Anda di halaman 1dari 10

Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan

TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 – 19 April 2011

ISSN 2088-4532

Kajian Kerentanan Zona Pantai Banda Aceh terhadap


Bencana Badai
Zouhrawaty A. Ariff1,2, Eldina Fatimah1,2, Syamsidik1,2 Gunawan Salim1,3
1
) Peneliti pada Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala,
Jl. Tgk Abdurrahman, Gampong Pie, Banda Aceh, Indonesia
2
) Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Jl. Syeh Abdurrauf No. 7
Darussalam, Banda Aceh Indonesia 23111
3
) Magister Civil Engineering Student, Department of Civil Engineering, Syiah Kuala University

Abstrak
Kajian kerentanan pantai di Aceh perlu dilakukan terhadap kejadian badai yang setiap tahun selalu terjadi agar
pemerintah dapat menyusun kebijakan managemen zona pantai bagi keberlanjutan pengembangan pantai dan panduan
dalam menangani problem yang terkait dengan kejadian badai. Kajian kerentanan pantai terhadap bencana tsunami di
Aceh sudah banyak dilakukan oleh para peneliti maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) pasca kejadian gempa
dan tsunami di Aceh. Namun kajian terkait dengan kerentanan pantai terhadap badai belum pernah dilakukan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengembangkan sebuah pendekatan secara keilmuan terhadap kajian kerentanan pantai-
pantai di Aceh yang berupa matriks kerentanan pantai dan indeks kerentanan pantai terhadap kejadian badai dengan
meengadopsi metode yang sudah diterap di Negara Turki oleh Mendoza (2008). Pada penelitian ini daerah muara
sungai Krueng Aceh sampai ke kanal banjir Alue Naga akan digunakan sebagai studi kasus mengingat daerah ini
merupakan daerah ‘low laying’, terkena tsunami; mengalami erosi pantai yang intens; banyak mengalami perubahan-
pembangunan seperti jetti, konstruksi pelindung pantai dan pelabuhan ikan; dan berpenduduk padat. Hanya kerentanan
secara fisik saja yang dievaluasi dalam penelitian ini, sementara penilaian kerentanan dari faktor social ekonomi dan
lingkungan belum menjadi target kajian. Penelitian ini merupakan penelitian yang berkelanjutan dan sebagai tahap awal
dari penelitian ini akan melakukan kajian yang meliputi: penentuan karakteristik dari gaya-gaya gelombang akibat badai
yang terjadi; mengadakan observasi dan pengukuran dilapangan terkait dengan impak fisik dari badai seperti kajian
perubahan garis pantai dengan mengadopsi metode Bruun, melakukan karakteristik zona pantai dengan melakukan
pengumpulan data regional terkait pantai yang digunakan sebagai fitur dasar dan survey lokal untuk mendapatkan
informasi topografi detail di lokasi studi; mendefinisikan indeks kerentanan pantai terhadap badai dengan menggunakan
parameter intermediate untuk tinggi genangan dan erosi; dan penilaian kerentanan muara sungai Krueng Aceh dan
pantai sekitarnya yang diinterpretasikan dalam bentuk index tinggi genangan atau banjir (FVI) dan erosi (EVI) serta
indekx kerentanan pantai yang merupakan kobninasi dari FVI dan EVI. Dari hasil kajian yang diperoleh kawasan pantai
dari Muara Krueng Aceh sampai Muara Kanal Banjir Krueng Aceh mempunyai tingkat index yang bervariasi dari
sangat rendah ke tingkat sangat tinggi untuk ke tiga index kerentanan yang diamati.

Key words: Indeks Kerentanan Banjir (FVI), indeks kerentanan erosi (EVI), indeks kerentanan pantai (CVI)

1. PENDAHULUAN
Daerah pantai merupakan lokasi vital bagi komunitas Untuk menyikapi hal ini, instansi terkait sebagai contoh
sepanjang sejarah yang diketahui karena banyaknya DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) atau SDA
fasilitas dan sumber daya alam yang tersedia guna (Sumber Daya Air) harus dapat memahami sumber
memenuhi kebutuhan untuk hidup dan perkembangan. penyebab potensi bencana yang ada, mengadakan
Lebih jauh lagi, akibat dari pemanasan global dan evaluasi besaran yang diharapkan dari proses yang
kejadian bencana alam akan merubah banyak sistem memicu proses kerusakan sepanjang pantai dan muara,
termasuk ekosistem pantai. Sementara impak dari badai dan tentu saja terlebih dahulu perlu melakukan kajian
di zona pantai atau muara dapat memicu respon dan evaluasi tentang kemungkinan kejadian dari
morfodinamik seperti erosi pantai dan gosongan pasir, bencana. Contoh khusus adalah perlunya mengkaji
maupun mengakibatkan genangan banjir di daerah perubahan cuaca yang ekstrim (kejadian badai) di suatu
dataran rendah. Bila hal ini terjadi di zona urbanisasi daerah. Bila ditinjau dari letak geografisnya, perairan
atau yang padat penduduknya, maka biasanya akan Aceh dipengaruhi oleh kejadian badai pada zona North
disertai dengan kerusakan infrastruktur dan Indian Ocean (zona-V) yang merupakan lokasi daerah
mengganggu penggunaan pantai dan sumber daya yang pertumbuhannya, sementara daerah luasan mencakup
ada. Teluk Benggala dan Laut Arab.
7
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 – 19 April 2011

