Anda di halaman 1dari 16

III.

II DEMAM TIFOID

III.II.I Definisi dan Etiologi


Demam tifoid atau typhus abdominalis adalah penyakit yang disebabkan oleh
kuman Salmonella typhi. Salmonella typhi adalah kuman gram negative berbentuk
batang yang hidup secara fakultatif anaerob Demam tifoid merupakan penyakit
infeksi akut bersifat sistemik yang disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella
typhi. Penyakit ini masih sering dijumpai di negara berkembang yang terletak di
subtropis dan daerah tropis seperti Indonesia.6

Basil penyebab demam tifoid adalah


Salmonella typhi dari genus Salmonella.
Bakteri ini berbentuk basil, gram negatif,
bergerak tidak berkapsul, tidak membentuk
spora tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob
dan anaerob fakultatif. Ukuran antara (2-4)
kali o,6 mikro meter. Suhu optimum untuk
tumbuh adalah 37 derajat celcius dengan pH
antara 6-8. Basil ini dibunuh dengan
pemanasan (suhu 60 derajat celcius) selama
15-20 menit. Masa inkubasi tifoid 10-14 hari dan pada anak, masa inkubasi ini lebih
bervariasi berkisar 5-40 hari dengan perjalanan penyakit kadang-kadang juga tidak
teratur.7

Struktur antigen Salmonella typhi terdiri dari 3 macam antigen yaitu :7,8

1. Antigen O (antigenic somatik) merupakan bagian terpenting dalam


menentukan virulensi kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia
lipopolisakarida disebut endotoksin dan terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Antigen ini bersifat hidrofilik, tahan terhadapa pemanasan suhu 100
derajat Celcius selama 2-5 jam dan tahan alcohol 96% selama 4 jam pada suhu
37 derajat Celcius tidak tahan terhadap formaldehid.

1
2. Antigen H (Antigen flagella) yang terletak pada flagella dan fimbria (pili) dari
kuman. Flagel ini terdiri dari badan sel yang melekat pada sitoplasma dinding
sel kuman, struktur kimia ini berupa protein yang tahan terhadap formaldehid
tetapi tidak tahan terhadap panas dan alcohol pada suhu 60 derajat Celcius.
Selain itu flagel juga terdiri dari the hook dan filament yang terdiri dari
komponen protein polymerase yang disebut flagella dengan BM 51-57 kDa
yang dipakai dalam pemeriksaan asam nukleat kuman Salmonella typhi.
3. Antigen Vi (permukaan) yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang
dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Struktur kimia proteinnya dapat
digunakan untuk mendeteksi adanya karier dan akan rusak jika diberi
pemanasan selama 1 jam pada suhu 60 derajat Celcius dan pada pemberian
asam serta fenol.

Dinding sel Salmonella typhi dibentuk 20% nya oleh lapisan lipoprotein.
Sementara itu, lapisan fosfolipid dan lipopolisakarida membentuk 80% dinding sel
kuman Salmonella typhi. Lipolisakarida yang terdiri dari lipid A, oligosakarida, dan
polisakarida yang merupakan bagian terpenting dan utamayang menentukan sifat
antigenik dan aktivitas eksotoksin. Lipid A merupakan asam lemak jenuh yang
menentukan aktivitas endotoksin dari lipopolisakarida yang selanjutnya dapat
mengakibatkan demam dan reaksi imunologis sang pejamu.7

Outer Membran Protein (OMP) ialah dinding sel terluar membrane sitoplasma
dan lapisan peptidoglikan yang berfungsi sebagai sawar untuk mengendalikan
aktivitas masuknya cairan ke dalam membrane sitoplasma dan berfungsi sebagai
reseptor bakteriofag dan bakteriolisin.7

III.II.II Epidemiologi

Penyakit demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan khususnya di


Indonesia dan negara berkembang lainnya. Insidens demam tifoid masih tinggi

2
meskipun komplikasi dan angka kematian sudah menurun dengan upaya diagnosis
cepat dan pemberian antibiotik yang tepat.9
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan; di daerah rular (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan
insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.1
Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun
1995 demam tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1

III.II.III Patogenesis

Kuman penyebabnya ialah Salmonella typhi yang memasuki tubuh melalui


makanan yang terkontaminasi kuman melalui jarul oral-fecal. Singkatnya,kuman
ini terdapat dalam tinja, kemih atau darah dengan masa inkubasi sekitar 10 hari.
Yang kemudian tubuh akan melakukan mekanisme pertahanan melalui beberapa

