kopi, serbuk gergaji.
Dengan pembriketan, maka karakteristik biomassa sebagai bahan bakar akan
meningkat. Panas yang didapat dari pembkanaran biomassa (briket) digunakan
untuk menghasilkan uap panas yang diumpankan ke boiler. Uap panas yang
dihasilkan akan memutar roda turbin dan melalui suatu generator, putaran tersebut
akan menghasilkan energi listrik.
Pembriketan biomassa akan meningkatkan karakteristik penanganan
biomassa, meningkatkan nilai kalori per satuan volum, mengurangi ongkos angkut
dan membuat biomassa dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Proses utama
pembriketan meliputi pengeringan, penggerindaan, pengayakan, pemadatan dan
pendinginan. Hasil samping utama produk pertanian,meliputi kayu, serbuk gergaji
dan lain sebagaimana dapat dijadikan briket.

2.2.1.2 Co-firing
Co-firing adalah proses pembakaran langsung dengan mengkombinasikan
bahan bakar antara batubara dengan biomassa untuk menghasilkan energi. Cara

6
ini dilakukan untuk menurunkan emisi yang dikeluarkan oleh batubara sehingga
menurunkan dampak pemanasan global yang sedang marak di perdebatkan. Selain
menurunkan emisi, kombinasi antara batubara dengan biomassa, seperti penelitian
yang dilakukan oleh National Energy Laboratory (NREL) menunjukan bahwa
kombinasi ini dapat meningkatkan efisiensi turbin hingga 33 % – 37%.
Beberapa keuntungan yang dihasilkan dari kombinasi batubara dan
biomassa yaitu:
1. Menurunkan kadar sulfur dioksida yang dapat menyebabkn hujan asam,
2. Mengurangi kabut
3. Mencegah polusi ozon
4. Menurunkan kandungan karbon dioksida yang dihasilkan dari hasil
pembakaran

2.2.1.3 Gasifikasi

Gasifikasi adalah proses pembentukan gas yang dapat terbakar yang


berasal dari material organik, seperti kayu, gabah/sampah pertanian yang
dipanaskan dan dibakar dengan keadaan oksigen 1/3 dari jumlah oksigen yang
dibutuhkan untuk pembakaran penuh. Pembakaran dengan keadaan kekurangan
oksigen inlah yang disebut dengan pyrolysis. Proses ini menghasilkan gas yang
dapat dibakar seperti H2, CH4, CO, N2, dan gas-gas lain yang tak dapat terbakar.
Secara sederhana proses gasifikasi dapal dikatakan sebagai reaksi kimia pada
temperatur tinggi antara biomassa dengan udara. Yang tahapannya dapat
digambarkan sebagai berikut:
1. Tahap pengeringan.
Akibat pengaruh panas, biomassa mengalami pengeringan pada temperatur
sekitar 100ºC.
2. Tahap pirolisis.
Bila temperatur mencapai 250ºC, biomassa mulai mengalami proses
pirolisis yaitu perekahan molekul besar menjadi molekul-molekul kecil akibat
pengaruh temperatur tinggi. Proses ini berlangsung sampai temperatur 500ºC.
Hasil proses pirolisis ini adalah arang, uap air, uap tar, dan gas- gas.
3. Tahap reduksi.

7
Pada temperatur di atas 600ºC arang bereaksi dengan uap air dan karbon
dioksida. Untuk menghasilkan hidrogen dan karbon monoksida sebagai
komponen utama gas hasil.
4. Tahap oksidasi.
Sebagian kecil biomassa atau hasil pirolisis dibakar dengan udara untuk
menghasilkan panas yang diperlukan oleh ketiga tahap tersebut di atas. Proses
oksidasi (pembakaran) ini dapat mencapai temperatur 1200ºC, yang berguna
untuk proses perekahan tar lebih lanjut.
Tahap-tahap proses diatas dilaksanakan dalam satu alat yang disebut
gasifier atau reaktor gasifikasi.

Gambar 2.1 Prinsip Proses Gasifikasi

Aplikasi pada proses gasifikasi salah satunya adalah sebagai sumber energi
alternatif untuk pembangkit listrik. Dimana bahan bakar gas hasil dari
pembakaran (secara gasifikasi) dari sampah organik digunakan untuk
memanaskan air hingga berubah fase menjadi uap panas (steam) bertekanan tinggi
untuk ditransportasikan untuk memutar turbin uap. Shaft dari turbin uap
dikoneksikan ke shaft generator dan ketika shaft turbin berotasi mengakibatkan
shaft generator berotasi dan kemudian membangkitkan listrik. Setelah uap (steam)
melewati turbin uap suhuya menjadi lebih rendah dan tekanannya menurun dan
dikondensasikan pada cooling system oleh kondensor hingga fasenya kembali
berubah menjadi air.

8
Gambar 2.2 Instalasi Gasifikasi Biomassa

2.2.1.4 Pirolisis .
Pirolisis atau bisa di sebut thermolisis adalah proses dekomposisi kimia
dengan menggunakan pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Proses ini merupakan
salah satu bagian dari proses gasifikasi, proses ini akan memecah secara kimiawi
biomassa untuk membentuk substansi lain.
Proses pirolisis dapat dibagi menjadi beberapa fase dimana menjadi
pedoman kesuksesan prosesnya.
1) Fase pengeringan.
2) Fase pirolisis.
3) Fase evolusi gas.
Pada suhu 200 °C pengeringan fisik disertai produksi uap air, jika yang
dimasukkan bahan biomassa yang basah maka perlu disertakan atau dimasukkan
steam (uap air panas) ke dalam reaktor, Pirolisis terjadi pada suhu 200 – 500 °C.
Struktur makromolekul pecah menjadi gas, komponen organik cair, karbon padat.
Evolusi gas terjadi pada 500 – 1200 °C, produk hasil pirolisis diturunkan lebih
lanjut, karbon padat dan produk organik cair menghasilkan gas yang stabil.
Hidrokarbon besar molekul besar dipecah menjadi metana dan karbon padat.
Metana direaksikan dengan uap air dikonversi menjadi karbon monoksida dan
hidrogen. Karbon padat direksikan dengan uap air atau karbon dioksida
dikonversi menjadi karbon monoksida dan hidrogen.

9
Sebelum dimasukkan ke reaktor, biomassa dikecilkan ukurannya terlebih
dahulu, hingga ukurannya tidak lebih besar dari 14 m3sh. Pirolisis cepat
dilakukan pada suhu 500ºC tekanan 101kPa. Setelah proses pirolisis selesai, arang
padat dipisahkan dari cairan yang dihasilkan dengan alat pemisah berputar. Arang
yang dihasilkan tersebut selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar untuk
memanaskan reaktor.
Hasil pirolisis 1 kg biomassa yang berasal dari sampah perkotaan adalah
10% air, 20% arang (kandungan energi sekitar 4500kkal/kg), 30% gas (kandungan
energi sekitar 3570 kkal/m3) dan 40% minyak (kandungan energi sekitar
5950kkal/kg).

2.2.2. Proses Biologis

Proses ini bertujuan untuk menghasilkan gas yang dapat terbakar melalui
proses yang mengikutsertakan komponen biologi, yaitu bakteri. Proses ini akan
menghasilkan gas dari sampah organik seperti kotoran ternak dan sisa–sisa
makanan.

Penguraian anaerobik adalah suatu proses biologi, dimana metana akan


dilepaskan dalam proses pembusukan yang dilakukan oleh bakteri dari archaea,
metana yang dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar untuk
membangkitkan energi listrik. Sebagai bahan baku untuk proses penguraian
anaerobik dapat digunakan kotoran hewaan ternak atau dari limbah rumah tangga.
Ada 4 tahapan dalam Anaerob Digestion, yaitu:
1. Hydrolisis

Merupakan proses untuk memecah komposisi sampah organik menjadi


molekul – molekul yang dapat diuraikan oleh bakteri anaerob, yaitu
menjadi gula dan asam amino. Proses hydrolisis menggunakan air untuk
melepaskan ikatan kimia antar unsur dari sampah organik.

2. Fermentasi
Zat yang telah dirombak pada proses hydrolisis, oleh bakteri anaerob
diuraikan menjadi karbohidrat dan enzim serta asam organik.

10
3. Acetogenesis
Produk dari hasil fermentasi diubah menjadi asetat, hidrogen dan
karbondioksida oleh bakteri asetogenik.

4. Methanogenesis
Mengubah produk dari proses acetogenesis menjadi methana dengan
bantuan bakteri metanogenik.

Pada proses yang sederhana, kotoran ternak ditempatkan dalam suatu


kantong dan diuraikan dengan bantuan bakteri dan air. Bakteri akan menguraikan
bahan organik padat menjadi gula dan asam amino. Proses fermentasi bahan-
bahan tersebut akan menghasilkan asalam lemak yag menguap (volatile fatty
acids/VFAs). VFAs lalu akan membentuk hidrogen, karbon dioksida dan asetat
melalui proses acidogenesis. Selanjutnya biogas akan diproduksi oleh proses
methanogeneseis. Biogas tersebut meruakan campuran dari 55-70% metana, 25-
30% karbon dioksida dan sebagian kecil lainnya berua nitrogen dan hidrogen
sulfida.

2.3 Jenis-Jenis Bioenergi


Bioenergi merupakan energi alternatif yang berasal dari sumber-sumber
biologis. Keunggulan pemanfaatan bioenergi ini adalah meningkatkan kualitas
lingkungan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta mengurangi
ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Saat ini pengembangan bioenergi telah sampai pada generasi keempat
yakni mengubah vegoil dan biodiesel menjadi gasolin. Generasi pertama
pengembangan bioenergi ini dinilai kurang etis karena berkompetisi dengan bahan
pangan dan pakan menjadi vegetable oil, biodiesel, bio-alcohol, biogas, solid
biofuel, dan syngas. Pemanfaatan bahan diluar pangan dan pakan dimulai pada
generasi kedua diantaranya menggunakan limbah, cellulose dan tanaman yang
didedikasikan untuk pengembangan energi (dedicated energy crops), yang
mengubah biomassa menjadi liquid technology. Generasi ketiga pengembangan
biofuel adalah oligae yang berasal dari algae. Selain itu, Pemanfaatan bioenergi
saat ini bahkan telah sampai pada pengembangan bahan bakar pesawat terbang.

11
The Embraer EMB 202 Ipanema merupakan pesawat pertama yang berbahan
bakar ethanol dan banyak dimanfaatkan di lahan pertanian (agricultural aircraft).
Selain itu, telah dikembangkan juga syngas berbahan dasar kayu yang
dimanfaatkan sebagai generator.

2.3.1 Pelet Kayu


Pelet kayu menjadi bahan bakar primadona saat ini terutama di negara
yang memiliki 4 musim sebagai bahan pengganti batubara
(sebagian/seluruhnya) dalam PLTU batubara, penghangat ruangan, kompor
biomassa, dan pengeringan pada jasa laundry. Ekspor batubara Indonesia
mulai merosot (Januari-September 2015 ekspor batubara turun 19,8%,
menjadi 235 juta ton, sedangkan produksinya turun menjadi 308 juta ton).
Akibatnya 37 dari 43 perusahaan tambang batubara di Jambi tutup, dan 70%
atau 60 perusahaan di Samarinda juga tutup. Sekitar 80% perusahaan
tambang batubara menyetop produksi mereka dan tutup sementara. Hanya
500 dari 3.000 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan yang masih
beroperasi. Sementara, harga batubara acuan Indonesia di pasar internasional
(Februari 2016) jatuh menjadi US$50,92/ton, bahkan harga batubara lokal
hanya Rp.300.000/ton (yang normalnya sekitar Rp 1juta/ton). Hal itu
disebabkan oleh negara tujuan ekspor batubara (Korsel, Jepang, China, dan
India) secara perlahan beralih ke pelet kayu Indonesia yang berkualitas baik,
ramah lingkungan, dan terbarukan (terbukti dari permintaan pelet kayu di
pasar internasional meningkat pesat). Di sisi lain, China secara bertahap juga
mulai melarang penggunaan batubara (kalori rendah) bagi warganya (karena
polusi dan emisi sulfur yang tinggi). Australia dan AS meminimalkan
penggunaan batubara. Indonesia juga mengganti penggunaan batubara dengan
pelet kayu.
Ada beberapa alasan batubara akan terhempas oleh pelet kayu:
1. Pelet kayu adalah bahan bakar terbarukan, dan ramah lingkungan,
sedangkan batubara tidak terbarukan dan kurang ramah lingkungan. Oleh
karena itu, pemanfaatan batubara di level internasional berkurang secara
bertahap. Jadi, ada peluang untuk menambah pasokan listrik nasional

12
menggunakan bahan bakar pelet kayu. Kalori pelet kayu setara dengan
kalori batubara rendah.
2. Produksi karbon lebih rendah dari batubara.
3. Biaya listrik yang dihasilkan pelet kayu pengganti batubara sama dengan
yang dihasilkan gas alam yang tentu saja lebih murah dari batubara.
4. Posisi staf yang diperlukan untuk kehadiran PLTU pelet kayu (termasuk
penyiapan infrastruktur pelet kayu) sekitar 3.480 orang, sedangkan PLTU
batubara dengan daya yang sama membutuhkan staf sekitar 2.540 orang
(menambah lapangan kerja)
5. Permintaan pelet kayu berkelanjutan dalam jangka panjang memotivasi
pemangku kepentingan untuk melestarikan dan memperbaiki manajemen
hutan, sekaligus mengembangkan lahan kritis menjadi hutan tanaman
industri khusus pelet kayu (misalnya kayu Kaliandra Merah, Mahang /
Macaranga Gigantean, Karamunting / Melastoma Malabatricum)
6. Permintaan pelet kayu yang datang dari segenap penjuru dunia terus
berdatangan ke Indonesia yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat

Jenis-Jenis Pellet Kayu


1. Pelet Batang

Gambar 2.3 Pelet Batang


Bahan dasar pelet ini adalah, batang jagung, jerami gandum, jerami padi,
kulit kacang tanah, tongkol jagung, ranting kapas, batang kedelai, gulma
(rumput liar), ranting, dedaunan, serbuk gergaji, dan limbah tanaman lainnya.
Setelah bahan baku diremukkan, lalu ditekan, dan dicetak, dibentuk menjadi
bentuk pelet dengan memberikan tekanan antara roller dan dies pada bahan.