ISSN 2088-4532
Aceh memiliki garis pantai sepanjang 1800 km,
Walaupun belum ada data yang tercatat dalam Annual sebagiannya merupakan zona ‘low-laying’ yang secara
Tropical Cyclone Report tentang impak langsung badai North fisik, ekologi, dan sosial ekonomi merupakan areal yang
Indian Ocean Tropical Cyclone dan South Indian Ocean sangat penting. Kawasan ini sudah harus siap pula
Tropical Cyclone di perairan di sekitar Provinsi Aceh, tetapi menghadapi impak dari perubahan muka air laut,
pengaruhnya atau impaknya sering terjadi pada perubahan iklim, dan kejadian bencana alam khususnya
perairan pantai Kota Banda Aceh, khususnya untuk pengaruh/impak kejadian badai, disamping usaha
kejadian badai yang bersumber dari Laut Andaman. meningkatkan mitigasi. Terkait dengan pantai di Banda
Pengaruh tidak langsung misalnya, tingginya Aceh yang menjadi objek dalam kajian penelitian ini,
gelombang di perairan pantai Aceh bila badai pemerintah Aceh sebenarnya sudah mengantisipasi
menerjang Sri Langka, India, atau Myanmar. dengan melakukan perlindungan pantai dengan
pemasangan batu pelindung (revetment) dan hanya
Kajian ini hanyalah merupakan bagian dari usaha sebagian kecil saja pantainya yang terekspose langsung
penyelesaian masalah yang lebih besar yaitu mengetahui dengan gelombang. Namun demikian, perlindungan
bagaimana respons dan kerentanan dari suatu sistem pantai dengan revetment tersebut masih juga rawan
terhadap proses ini. Sayangnya, perairan di sepanjang terhadap kemungkinan kerusakan karena
pantai Aceh belum memiliki instrumen pengukur tinggi pengaruh/impak badai. Pada saat terjadinya badai,
gelombang (wave buoys), sehingga informasi dan data banyak sedimen yang membentuk pantai terangkut dari
pengaruh badai yang terjadi sulit untuk diperoleh. pantai (dalam hal ini dari ujung kaki revetment ke arah
Pemerintah Aceh hanya memiliki 2 stasiun pengukur laut) ke laut lepas dan sulit kembali lagi ke pantai,
pasang surut yang letaknya di Meulaboh dan Sabang. sehingga kemungkinan runtuhnya bangunan dapat saja
Untuk mengantisipasi pengumpulan sumber infromasi terjadi. Bahkan dampak yang mungkin timbul adalah,
dan data yang akurat dan tervalidasi terkait dengan hilangnya pantai akibat adanya bangunan pelindung.
pengaruh badai tropis di perairan Aceh sangat sulit, Kajian kerentanan pantai yang telah diproteksi perlu
sehingga dalam penelitian ini, pengaruh badai diperoleh dilakukan sehingga dapat diperoleh penjelasan tentang
dengan memprediksi tinggi gelombang yang bagaimana pengaruh/impak badai terhadap bangunan
dibangkitkan melalui data angin (tahun 2000-2009) yang ada disepanjang pantai melalui informasi indeks
yang tersedia di Stasiun BMKG BlangBintang. kerentanan.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk
Kajian perubahan kondisi pantai terhadap bencana mengembangkan sebuah pendekatan secara keilmuan
tsunami di Aceh sudah banyak dilakukan oleh para terhadap kajian kerentanan pantai di Banda Aceh yang
peneliti maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) berupa matriks kerentanan pantai dan indeks kerentanan
pasca kejadian gempa dan tsunami di Aceh. Menurut pantai terhadap pengaruh/imbas kejadian badai yang
Meilianda (2009), gempa dan tsunami memberikan mengakibatkan kejadian gelombang maksimum di
dampak yang besar terhadap morfologi pantai dan perairan pantai. Pencapaian tujuan ini dilakukan dengan
perkembangannya di masa depan. Sea Defense mengadopsi metode yang sudah pernah diterapkan di
Consultant (2009) sudah melakukan kajian dampak Negara Turki oleh Mendoza (2008). Namun dalam studi
tsunami terhadap perubahan dasar Pantai Aceh dan Nias ini penentuan kejadian badai diasumsikan sebagai
dan kondisi sosial ekonomi. Namun, kajian terkait pengaruh/imbas kejadian badai dimana gelombangnya
dengan kerentanan pantai terhadap impak/imbas dianalisis berdasarkan tinggi gelombang maksimum
kejadian badai (storms) yang hasilnya akan berupa yang diperoleh dari data kecepatan angin maksimum.
matriks kerentanan pantai dan indeks kerentanan pantai Pada penelitian ini daerah Muara Krueng Aceh sampai
masih sedikit dilakukan. ke kanal banjir Alue Naga digunakan sebagai studi
kasus. Lokasi penelitian ini terletak pada 5o34’10”LU -
Kajian kerentanan pantai di Aceh perlu dilakukan 5o36’40”LU dan 95o18’20”BT –95o31’40”BT seperti
terhadap impak/imbas kejadian badai yang setiap tahun ditampilkan pada Gambar 1. Daerah ini merupakan
selalu terjadi agar pemerintah dapat menyusun daerah ‘low-laying’, terkena tsunami yang sangat parah
kebijakan manajemen zona pantai bagi keberlanjutan pada tahun 2004; mengalami erosi pantai yang intens;
pengembangan pantai dan panduan dalam menangani banyak mengalami perubahan pembangunan seperti
masalah yang terkait dengan kejadian badai, sehingga jetty, konstruksi pelindung pantai dan pelabuhan ikan;
dipilih menjadi tema penting dalam penelitian ini. dan berpenduduk padat.
Pengkajian dilakukan dengan metode yang sesuai dan
dapat diterapkan untuk kebutuhan lokal, yang biasanya
selalu memiliki keterbatasan ketersediaan data. Juga,
penelitian ini akan menjadi sangat penting untuk
dilakukan terkait dengan kebutuhan pemerintah sebagai
pengambil kebijakan dalam kaitannya dengan
pengelolaan manajemen zona pantai terpadu (Integrated
Coastal Zone Management).

8
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 – 19 April 2011

ISSN 2088-4532
pantai di Aceh dan juga pengembangan RTRW untuk
zona pantai.

2. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Tinjauan kepustakaan ini mencakup mekanisme
pelaksanaan penelitian yang terdiri dari berbagai
kegiatan dan tahapan pelaksanaan yang disesuaikan
dengan metode yang sudah pernah diterapkan di Negara
Turki oleh Mendoza (2008).