3
proses respon imun baik local maupun sistemik, spesifik dan non-spesifik, serta
humoral dan seluler.10

Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung dan sebagiannya lolos masuk ke


dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik makan kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman
dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini,
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh anggota retikuloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meningkatkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk
ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus.
Sebagian dikeluarkan melalui fese dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag

4
telah teraktivasi dan hipereaktif makan saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabillitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.1
Di dalam plak peyeri makrofag hipereaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (Salmonella typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang ke lapisan otot, serosa usus,
dan dapat mengakibatkan perforasi.1

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat


timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasa,
dan gangguan organ lainnya.1

III.II.IV Gejala Klinis

Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid.


Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid diantaranya :7,11

Demam atau panas adalah gejala utama tifoid, dengan demam lebih dari 7 hari.
Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-sama saja, selanjutnya suhu tubuh
sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi
(demam intermitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang disertai
banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan di
daerah frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah.
Gangguan Saluran pencernaan. Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap
karena demam yang lama. Bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah
kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih. Pada umunya penderita sering mengeluh
nyeri perut terutama region epigastrium (nyeri ulu hati) disertai nausea, mual dan
muntah.

5
Gangguan kesadaran. Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa
penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan kesadaran
seperti berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolent
dan koma.
Hepatosplenomegali. Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar. Hati
terasa kenyal dan nyeri tekan
Bradikardi relatif dan gejala lain.

Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak
enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu
badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada
sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas
berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang berselaput, hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa samnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. 1

Gejala klinis yang sering terjadi merupakan dampak dari sitokim


proinflamatori serta berbagai mediator kimia maka muncul panas yang berlangsung
berkepanjangan lebih dari 1 minggu, berlangsung insidius,tipe panas stepladder
yang mencapai 39-40 derajat celcius, kemudian panasnya berlangsung persisten,
tipe kontinu atau tipe intermiten. Bersamaan dengan munculnya gejala panas sering
disertai dengan keluhan saluran cerna berupa mual, muntah, anoreksia, nyeri
abdominal, diare atau konstipasi.12,13.

Gejala yang tidak spesifik seperti malaise, menggigil, sakit kepala, mialgia dan
batuk sering muncul pada awal perjalanan penyakit. Pada pemeriksaan fisik
penderita tampak sakit sedang hingga berat pada fase toksik. Apatis dan delirium
terjadi pada 10-45 %, bradikardia relatif 15-100% penderita, lidah tifoid ditemukan
pada sebagian besar kasus, bercak Ros muncul pada awal penyakit pada lebih
separuh individu berkulit putih sedangkan pada kulit hitam gambaran tersebut

6
sering tidak terlihat. Hepatomegali lebih sering daripada splenomegali, biasanya
muncul pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Pemeriksaan
abdomen didapatkan rasa nyeri lokal maupun difus, terkadang disertai penurunan
bising usus atau terjadi distensi abdomen. Leukopenia dengan neutropenia
ditemukan pada demam tifoid tetapi sebagian pasien jumlah leukosit normal.
Demam tifoid merupakan penyakit multisistem dan meliputi hampir semua organ
tubuh terlibat dengan potensi munculnya komplikasi yang serius seperti perdarahan
intestinal, perforasi ileum, syok septik, miokarditis dan komplikasi
neuropsikiatrik.12

MANIFESTASI KLINIS

Demam enterik Diare atau konstipasi

Keluhan dan gejala pada Hepatomegali


saluran cerna
splenomegali

(Manifestasi klinis yang dominan pada demam tifoid)10

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10 sampai dengan 14 hari. Gejala-
gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari
asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai dengan komplikasi
hingga kematian1.

III.II.V Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia


klinik, imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini
ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi

7
penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan
hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.

