Anda di halaman 1dari 13

FISIOLOGI RESPIRASI

BATASAN

A. Respirasi

Respirasi adalah pertukaran gas-gas antara organisme hidup dan lingkungan


sekitarnya. Pada manusia dikenal 2 macam respirasi sebagai berikut.

1. Respirasi eksternal
Pertukaran gas-gas antara darah dan udara di sekitarnya, meliputi :
2. Respirasi internal
Pertukaran gas-gas antara darah dan jaringan
B. Respirasi Seluler

Disebut pula sebagai metabolisme. Terdapat 2 macam yaitu sebagai berikut.

1. Aerobic Metabolism  38 ATP


2. Anaerobic Metabolism  2 ATP

C. Sistem Respirasi
Secara anatomis dapat dibagi menjadi bagian atas (hidung, ruang hidung, sinus
paranasal, dan faring) dan bagian bawah (laring, trakea, bronkus, bronkiolus,
alveolus).
Secara fisiologi dapat dibagi menjadi bagian konduksi (dari ruang hidung
sampai dengan bronkiolus terminalis) dan bagian respirasi (dari bronkiolus
respiratorius sampai alveoli).
D. Paru-paru
Merupakan organ yang memiliki fungsi utama untuk membuang CO2 dan
menyerap O2.

E. Pusat Respirasi
Merupakan kelompok neuron yang terletak di substansia retikuler medulla
oblongata dan pons. Terdiri dari pusat apnestik, area pneumotaksis, area
ekspiratori, dan area inspiratori.

FISIOLOGI PERNAFASAN

Terdapat tiga langkah dalam proses oksigenasi, yakni: ventilasi, perfusi, dan
difusi.

1. Ventilasi

Ventilasi merupakan proses untuk mengerakkan gas ke dalam dan keluar paru-
paru. Ventilasi membutuhkan koordinasi otot paru dan thokraks yang elastis
dan persarafan yang utuh. Otot pernapasan inspirasi utama adalah diafragma.
Diafragma dipersarafi oleh saraf Frenikus yang keluar dari medulla spinalis pada
vertebra servikal keempat (C4).

2. Kerja Pernapasan
Pernapasan adalah upaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan
membuat paru berkontraksi. Kerja pernapasan ditentukan oleh :
a. Tingkat kompliansi paru
b. Tahanan jalan napas
c. Keberadaan ekspirasi yang aktif
d. Penggunaan otot-otot bantu pernapasan.

Kompliansi merupakan kemampuan paru distensi atau mengembang sebagai respons


terhadap peningkatan tekanan intraalveolar. Kompliansi menurun pada penyakit,
seperti edema pulmonar, interstisial, fibrosis pleura dan kelainan struktur traumatik
atau kongenital, seperti kifosis atau fraktur iga.

Surfaktan merupakan zat kimia yang diproduksi di paru oleh sel tipe dua alveolar yang
mempertahankan tegangan permukaan alveoli dan mencegahnya dari kolaps.
Tahanan jalan napas merupakan perbedaan tekanan antara mulut dan alveoli terkait
dengan kecepatan aliran gas yang diinspirasi. Tahanan jalan napas dapat mengalami
peningkatan akibat obstruksi jalan napas, penyakit di jalan napas kecil (seperti asma),
dan edema trakeal. Jika tahanan meningkat, jumlah udara yang melalui jalan napas
anatomis menurun

VOLUME PARU

Jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap inspirasi (atau jumlah udara yang
keluar dari paru setiap ekspirasi) dinamakan volume alun napas (tidal volume/TV).

Jumlah udara yang masih dapat masuk ke dalam paru pada inspirasi maksimal, setelah
inspirasi biasa disebut volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume/IRP).

Jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara aktif dari dalam paru melalui kontraksi
otot ekspirasi, setelah ekspirasi biasa disebut volume cadangan ekspirasi (expiratory
reserve volume/ERV).

Udara yang masih tertinggal di dalam paru setelah ekspirasi maksimal disebut volume
residu (residual volume/RV).

Ruang di dalam saluran napas yang berisi udara yang tidak ikut serta dalam proses
pertukaran gas dengan darah dalam kapiler paru disebut ruang rugi pernapasan.