2.1 Penentuan Indeks Kerentanan Pantai


Menurut Mendoza (2008) klasifikasi badai dinyatakan
dalam bentuk badai “energy content”, E, yang
didefinisikan sebagai:

Gambar 1. Lokasi Studi     

Sumber: Google Earth, 2010 (1)
dimana : t1 dan t2 = durasi kejadian badai, t (jam), Hs =
Penilaian kerentanan pada tahapan penelitian ini, tinggi gelombang signifikan (m),E = kandungan energi.
dibatasi hanya kerentanan secara fisik saja yang Badai yang telah dapat ditentukan karakteristiknya
dievaluasi. Penilaian kerentanan dari faktor sosial melalui kandungan energi, hasil akhirnya
ekonomi dan lingkungan sementara ini belum menjadi diklasifikasikan dalam 5 kategori klasifikasi yang telah
target kajian. dipilih untuk menjaga kecocokan analogi data yang
dikumpulkan. Tinggi gelombang signifikan dianalisis
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk berdasarkan metode yang disarankan oleh CERC
mengembangkan sebuah pendekatan secara keilmuan (1984), baik melalui pencatatan data gelombang
terhadap kajian kerentanan pantai Banda Aceh yang ataupun melalui transformasi data angin menjadi data
berupa matriks kerentanan pantai dan indeks kerentanan gelombang signifikan. Mendoza (2008) telah membagi
pantai terhadap impak kejadian badai (sea storm) 5 kelas badai berdasarkan tinggi gelombang signifikan
ataupun akibat kejadian gelombang maksimum pada seperti tertera pada Tabel 1
kondisi cuaca ekstrim.
Tabel 1. Lima kategori kelas badai berdasarkan Hs.
Hasil dari kajian kerentanan pantai di Aceh adalah
perolehan nilai kerentanan fisik zona pantai dan muara Kelas Badai Rentang nilai Hs (m)
sungai Krueng Aceh terhadap impak angin maksimum
yang menghasilkan gelombang maksimum berbasis I Lemah 2.00 < Hs < 2.75
skala lokal. Hasil yang diperoleh adalah berupa II Sedang 2.76 < Hs < 3.50
kerentanan terhadap banjir, dimana kawasan pantai
III Signifikan 3.51 < Hs < 4.25
Kota Banda Aceh memperoleh indeks kerentanan
banjir yang bervariasi dari sangat rendah (very low, VL) IV Bahaya 4.26 < Hs < 5.00
sampai sangat tinggi (very high, VH) pada rentang lima V Ekstrim Hs < 5.01
kelas gelombang dari lemah sampai kelas ekstrim.
Ditinjau kerentanannya terhadap erosi, indeks Sumber : Mendoza (2008)
kerentanan erosi yang diperoleh dalam penelitian ini Fitur yang paling penting dipelajari dan dianalisis di
juga bervariasi dari indeks sangat rendah (very low, VL) zona pantai adalah pantainya, yang pada dasarnya
hingga sangat tinggi (very high, VH) dalam ke lima merupakan tempat dimana sedimen disimpan. Pantai
kelas gelombang. Kombinasi indeks kerentanan ini selalu berubah akibat pengaruh angin dan gelombang,
menghasilkan indeks kerentanan pantai yang juga pasang surut, kejadian badai, dan kegiatan manusia.
bervariasi dari tingkat sangat rendah ke tingkat sangat Umumnya pantai pasir terdiri dari area yang disebut
tinggi dengan ”foreshore” dan ”backshore”. Aspek prinsip dari
Indeks kerentanan banjir dan erosi yang pantai adalah tingkah laku dinamisnya, karena adanya
dianalisis berdasarkan kelas gelombang yang diprediksi butiran sedimen lepas yang memberi respon terhadap
dari data angin maksimum selama 10 tahun ini dapat gelombang dan arus. Profil pantai dapat dipandang
digunakan untuk melihat sejauh mana kerentanan pantai sebagai mekanisme yang efektif yang menyebabkan
Aceh, dalam hal ini Kota Banda Aceh terhadap cuaca gelombang menjadi pecah dan energinya diserap. Pantai
ekstrim yang terjadi. Hal ini dapat menjadi acuan dan berfungsi sebagai buffer, melindungi tebing laut dan
pedoman dalam pengaturan kebijakan didalam coastal konstruksi dibelakangnya dari serangan gelombang.
zone management. Diharapkan hasil penelitian ini dapat Bila terjadi kehilangan asupan sedimen yang lama dari
digunakan menjadi masukan kepada instansi terkait pantai, tentu pantai tidak mampu berfungsi sebagai
dalam menentukan kebijakan dalam memitigasi zona
9
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 – 19 April 2011

ISSN 2088-4532
buffer lagi dan kerusakan terhadap bangunan kerentanan banjir (flood vulnerability indicator) dan
dibelakangnya akan mungkin terjadi. indikator kerentanan erosi (erosion vulnerability
Untuk kondisi dimana pantainya sudah mengalami indicator).
perlindungan, maka profil pantai yang dimiliki berbeda Indikator kerentanan banjir menurut Mendoza
dengan pantai yang tanpa perlindungan. Gelombang (2008) didefinisikan sebagai fungsi dari parameter
yang menuju pantai akan menghantam bangunan dan tengah banjir (flood intermediate parameter, FIP)
kemudian akan direfleksikan kembali ke laut. Akan dimana untuk setiap tingkatan badai dirumuskan
terjadi gelombang naik ke permukaan bangunan yang sebagai:
disebut dengan ’ru nup’ gelombang. (Ru + α σ R ) + ξ (3)
Potensi banjir dapat dijelaskan sebagai situasi FIP = u