1. Hematologi
Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit
perdarahan usus atau perforasi.
a. Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau
tinggi.
b. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif.
c. LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat
d. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).
2. Urinalis
a. Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
b. Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.
3. Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan
sampai hepatitis Akut.
4. Serologi
a. Widal
Pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi
(didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi / paratyphi (reagen).
Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta
terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai
uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan
dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile
agglutinin.
Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan
hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh
faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan
spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan
adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh

8
karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu
pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang
buruk, dan adanya penyakit imunologik lain.
Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160,
bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat
penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah
akhir minggu. Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada
penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil
reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat
itu tetapi dari kontrak sebelumnya.
b. Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM
Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam
Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di
ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM
positif menandakan infeksi akut; 2/ jika lgG positif menandakan pernah kontak,
pernah terinfeksi ,reinfeksi atau daerah endemik.
c. Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan Tubex merupakan pemeriksaan aglutinasi kompetitif semi-
kuantitatif yang cepat dan mudah untuk dikerjakan. Pemeriksaan ini
mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen LPS 0-9 pada serum pasien, prinsip
kerjanya dengan menggunakan metode reaksi immunoassay magnetic binding
inhibition (IMBI) yaitu dengan cara mengukur kemampuan serum antibodi
IgM dalam menghambat reaksi antara antigen Salmonella typhi dan anti-09
IgM monoclonal antibody (MAb). Selanjutnya ikatan inhibisi akan dipisahkan
oleh suatu daya magnetic.1
5. Mikrobiologi
a. Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam
Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti
untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu

9
bukan demam tifoid atau paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit
kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah
dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam
bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah
mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi.
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu
waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari, bila belum
ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang
digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/
carrier digunakan urin dan tinja.
6. Biologi molekular.
a. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di lakukan
perbanyakan DNA kuman yang kemudian diindentifikasi dengan DNA probe
yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam
jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula.
Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya sert
a jaringan biopsi.

III.II.VI Penatalaksanaan

Terdapat trilogi dalam penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:1

1. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat


penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu

10
dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali menjaga
kebersihan tempat tidur,pakaian, dan perlengkapan yang dipakai.
2. Diet dan terapi penunjang, dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan
kesehatan secara optimal. Penderita demam tifoid diberi diet bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, di
mana perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
Pemberian bubur saring bertujuan menghindari komplikasi perdarahan saluran
cerna atau perforasi. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus
diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan
padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari
sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien
demam tifoid.
3. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman. Antimikroba yang sering digunakan adalah:1,2
a. Cloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg per hari dapat
diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai 7 hari bebas
panas.
b. Tiamfenikol. Dosis dan efektivitas tiamfenikol hampir sama dengan
kloramfenikol, tapi komplikasi hematologinya lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500 mg.
c. Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol.
Dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet diberikan selama 2 minggu.
d. Ampisilin dan amoksisilin. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu. Kemampuan obat ini untuk
menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol.
e. Sefalosporin generasi ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin
generasi ketiga yang terbukti efektif adalah seftriakson dengan dosis yang
dianjurkan antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc yang diberikan selama
½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
f. Golongan flurokuinolon. Terdapat beberapa jenis bahan sediaan dan
aturan pemberiannya, yaitu:1

11
1) Norfloksasi dosis 2x400 mg/hari selama 14 hari
2) Siprofloksasin dosis 2x500 mg/hari selama 6 hari
3) Ofloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 7 hari
4) Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
5) Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan


tertentu saja, antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok
septik, yang pernah terukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur
darah selain kuman Salmonella.1

III.II.VII Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid, yaitu :1

1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan intestinal
Pada plaque peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat
terbentuk luka/tukak berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu
usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah
sehingga terjadi perdarahan. Selanjutnya, bila tukak menembus dinding
usus maka perforasi dapat terjadi.
b. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3 % dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala
umum demam tifoid yang biasaterjadi maka penderita demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran
kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan
tanda-tanda ileus.
2. Komplikasi ekstra-intestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis,
tromboflebitis

12
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, Koagulasi
Intravaskuler Diseminata (KID), thrombosis
c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
d. Komplikasi hepatobilier : hepatitis,kolesistitis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik

III.II.VIII Pencegahan

1. Preventif dan kontrol penularan.


Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan
kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi
kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu serta faktor
lingkungan.1
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid,
yaitu:1
a. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi. Pelaksanaannya dapat
secara aktif, yaitu mendatangi sasaran, maupun pasif, yaitu menunggu
bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif
lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana
makanan dan minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel
sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang
terkait dengan pelayanan masyarakat, yait petugas kesehatan, guru,
petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.
b. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi. Kegiatan ini
dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan
sekitar orang yang telah diketahui terinfeksi.
c. Proteksi pada orang berisiko terinfeksi. Sarana proteksi pada populasi
iini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun
hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daeranya endemis atau
non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat

13
hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu
berisiko, yaitu golongan imunokomromai golongan rentan.

Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:1

1. Daerah non-endemik. Tanpa kejadian outbreak atau epidemi:


a. Sanitasi air dan kebersishan lingkungan
b. Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan-
minuman
c. Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
2. Bila ada kejadian epidemi tifoid
a. Pencarian dan eliminasi sumber penularan
b. Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
c. Penyuluhan hiegene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
3. Daerah endemik
a. Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standar prosedur (perebusan >570°C, iodisasi, dan klorinisasi)
b. Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah mendidih, menjauhi
makanan segar (sayur/buah)
c. Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung

Vaksinasi Demam Tifoid

Saat ini vaksinasi demam tifoid tersedia 2 pilihan yaitu vaksin hidup yang
dilemahkan (Ty21A) dan vaksin polisakarida Vi. Vaksinasi ini ditekankan
pemberiannya bagi seseorang yang tinggal di daerah endemik ataupun bagi turis
yang akan masuk ke daerah endemik.14

Vaksin-vaksin tifoid ini hanya memberikan perlindungan atas infeksi


Salmonella typhi tidak pada bakteri lainnya. Namun, meskipun kita sudah diberi
vaksin ini ,tidak sepenuhnya terbentuk perlindungan terhadap penyakit demam
tifoid, karena daya lindung vaksin tifoid hanya sekitar 50% - 70%.14

14
1. Vaksin Tifoid Oral
Vaksin Ty21A berupa kapsul yang diberikan kepada orang dewasa dan anak
berumur lebih dari 6 bulan. Cara pemberiannya adalah dengan 4 dosis,
selang 1 hari (1-3-5-7), pemberian ulangan dilakukan tiap 5 tahun. Bagi turis
yang hendak masuk daerah endemik, vaksin diberikan 1 minggu sebelum
berangkat.14
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin ini adalah tidak boleh
dilakukan saat sedang demam, tidak boleh dilakukan pada orang dengan
penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV,keganasan,sedang kemoterapi atau
sedang terapi steroid) dan riwayat reaksi anafilaksis pada pemeberian dosis
pertama serta tidak boleh kepada orang dengan alergi gelatin.Efek samping
dari vaksin ini cukup ringan, yaitu berupa muntah, diare, demam, dan sakit
kepala.14
2. Vaksin Tifoid Polisakarida Vi
Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kapsul Salmonella typhi. Cara
pembariannya yaitu dosis 1 kali suntukan IM, biasanya dilengan atas untuk
orang dewasa atau di paha atas bagi anak-anak. Efek samping yang timbul
berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri otot tempat suntikan
dan reaksi-reaksi alergi.14

DAFTAR PUSTAKA

1. Widodo J. Demam Tifoid. In: Sudoyo AW, dkk, editors. 2009. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5 Jilid 3. Jakarta Pusat: Interna Publishing Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; p.2798-2805.
2. Bunga,Sari,dkk. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Demam Typhoid. Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-Kassi Makassar
3. Sloane Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : EGC
4. Eroschenko P. Victor. 2012. Sistem Pencernaan Rongga Mulut dan
Kelenjar Liur. In: U.Pendit dB, editor. Atlas Histologi diFiore. Jakarta:
EGC; p. 305-335.

15
5. Guyton et Hall. 2010. Fisiologi Manusia. Jakarta :EGC
6. Tapan, Erik. 2004. Flu, HFMD, Diare Pada Pelancong, Malaria, Demam
Berdarah, Malaria, Tifus. Edisi 1. Jakarta : Pustaka Populer Obor.
7. Supari, Siti Fadilah. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 364 / Menkes / SK / V / 2006. Pedoman Pengendalian
Demam Tifoid. Hal 1 -39
8. Arifianto. 2012. Orang Tua Cermat,Anak Sehat. Cetakan I. Jakarta : Gagas
Media. Hal 87-92
9. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull
World Health Organ 2004
10. Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi. Cetakan 1. Jakarta : EGC. Hal 143-
144
11. Febry, Ayu Bulan. 2010. Smart Parents : Pandai Mengatur Menu dan
Tanggap Saat Anak Sakit. Cetakan 1. Jakarta : Gagas Media. Hal 109
12. Nasronudin. Penyakit Infeksi di Indonesia dan Solusi Kini dan Mendatang.
Edisi kedua. Hal 192-195
13. Hayes, Peter C. 2000. Diagnosis dan Terapi. Jakarta : EGC. Hal 329-330
14. Cahyono, Suharjo. 2010. Vaksinasi : Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi.
Yogyakarta : Kanisus. Hal 95-96

16

Anda mungkin juga menyukai