13
Densitas bahan semula sekitar 130kg/m3, tetapi densitas pelet menaik hingga
di atas 1100kg/m3, sehingga memudahkan untuk disimpan dan ditranspor,
sekaligus kinerja bakarnya menaik.

2. Pelet Bagas
Pelet bagas adalah bioenergi yang baru. Pelet bagas berfungsi sebagai
pengganti kayu bakar, batubara, minyak bakar, dan LPG. Pelet ini dapat
digunakan sebagai pemanas ruangan, kompor, boiler air panas dan industri,
dan PLTBm.

Gambar 2.4 Pelet Bagas

Pemanfaatan pelet bagas


Bagas (ampas tebu) memiliki kandungan energi dan kualitas bakar tinggi.
Prosedur produksinya: pembelian bahan mentah, pengeringan, peletisasi, dan
pengepakan. Kualitas bahan tergantung kepada periode penanaman. Semua
bahan dapat disimpan secara efisien pada waktunya, kemudian dikeringkan,
dan dipeletisasi. Kandungan air pada tanaman tebu sekitar 20-25%. Pelet
bagas memiliki nilai kalori tinggi 3.400-4.200 kKal (sebelum dipeletisasi
hanya sekitar 1.825kKal, dan bila bagas mentah itu hanya dipanaskan
menggunakan gas buang dari cerobong ketel, kadar air ampas turun 40%, dan
nilai kalor menjadi 2305kKal).

14
3. Kaliandra Merah
Kaliandra merah (KM) merupakan bahan baku terbaik pelet kayu
(4600kkal/kg, arangnya 7.400 kKal/kg) dibandingkan petai Cina, gamal, dan
sengon buton dari sisi laju tumbuh, penyuburan tanah melalui fiksasi nitrogen
dalam tanah, dan berat jenis, sehingga kadar abu dapat lebih rendah.
Lagipula, umur KM dapat mencapai 29 tahun sekali tanam. KM tidak hanya
sebagai bahan baku pelet kayu (1 Ha KM dapat menghasilkan kayu 20-
65m3/tahun), daunnya sebagai pakan ternak (protein tinggi), dan bunganya
sebagai ladang ternak lebah (produksi madu berasal dari nektar bunga KM
terkenal di dunia, 1 Ha KM menghasilkan madu 1 ton/tahun) selama 15 tahun
tanpa perawatan berarti. Ia tumbuh baik di ketinggian 400-600m di atas muka
laut, pH~5, dan sedikit air. Tanaman tersebut sekaligus berfungsi sebagai
tanaman penutup tanah sedang (perdu) (penyubur tanah / konservasi lahan /
penahan erosi di tanah miring) guna menghindari banjir karena akar
tunjangnya menghunjam ke dalam tanah, dan akar halus lainnya yang
memanjang hingga ke permukaan tanah.

Proses Pembuatan Pelet


1. Proses pengeringan
Secara umum, kadar air awal kayu adalah 50%. Perlu untuk
mengeringkan bahan baku ini hingga kadar air mencapai 10-20%
untuk mendapatkan kondisi optimum untuk proses penggilingan dan
pemeletan. Bahan baku dengan ukuran partikel yang besar seharusnya
dikeringkan dengan tanur putar, dan bahan baku dengan ukuran
partikel yang kecil harus dikeringkan dengan menggunakan pengering
kilat.
2. Proses penggilingan
Bahan baku seharusnya digiling berdasarkan ukuran pelet. Untuk
keseluruhan kayu atau limbah ukuran besar, bahan baku harus
dihancurkan terlebih dahulu sebelum proses pengeringan supaya kadar
airnya seragam. Akan tetapi, proses ini tidak diperlukan untuk hal
dimana bahan bakunya adalah jerami padi.
3. Proses pemeletan

15
Penggintil terdiri atas pegumpan, penggulung, dan lumping
sebagaimana disajikan pada Gambar 2.2 menunjukkan diagram
skematik penggintil untuk pellet kayu. Penggintil jenis ini paling
populer di seluruh dunia.
4. Proses pendinginan
Karena pelet yang telah dibuat memiliki suhu yang tinggi dan
mengadung kadar air yang tinggi pula, maka diperlukan proses
pendinginan.
5. Proses penapisan
Pelet yang berkualitas rendah akan dikeluarkan di dalam proses ini dan
akan digunakan sebagai energi untuk pengeringan.
Perbandingan Pelet jerami (terhadap jerami padi) adalah: Kandungan air:
8-10% (15-30%); kadar abu 3% (15-20%); Nilai kalori: 18,5 MJ/kg (13,98
MJ/kg) atau 4422 kKal/kg (3341 kKal/kg). Pembakaran pelet jerami
menghasilkan karbon netral yang dapat digunakan kembali pada pertumbuhan
biomassa berikutnya.
Pembuatan pelet jerami dapat menaikkan densitas curahnya, mengurangi
biaya transpor, kandungan energi menaik (4422kKal/kg), kadar abu rendah
(3%), dan abu pembakaran pelet jerami dapat digunakan sebagai pupuk
mineral untuk pertumbuhan tanaman.

2.3.2 Biodiesel
Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkyl
ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi
bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti
minyak sayur atau lemak hewan.
Sebuah proses dari esterifikasi lipid digunakan untuk mengubah minyak
dasar menjadi ester yang diinginkan dan membuang asam lemak bebas.
Setelah melewati proses ini, tidak seperti minyak sayur langsung, biodiesel
memiliki sifat pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari minyak
bumi, dan dapat menggantikannya dalam banyak kasus. Namun, dia lebih

16
sering digunakan sebagai penambah untuk diesel petroleum, meningkatkan
bahan bakar diesel petrol murni ultra rendah belerang yang rendah pelumas.
Biodiesel dapat dibuat dari berbagai minyak nabati (minyak nabati atau lemak
hewani) melalui proses esterifikasi gliserida atau dikenal dengan proses
alkoholisis.
Ester merupakan suatu senyawa turunan asam karboksilat dimana gugus
hidroksi dari asam karboksilat digantikan oleh gugus alkoksi. Esterifikasi
merupakan rekasi pembentukan ester antara asam karboksilat dan alcohol.
Esterifikasi adalah reaksi ionic yang merupakan kombinasi dari rekasi adisi
dan penyusunan ulang (reaarangement).
Teknik produksi biodiesel yang dilakukan saat ini pada umumnya yaitu
transesterifikasi. Cara ini merupakan teknik yang paling ekonomis karena
proses memerlukan temperature rendah dan tekanan atmosfir (150ºF, 20Psi)
tingkat konversi tinggi (mencapai 98%) dengan waktu rekasi yang cukup
singkat dan reaksi samping yang minimal konversi langsung ke metal ester
(biodiesel) tanpa melalui tahapan intermediate tidak memerlukan konstruksi
yang rumit
Minyak atau lemak direaksikan dengan alcohol seperti methanol, dengan
bantuan katalis. Dari proses ini dihasilkan glycerin dan metal ester
(Biodiesel). Methanol kemudian di-recovery. Katalis yang digunakan
umumnya KOH atau NaOH yang tercampurkan secara baik dalam alcohol.
Tahapan-tahapan proses produksi biodiesel berbahan baku minyak sawit
serta produk sampingnya meliputi :
Penyiapan bahan baku dan reaksi esterifikasi
Bahan baku berupa CPO disiapkan untuk mengkondisikan bahan baku serta
mengurangi tingkat kesulitan pemurnian produk pada proses selanjutnya.
Proses penyiapan bahan baku terdiri dari :
1. Pemanasan untuk mencairkan CPO sekaligus untuk mencapai temperature
operasi reaksi esterifikasi
2. Proses degumming, yakni proses penghilangan pengotor berupa zat-zat
terlarut atau zat-zat yang bersifat koloidal seperti resin, gum, protein dan
fosfatida dalam minyak mentah. Proses degumming biasanya dilakukan

17
dengan beberapa cara yaitu : pemanasan, penambahan asam, penambahan
basa, proses hidrasi atau menggunakan reagen khusus. Proses degumming
dengan menggunakan asam dan pemanasan memiliki kelebihan karena
tidak menyebabkan proses penyabunan asam lemak bebas, yang dapat
menyerapzat lender dan sebagian pigmen. Selain itu, dengan cara ini
kandungan asam lemak bebas dalam CPO tidak akan hilang, bahkan dalam
proses selanjutnya sisa asam tersebut dapat dijadikan katalis pada reaksi
esterifikasi asam lemak bebas yang masih utuh menjadi metal ester,
sehingga perolehan produk lebih banyak. Rekasi esterifikasi tersebut
berlangsung menurut persamaan rekasi berikut ini :

Air yang terbentuk kemudian dihilangkan dengan cara pemanasan hingga


120ºC.

3. Pembuatan katalis sodium metoksida


Bahan baku pembuatan Sodium Metoksida adalah Metanol dan Sodium
Hidroksida (NaOH). Jumlah katalis yang digunakan biasanya 10% berat
minyak yang digunakan.

4. Reaksi Transesterifikasi
Reaksi transesterifikasi berlangsung pada temperature sekitar 60ºC dan
dilakukan selama 4 – 6 jam. Untuk mendapatkan yield yang tinggi, reaksi
transesterifikasi dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, katalis yang
digunakan sebanyak 2/3 bagian katalis total. Sisanya direaksikan dengan
produk hasil reaksi tahap pertama yang dipisahkan gliserolnya.
Produk dari reaksi transesterifikasi sempurna didalam reaktor berupa
cairan yang terpisah menjadi dua lapisan. Lapisan atas merupakan lapisan
metal ester kotor, sedangkan lapisan bawah adalah gliserol kotor. Jika reaksi
belum sempurna, akan ada lapisan ketiga ditengah berupa minyak yang tidak
terkonversi.