BH
temporer dimana air laut menggenangi kawasan diluar
kebiasaan yang dapat menyebabkan kerusakan dan dimana: Ru = run up kelompok gelombang untuk tipe
ancaman. Menurut Mendoza (2008), karakteristik pantai tertentu (m); σ Ru = standar deviasi run up yang
potensi banjir ditentukan berdasarkan dua parameter
diprediksi untuk semua badai dalam tingkatannya;
yaitu: run up dan storm surge. Ilustrasi banjir dan run
up dapat dilihat pada Gambar 2. Nilai run up ditentukan
α = faktor yang digunakan untuk menghitung tingkat
keamanan yang diinginkan; ξ = nilai rerata rambatan
oleh kemiringan, kekasaran, porositas pantai,
badai representatif dari tipe atau kelas badai (m).
keberadaan berm, geometri pantai, dan karakteristik
gelombang datang. Storm surge merupakan kejadian
Bila FIP diketahui, maka komponen kerentanan yang
naiknya level muka air yang didorong ke arah pantai
terkait dengan genangan yaitu Indeks Kerentanan Banjir
oleh gaya pusaran angin saat badai. Kenaikan muka air
(Flood Vulnerability Index, FVI) dihitung dengan
yang dikombinasikan dengan pasang surut akan
menggunakan aturan skala yang disajikan pada Gambar
menghasilkan pasang badai (storm tide). Besarnya run
4 dalam skala 0 sampai dengan 1.
up yang terjadi diprediksi dengan mengadopsi rumus
Pendekatan yang sama juga diterapkan dalam
Stockdon et al (Mendoza, 2008) yang disederhanakan
menentukan indikator penentuan kerentanan erosi.
sebagai berikut:
Pantai yang memiliki dunes (gunungan pasir) akan
R2 = 0.043(H 0 L0 )
1/ 2
(2) memiliki cukup ruang pantai sebelum mengalami impak
Dimana: R2 adalah run up gelombang, H0 dan L0 adalah badai. Setelah badai menghadang, dunes ini masih
tinggi dan panjang gelombang di laut dalam. mampu melindungi bangunan di belakangnya terhadap
impak badai. Bila selama terjadinya badai dunes ini
menghilang, dapat dikatakan bahwa pantai telah gagal
sebagai agen pelindung, seperti digambarkan pada
Gambar 3.

Lebar pantai efektif merupakan indikator tingkat


pertama yang didefinisikan sebagai jarak antara
bangunan atau bagian yang penting dan garis muka air.
Indikator kerentanan didefinisikan sebagai fungsi dari
parameter menengah erosi (Erosion Intermediate
Parameter, EIP) yang untuk setiap tingkatan atau kelas
badai dirumuskan sebagai berikut (Mendoza, 2008):

∆X + ασ (∆X ) (4)
EIP =
BW
Gambar 2: Ilustrasi proses erosi - sedimentasi profil
dimana: ∆X= kemunduran representatif garis pantai (m);
pantai
Sumber : Mendoza (2008) σ = standar deviasi dari estimasi pantai; α = angka
faktor yang dipakai untuk level keamanan yang
Bagi pantai yang terdapat struktur pengaman pantai diinginkan = 1; BW = lebar pantai (m)
perhitungan run up dilakukan dengan menghitung
angka Irribarren dan grafik run up gelombang
(Triatmodjo, 1999:268)

2.2 Penentuan Karakteristik Zona Pantai


Mendefinisikan indeks kerentanan pantai
terhadap badai dengan menggunakan parameter
intermediate untuk tinggi genangan dan erosi, dan
perubahan garis pantai. Dalam penelitian ini indeks
kerentanan pantai diklasifikasikan berdasarkan indikator

10
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 – 19 April 2011

ISSN 2088-4532

Tabel 2 Klasifikasi Pembobotan Rata-Rata dari


Nilai EVI dan FVI
EVI Very Low Medium High Very
FVI low High
Very Very Low Low Medium High
low low
Low Low Low Medium Medium High
Medium Low Medium Medium High Very
High
High Medium Medium High High Very
High
Very High High Very Very Very
High High High High
Sumber: Mendoza (2008)
Gambar 3: Skema fungsi proteksi erosi dari pantai
selama badai
Sumber: Mendoza (2008) 3. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian yang telah dilakukan oleh Mendoza (2008)
menggunakan data yang cukup lengkap, dimana di zona
Bila EIP telah diketahui maka komponen kerentanan penelitian tersebut terdapat stasiun pencatat gelombang,
yang terkait dengan erosi, Indeks Kerentanan Erosi pasang surut, dan informasi data spasial yang lengkap
(Erosion Vulnerability Index, EVI) dihitung dengan dan berkesinambungan. Dibandingkan dengan kasus
menggunakan hubungan fungsi seperti pada Gambar 4 penelitian yang dilakukan di Pantai Banda Aceh, data
dengan skala dari 0 sampai 1. Untuk EVI = 0 seperti pencatatan gelombang dan kejadian impak badai
menunjukkan bahwa total erosi dari kelas badai adalah tidak tersedia karena memang tidak memiliki stasun
kurang atau sama dengan setengah lebar pantai (EIP ≤ pencatatan yang dimaksud. Untuk itu, dengan
0.5). Hal sebaliknya berlaku untuk keadaan dimana EVI menggunakan data yang tersedia dan kegiatan
≥ 1. Variasi kerentanan mulai dari sangat rendah pengukuran langsung di lapangan, maka dalam
sampai yang sangat tinggi dengan interval 0.2 penelitian ini metode yang telah diterapkan oleh
didefinisikan melalui 5 kelas kualitatif dari hubungan Mendoza tidak dapat diadopsi secara menyeluruh tetapi
fungsional ini. disesuaikan dengan kondisi yang ada tanpa mengurangi
kebenaran dari analisisnya.
Indeks kerentanan pantai (Coastal Vulnerability Index,
CVI) adalah penilaian dalam bentuk angka atau Kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini meliputi 4
mengangkakan implikasi setiap proses yang terjadi (empat) tahapan proses pelaksanaan yang diuraikan
selama badai yaitu proses inundasi dan erosi. Penilaian sebagai berikut.
secara ini merupakan nilai tambah yang disuplai oleh
indeks kerentanan pantai. Jadi, dengan tambahan update
database dengan informasi dari spot-spot pantai di 3.1 Proses 1: Penentuan Karakteristik Angin
sepanjang pantai yang diamati, dapat dipetakan setiap Pembangkit Gelombang.
skenario baik dari kasus yang paling ringan maupun Menentukan karakteristik dari gaya (forcing) sehingga
yang paling berat untuk setiap proses yang terlibat. klasifikasi cuaca ekstrim akibat impak badai di daerah
studi (muara sungai Krueng Aceh dan sekitarnya) akan
Berdasarkan kombinasi klasifikasi Indeks Kerentanan diperoleh, dengan mengacu pada data sekunder yang
Banjir (FVI) dan Indeks Kerentanan Erosi (EVI) diperoleh dari stasiun BMKG Blang Bintang tahun 2000
diperoleh tabel rerata nilai EVI dan FVI untuk – 2009. Data iklim ini di generate dengan menggunakan
menyimpulkan Index Kerentanan Pantai terhadap pantai model yang disarankan oleh CERC (1984) dalam
yang diamati, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 mentransform data angin menjadi data gelombang laut.
berikut. Energy content yang dipakai sebagai penentuan
klasifikasi badai dianalisis berdasarkan Pers. 1 dan
Tabel 1, dengan pemilihan data maksimum yang terjadi
pada setiap bulan.