Pengkuran kapasitas vital, yaitu jumlah udara terbesar yang dapat dikeluarkan dari
paru-paru setelah inspirasi maksimal, seringkali digunakan di klinik sebagai indeks
fungsi paru. Nilai tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai
kekuatan otot-otot pernapasan serta beberapa aspek fungsi pernapasan lain.

Fraksi volume kapasitas vital dikeluarkan pada satu detik pertama melalui ekspirasi
paksa (volume ekspirasi paksa 1 detik, FEV1, FEV 1”, kapasitas vital berwaktu/timed
vital capasity) dapat memberikan informasi tambahan; mungkin diperoleh nilai
kapasitas vital yang normal tetapi nilai FEV1 menurun pada penderita penyakit asma,
yang mengalami peningkatan tahanan saluran udara akibat kontribusi bronkus.

Pada keadaan normal, jumlah udara yang diinspirasikan selama satu menit (ventilasi
paru, volume respirasi semenit) sekitar 6L (500 mL/napas x 12 napas/menit).
Ventilasi volunter maksimal (Maximal Voluntary Ventilation/MVV), atau yang dahulu
disebut kapasitas pernapasan maksimun (Maximal Breathing Capasity), adalah
volume gas terbesar yang dapat dimasukkan dan dikeluarkan selama 1 menit secara
volunter. Pada keadaan normal, MVV berkisar antara 125-170 L/menit.

KONTROL VENTILASI

Mekanisme yang mengatur pernafasan adalah sesuatu yang kompleks. Terdapat


kelompok pusat-pusat pengatur pernafasan, bertempat di batang otak, yang
memproduksi aktivitas bernafas secara otomatis. Hal ini kemudian diregulasi terutama
oleh input dari kemoreseptor.

Kontrol ini dapat diambil alih oleh kontrol volunter dari ada korteks. Menahan nafas,
kehilangan kesadaran, atau menghela nafas adalah salah satu contoh pernafasan
volunter.
Pusat pernafasan utama adalah pada dasar daripada ventrikel ke empat, beserta
kelompok-kelompok neuron inspirasi (dorsal) dan ekspirasi (ventral). Neuron-neuron
terpacu secara otomatis, tetapi respon ekspirasi hanya digunakan selama ekspirasi
makasimal. Dua pusat lainnya adalah pusat apnuistik, yang memacu inspirasi, dan
pusat pneumotaksis, yang memacu inspirasi dengan mengambat kelompok neuron
dorsal diatasnya.

Kemoreseptor yang mengatur pernafasan keduanya berlokasi secara sentral dan


perifer. Normalnya, kendali diberikan oleh reseptor pusat yang berlokasi di medula,
yang memberikan respon terhadap konsentrasi ion hidrogen di LCS, yang kemudian
ditentukan oleh CO2, yang berdifusi secara bebas melewati sawar darah otak melalui
darah arteri. Respon ini cepat dan sensitif terhadap perubahan kecil pada pCO 2 arteri
(PaCO2).

Selain itu, terdapat pula kemoreseptor perifer yang berlokasi di badan aorta dan
karotis yang terutama merespon terhadap penurunan drastis dari O2, tetapi beberapa
juga merespon pada peningkatan CO2 arteri. Derajat hipoksia dibutuhkan untuk
memproduksi aktivasi signifikan dari reseptor O2 dan biasanya mereka tidak
memberikan pengaruh pada keadaan normal, tetapi akan memberikan arti jika terbukti
terdapat hipoksia (PaO2 < 8kPa), sebagai contoh pada ketinggian yang tinggi ketika
menghirup udara. Hal ini juga terjadi ketika respon terhadap CO2 tidak adekuat, yang
dapat terjadi jika PaCO2 meningkat secara kronis, mengakibatkan sensitivitas reseptor
pusat yang berlebihan.

Sistem kontrol fisiologis yang melibatkan sistem saraf pusat biasanya memiliki tiga
komponen, yaitu sebuah area kontrol pusat, sebuah jalur aferen, dan sebuah jalur
eferen. Neuron-neuron (sel saraf) dari area kontrol mengintegrasikan informasi
daribagian lain tubuh dan menghasilkan respon yang terkoordinasi. Respon ini dari
area kontrol pusat dibawa ke berbagai organ dan otot-otot sepanjang jalur effern.
Input bagi area kontrol pusat adalah melalui berbagai sensor via jalur afferen.