18
5. Pemurnian metil ester
Selanjutnya, metil ester yang diperoleh dimurnikan. Proses ini pada
umumnya melalui tahapan recovery methanol dan penghilangan pengotor.
Lapisan metal ester yang mengandung methanol dipanaskan, kemudian uap
methanol dikondensasikan.
Kemudian metil ester dibersihkan untuk menghilangkan sisa katalis dan
kotoran lain seperti sabun. Untuk meningkatkan kemurnian metal ester
dilakukan dua tahap pembersihan, yaitu menggunakan gliserol murni dan
penetralan diikuti dengan pencucian dengan air. Gliserol disemprotkan ke
permukaan metal ester dan karena lebih berat akan turun melewati metal ester
sambil membawa sisa-sisa pengotor. Pada tahap akhir, gliserol dipisahkan
kembali dari metal ester.
Pencucian menggunakan air dilakukan dengan beberapa metode sekaligus,
dimana diharapkan pencucian berlangsung efektif dan biodiesel yang
diperoleh cukup bersih. Metode pencucian tersebut adalah :
1. Menambahkan asam asetat. Dimaksudkan untuk menetralkan biodiesel dan
mengeluarkan sisa sodium. Penambahan asam asetat akan mengurangi
pemakaian air.
2. Menggunakan percikan air bersih. Air yang dipercikkan dipermukaan
biodiesel akan turun sepanjang lapisan biodiesel sambil melarutkan sisa-
sisa katalis dan kotoran
3. Menggunakan metode pengadukan mekanis. Pengadukan dilakukan sekitar
50 – 70 rpm untuk meningkatkan kontak air dengan biodiesel. Setelah
melalui tahap pencucian, metal ester dikeringkan untuk menghilangkan
sisa air pencuci dengan dipanaskan sampai suhu 120ºC. Metil ester kering
kemudian didinginkan sampai temperature dibawah 38ºC agar gliserol
yang masih tersisa membeku. Selanjutnya metal ester disaring dan
dimasukkan ke dalam tangki penyimpanan.
4. Perolehan kembali methanol dan pemurnian gliserol
Larutan gliserol kotor hasil pemisahan, dipanaskan untuk memperoleh
kembali methanol yang ada di dalamnya. Uap Metanol kemudian
dikondensasikan dan disalurkan kembali ke tangki Metanol. Gliserol bebas

19
methanol diencerkan dengan menambahkan 2/3 bagian air bersih, dan
dipanaskan agar sisa asam lemak bebas hasil hidrolisis tersabunkan oleh sisa
NaOH. Ester dari sabun yang terbentuk dikeluarkan dari larutan dengan cara
menambahkan sejumlah garam NaCl. Larutan Gliserin kemudian
ditambahkan H2SO4 dan Aluminium Hidroksida sampai mencapai pH 4,5.
Padatan yang terbentuk kemudian disaring. Larutan dinetralkan dengan
penambahan 50 % larutan NaOH, kemudian didistilasi. Gliserol yang teah
murni (kemurnian > 99,5%) disimpan, dan sebagian dikirim ke unit
pembersihan Biodiesel.

Kelebihan dan Kelemahan Biodiesel


Produksi dan penggunaan BBM alternatif harus segera direalisasikan
untuk menutupi kekurangan terhadap kebutuhan BBM fosil yang semakin
meningkat. Biodiesel dapat dibuat dari bermacam sumber, seperti minyak
nabati, lemak hewani dan sisa dari minyak atau lemak (misalnya sisa minyak
penggorengan). Biodiesel memiliki beberapa kelebihan dibanding bahan
bakar diesel petroleum. Keunggulan Biodiesel :
1. Biodiesel tidak beracun.
2. Biodiesel adalah bahan bakar biodegradable.
3. Biodiesel lebih aman dipakai dibandingkan dengan diesel konvensional.
4. Biodiesel dapat diproduksi secara massal di banyak negara, contohnya
USA yang memiliki kapasitas untuk memproduksi lebih dari 50 juta galon
biodiesel per tahun.
5. Produksi dan penggunaan biodiesel melepaskan lebih sedikit emisi
dibandingkan dengan diesel konvensional, sekitar 78% lebih sedikit
dibandingkan dengan diesel konvensional.
6. Biodiesel memiliki sifat pelumas yang sangat baik, secara signifikan lebih
baik daripada bahan bakar diesel konvensional, sehingga dapat
memperpanjang masa pakai mesin.
7. Biodiesel tidak memiliki kandungan sulfur, sehingga tidak memberikan
kontribusi terhadap pembentukan hujan asam.

20
Kelemahan Biodiesel:
1. Biodiesel saat ini sebagian besar diproduksi dari jagung yang dapat
menyebabkan kekurangan pangan dan meningkatnya harga pangan. Hal
ini bisa memicu meningkatnya kelaparan di dunia.
2. Biodiesel 20 kali lebih rentan terhadap kontaminasi air dibandingkan
dengan diesel konvensional, hal ini bisa menyebabkan korosi, filter
rusak, pitting di piston, dll.
3. Biodiesel secara signifikan lebih mahal dibandingkan dengan diesel
konvensional.
4. Biodiesel memiliki kandungan energi yang jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan diesel konvensional, sekitar 11% lebih sedikit
dibandingkan dengan bahan bakar diesel konvensional.
5. Biodiesel dapat melepaskan oksida nitrogen yang dapat mengarah pada
pembentukan kabut asap.
6. Biodiesel, meskipun memancarkan emisi karbon yang secara signifikan
lebih aman dibandingkan dengan diesel konvensional, masih
berkontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.

2.3.3 Bioetanol
Ethanol merupakan senyawa Hidrokarbon dengan gugus Hydroxyl (-
OH) dengan 2 atom karbon (C) dengan rumus kimia C2H5OH. Secara umum
Ethanol lebih dikenal sebagai Etil Alkohol berupa bahan kimia yang
diproduksi dari bahan baku tanaman yang mengandung karbohidrat (pati)
seperti ubi kayu,ubi jalar,jagung,sorgum,beras,ganyong dan sagu yang
kemudian dipopulerkan dengan nama Bioethanol. Bahan baku lain-nya adalah
tanaman atau buah yang mengandung gula seperti tebu, nira, buah mangga,
nenas, pepaya, anggur, lengkeng, dll. Bahan berserat (selulosa) seperti
sampah organik dan jerami padi pun saat ini telah menjadi salah satu
alternatif penghasil ethanol. Bahan baku tersebut merupakan tanaman pangan
yang biasa ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia,sehingga jenis
tanaman tersebut merupakan tanaman yang potensial untuk dipertimbangkan
sebagai sumber bahan baku pembuatan bioethanol. Namun dari semua jenis

21
tanaman tersebut, ubi kayu merupakan tanaman yang setiap hektarnya paling
tinggi dapat memproduksi bioethanol. Selain itu pertimbangan pemakaian ubi
kayu sebagai bahan baku proses produksi bioethanol juga didasarkan pada
pertimbangan ekonomi. Pertimbangan ke-ekonomian pengadaan bahan baku
tersebut bukan saja meliputi harga produksi tanaman sebagai bahan baku,
tetapi juga meliputi biaya pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan
bahan baku, dan biaya bahan baku untuk memproduksi setiap liter ethanol.
Secara umum ethanol biasa digunakan sebagai bahan baku industri
turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi,
kosmetika dan kini sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor.
Mengingat pemanfaatan ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol
yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk
ethanol yang mempunyai grade 90-95% biasa digunakan pada industri,
sedangkan ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 95-99% atau disebut
alkohol teknis dipergunakan sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar
industri farmasi. Sedangkan grade ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan
sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan bermotor harus betul-betul
kering dan anhydrous supaya tidak menimbulkan korosif, sehingga
ethanol/bio-ethanol harus mempunyai grade tinggi antara 99,6-99,8 % (Full
Grade Ethanol = FGE). Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh terhadap
proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.

Proses Produksi Bioethanol


Produksi ethanol/bioethanol (atau alkohol) dengan bahan baku
tanaman yang mengandung pati atau karbohydrat, dilakukan melalui proses
konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.
Glukosa dapat dibuat dari pati-patian, proses pembuatannya dapat
dibedakan berdasarkan zat pembantu yang dipergunakan, yaitu Hydrolisa
asam dan Hydrolisa enzyme. Berdasarkan kedua jenis hydrolisa tersebut, saat
ini hydrolisa enzyme lebih banyak dikembangkan, sedangkan hydrolisa asam
(misalnya dengan asam sulfat) kurang dapat berkembang, sehingga proses
pembuatan glukosa dari pati-patian sekarang ini dipergunakan dengan

22
hydrolisa enzyme. Dalam proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa)
larut air dilakukan dengan penambahan air dan enzyme; kemudian dilakukan
proses peragian atau fermentasi gula menjadi ethanol dengan menambahkan
yeast atau ragi. Reaksi yang terjadi pada proses produksi ethanol/bio-ethanol
secara sederhana ditujukkan pada reaksi 1 dan 2.

H2O (C6H10O5)n n C6H12O6 (1)


Enzim
(Pati) (glukosa)
(C6H12O6)n 2 C2H5OH + 2CO2 (2)
Yeast (ragi) (Glukosa) (etanol)

Selain ethanol/bioethanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman


yang mengandung pati atau karbohydrat, juga dapat diproduksi dari bahan
tanaman yang mengandung selulosa (mis: jerami padi), namun dengan
adanya lignin mengakibatkan proses penggulaannya menjadi lebih sulit,
sehingga pembuatan ethanol/bioethanol dari selulosa sementara ini tidak kami
rekomendasikan. Meskipun teknik produksi ethanol/bioethanol merupakan
teknik yang sudah lama diketahui, namun ethanol/bioethanol untuk bahan
bakar kendaraan memerlukan ethanol dengan karakteristik tertentu yang
memerlukan teknologi yang relatif baru di Indonesia antara lain mengenai
neraca energi (energy balance) dan efisiensi produksi, sehingga penelitian
lebih lanjut mengenai teknologi proses produksi ethanol masih perlu
dilakukan.
Secara singkat teknologi proses produksi ethanol/bioethanol tersebut
dapat dibagi dalam 5 tahap, yaitu Persiapan Bahan Baku, Liquefikasi dan
Sakarifikasi, Fermentasi, Distilasi, dan Dehidrasi.

Persiapan Bahan Baku


Bahan baku untuk produksi biethanol bisa didapatkan dari berbagai
tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal Tebu
(sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung

23
seperti jagung (corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum) disamping
bahan lainnya. Persiapan bahan baku beragam bergantung pada jenis bahan
bakunya, sebagai contoh kami menggunakan bahan baku Singkong (ubi kayu).
Singkong yang telah dikupas dan dibersihkan dihancurkan untuk memecahkan
susunan tepungnya agar bisa berinteraksi dengan air secara baik.

Penghancuran Singkong Pemasakan bahan baku


Gambar 2.5 Treatment Bahan Baku Bioetanol Sebelum Diolah

Liquifikasi dan Sakarifikasi


Kandungan karbohidrat berupa tepung atau pati pada bahan baku
singkong dikonversi menjadi gula komplex menggunakan Enzym Alfa
Amylase melalui proses pemanasan (pemasakan) pada suhu 90 derajat celcius
(hidrolisis). Pada kondisi ini tepung akan mengalami gelatinasi (mengental
seperti Jelly). Pada kondisi optimum Enzym Alfa Amylase bekerja
memecahkan struktur tepung secara kimia menjadi gula komplex (dextrin).
Proses Liquifikasi selesai ditandai dengan parameter dimana bubur yang
diproses berubah menjadi lebih cair seperti sup. Sedangkan proses
Sakarifikasi (pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana) melibatkan
tahapan sebagai berikut :
- Pendinginan bubur sampai mencapai suhu optimum Enzym Glukosa
Amylase bekerja.
- Pengaturan pH optimum enzim.
- Penambahan Enzym Glukosa Amilase secara tepat dan mempertahankan
pH serta temperatur pada suhu 60 derajat celcius hingga proses

24
Sakarifikasi selesai (dilakukan dengan melakukan pengetesan kadar gula
sederhana yang dihasilkan).

Gambar 2.6 Liquifikasi dan Sakarifikasi

Fermentasi
Pada tahap ini, tepung telah telah berubah menjadi gula sederhana
(glukosa dan sebagian fruktosa) dengan kadar gula berkisar antara 5 hingga
12 %. Tahapan selanjutnya adalah mencampurkan ragi (yeast) pada cairan
bahan baku tersebut dan mendiamkannya dalam wadah tertutup (fermentor)
pada kisaran suhu optimum 27 s/d 32 derajat celcius selama kurun waktu 5
hingga 7 hari (fermentasi secara anaerob). Keseluruhan proses membutuhkan
ketelitian agar bahan baku tidak terkontaminasi oleh mikroba lainnya.
Dengan kata lain,dari persiapan baku,liquifikasi,sakarifikasi,hingga
fermentasi harus pada kondisi bebas kontaminan. Selama proses fermentasi
akan menghasilkan cairan etanol/alkohol dan CO2.
Hasil dari fermentasi berupa cairan mengandung alkohol/ethanol berkadar
rendah antara 7 hingga 10 % (biasa disebut cairan Beer). Pada kadar ethanol max 10
% ragi menjadi tidak aktif lagi,karena kelebihan alkohol akan beakibat racun bagi
ragi itu sendiri dan mematikan aktifitasnya.

Gambar 2.7 Fermentasi bahan baku bioethanol

25
Distilasi
Distilasi atau lebih umum dikenal dengan istilah penyulingan
dilakukan untuk memisahkan alkohol dalam cairan beer hasil fermentasi.
Dalam proses distilasi, pada suhu 78 derajat celcius (setara dengan titik didih
alkohol) ethanol akan menguap lebih dulu ketimbang air yang bertitik didih
95 derajat celcius. Uap ethanol didalam distillator akan dialirkan kebagian
kondensor sehingga terkondensasi menjadi cairan ethanol. Kegiatan
penyulingan ethanol merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses
produksi bioethanol.