Bila selama penelitian berlangsung data badai tidak


diperoleh, maka kajian dilakukan terhadap data cuaca
ekstrim dengan mengumpulkan data angin maksimum
bulanan yang ditransformasikan menjadi data tinggi dan
periode gelombang maksimum. Kelas gelombang
dianalisis mengacu pada Tabel 1. Analisis transformasi

11
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 – 19 April 2011

ISSN 2088-4532
ini dilakukan dengan metode yang disarankan CERC sampel sedimen dasar dan sedimen melayang. Data
(1984) dengan menggunakan Metode SMB untuk base GIS yang berisikan informasi terkait dengan lokasi
peramaan tinggi dan periode gelombang signifikannya. studi juga digunakan sebagai sumber informasi
sekunder di dalam analisis.
3.2 Proses II: Observasi dan Pengukuran di
Lapangan terhadap Pengaruh/Impak Badai 3.4 Proses IV: Penentuan Indeks Kerentanan
Observasi dan pengukuran di lapangan terhadap impak Pantai Terhadap Pengaruh /Impak Badai
badai diperoleh dari perubahan garis pantai yang Mendefinisikan indeks kerentanan pantai terhadap
ditinjau berdasarkan pias-pias pengukuran sepanjang impak kejadian badai ataupun gelombang maksimum
setiap 200m per pias sepanjang pantai. bila tidak diperoleh kejadian badai, dengan
menggunakan parameter intermediate untuk tinggi
Peninjauan perubahan garis pantai ini mencakup: genangan dan erosi, dan perubahan garis pantai.
a. kondisi pantai di sebelah kiri muara Krueng Aceh,
pada daerah muara, dan pada daerah sebelah kanan Didalam analisis flood intermediate parameter (FIP),
muara, nilai run up diperoleh berdasarkan Pers (2). Analisis
b. sepanjang pantai antara muara Krueng Aceh sampai erosion intermediate parameter (EIP) menggunakan
sebelah kanan muara Kanal Banjir; kenaikan muka air akibat pasang surut, posisi garis
c. kondisi pantai di sebelah kiri muara Kanal Banjir, gelombang pecah sebagai dasar penentuan maju atau
pada daerah muara, dan pada daerah sebelah kanan mundurnya garis pantai (∆X) pada Pers (4). Data
muara Kanal Banjir, pasang surut diperoleh dari data NOAA pada posisi
dengan panjang garis pantai keseluruhan sekitar 5000m. Ulee Lheue, dan analisis gelombang pecah mengikuti
Pengukuran di lapangan ini dilakukan dalam 2 tahapan persamaan Goda (Goda, 1985:73) ataupun persamaan
pengukuran untuk melihat sejauh mana perubahan profil Munk ( Triatmodjo, 1999:94).
pantai yang terjadi diantara dua kali pengukuran
tersebut. Survey yang dilakukan sebelum dan sesudah
flood potential
badai dalam rentang waktu penelitian ( 20 November wind data (survey topografi & bathymetry
Basical
(BMKG Bl Bintang for: run up, BH, tidal range)
2010 – 20 Januari 2011) selain dengan melakukan 2000-2009) consideration for
Coastal Zone
observasi dan pengukuran secara langsung, juga erosion potential Management
tide data (Survey topografi & bathymetry
berdasarkan data sebelumnya yang diambil pasca (NOA tide data) for: BW, ∆X, ∆V, profil Bruun) in
kejadian tsunami 2004 dan juga melalui prediksi dengan Definition of Induced response of
Banda Aceh Coast
Model Bruun (Gutierrez, Williams dan Thieler ,2008). storm classes wave classes (5 classes)
(Table 2, Mendoza) (Table 2, Mendoza)
Data pada objek penelitian secara langsung juga
diperoleh, selain menggunakan data foto udara dan data
angin dari stasiun klimatologi. Data ini diperoleh Flood vulnerability index (FVI)

melalui survey topografi, bathymetry, dan pengambilan 5 classes


vulnerability calculator
sampel sedimen dalam kegiatan untuk memperoleh FIP & EIP
Erosion vulnerability index (EVI):
5 classes
gambar peta situasi topografi dan bathymetry pada
GIS beach
lokasi yang ditinjau. Pengambilan sampel sedimen dasar coastal vulnerability index (CVI)
to sea storms : 5 classes
data base
dilakukan sepanjang 8 titik sepanjang pias pengamatan
pada 2 lokasi/titik, yaitu pada lokasi sebelum dan
Gambar 4: Bagan alir analisis index
sesudah daerah gelombang pecah. Data diameter butiran
kerentanan pantai pada penelitian ini
rerata diperlukan dalamperhitungan parameter tengah
erosi (EIP).
Bagan alir metode analisis indeks kerentanan pantai
(CVI) pada penelitian ini tetap mengacu pada alur
3.3 Proses III: Penentuan Karakteristik Zona
prosedural yang disarankan oleh Mendoza (2008) tetapi
Pantai
disini indeks kerentanan pantai yang dihasilkan adalah
Penentuan karakteristik zona pantai dengan melakukan
berdasarkan kelas gelombang yang diperoleh dari
pengumpulan data lokal terkait pada pantai di sebelah
prediksi gelombang signifikan berdasarkan data angin
utara Kota Banda Aceh. Pengumpulan data lokal mulai
maksimum selama 10 tahun yang diperoleh dari stasiun
bagian kiri muara Krueng Aceh sampai dengan bagian
BKMG Blang Bintang. Bagan alir dan perolehan
kanan muara Kanal Banjir digunakan sebagai fitur
parameter yang diperlukan dalam analisis kerentanan
dasar. Survey yang dilakukan meliputi survey topografi,
banjir, erosi dan pantai terhadap gelombang maksimum
bathymetry, pengukuran pasut, dan pengambilan sampel
dari penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 4.
sedimen di perairan objek yang ditinjau ini.