Dehidrasi
Hasil penyulingan berupa ethanol berkadar 95 % belum dapat larut
dalam bahan bakar bensin. Untuk substitusi BBM diperlukan ethanol
berkadar 99,6-99,8 % atau disebut ethanol kering. Dalam proses pemurnian
ethanol 95 % akan melalui proses dehidrasi (distilasi absorbent)
menggunakan beberapa cara,antara lain : 1. Cara Kimia dengan menggunakan
batu gamping 2. Cara Fisika ditempuh melalui proses penyerapan
menggunakan Zeolit Sintetis 3 angstrom. Hasil dehidrasi berupa ethanol
berkadar 99,6-99,8 % sehingga dapat dikatagorikan sebagai Full Grade
Ethanol (FGE),barulah layak digunakan sebagai bahan bakar motor sesuai
standar Pertamina. Alat yang digunakan pada proses pemurnian ini disebut
Dehidrator.

Gambar 2.8 Proses penyulingan ethanol dengan alat konvensional

Hasil samping penyulingan ethanol

26
Akhir proses penyulingan (distilasi) ethanol menghasilkan limbah padat
(sludge) dan cair (vinase). Untuk meminimalisir efek terhadap pencemaran
lingkungan, limbah padat dengan proses tertentu dirubah menjadi pupuk
kalium,bahan pembuatan biogas,kompos,bahan dasar obat nyamuk bakar dan
pakan ternak. Sedangkan limbah cair diproses menjadi pupuk cair. Dengan demikian
produsen bioethanol tidak perlu khawatir tentang isu berkaitan dengan dampak
lingkungan.

Limbah cair (Vinase)


Limbah padat (sludge)
Gambar 2.9 Limbah Hasil Pemuatan Bioetanol

Manfaat Bioetanol
Manfaat bioetanol sendiri dalam kehidupan sehari-hari adalah
sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan karena memiliki
bilangan oktan yang cukup tinggi, selain itu juga bioetanol dijadikan sebagai
bahan baku beralkohol. Adapun manfaat bioetanol yang lainnya adalah:
· Sebagai bahan bakar kendaraan
· Sebagai bahan dasar minuman beralkohol
· Sebagai bahan kimia dasar senyawa organik
· Sebagai bahan bakar roket
· Sebagai antiseptik
· Sebagai antidote beberapa racun
· Sebagai pelarut untuk parfum, cat dan larutan obat.

Keunggulan dan Kelemahan Bahan Bakar Etanol


Seperti semua bahan bakar lainnya, bahan bakar etanol juga memiliki
keunggulan dan kelemahan yang akan dibahas di artikel ini. Salah satu
keunggulan bahan bakar etanol yang paling jelas adalah bahan bakar etanol
merupakan sumber energi terbarukan, yang berarti bahwa bahan bakar etanol
tidak terbatas seperti bahan bakar fosil.

27
Negara yang menggunakan etanol akan mengurangi
ketergantungannya pada impor minyak asing, dan juga mengurangi efek
harga minyak yang tak stabil. Produksi etanol dalam jumlah besar di dalam
negeri akan memastikan bahwa uang akan tetap berputar di dalam negeri dan
bukannya dibelanjakan pada minyak asing yang mahal. Tentu saja
peningkatan produksi etanol dalam negeri juga akan menciptakan lebih
banyak pekerjaan, dan juga sangat mungkin akan menurunkan harga bahan
bakar.
Pembakran etanol lebih bersih daripada bahan bakar fosil yang berarti
mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini merupakan keuntungan etanol
yang paling signifikan bagi lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar
fosil.
Bahan bakar etanol juga memiliki kelemahan dan fakta bahwa sebagian
besar produksi etanol berasal dari tanaman pangan memiliki potensi untuk
meningkatkan harga pangan dan bahkan menyebabkan kekurangan pangan.
Isu bahan bakar vs makanan adalah bahan perdebatan utama, karena dengan
adanya peningkatan penggunaan etanol maka banyak lahan yang akan
dipergunakan untuk memproduksi etanol, bukan untuk menghasilkan
makanan, dan ini akan menyebabkan kekurangan jumlah pangan yang diikuti
dengan peningkatan harga pangan, dan kemungkinan akan menghasilkan
lebih banyak masalah kelaparan di dunia.
Etanol menghasilkan energi per satuan volume lebih rendah dibandingkan
dengan bensin. Etanol juga cenderung sangat korosif karena dapat dengan
mudah menyerap air dan kotoran. Tanpa sistem penyaringan yang tepat,
etanol dapat menyebabkan korosi di dalam blok mesin terjadi dengan cepat.
Saat kompresi, mesin yang didesain untuk etanol murni memiliki efisiensi
bahan bakar 20-30% lebih rendah dibandingkan mesin yang didesain untuk
bensin murni. Mesin yang menggunakan campuran etanol tinggi akan
menjadi masalah saat cuaca dingin (musim dingin).
Selain itu, beberapa keunggulan yang dapat diperoleh dari bioethanol
adalah sebagai berikut:

28
1. Nilai oktan yang tinggi menyebabkan campuran bahan bakar terbakar tepat
pada waktunya sehingga tidak menyebabkan fenomena knocking.
2. Emisi gas buang tidak begitu berbahaya bagi lingkungan salah satunya gas
CO2 yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan untuk proses
fotosintesa serta emisi NO yang rendah
3. Efisiensi tinggi dibanding bensin

Selain memiliki keunggulan yang begitu banyak bioethanol ini pun


terdapat kelemahan, kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya:
1. Memerlukan modifikasi mesin jika ingin menggunakan bioethanol murni
pada kendaraan
2. Bisa terjadi kemungkinan ethanol mengeluarkan emisi polutan beracun.
Kelebihan bioetanol dibanding minyak tanah adalah api berwarna biru
sehingga tidak menghanguskan alat masak. Bahan bakar dari bioetanol
juga tidak berbau dan mudah dipadamkan dengan air.

Hambatan-hambatan yang mempengaruhi pengembangan bioetanol


1. Industri non-energi juga membutuhkan bioetanol
Menurut Kepala Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar
Nabati, Alhilal Hamdi(dalam Market Intelligence Report On
Perkembangan Industri Biofuel di Indonesia) menyatakan, keterbatasan
salah satu bahan baku utama biofuel, yaitu etanol untuk memenuhi
kebutuhan bahan bakar menjadi kendala utama. Etanol yang tersedia, jadi
rebutan dengan dengan industri lain. Etanol di Indonesia juga digunakan
untuk industri alkohol atau industri lain seperti rokok, kosmetik dan
plastik.

2. Harga yang Belum Bersaing


Biaya produksi biofuel seperti biodiesel berkisar antara Rp. 8000 –
Rp. 10000, sementara biaya produksi bioetanol melebihi biodiesel. Hal ini

29
mengakibatkan bioetanol kalah bersaing dengan BBM bersubsidi.
Disamping itu proses pembuatan biodiesel yang menggunakan unit
destilasi juga memerlukan energi yang besar sehingga modal yang
diperlukan untuk biaya produksi pun meningkat.
Terlebih lagi, apabila industri ingin mengekspor bioetanol ke
negara lain, pajak impor yang ditetapkan sangat besar, yakni 30%. Hal ini
yang menyebabkan pasar bioetanol sepi peminat.

3. Efisiensi produksi bioetanol


Menurut Agus Haryono, Koordinator Proyek Kerja Sama Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Korea International
Cooperation Agency (Koica) dalam pengembangan pabrik bioetanol
generasi kedua, meneliti bahwa efisiensi kerja enzim dalam fermentasi
bahan baku menjadi bioetanol perlu ditingkatkan, karena enzim hanya
mampu menghasilkan kadar bioetanol sebesar 6% saja. Disamping itu,
kemurnian bioetanol harus dijaga kualitasnya, hal ini berpengaruh
terhadap performa mesin kendaraan dimana kandungan air yang terdapat
pada bioetanol dapat menyebabkan korosi pada mesin kendaraan.

4. Bahan baku bietanol untuk energi atau pangan


Tebu merupakan bahan baku bioetanol yang paling potensial
digunakan. Namun, tidak seperti Brazil yang memiliki luas daratan yang
besar. Indonesia adalah negra kepulauan, sehingga keterbatasan lahan
menjadi kendala. Disamping itu, komoditas tebu di Indonesia lebih
cenderung dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gula pasir sebagai
bahan pangan.

Solusi-solusi strategis untuk meningkatkan pengembangan bietanol


Strategi yang dapat diambil agar bioetanol dapat bertahap digunakan
sebagai bahan bakar pengganti bensin antara lain:
- Menghapus atau mengurangi subsidi premium sampai harga bioetanol
dapat bersaing dipasaran

30
- Meningkatkan subsidi bioetanol dibarengi dengan pengurangan subsidi
premium
- Melakukan budidaya tanaman-tanaman sebagai bahan baku bioetanol yang
tidak bersaing dengan pangan dan memperluas wilayahnya
Disamping itu, pemerintah harus konsisten melaksanakan kebijakan
terkait bioetanol agar pemanfaatan energi terbarukan ini bisa berjalan dengan
optimal dan dapat menjaga ketahanan energi Indonesia di masa depan.

2.3.4 Biogas
Biogas merupakan teknologi pembentukan energi dengan
memanfaatkan limbah, seperti limbah pertanian, limbah peternakan, dan
limbah manusia. Selain menjadi energi alternatif, biogas juga dapat
mengurangi permasalahan lingkungan, seperti polusi udara dan tanah.
Misalnya, seekor sapi potong yang berbobot 400―500 kg/ekor
menghasilkan kotoran ternak segar sebanyak 20―29 kg/harinya. Bisa
dibayangkan berapa banyak limbah yang dihasilkan dari sebuah peternakan
yang mengelola puluhan sampai ratusan ekor sapi potong. Kondisi tersebut
sebenarnya merupakan peluang usaha untuk dijadikan bahan baku pembuatan
biogas. Hasil dari pembuatan biogas dapat dijadikan sumber energi serta sisa
keluaran berupa lumpur (sludge) dapat dijadikan pupuk siap pakai sehingga
dapat menambah penghasilan bagi
peternak sapi itu sendiri.

1. Prinsip Dasar Biogas


Prinsip dasar teknologi biogas adalah proses penguraian bahan-
bahan organik oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa udara (anaerob)
untuk menghasilkan campuran dari beberapa gas, di antaranya metan dan
CO2. Biogas dihasilkan dengan bantuan bakteri metanogen atau
metanogenik. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang
mengandung bahan organik, seperti limbah ternak dan sampah organik.
Proses tersebut dikenal dengan istilah anaerobic digestion atau pencernaan
secara anaerob. Umumnya, biogas diproduksi menggunakan alat yang
disebut reaktor biogas (digester) yang dirancang agar kedap udara

31
(anaerob), sehingga proses penguraian oleh mikroorganisme dapat berjalan
secara optimal. Berikut beberapa keuntungan yang dihasilkan dari digester
anaerob:
a). Keuntungan Pengolahan Limbah
1. Digunakan untuk proses pengolahan limbah yang alami.
2. Lahan yang dibutuhkan lebih kecil dibandingkan dengan lahan untuk
proses kompos.
3. Memperkecil rembesan polutan.
4. Menurunkan volume limbah yang dibuang.

b). Keuntungan Energi


1. Menghasilkan energi yang bersih.
2. Bahan bakar yang dihasilkan berkualitas tinggi dan dapat diperbaharui.
3. Biogas yang dihasilkan dapat digunakan untuk berbagai penggunaan.

c). Keuntungan Lingkungan


1. Mengurangi polusi udara.
2. Memaksimalkan proses daur ulang.
3. Pupuk yang dihasilkan bersih dan kaya nutrisi.
4. Menurunkan emisi gas metan dan CO2 secara signifikan.
5. Memperkecil kontaminasi sumber air karena dapat menghilangkan
bakteri Coliform sampai 99%.

d). Keuntungan Ekonomi


Ditinjau dari siklus ulang proses, digester anaerobik lebih
ekonomis dibandingkan dengan proses lainnya.

2. Potensi dan Sumber Bahan Baku Biogas


Sumber bahan baku biogas dapat berasal dari berbagai limbah yakni :

a). Biogas dari Limbah Peternakan

32
Sektor peternakan skala usaha kecil umumnya dilakukan masyarakat
pedesaan dengan memelihara 2―5 ekor ternak. Sementara itu peternak skala
usaha besar biasanya memelihara puluhan sampai ratusan ternak secara
intensif.

Tabel 2.1 Produksi Kotoran Ternak


Jenis Bobot Ternak Produksi KTS (kg/hari)
Ternak Kg/ekor

Sapi potong 400-500 20-29


Sapi perah 500-600 30-50
Ayam petelur 1,5-2,0 0,1
Ayam pedaging 1,0-1,5 0,06
Babi dewasa 80-90 7
Domba 30-40 2

Keterangan : KTS (Kotoran Ternak Segar)


Sumber: United Nations (1984)

Namun, berkembangnya usaha sektor peternakan menghasilkan


limbah berupa kotoran ternak yang cukup banyak, sehingga dapat
menimbulkan bau yang dapat mengakibatkan polusi udara dan dapat
mengganggu kesehatan manusia. Karena, gas metana yang dihasilkan
memiliki potensi pemanasan global 21 kali lebih tinggi dibandingkan gas

Tabel 2.2 Produksi Gas


Jenis Kotoran Produksi Gas per Kg Kotoran (m3)

Sapi/kerbau 0,023-0,040
Babi 0,040-0,059
Ayam 0,065-0,116
Manusia 0,020-0,028

Sumber: Chengdu Biogas Research Institut (1989)

33
Limbah peternakan seperti kotoran padat dan cair dapat dijadikan
bahan baku biogas yang akan menghasilkan energi dan pupuk organik.
Umumnya, kebutuhan energi untuk memasak satu keluarga rata-rata 2000
liter per hari, sedangkan produksi biogas dari seekor sapi berkisar 600―1000
liter biogas per hari. Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan energi
untuk memasak satu keluarga dibutuhkan 2—3 ekor sapi

b). Biogas dari Limbah Pertanian


Pertanian merupakan salah satu sektor usaha yang turut
mendukung perekonomian di Indonesia. Sama seperti sektor peternakan,
lahan pertanian yang cukup luas juga menghasilkan limbah yang tidak
sedikit. Tanaman padi yang merupakan komoditas pangan utama dapat
menghasilkan limbah berupa jerami sekitar 3,0―3,7 ton/ha. Biasanya,
limbah pertanian diatasi dengan cara dibakar dan ditimbun.
Padahal, cara tersebut dapat merugikan petani dan lingkungan
sekitar. Karena, pembakaran yang dilakukan dapat menghasilkan gas CO2
yang berbahaya bagi kesehatan petani. Sementara itu, penimbunan limbah
di dalam tanah, dapat menjadi faktor penyebab penyakit bagi pertanaman
selanjutnya. Salah satu pola pengelolaan limbah yang tepat agar limbah
tersebut dapat dimanfaatkan yaitu dengan cara mengolah limbah menjadi
biogas. Biogas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh petani sebagai
sumber energi, sedangkan hasil sampingan berupa pupuk organik dapat
dimanfaatkan untuk pertanaman selanjutnya.

c). Biogas dari Limbah Perairan


Hasil perairan yang sampai saat ini dimanfaatkan hanya sebatas
kekayaan ikan saja. Padahal, masih banyak sumber daya air lain yang
dapat dimanfaatkan seperti rumput laut, alga, dan eceng gondok.
Rumput laut merupakan salah satu komoditas unggulan perairan.
Jumlahnya di perairan Indonesia meningkat setiap tahunnya, namun
pemanfaatannya baru sebagian kecil dan belum menyeluruh. Rumput laut
memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena mengandung banyak manfaat.

34
Jenis rumput laut yang berpotensi dijadikan bahan baku biogas adalah
Euchema cottoni karena memiliki imbangan C/N (43,98) yang dapat
digunakan untuk pembuatan biogas. Selain rumput laut, jenis tumbuhan air
yang dapat dimanfaatkan yaitu eceng gondok
(Eichhornia crassipes). Tumbuhan air yang mengapung ini sering
dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan karena
memiliki tingkat kecepatan tumbuh yang tinggi. Karena itu, ketersediaan
eceng gondok yang melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal
dapat dijadikan bahan baku pembuatan biogas.

d). Biogas dari Limbah Industri


Saat ini, agroindustri di Indonesia telah banyak berkembang.
Berbagai hasil pertanian seperti kelapa sawit, tebu, singkong, dan kedelai
diolah menjadi produk yang lebih tinggi nilainya. Umumnya, proses
pengolahan hasil pertanian ini akan menghasilkan limbah sebagai produk
sampingan. Karena itu, untuk mencegah pencemaran dan kerusakan
lingkungan, agroindustri harus diikuti dengan pengolahan lmbah yang
baik. Salah satu pengolahan limbah yang saat ini dikembangkan yaitu
biogas. Pengolahan limbah industri menggunakan teknologi biogas dapat
menghasilkan energi yang dapat dijadikan bahan bakar pengganti solar
sehingga dapat mengurangi biaya produksi.
Pabrik tapioka dan pabrik gula termasuk penghasil limbah organik
yang berpotensi memproduksi biogas. Limbah yang dihasilkan dari pabrik
tapioka berupa limbah padat dan limbah cair. Selain limbah tapioka,
potensi pemanfaatan tongkol jagung menjadi biogas juga terbilang besar.
Karena, selama ini tongkol jagung sisa pakan ternak dibuang begitu saja,
sehingga menjadi limbah. Berdasarkan struktur organnya, tongkol jagung
merupakan bagian dari organ betina tempat bulir-bulir jagung menempel.
Organ itulah yang dapat diolah menjadi biogas. Tongkol jagung dapat
dimanfaatkan sebagai biogas karena memiliki kandungan senyawa

35
selulosa sebesar 41% dan hemiselulosa sebanyak 36%. Kedua bahan itu
dapat diubah menjadi biogas.

e). Biogas dari Limbah Sampah Organik


Sampah merupakan salah satu masalah lingkungan yang sampai
saat ini belum dapat ditangani dengan tepat dan cepat. Kemampuan
pengelola kebersihan dalam menangani sampah belum seimbang dengan
akumulasi sampah yang dihasilkan. Padahal, sampah yang tidak dikelola
dengan baik dapat menurunkan etika dan estetika lingkungan,
menimbulkan bau tidak sedap, dapat menjadi tempat berkembangnya
berbagai macam penyakit, dan dapat memicu pemanasan global.
Pengolahan sampah yang benar mensyaratkan adanya keterpaduan dari
berbagai aspek, mulai dari hulu sampai hilir. Di tempat yang
pengolahannya terpadu, tiap jenis sampah ditempatkan sesuai dengan
jenisnya, sehingga bak sampah yang digunakan ada dua macam, sampah
organik dan sampah anorganik. Pemisahan ini memudahkan dalam
pengelolaan sampah selanjutnya. Sampah organik dapat dijadikan bahan
untuk pembuatan biogas dan pupuk organik. Sementara itu, sampah
anorganik dapat didaur ulang, sehingga menambah nilai guna seperti
dijadikan bahan kerajinan tangan.

f). Biogas dari Limbah Kotoran Manusia


Limbah lain yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan
biogas berasal dari kotoran manusia. Kandungan nutrisi kotoran manusia
tidak jauh berbeda dibanding dengan kotoran ternak. Kotoran manusia
memiliki keunggulan dari segi nutrisi, dimana imbangan C dan N jauh
lebih rendah daripada kotoran ternak.

3. Pemanfaatan Biogas
Berkembangnya usaha pemanfaatan limbah menjadi biogas turut
mengembangkan beragam alat instalasi biogas, seperti kompor biogas, rice
cooker, lampu biogas, pompa air, traktor pertanian, dan alat pasteurisasi

36
yang dimodifikasi agar sesuai dengan penggunaan biogas. Alat tersebut
fungsinya sama dengan yang terdapat di pasaran, hanya saja bahan bakar
yang digunakan berbeda dan sama mudahnya dalam penggunaan.

4. Pemanfaatan Hasil Samping Biogas


Biogas memang pilihan yang tepat untuk dijadikan sebagai energi
alternatif. Selain murah, biogas juga sangat ramah lingkungan. Limbah
yang dihasilkan selama proses produksi biogas juga masih dapat
dimanfaatkan. Hasil samping biogas yang berupa lumpur atau yang lebih
dikenal dengan sebutan sludge mengandung banyak unsur hara yang dapat
dimanfaatkan menjadi pupuk untuk tanaman.
Pupuk organik yang dihasilkan dari alat keluaran biogas sudah
dapat digunakan dan berkualitas prima. Kandungan unsur haranya yang
tinggi sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan memperbaiki
sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Proses pembuatan pupuk organik
dengan memanfaatkan hasil keluaran biogas ini lebih efisien dibandingkan
dengan pembuatan kompos yang memerlukan lahan yang lebih luas serta
proses yang lebih lama. Selain itu, digester yang didesain kedap udara juga
mengurangi tingkat kegagalan proses dekomposisi sehingga pupuk organik
yang dihasilkan berkualitas maksimal.

Keberhasilan Kegiatan Pengembangan Biogas dipengaruhi beberapa faktor :


1. Sumber Daya Manusia
a. Dalam pnerapan memerlukan SDM yang terampil. Untuk itu perlu
pelatihan dan pendampingan , sehingga pengguna terampil dalam
pengoperasian digester dan mampu mengatasi hambatan
b. Bila Biogas dan pupuk diposisikan sebagai sumber pendapatan,
Pengguna harus dilatih bagaimana membangun kelembagaan,
membina jaringan dan kewirausahaan.
2. Pemasaran dan Promosi
a. Pesaing utama biogas adalah minyak tanah, kayu bakar dan biomass
lainnya.

37
b. Agar masyarakat tertarik menggunakan biogas , berbagai kegiatan
yang perlu dilakukan yakni pemasaran dan promosi terutama oleh
pemerintah.
3. Sosial Budaya
a. Kotoran masih dianggap sesuatu yang menjijikan dan belum
dimanfaatkan terutama sebagai bahan biogas
b. Persepsi ini perlu dihapus secara perlahan, Kotoran ternak memiliki
nilai ekonomi, baik sebagai energi maupun pupuk organik yang
potensial sebagai pendapatan tambahan peternak.
c. Kebijakan pemerintah yang jelas dan konsisten terutama dalam
penyediaan anggaran yang memadai pada tahap pemasyarakatan
biogas.

2.4 Manfaat Penggunaan Biomassa


Meskipun energi dari biomassa umumnya tidak kompetitif dari segi biaya
jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil dengan teknologi dan kondisi pasar
saat ini, namum produksi biomassa untuk bahan baku dan energi akan
menghasilkan berbagai manfaat. Manfaat-manfaat ini beragam, namun beberapa
manfaat yang signifikan adalah mengimbangi emisi gas rumah kaca dari
pembakaran bahan bakar fosil, menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan
melalui pengembangan industri baru dan pemanfaatan bahan baku lokal serta
meningkatkan keamanan energi dengan mengurangi ketergantungan terhadap
barang impor. Namun, pemahaman terhadap nilai dari semua manfaat yang
disebutkan di atas masih belum dapat ditentukan jika dibandingkan dengan biaya
biomassa dan biaya produksi bioenergi. Penilaian terhadap manfaat-manfaat ini
akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai daya saing
biomassa dan bioenergi, dan dapat memberikan implikasi yang jelas terhadap

38
perkembangan bioenergi dan perumusan kebijakan yang terkait.

2.4.1. Deplesi minyak bumi


Sumber daya hutan dan batu bara sangat melimpah dan cukup untuk
memenuhi permintaan energi. Akan tetapi, akibat kreativitas manusia yang
melebihi harapan, diperlukan teknologi berbasis batu bara dan minyak bumi untuk
menghasilkan energi yang lebih efisien. Cadangan minyak bumi dunia
diperkirakan sebanyak 2000 miliar barel. Konsumsi global per hari adalah sekitar
71,7 juta barel. Diperkirakan sekitar 1000 milyar barel telah digunakan dan hanya
tersisa 1000 miliar barel cadangan minyak bumi di seluruh dunia (Asifa dan
Muneer,2007). Harga bensin dan bahan bakar yang lain akan meningkat seiring
dengan efek ekonomi yang buruk sehingga manusia akan beralih ke alternatif lain
selain bahan bakar fosil.
Peningkatan penggunaan biomassa akan memperpanjang umur pasokan
minyak mentah yang semakin berkurang. Carpentieri et al. (2005) menunjukkan
manfaat lingkungan yang penting dari pemanfaatan biomassa dalam hal
pengurangan pasokan sumber daya alam.