Peralatan survey yang digunakan adalah: Theodolite,


Waterpass, dan GPS untuk survey topografi,
EchoSounder dan GPS (GPS Sounder), dan baak ukur
pasang surut untuk survey bathymetry, serta sedimen
grabber dan botol sampling sedimen untuk pengambilan
12
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 – 19 April 2011

ISSN 2088-4532

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Profile No. A.79

3.000

2.000

4.1 Hasil survey lapangan 1.000

0.000
Survey lapangan yang telah dilakukan dalam 2 Data Profil I

E le v a tio n
Data Profil II
-1.000 MS L
tahap pengukuran baik topografi dan bathymetry -2.000

memberikan gambaran perubahan profil pantai -3.000

sepanjang sekitar 5 km. Hasil pengukuran ini -4.000


0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00
memberikan data untuk pemetaan topografi dan
pemetaan bathymetry seluas batasan survey. Batasan Distance

pemetaan dimulai dari titik awal yang berjarak 200m (b)


dari tebing kiri muara Krueng Aceh ke arah barat, Gambar 5: profil pantai yang mengalami proses
sampai dengan ke titik akhir yang berjarak 200m dari sedimentasi (a) dan proses erosi (b) antar rentang
tebing kanan muara Kanal Banjir ke arah timur. Hasil waktu pengukuran
pengukuran topografi memberikan gambaran layout
atau peta topografi di darat sekitar pantai yang ditinjau, gelombang signifikan dilakukan berdasarkan fetch
yang berjarak 200 – 300m ke arah darat dari garis pantai efektif pada perairan di sebelah utara Kota Banda Aceh
sepanjang 5000m pada kawasan observasi. berdasarkan arah angin dominan tersebut. Gambar
distribusi angin maksimum yang dianalisis dari tahun
Gambar 6a dan 6b merupakan contoh hasil pengukuran 2000-2009 diperlihatkan pada Gambar 6.
profil pantai yang dipilih pada titik ukur A.44 yang
profilnya mengalami asupan sedimen dan titik ukur
A.79 yang profilnya mengalami erosi dalam rentang
waktu 5 minggu. Berdasarkan gambar profil tersebut
diperoleh nilai-nilai lebar pantai (BW), tinggi dune
(BH), beach retreat (∆X), dan volume profil tererosi
(∆V) yang prosesnya terjadi dalam rentang waktu 2 kali
pengukuran. Tabel 3 adalah hasil analisis dimensi
tersebut untuk profil A44 dan A79, yang digunakan
sebagai dasar penentuan FIP dan EIP terhadap profil
tersebut.

Tabel 3. Hasil analisis nilai dimensi dasar pantai


berdasarkan pengukuran lapangan
No. BH BW ∆X ∆V Waktu
profil (m) (m) (m) (m3/m) pengukuran
A44 2.78 76.0 0.76 23.67 Tahap I: Mid
A79 2.69 60.0 0.94 108.60 November 2010
Tahap II: Awal
Januari 2011 Gambar 6: Mawar angin untuk kejadian angin
maksimum untuk Stasiun Metereologi dan Geofisika
Blang Bintang Aceh Besar tahun 2000-2009
4.2 Analisis Prediksi Gelombang Maksimum
Jarak fetch dari angin dominan terhadap pantai Kota
Analisis gelombang maksimum di perairan Banda Aceh diperlihatkan pada Gambar 5a dan 5b.
pantai Kota Banda Aceh diprediksi berdasarkan Prediksi tinggi dan periode gelombang signifikan
distribusi data angin, dengan angin dominan berembus berdasarkan jarak fetch dalam arah angin dominan
dari barat pada musim angin barat dan dari timur laut disajikan pada Tabel 4. Tabel ini memperlihatkan
pada musim timur. Prediksi tinggi dan periode bahwa berdasarkan hasil analisis prediksi angin,
Profile No. A.44 diperoleh tinggi dan periode gelombang signifikan
4.000 sepanjang kejadian angin dari tahun 2000 sampai
3.000

2.000
dengan 2009.
1.000
Data Profil I
E le v a tio n

0.000
Data Profil II
MS L
-1.000

-2.000

-3.000

-4.000
0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00

Distance

(a)
13
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 – 19 April 2011

ISSN 2088-4532

Tabel 4. Rekapitulasi Prediksi Tinggi dan Periode Tabel 5. Hasil analisis run up terhadap klasifikasi
Gelombang Maksimum selama 10 tahun gelombang maksimum

Timur Laut Barat


Kelas
Frekuensi Energy
gelombang Durasi Hs Max Ts Max Lo Ru
Tahun Hs Ts Hs Ts maksimum
Kejadian Content
% Jam M detik M2 Jam m m
(m) (detik) (m) (detik) I 6.38 15 2.74 6.12 112.61 58.40 0.81
II 2.13 18 3.36 6.80 203.21 72.12 0.95
2000 4.15 7.64 2.51 5.76 III 10.64 22 4.15 7.64 344.45 90.98 1.13
IV 2.13 22 4.96 8.65 541.24 116.68 1.37
2001 3.91 7.36 3.88 8.07
V 2.13 25 5.86 9.97 858.49 155.09 1.69
2002 4.15 7.64 2.51 5.76
Hasil analisis untuk penentuan FVI dan EVI
2003 5.86 9.97 3.10 6.61 berdasarkan klasifikasi gelombang sebagai contoh
2004 4.15 7.64 2.82 6.20 diperlihatkan hasil yang diperoleh untuk pias
pengukuran A.44 yang merupakan profil pantai yang
2005 4.58 8.16 2.82 6.20 mengalami proses sedimentasi dan pada pias
2006 4.15 7.64 3.96 8.24 pengukuran A.79 terhadap pantai yang mengalami erosi
pada Tabel 6. Tabel ini juga memeperlihatkan indeks
2007 4.96 8.65 3.88 8.07 kerentanan pantai pada profil yang dimaksud.
2008 4.15 7.64 1.95 5.06
2009 3.08 6.48 3.10 6.61 Tabel 6. Hasil prediksi indeks kerentanan pantai
(CVI) pada ProfilA.44 dan A.79 terhadap 5 kelas
Rerata 4.31 7.88 3.05 6.66 gelombang
Kelas
profil BH (m) BW (m) ∆X (m) FIP FVI EIP EVI CVI
gelombang