2.4.2. Pemanasan global


Peningkatan laju emisi gas rumah kaca seperti CO secara global
menimbulkan ancaman terhadap iklim dunia. Berdasarkan perkiraan pada tahun
2000, lebih dari 20 juta ton metrik CO diperkirakan akan dilepaskan ke atmosfer
setiap tahun (Saxena et al., in press ). Jika tren ini berlanjut, diperkirakan bencana
alam yang ekstrem seperti hujan lebat yang mengakibatkan banjir, kekeringan
atau ketidakseimbangan lokal mungkin terjadi. Biomassa merupakan sumber netral
karbon dalam siklus hidupnya dan merupakan penyumbang utama terhadap efek
rumah kaca. Biomassa merupakan sumber energi keempat terbesar di dunia setelah
batu bara, minyak bumi, dan gas alam serta berkontribusi kepada hampir 14%
konsumsi energi primer dunia (Saxena et al. , in press ). Biomass saat ini dianggap
sebagai sumber energi yang penting di seluruh dunia.
Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari konsumsi energi, beberapa
alternatif kebijakan seperti pajak emisi dan izin pembebasan perdagangan telah

39
diajukan. Kebijakan mitigasi ini akan membantu untuk meningkatkan manfaat
persaingan energi biomassa terhadap bahan bakar fosil karena biomassa dapat
menggantikan emisi CO yang dilepaskan oleh bahan bakar fosil. Akan tetapi, telah
dipahami dengan baik bahwa konversi biomassa ke bioenergi membutuhkan input
energi tambahan, biasanya dari bahan bakar fosil itu sendiri. Siklus hidup
keseimbangan energi biomassa harus positif jika dibandingkan dengan bahan bakar
fosil yang lazim, tetapi bergantung pada jenis proses, permintaan kumulatif energi
fosil terkadang hanya sedikit lebih rendah atau bahkan terkadang lebih tinggi dari
apa yang diperlukan oleh bahan bakar fosil cair. Sistem bioenergi seharusnya
dibandingkan dengan sistem bahan bakar berdasarkan dasar siklus hidup atau
menggunakan LCA.

2.4.3. Perbaikan taraf hidup


Karena bidang pertanian sangat penting untuk ekonomi yang sedang
berkembang, maka diharapkan pertanian yang berkelanjutan akan meningkatkan
taraf hidup petani disamping pendapatan mereka. Pendidikan masyarakat juga
sangat penting karena tingkat literasi di daerah pedesaan untuk negara
berkembang tidak terlalu tinggi. Dalam hal ini, maka penting untuk
menyediakan informasi yang akurat tentang teknologi ini kepada para petani. Apa
yang dianggap penting dari segi pemanfaatan biomassa oleh para petani adalah
kemudahan untuk mengakses tanaman biomassa atau tempat pengumpulan
biomassa. Meskipun para petani memiliki atau menghasilkan bahan baku
biomassa, hal ini sangat sia-sia jika tidak ada akses ke tempat dimana biomassa
tersebut diproduksi.

2.4.4. Peningkatan pendapatan petani


Ada 2 cara utama untuk membantu para petani (The Japan Institute
of Energi, 2007). Salah satu cara adalah dengan memberikan energi agar para
petani ini mendapat akses ke bahan bakar yang berguna. Di Thailand, para petani
menggunakan gas untuk memasak yang berasal dari proses biometanasi skala
kecil, sehingga mereka tidak perlu membeli gas propana untuk keperluan
memasak. Bantuan kepada para petani ini juga efektif untuk menciptakan

40
pertanian yang berkelanjutan dikarenakan pengurangan penggunaan bahan bakar
fosil. Bantuan yang lain adalah melalui pemberian uang tunai. Jika para petani ini
menanam bahan baku untuk produksi etanol lalu menjualnya dengan harga yang
lebih tinggi, maka mereka akan mendapatkan uang untuk membeli listrik. Karena
mereka yang menggunakan etanol sebagai bahan bakar lebih kaya jika
dibandingkan para petani, maka mekanisme ini bisa dianggap sebagai
“redistribusi kekayaan”.

2.4.5. Keamanan energi


Perekonomian semua negara dan khususnya negara maju bergantung pada
pasokan energy yang aman. Keamanan energi berarti ketersediaan energi yang
konsisten dalam berbagai bentuk pada harga yang terjangkau. Kondisi ini harus
bisa tetap bertahan untuk jangka panjang agar dapat berkontribusi pada
pembangunan berkelanjutan. Perhatian terhadap keamanan energy sangat penting
karena distribusi sumber daya bahan bakar fosil yang tidak seimbang
dikebanyakan negara saat ini. Pasokan energi akan menjadi lebih rentan pada
waktu dekat ini akibat kebergantungan global terhadap minyak impor.

2.5 Keuntungan dan kerugian dari Biomassa

Ada banyak sumber energi alternatif yang dapat dikembangkan. Biomassa


pun bisa dijadikan salah satu alternatif yang menjanjikan. Ada beberapa
keunggulan biomassa jika digunakan sebagai sumber energi.

2.5.1 Keuntungan dari penggunaan biomassa, antara lain :

1. Mengurangi adanya gas rumah kaca

41
Gambar 2.10. Efek Rumah Kaca

Gas rumah kaca terdiri dari karbon dioksida (CO2), metana, nitrogen
oksida, dan beberapa gas lainya yang terperangkap dalam atmosfer. Menurut data
UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change)
konsentrasi global karbon dioksida dan beberapa gas rumah kaca lainnya terus
mengalami peningkatan. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca ini
menyebabkan peningkatan temperatur sehingga suhu udara atmosfer menjadi
lebih panas. Tanaman atau biomassa akan mengurangi konsentrasi karbon
dioksida dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Karbon dioksida (CO2) diserap
tumbuhan untuk tumbuh dan berkembang. Ketika biomassa dibakar, karbon (C)
akan diubah ke dalam bentuk karbon dioksida dan kembali ke atmosfer.

Bila proses ini berlangsung secara terus menerus, maka jumlah konsentrasi
karbon dioksida di atmosfer akan selalu seimbang. Tetapi bila konsumsi energi
fosil meningkat maka konsentrasi karbon dioksida akan meningkat. Sehingga
penambahan biomassa dibutuhkan untuk menyeimbangkan kembali jumlah
karbon dioksida yang diserap dan dilepaskan. Saat ini, kenyataannya terdapat
peningkatan konsumsi jumlah energi fosil seperti gas dan minyak tidak diimbangi
dengan peningkatan jumlah biomassa. Sehingga yang terjadi adalah deforestation
atau penggundulan hutan, pembalakan dan sebagainya. Hal tersebut makin
meningkatkan konsentrasi karbon dioksida. Maka dari itu, penggunaan biomassa
sebagai pengganti bahan bakar dapat mengurangi konsentrasi karbon dioksida.

2. Mengurangi limbah organik

42
Sampah organik seperti sampah pertanian (jerami, tongkol), limbah
pengolahan biodiesel (cangkang biji jarak pagar, cangkang sawit), sampah kota,
limbah kayu, ranting, dan pengolahan kayu (sawdust) merupakan limbah yang
keberadaanya kurang bermanfaat. Limbah tersebut bila dibiarkan atau dibuang
tanpa dibakar terlebih dahulu, dapat melepaskan gas metana yang berbahaya.
Hasil pembakaran limbah merupakan abu yang memiliki volum 1% bila
dibandingkan dengan limbah padat. Untuk meningkatkan nilai kalor dan
mengurangi emisi limbah organik biasanya dilakukan proses karbonisasi. Selain
itu pembentukan menjadi briket bermanfaat sebagai bahan bakar padat.

3. Melindungi kebersihan air dan tanah


Penggunaan pupuk ternak dapat menimbulkan dampak buruk terhadap
kebersihan air dan tanah. Mikroorgranisme seperti salmonella, brucella, dan coli
di dalam pupuk menyebabkan penularan kepada manusia dan binatang. Salah satu
proses pengolahan sampah ini adalah proses anaerobic digestion, yaitu dengan
penimbunan pupuk kandang ataupun biomassa lainnya dalam suatu digester.
Anaerobic digestion akan menghasilkan metana (CH4) dan slurry yang telah
terbebas oleh mikroorgranisme.

4. Mengurangi polusi udara


Limbah pertanian, biasanya langsung dibakar setelah masa panen. Hal ini akan
menyebabkan partikel-partikel atau jelaga dan polusi udara. Limbah ini dapat
dikonversikan menjadi bahan bakar yang lebih bermanfaat sehingga mengurangi
jelaga dan polusi udara. Selain limbah pertanian, pembakaran hutan sering terjadi
dimana-mana. Efek pembakaran ini dapat menimbulkan polusi asap yang
berbahaya bagi kesehatan manusia. Pembakaran biomassa di dalam ruang bakar
menggunakan boiler mengurangi efek polusi asap karena pembakaran dalam
industri menggunakan peralatan kendali polusi untuk mengendalikan asap,
sehingga lebih efisien dan bersih daripada pembakaran langsung.

5. Mengurangi hujan asam dan kabut asap

43
Hujan asam merupakan fenomena yang disebabkan oleh asam sulfur dan
asam nitrit. Asam-asam ini terbentuk melalui reaksi antara air, oksigen, sulfur
dioksida, dan nitrogen oksida. Zat reaktan terebut berasal dari emisi pembakaran
yang kurang sempurna dari bahan bakar fosil. Asam yang terbentuk jatuh ke bumi
dalam bentuk hujan asam, kabut, dan salju. Akibat hujan asam ini meningkatkan
keasaman danau dan sungai, sehingga akan sangat berbahaya bagi makhluk hidup.
Hujan asam juga merusak bahan bangunan dan cat.
Melalui pembakaran biomassa efek hujan asam ini akan direduksi, karena
pembakaran biomassa akan menghasilkan partikel emisi SO2 dan NOx yang lebih
sedikit dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil. Pembakaran biomasa
lebih efisien dan sempurna bila diproses melalui karbonisasi karena akan
menghasilkan bahan bakar yang terbebas dari volatile matter atau gas mudah
terbakar. Untuk mencegah dampak buruk bagi lingkungan dapat dilakukan dengan
mengurangi atau menghentikan proses yang merupakan penyumbang gas rumah
kaca, yaitu pembakaran bahan bakar fosil. Pembakaran bahan bakar berkaitan erat
dengan pemenuhan sektor energi bagi peningkatan perekonomian suatu negara.
Pengembangan biomasa sebagai sumber energi untuk substitusi bahan bakar bisa
menjadi solusi untuk mengurangi beredarnya gas rumah kaca di atmosfer. Dengan
penggunaan biomassa sebagai sumber energi maka konsentrasi CO2 dalam
atmosfer akan seimbang.

2.5.2 Kerugian dari Biomassa, antara lain :

Gandum, tebu, dan jagung adalah contoh bahan pangan yang juga dapat
diolah menjadi energi dari biomassa. Energi tersebut tergolong energi ramah
lingkungan yang bahan dasarnya disediakan alam. Namun, penggunaan energi
dari biomassa kadang membawa dampak sampingan yang tidak diinginkan. Salah
satunya adalah naiknya harga bahan baku pangan. Di Jerman, 100 kilogram
gandum menghasilkan energi biomassa seharga 25 Euro. Tapi bila gandum
tersebut dijual sebagai bahan baku pangan, harganya hanya 18 Euro. Kini di
sejumlah negara muncul kekuatiran bahwa para petani bahan pangan beralih ke
produksi tanaman untuk biomassa. Padahal, produksi bahan pangan saat ini saja
belum mencukupi untuk menutup kebutuhan pangan dunia.

44
BAB III
CADANGAN BIOMASSA

3.1 Cadangan Biomassa di Indonesia


Potensi energi biomassa Indonesia diperkirakan: 49.810 MW (50 GW)
yang berasal dari perkiraan produksi 200 juta ton biomassa/tahun dari residu
pertanian, kehutanan, perkebunan dan limbah padat/sampah kota.