4.3 Penentuan Klasifikasi Tinggi Gelombang I


A.44
2.766 3.00 5.002
0.4196 VL 1.6855 VH H
A.79 0.4321 VL 0.0834 VL VL
Maksimum Sebagai Pengaruh/Impak Badai A.44
2.686 60.00 4.950
0.4700 VL 1.3197 VH H
2.766 3.00 3.909
Dalam penentuan ini, pengaruh/impak badai dianalisis II
A.79 0.4840 VL 0.0652 VL VL
2.686 60.00 3.864
berdasarkan prediksi tinggi gelombang maksimum A.44
2.766 3.00 11.976
0.5355 VL 4.0130 VH H
III
dengan pembagian besaran tinggi gelombang atas 5 A.79
2.686 60.00 11.971
0.5515 VL 0.2006 VL VL
A.44 0.6196 L 5.4123 VH H
kelas seperti pada Tabel 2. Data angin yang telah IV
A.79
2.766 3.00 16.150
0.6380 L 0.2705 VL L
2.686 60.00 16.144
diklasifikasikan dalam tinggi angin maksimum A.44
2.766 3.00 21.878
0.7371 M 7.3497 VH VH
V
ditransformasikan/dialihkan menjadi klasifikasi A.79
2.686 60.00
21.871 0.7590 M 0.3674 VL L

gelombang maksimum berdasarkan data angin yang


diperoleh dari Stasiun BMKG Blang Bintang. Dalam
peramalan gelombang ini digunakan durasi angin Indeks kerentanan banjir, erosi,dan pantai secara
minimum yang dapat menghasilkan fully develop sea menyeluruh digambarkan pada Gambar 7 pada lokasi
waves dengan Grafik Sverdrup-Munk-Bretschneider penelitian ini, yaitu di kawasan pantai Kota Banda Aceh
(Triatmodjo, 2009). dari Muara Krueng Aceh sampai Muara Banjir Kanal
Krueng Aceh.

4.4 Analisis penentuan FIP dan EIP


Analisis run up gelombang digunakan untuk
memperoleh Flood Intermediate Parameter (FIP) dan
pembagian kelas FVI pada lokasi yang ditinjau. Hasil
analisis run up menurut klasifikasi gelombang
maksimum diperlihatkan pada Tabel 5. Berdasarkan
nilai Ru dan nilai BH yang diperoleh pada setiap pias
pengukuran dan kelas gelombang, dapat ditentukan Gambar 7: Matrix FVI , EVI, dan CVI untuk kelas
nilai FIP atau parameter tengah banjir pada pias yang gelombang I pada lokasi penelitian
bersangkutan. Nilai FIP yang diperoleh menghasilkan
FVI dengan menggunakan Gambar 4 dengan
menganggap nilai ξ=0 karena storm surge belum
pernah terjadi pada lokasi penelitian ini.

14
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 – 19 April 2011

ISSN 2088-4532

(b)
Gambar 9: Lapisan batu penutup breakwater yang
Gambar 8: Gambaran Kelas FVI, EVI, dan CVI bergeser dan jatuh ke air
pada lokasi penelitian

4.5.2 Penggunaan hasil penelitian kepada


4.5 Pembahasan Pemerintah Daerah Aceh
Indeks kerentanan banjir dan erosi yang dianalisis
4.5.1 Umum berdasarkan kelas gelombang yang diprediksi dari data
Secara menyeluruh berbasis skala lokal, daerah pantai angin maksimum selama 10 tahun dapat digunakan
antara muara Krueng Aceh dampai muara Banjir Kanal untuk melihat sejauh mana kerentanan pantai Aceh,
Krueng Aceh memberikan nilai indeks kerentanan dalam hal ini Kota Banda Aceh terhadap cuaca ekstrim
pantai yang bervariasi dalam kelima kelas gelombang yang terjadi. Melihat hasil analisis bahwa nilai tingkat
yang diprediksi menurut Tabel 1 yaitu antara kelas CVI dari sangat rendah sampai sangat tinggi, ada
sangat rendah (VL), sampai sangat tinggi (VH). bagian-bagian tertentu sepanjang pantai yang perlu
Kerentanan fisik yang sangat tinggi diperkirakan pada diproteksi dengan tipe bangunan pelindung yang sesuai
pias pantai yang lebarnya sangat kecil seperti dalam dan ada pula bagian-bagian tertentu yang boleh
penelitian ini yaitu pada profil A.40 dan A.44 yang dibiarkan tetap alami saja. Indeks kerentanan yang
lebar pantainya hanya 3.0 meter. Hal ini terlihat bahwa tinggi pada kawasan pantai yang perlu mendapat
ada spot-spot tertentu yang material bangunan perhatian adalah bila lokasi tersebut telah digunakan
pelindungnya sudah bergeser kedudukannya dan bahkan sebagai daerah terbangun. Hal ini dapat menjadi acuan
ada yang jatuh ke air, seperti diperlihatkan pada Gambar dan pedoman dalam pengaturan kebijakan didalam
9a dan 9b. Kerusakan susunan batu pelindung coastal zone management.
breakwater ini menandakan pernah terjadi gelombang
dengan kelas yang tinggi, sehingga lokasi tersebut dapat 4.5.3 Pembahasan pembelajaran tentang
diperkirakan rentan terhadap pengaruh gelombang penelitian kerentanan pantai
dengan kelas tertentu. Proses pengkajian dalam menghasilkan matriks
kerentanan pantai dan indeks kerentanan pantai juga
merupakan hal baru yang menjadi pembelajaran
berharga dalam penelitian ini. Analisis statistika selain
pengukuran langsung di lapangan yang perlu dikuasai
menjadi bekal dalam proses menganalisis data, baik data
sekunder maupun data hasil pengukuran dilapangan.
Penggunaan model-model numerik dalam memprediksi
kerentanan banjir, kerentanan erosi dan perubahan garis
pantai untuk perairan pantai kota Banda Aceh menjadi
lebih dapat diyakini hasilnya, karena ada data observasi
yang dapat dipakai sebagai perbandingan atau
verifikasi.
Hal yang menjadi kendala dalam penentuan
(a) EVI adalah karena hampir sepanjang pantai Kota Banda
Aceh telah diperkuat dengan bangunan pelindung
pantai, sehingga kerentanan fisik pantai alami tidak
dapat diperoleh untuk Kota banda Aceh. Walaupun, ada
pada beberapa tempat terjadi kerusakan bangunan
pelindung yang terbuat dari susunan batu alam (armour
rocks), yang dicurigai akibat serangan gelombang badai.