Tabel 3.1 Rincian Potensi Biomassa di Indonesia


Jenis Produksi
Luas limbah limbah Lokasi dengan
Komodita Produksi
No Lahan biomasa biomassa produksi
s (ton)
(ha) yang (ton/tahun terbesar
dihasilkan )
Tandan Riau, Sumatera
Kelapa 18.089.50 kosong Utara, Sumatera
1 7.007.876 3.979.691
sawit 4 kelapa Selatan
sawit
Jawa Timur,
Jawa
16.317.25 tongkol
2 Jagung 4.001.724 4.001.724 Tengah,Lampun
1 jagung
g

Jawa Timur,
60.325.92 12.327.42 sekam 21.114.07 Jawa Tengah,
3 Padi
5 5 padi 4 Jawa Barat

Sumber : Anonim

Pemerintah menargetkan 141,7 megawatt (MW) pembangkit listrik berbasis


bahan bakar bioenergi dapat beroperasi.
Kapasitas pembangkit sebesar tersebut tersebar di Jawa, Sumatera, Bali,
Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku yang dikembangkan oleh
listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) maupun pemerintah melalui
Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen
EBTKE) dengan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).
Pembangkit listrik bioenergi yang dikembangkan oleh Pemerintah berupa
pembangkit listrik tenaga (PLT) biogas POME yang dikembangkan dua unit di

45
Sumatera Utara dengan kapasitas masing - masing 1 MW. Kemudian di
Kalimantan Barat dengan kapasitas 1 MW dan pembangkit listrik biomassa di
Nusa Tenggara Timur (NTT) juga berkapasitas 1 MW. Disamping PLT Biogas
POME, pemerintah juga mendanai pengembangan PLT Sampah di Palembang
dengan kapasitas 1 MW. Pembangkit lain yang dikembangkan pemerintah yaitu
PLT sampah kota yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta
dengan kapasitas 7 MW.
Sementara untuk pembangkit yang dikembangkan oleh swasta diantaranya
pembangkit listrik biomassa dan sampah kota di Bali yang dikembangkan oleh PT
Charta Putra dengan kapasitas 0,4 MW untuk biomassa dan 1,7 MW sampah kota.
Kemudian Excess Power dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III di Sumatera
Utara yang berasal dari palm waste dengan kapasitas 7 MW.
Lalu PLT Biogas Pome yang dikembangkan oleh PT Pratama di Sumatera
Utara denngan kapasitas 2 MW, selain itu PLT palm waste yang dikembangkan
oleh PT Kencana Group di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan dengan
kapasitas masing - masing 6 dan 10 MW. Ada lagi yang dikembangkan oleh Prima
Gasifikasi Indonesia berbasis PLT palm waste di Tanjung Baru dengan kapasitas 2
MW, kemudian 2,5 MW di Pangkalan Kerinci dan 1 MW di Karimun Jawa.
Disamping itu, PLT Biogas POME yang dikembangkan PT Karya Mas
Energi di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat dengan kapasitas masing -
masing 2 MW, disamping itu di dua titik di Provinsi Riau dengan kapasitas
masing - masing 1 MW.
Bukan hanya itu, terdapat 3,1 MW PLT Biogas POME yang
dikembangkan oleh REA Kaltim Plantations. Kemudian PLT palm waste yang
dikembangkan oleh Growth Steel Group (GSG) di Kalimantan Barat dengan
kapasitas masing – masing 10 MW, lalu di Jambi dengan juga dengan kapasitas 10
MW serta dua unit di Sumatera Utara dengan kapasitas masing – masing 10 MW.
Pengembang lain, yaitu PT Gikoko Kogyo yang mengembangkan PLT
Sampah Kota di TPA Sumur Batu Bekasi dengan kapasitas 3x1 MW lalu PT
Sumber Organik yang mengembangkan PLT sampah kota di Surabaya dengan
kapasitas 9 MW terakhir PT Cakrawala Agro pengembangan listrik hutan energi
di Sulawesi Selatan dengan kapasitas 10 MW.

46
Pelet Kayu
Indonesia mampu menghasilkan listrik biomassa ~49,8 GW (Indonesia
hanya perlu tambahan listrik nasional 35 GW). Potensi biomassa Indonesia
sekitar 146,7juta ton/tahun yang berasal dari residu padi (150GJ/tahun ), kayu
karet (120 GJ/tahun ), residu gula (78 GJ/tahun ), residu kelapa sawit (67
GJ/tahun ), dan sampah organik lain (20GJ/tahun ).

Gambar 3.2 Global Regional Pellet Production


Seperti diketahui, pengguna pelet kayu dunia tahun 2013 (23,6juta ton)
tercatat adalah negara Jepang, Korsel, China (2juta ton), Eropa (12juta ton)
(pengguna sekaligus penghasil terbesar, yaitu Jerman, Swedia, Latvia, dan
Portugal), AS (3juta ton), Rusia (2juta ton) dan Kanada (3juta ton).

Gambar 3.2 Global Regional Pellet Production


Meski negara-negara pengguna pelet kayu tersebut mampu memproduksi
sendiri, tetapi mereka masih belum mampu mencukupi kebutuhan pelet kayu
DN mereka (harus impor), karena pertumbuhan kayu di negara sub-tropis
lebih lambat dibandingkan di negara tropis. Contoh: tahun 2013, Eropa butuh

47
19 juta ton [10 (panas) + 9 (industri)] (kurang 7 juta ton), Kanada (4 juta ton)
(kurang 1juta ton), Asia (Jepang & Korsel) kurang 1 juta ton. Kedua negara
Asia itu akan menjadi importir pelet kayu terbesar pada dekade mendatang
(diduga sekitar 5 juta ton tahun 2020).
Produksi pelet kayu dunia sudah mendekati 25,5 juta ton (2014).
Sementara, pemasaran pelet kayu global untuk pembangkit listrik dan panas
terus tumbuh sekitar 14,1% per tahun. Tahun 2020, kebutuhan pelet kayu
diperkirakan melambung hingga 80 juta ton. Oleh karena itu, beberapa
negara, misalnya Korsel, Jepang, Eropa (impor ~14 juta ton/2014), AS, dan
Kanada berusaha mencari pasokan bahan baku ke negara tropis yang salah
satunya ke Indonesia. Di lain pihak, contoh harga pelet kayu di Eropa (Swiss,
Jerman, dan Austria) (hingga Jan 2016) dapat dilihat dalam Gambar di atas
(~Euro).

Gambar 3.4 Harga Pelet Kayu di Eropa (Swiss, Jerman dan Austria)

Khusus untuk Indonesia, pabrik pelet kayu terbesar ada di Semarang, yang
produksi pelet kayunya populer di Korsel, karena kualitasnya bagus (kalori
tinggi, kandungan kimia dan abu cukup rendah). Korsel melakukan proyek-
proyek kerma di Jatim dan Jateng, Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Indonesia akan menjadi target Korsel untuk menjadi pemasok pelet kayu di
masa datang di Asia terutama untuk bahan biopelet yang berasal dari
pelepah / cangkang sawit, bagas tebu, jerami, kaliandra merah, dan lain-lain.

48
Pelet Bagas, serbuk Gergaji, jerami padi/gandum, sekam padi, bagas /
ampas tebu (mengandung gula 2,5%, nilai kalori 1.825kKal), batang
jagung/sorgum, sampah daun, rumput, ranting, dan bagian tanaman yang
telah dianggap limbah dapat menjadi sumber pelet kayu. Pelaku usaha pelet
kayu mulai menanam kayu cepat panen yang minim perawatan, dan
kandungan energinya tinggi sebagai campuran limbah tsb. Sebagai contoh:
Petai cina (Leucaena leucocephala), kaliandra merah (Caliandra calotahun
yrsus), dan Gamal (Gliricidia sepium). Tujuan membuat pelet kayu adalah
nilai kalor limbah kayu tersebut hendak ditingkatkan agar menjadi BAHAN
BAKAR berkalori mendekati batubara (5.000 - 6.000 kKal), yaitu sekitar
4.200 - 4.800 kKal dengan kadar abu sekitar 0,5-3%.

Bioetanol
Menurut artikel di Bisnis Indonesia(tanggal 15 desember 2013) populasi
kendaraan di Indonesia tidak kurang dari 100 juta unit. Dari jumlah tersebut
80 juta unit adalah sepeda motor. Pertumbuhan kendaraan bermotor di
Indonesia, khususnya sepeda motor melonjak secara signifikan pada beberapa
tahun belakangan dengan pertumbuhan eksponensial. Hal ini berakibat pada
kebutuhan BBM yang meningkat pula. Dengan kondisi seperti ini, dimana
BBM semakin lama semakin menipis, bioetanol berpotensi menjadi bahan
bakar alternatif pengganti bensin dengan keunggulannya seperti pembakaran
lebih sempurna, mengurangi emisi karbon monoksida dan lain-lain.
Selain itu, potensi biomassa diprediksi berpotensi membangkitkan energi
listrik hingga 49.810 megawatt. Saat ini diperkirakan pemanfaatan biomassa
baru mampu memproduksi listrik 445 megawatt. Namun, hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan
sehingga potensi tersebut bersifat sektoral dimana akan terjadi kesulitan
pendistribusian biomassa tersebut untuk diolah menjadi bioetanol.
Saat ini, teknologi yang digunakan dalam produksi bioetanol
memanfaatkan bahan baku non pangan atau biasa disebut bioetanol generasi
kedua, dimana bioetanol generasi pertama menggunakan bahan baku yang
berbasis pangan. Bioetanol generasi kedua menggunakan bahan baku seperti

49
limbah pertanian maupun kehutanan. Salah satu bahan baku yang paling
potensial digunakan adalah limbah ampas tebu, dengan luas tanaman tebu di
Indonesia sekitar 470.000 Ha(menghasilkan sekitar 3,6 juta kl bioetanol).
Sementara itu, berdasarkan peraturan menteri ESDM 25/2013, pemerintah
menargetkan pemanfaatan biodiesel sebesar 30% pada tahun 2025(khusus
untuk pembangkit listrik) dan menurunkan pamanfaatan bioetanol pada tahun
2015 sampai tahun 2025 dan meningkatkan pemanfaatannya pada tahun 2025
sebesar 20%.
Dengan regulasi yang dibuat oleh pemerintah tersebut diharapkan
pemanfaatan bioetanol semakin meningkat. Mekanisme pemanfaatan
bioetanol sendiri dilakukan dengan pencampuran bioetanol dan bensin
dengan persentase tertentu hingga pada tahun 2025 ditargetkan komposisi
campuran bensin dan bioetanol adalah 80:20. Dilain hal, pelaksanaan dari
regulasi tersebut melalui mandatori pemerintah terhadap penggunaan
bioetanol nyaris tidak menunjukan realisasinya. Dalam hal ini, pemerintah
masih kurang serius menerapkan kebijakan diversifikasi energi tersebut.
Akibatnya, pangsa pasar bioetanol pun mengalami keterpurukan.
Hal ini berakibat pada industri-industri bioetanol di Indonesia yang
semakin terancam bangkrut, khususnya pada pabrik-pabrik skala rumahan.
Pada awalnya, industri beranggapan bahwa bioetanol yang mereka hasilkan
akan diterima oleh Pertamina, atau lembaga lain yang bertugas sebagai
pembeli siaga (off taker). Namun, karena kualitas bioetanol tidak memenuhi
persyaratan yang ditetapkan Pertamina(kemurnian 99%), dimana bioetanol
yang dihasilkan hanya memiliki kemurnian 90%. Hal ini disebabkan hanya
perusahaan-perusahaan besarlah yang memiliki teknologi yang mampu
menghasilkan kemurnian hingga 99%(full grade ethanol).
Selain itu, kebijakan pemerintah dinilai masih belum disiapkan dengan
matang. Pasalnya, belum adanya sistem yang berkelanjutan dari mulai
distribusi bioetanol dari para pengusaha bioetanol hingga dapat diterima oleh
Pertamina. Sebagai contoh, pada distribusi beras, badan penyangga yang
mengelolanya adalah bulog, pada listrik, yakni PLN. Negara-negara lain

50
seperti Brazil, Thailand, Filipina yang pengembangan bioetanolnya sudah
lebih maju pun memiliki lembaga penyangga terhadap industri bioetanol.

Pabrik-pabrik yang memproduksi bioetanol di Indonesia


Sebagian besar pabrik biofuel saat ini masih dalam skala yang relatif kecil,
karena kebanyakan adalah milik beberapa lembaga penelitian sebagai pilot
project. Terdapat 9 pabrik etanol dengan total kapasitas produksi mencapai
133.632 kilo liter, dan beberapa diantaranya telah mulai produksi pada tahun
2007. Pemerintah melalui Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati
memperkirakan biaya investasi yang harus dikeluarkan untuk pengembangan
Biofuel di Indonesia sampai tahun 2010, dengan target tercapainya
penggunaan 10% biodiesel dan 5% bioetanol adalah sebesar Rp 200 triliun.
Beberapa pabrik yang berkecimpung dalam industri bioetanol antara lain:

PT Molindo Raya
PT Molindo Raya Surabaya adalah produsen utama bioetanol di Indonesia.
Dengan kapasitas terpasang sebesar 40.000 Kl/hari(330 hari kerja pertahun),
operating capacity nya saat ini(tahun 2008) adalah ± 35.000 Kl/tahun. Bahan
baku yang digunakan dalam memproduksi bioetanol adalah molases yang
disuplai dari pabrik-pabrik sekitar. Pabrik ini dapat memproduksi etanol
untuk bahan bakar kendaraan bermotor sebanyak 10.000 kiloliter per tahun.

PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X


Pabrik bioetanol ini terletak di Mojokerto, Jawa Timur berkapasitas 30 juta
liter per tahun dengan investasi Rp 461,21 miliar. Bioetanol yang diproses
dari bahan baku tetes tebu (molasses) dari Pabrik Gula (PG) Gempolkrep
Mojokerto ini akan diserap oleh Pertamina sebagai campuran bahan bakar
premium. PTPN X mempunyai 11 pabrik gula yang tersebar di berbagai kota
di Jawa Timur. Menurut Sudibyo, Direktur Utama PTPN X, pabrik bioetanol
yang terintegrasi dengan pabrik gula ini diharapkan bisa berkontribusi dalam
upaya meningkatkan penggunaan energi terbarukan di Indonesia. Selain itu,
pabrik ini juga sekaligus menjadi model bagi pengembangan industri gula

51
yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Kebutuhan bahan baku pabrik bioetanol
ini sebesar 120.000 ton tetes tebu.

Dinamika produksi bioetanol dan realisasinya di Indonesia


BBN yang terdiri dari biodiesel dan bioetanol merupakan bahan bakar
alternatif yang paling potensial mengurangi dominasi bahan bakar minyak.
Selama kurun waktu 23 tahun(2012-2035), diprediksi BBN meningkat
dengan laju pertumbuhan 15,9%(0,7 juta kl pada 2012 menjadi 21 juta kl
pada 2035) per tahun untuk skenario dasar dan 17,4% untuk skenario tinggi
(BPPT 2014). Pada kedua skenario, pertumbuhan bioetanol sangat rendah.
Hal ini disebabkan hampir semua bahan baku bioetanol diperlukan sebagai
bahan pangan atau farmasi sehingga cukup sulit untuk mengembangkan
perkebunan energi untuk bioetanol sementara sementara hasil perkebunan
tersebut masih diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan komoditas
ekspor.
Berikut proyeksi pemanfaatan biodiedel dan bioetanol pada skenario dasar
dan skenario tinggi dalam jangka waktu 2012-2035:
Pemerintah telah mengalokasikan subsidi di sektor transportasi
PSO(Public Service Obligation) untuk pemanfaatan biodiesel sebesar 3000
Rp./liter dan bioetanol 3500 Rp./liter pada APBN-P 2013 dan RAPBN 2014.
Perubahan mandatori dengan targer yang lebih tinggi dengan dibuatnya
peraturan menteri ESDM 25/2013 mempercepat pemanfaatan biodiesel dan
bioetanol. Berdasarkan peraturan tersebut, pada tahun 2025 target yang
diwajibkan pemerintah adalah wajib pakai bioetanol dari awalnya 15%
menjadi 20%, namun pada tahun 2015 dari awalnya 5% diturunkan menjadi
1% sementara untuk transporasi non PSO dan industri turun dari 10%
menjadi 2%. Hal ini disebabkan pemanfaatan bioetanol pengganti bensin
masih dihadapkan oleh berbagai kendala.
Sejak tahun 2010 sampai saat ini, wajib pemakaian bioetanol belum dapat
direalisasikan karena Indeks Harga Pasar(HIP) bioetanol masih tinggi
sedangkan subsidi bioetanol sebesar Rp. 3500/liter tidak cukup menarik bagi
produsen bioetanol.

52
Saat ini, 8 produsen bioetanol telah memiliki izin usaha niaga BBN
dengan kapasitas produksi bioetanol sebesar 416 ribu kl/tahun, dimana
kapasitas sebesar 200 ribu kl/tahun siap untuk diproduksi.
Pada kurun waktu 23 tahun mendatang, kebutuhan bensin akan meningkat
3 kali lipat dari sekarang, dengan kondisi pengembangan bioetanol yang
masih belum cukup baik, diprediksi bioetanol belum mampu menggantikan
bensin.
Saat ini bahan baku yang potensial digunakan dalam membuat bioetanol di
Indonesia antara lain molases atau tetes tebu, ketela pohon, ubi jalar, sorgum
dan lain-lain. Setiap hektar lahan tebu dapat menghasilkan tetes tebu sekitar
10-15 ton(sekitar 766-1150 liter bioetanol grade bahan bakar). Pada tahun
2013 luas tanaman tebu di Indonesia sekitar 470.000 Ha(sekitar 3,6 juta kl
bioetanol). Untuk mengembangkan bioetanol lebih lanjut diperlukan
penambahan luas lahan baru yang selama ini masih menjadi kendala. Luas
lahan sagu di Indoensia sekitar 1,2 juta Ha dengan potensi produksi sagu
sekitar 5 juta ton pati kering. Dengan insteGnsitas produksi 600 liter per ton
pati, maka dapat dihasilkan bioetanol sebesar 2,85 juta kl. Selain tebu dan
sagu, sumber bahan baku bioetanol yang potensial antara lain: Nipah, Aren
dan Lontar. Nipah diperkirakan dapat menghasilkan 750 ribu bioetanol
(dengan 25% produksi).Permasalahan pengembangan bioetanol di Indonesia
adalah bersaingnya penggunaan hasil bahan baku tersebut terhadap kebutuhan
pangan maupun obat-obatan.
Selain itu, dengan subsidi sebesar 3500 Rp./liter, harga bioetanol belum
cukup kompetitif sehingga kurang menarik minat industri dalam negeri dan
investor. Permasalahan utama yang dihadapi sekarang adalah HIP yang
menjadi acuan harga bioethanol sudah tidak sesuai dengan keekonomian,
alias terlalu murah. Kementerian ESDM mengajukan usulan kenaikan HIP
menjadi sekitar Rp9 ribu per liter. Ini sesuai dengan biaya produksi bioetanol
yang sekitar Rp9 ribu-Rp9200 per liter. Sementara harga bioetanol saat ini
hanya sekitar Rp8 ribu per liter.
Di lain hal, Pertamina sebagai BUMN, memiliki peran yang strategis
untuk menciptakan dan mengembangkan pasar bioetanol sehingga industri-

53
industri yang bergerak dalam produksi bioethanol bisa tetap berjalan dan
berkembang.

Tabel 3.2 Kapasitas PLT Biomassa Terpasang per Tahun di Indonesia

KAPASITAS PER TAHUN (MW)


No Pulau
2005 2006 2007 2008 2009 2010
1 Sumatra 924,61 924,61 924,61 924,61 1.607,50 1.687,48
2 Jawa 10,9 10,9 10,9 10,9 10,9 11,4
3 Kalimantan N/A N/A N/A N/A N/A N/A
4 Sulawesi N/A N/A N/A N/A N/A N/A
Bali, NTB,
5 N/A N/A N/A N/A 9,6 10,08
NTT
Maluku,
6 N/A N/A N/A N/A N/A N/A
Papua
Total 935,51 935,51 935,51 935,51 1.628,00 1.709,00

sumber : Statistik EBTKE, Ditijen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi

3.2 Cadangan Biomassa di Dunia


Tabel 3.3 Population relying on traditional use of biomass for cooking in 2013

Sumber : IEA, World Energy Outlook 2015.

54
Tabel 3.4 Traditional use of biomass for cooking in developing Asia – 2013

Sumber : IEA, World Energy Outlook 2015.

Bioetanol

Negara-negara yang menggunakan bietanol sebagai bahan bakar


Biofuel telah dikembangkan di banyak negara sebagai salah satu sumber
energi untuk subsitusi energi yang berasal dari fosil seperti minyak bumi.
Negara-negara seperti Amerika Serikat, Brazil, Korea Selatan, India dan
Jepang telah melakukan penelitian yang intensif untuk mengembangkan
biofuel (Kementerian ESDM 2014).

55
Industri biofuel dunia saat ini masih didominasi oleh produksi bioetanol,
yang mencapai sekitar 700.000 barel per hari, sementara itu biodiesel
produksinya hanya sekitar 75.000 barel per hari pada tahun 2006. Amerika
serikat dan Brazil adalah negara utama produsen dan konsumen bioetanol,
dengan produksi 80% dari total produksi dunia. Dan konsumsi bioethanol
oleh Amerika Serikat dan Brazil mencapai 75% dari total konsumsi dunia.
Bioetanol juga berkembang pesat di negara-negara Uni Eropa seperti Jerman,
Spanyol dan Swedia. Sementara itu Honggaria, Lithuania dan republik Czech
adalah negara baru produsen bioetanol. Di Asia, bioetanol mulai berkembang
di beberapa negara antara lain India, Thailand, China, Malaysia dan Indonesia
(Indonesian Commercial Newsletter 2008).
Amerika Serikat
Sejak tahun 1979, pemerintah Amerika Serikat telah menerapkan insentif
pajak terhadap pengguna biofuel dalam bentuk Federal Excise Tax
Exemption, dan saat ini sedang meningkatkan penggunaan Fuel Flexible
Vechicles, dan memberikan insentif terhadap pembangunan SPBU. Beberapa
negara bagian seperti Minnesota, Hawaii, Montana, dan Oregon saat ini telah
menerapkan E10 (bioetanol yang dicampur dengan bensin dengan
perbandingan 10:90), dengan bahan baku jagung.
Brazil
Menurut data dari kementerian ESDM, Brazil telah mengembangkan
bioetanol yang bersumber dari tebu dengan melakukan uji coba pada
kendaraan sejak tahun 1925, dan dikembangkan dalam periode cukup lama
dengan dukungan penuh dari pemerintah dalam bentuk regulasi dan insentif,
dan saat ini pengembangan biofuel di Brazil telah menggunakan mekanisme
pasar. Dari seluruh produksi tebu, perbandingan untuk pemanfaatan sebagai
gula dan bioetanol adalah sekitar 50:50.
India
Kebijakan pengembangan bioetanol diarahkan pada pemanfaatan Molasses
yang berasal dari komoditas tebu, sehingga tidak mengganggu penyediaan
gula. Saat ini telah ditetapkan kebijakan E5 dan secara bertahap
dikembangkan ke E10 pada 2012. Serangkaian percobaan terhadap industri

56
otomotif untuk penerapan E5 dan telah dinyatakan layak, namun saat ini
masih belum dapat ditingkatkan kearah yang lebih tinggi karena masih
dianggap dapat mengganggu mesin kendaraan. Indian Oil telah menerapkan
E5 di beberapa negara bagian India sejak 2003, dan pemanfaatannya akan
lebih baik apabila menerapkan catalityc converter kit.

57
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
a. Energi biomassa menjadi salah satu sumber energi alternatif pengganti
bahan bakar fosil. Biomassa sebagai sumber energi tidak akan pernah
habis, karena bahan biologis yang di butuhkan untuk membuat energi
biomassa akan selalu tersedia selama kehidupan di muka bumi ini
masih ada.

b. Pemanfaatan energi biomassa sebagai bahan baku untuk menjadi


bionergi:
 Pelet Kayu
 Biodiesel
 Bioethanol
 Biogas

c. Kelebihan dari energi biomassa adalah sifatnya yang terbarukan dan tidak
akan habis juga pengolahan yang fleksibel dimana kita dapat menentukan
jenis energi seperti apa yang kita butuhkan. Kekurangan dari energi
biomassa ialah sifatnya yang berlawanan dengan pangan dan dibutuhkan
lahan yang luas untuk menanam.

d. Di dunia Indonesia merupakan negara nomor 6 terbesar didunia dalam


pengguna biomassa yaitu 98 juta populasi. Negara paling banyak yang
menggunakan biomassa adalah negara cina yaitu sebesar 450 juta
populasi dan brazil 840 juta populasi.

4.2 Saran

58
a. Jagalah kelestarian lingkungan kita dari berbagai macam polusi
b. Mulailah kita mengembangkan energy – energy alternative untuk
menyelamatkan cadangan minyak bumi yang telah kritis

c. Belajar bagaimana menciptakan ide – ide baru sebagai gerakan


menyelamatkan lingkungan.

59
DAFTAR PUSTAKA

Biro Riset Lembaga Manajemen FEUI, 2008. “Analisis Perkembangan Bisnis


Sektor Pertanian”.Depok

Dahuri, D. 2003. Sampah organik, kotoran kerbau sumber energi alternatif. Media
Indonesia.Senin, 02 Juni 2003.

Novitasari, Dwi. 2012. “Biomassa sebagai Sumber Energi Terbarukan”. Jakarta

Sukandar. 2014. Pengembangan Energi Biomassa Indonesia.


(http://www.bappedakaltim.com/headlines/652biomassa-indonesia.html,
diakses 1 Maret 2017 )

Wahyudi, Sugeng. 2011. Klasifikasi energi dunia.


( http://majalah1000guru.net/2011/09/energi-fosil-persebarannya-dunia/,
diakses 1 Maret 2017)

Damanik, ericson .2012.Pemanfaatan Energi Biomassa sebagai Biofuel .


( http://ondyx.blogspot.com/, diakses 6 Maret 2017)

60

Anda mungkin juga menyukai