15
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan
TDMRC-Unsyiah, Banda Aceh, 13 – 19 April 2011

ISSN 2088-4532
Kelanjutan dari penelitian ini adalah dijadikan referensi bagi peneliti lain yang tertarik dalam
memasukan faktor sosial dan ekonomi bagi pengguna masalah ini.
pantai, yaitu penduduk dikawasan pantai yang ditinjau. Penelitian kajian ini masih perlu ditindaklanjuti
Untuk penelitian lanjutan dari penelitian tahap awal ini, dengan memasukkan pengaruh kerentanan komponen
akan dipilih lokasi yang sangat sering diancam badai sosial dan juga kerentanan ekonomi terhadap bencana
dan juga kondisinya masih alami, seperti perairan pantai badai ataupun gelombang maksimum. Berarti untuk
di Aceh Barat dan sebagian kawasan pantai Aceh Utara. kedepan, tim peneliti perlu menambah anggotanya dari
Dari berita yang disiarkan secara umum banyak tempat- bidang keilmuan lainnya yang menyangkut sosial
tempat di Aceh Barat dan Aceh Utara yang sangat ekonomi penduduk sekitar pantai yang biasanya terkena
rentan terhadap gelombang badai. impak bencana. Dari penelitian terpadu ini nantinya,
diharapkan hasil yang diperoleh dapat disumbangkan
5. KESIMPULAN DAN SARAN kepada Pemerintah Daerah Aceh untuk penanganan
bencana di pantai Aceh, terutama terhadap bencana
5.1 Kesimpulan badai. Terimakasih.
1. Pekerjaan perulangan pengukuran pada cross section
yang sama perlu dilakukan untuk melihat impak Ucapan terimakasih
badai atau gelombang maksimum yang telah Tim peneliti dari Peer Group Tsunami, Abrasi pantai,
berlangsung terhadap profil pantai.dari hasil kedua SLR, Badai - TDMRC mengucapkan banyak
pengukuran tersebut diperoleh nilai ∆X yang terimakasih atas pendanaan menyeluruh dari pihak
diperlukan untuk perhitungan parameter tengah MDF dan UNDP melalui project DRR-A dengan nomor
erosi (EIP). kontrak: 537.G/TDMRC-UNSYIAH/TU/XI/2010, dan
2. Kelas gelombang telah dipilih sebagai pengganti juga atas kerjasama TDMRC dengan Pemerintah
kelas badai yang diadopsi dari Mendoza (2008), Daerah Aceh dan Departemen Dalam Negeri.
tetapi masih menggunakan kriteria nilai besaran
untuk klasifikasi tersebut. Hal ini dilakukan karena Daftar Pustaka
storm surge belum pernah menghampiri lokasi CERC (1984) Shore Protection Manual, U.S. Army
peninjauan. Dalam analisis FIP dan EIP dianggap Corps of Engineers, Department of Army, Washington,
bahwa nilai ξ=0. USA
3. Besaran FIP yang diperoleh untuk ke lima kelas
gelombang berkisar antara 0.363 – 1.268 yang Goda, Y. (1985) Random Seas and Design of Marine
menandakan indeks kerentanan banjir (FVI) antara Structures, Univ.of Tokyo Press, Japan.
sangat rendah sampai sangat tinggi. Jimenez, J.A.Q. and E.T.Ponce Mendoza (2008)
4. Besaran EIP yang diperoleh untuk ke lima kelas Coastal Vulnerability to Storms in Catalan Coast,
gelombang berkisar antara 0.0052 sampai 7.3578 Doctoral Disertation in Laboratori d’Enginyeria
yang menandakan indeks kerentanan erosi (EVI) Maritima Universitat Politecnica de Catalunya,
juga antara sangat rendah sampai sangat tinggi. Barcelona (in English version)
5. Hasil kombinasi FVI dan EVI menyimpulkan
Indeks kerentanan pantai (CVI) yang juga Mendoza, E. T. and J. A. Jiménez (2008) Vulnerability
bervariasi dari sangat rendah (VL) sampai sangat Assessment to Coastal Storms at a Regional Scale,
tinggi (VH) di sepanjang pantai antara Muara ICCE 2008.
Krueng Aceh sampai Muara Banjir Kanal Krueng
Aceh di Banda Aceh. Mendoza, E. T. and J. A. Jiménez (2006) Storm-induced
6. Tempat atau pias yang dianalisis mempunyai erosion potential on the Catalonian coast, Journal of
kerentanan tinggi perlu mendapat perhatian bila Coastal Reseach, SI 48 (Proceedings of the 3rd Spanish
pada lokasi tersebut merupakan daerah terbangun Conference on Coastal Geomorphology) 81-88. Las
dan berpenduduk padat. Palmas de Gran Canaria, Spain, ISSN 0749-0208

5.2 Saran Triatmodjo, B. (2009) Perencanaan Pelabuhan, Beta


Untuk proses pengembangan ada baiknya bila Offset, Yogyakarta.
kajian serupa yang mengharuskan pengukuran sejenis
ini, peneliti dapat mengusulkan suatu instrument Triatmodjo, B. (1999) Teknik Pantai, Beta Offset,
pengukuran terpadu, yang tentunya memerlukan usulan Yogyakarta.
dana yang lebih besar dari penelitian ini.
Website :
5.3 Tindak Lanjut http://www.cawcr.gov.au/bmrc/pubs/tcguide/globa_guid
Di dalam kajian ini masih terbatas pada e_intro.htm, diakses 2010.
komponen fisik saja yang dikaji, sedangkan yang
menerima impak badai adalah penduduk di sekitar
pantai. Hasil kajian ini juga akan dittuliskan dalam
format karya ilmiah untuk publikasi, sehingga dapat
16

Anda mungkin juga menyukai