1. Area kontrol Pusat

Area kontrol pusat untuk pernafasan, disebut dengan pusat pernafasan, berada
pada bagian bawah daripada batang otak, yaitu pada medula oblongata.
Terdapat “neuron inspirasi” yang aktif selama inspirasi dan inaktif selama
ekspirasi. Neuron-neuron lainnya aktif selama ekspirasi tetapi tidak pada
inspirasi – “neuron ekspirasi”. Kedua kelompok neuron-neuron ini secara
otomatis menjaga pola ritme siklus inspirasi dan ekspirasi. Ritme otomatis ini
dapat dimodifikasi oleh informasi afferen.

2. Suplai Afferen
3. Kemoreseptor Pusat

Kemoreseptor adalah sel-sel yang merespon terhadap stimulus kimia. Sel-sel ini
adalah sel yang berada dilantai ventrikel keempat (bagian dari batang otak) yang
memberikan respon terhadap asiditas cairan serebrospinal dan keluarannya
memacu untuk bernafas.Keasaman dari cairan diukur dari pH yang berhubungan
dengan jumlah ion-ion hidrogen dalam larutan. pH normal dari tubuh adalah
7,4; dimana pH yang lebih tinggi menggambarkan kondisi alkalis dengan
konsentrasi ion hidrogen yang rendah, dan sebaliknya. Sel-sel yang berada
dilantai ventrikel keempat memberikan respon terhadap keasaman LCS, dimana
LSC yang adam menyebbkan hiperventilasi, dan sebaliknya. Kadar
karbondioksida dalam darah secara cepat berdifusi melewati pembuluh darah ke
LCS dan teradpat keseimbangan antara kadar karbondioksida , ion hidrogen,
dan ion bikarbonat LCS. Jika kadar karbondioksida dalam LCS menigkat,
demikian pula ion hidrogen dan bikarbonat. Peningkatan ini menyebabkan
hiperventilasi yang menurukna konsentrasi karbondioksida dalam darah. Kadar
korbondioksida yang rendah dalam dara (hipokarbi) memiliki efek yang
berlawanan dan dapat muncul, sebagai contoh ventilasi kendali selama anestesi.
Hal ini akan menghambat kembalinya pernafasan spontan pada akhir dari
operasi.

4. Kemoreseptor perifer

Badan aorta dan karotis adalah sepotong kecil jaringan yang mengandung
kemoreseptor yang merespon terhadap konsentrasi karbondioksida dan oksigen
dalam pembuluh darah arteri. Badan karotis memiliki peran lebih penting
dibandingkan badan aorta dan terletak pada percabangan arteri karotis menjadi
arteri karotis interna dan eksterna pada leher. Badan aorta terletak pada arkus
aorta. Informasi dari badan karotis dibawa melalui nervus glossofaringeus dan
informasi dari badan aorta dibawa melalui nervus vagus, ke pusat respirasi.
Output dari badan karotis diperkirakan untuk menyediakan informasi yang
mengatur pernafasan oleh pusat pernafasan.

Pada orang normal, jika darah arteri yang mencapai badan karotis memiliki
tekanan O2 parsial 10kPa (80mmHg) atau tekanan parsial karbondioksida lebih
dari 5 kPa (40mmH), berarti ada peningkatan nafas yang berarti. Batas ini dapat
dimodifikasi oleh penyakit atau usia, contohnya, orang-orang dengan bronkitis
kronik dapat mentoleransi peningkatan konsentrasi karbondioksida atau
penurunan konsentrasi oksigen dalam darah.

5. Otak

Pernafasan dapat dipengaruhi oleh bagian lain dari otak. Kita dapat bernafas
dengan sadar lebih cepat dan dalam (hiperventilasi), dan ini dapat terjadi,
contohnya sebelum memulai latihan berat. Situasi emosional juga dapat
menyebabkan hiperventilasi. Hiperventilasi juga merupakan bagian dari respon
terhadap kehilangan darah yang masif. Respon ini dikoordinasi oleh sistem
otonom di hipotalamus dan pusat vasomotor di batang otak.

6. Paru-paru

Ada beberapa reseptor pada paru yang memodifikasi pernafasan. Reseptor di


dinding bronkus merespon terhadap substansi iritan dan menyebabkan batuk,
breath-holding, dan bersin. Pada jaringan elastis paru dan dinding dada terdapat
reseptor yang respon terhadap regangan. Fungsi sebenarnya dari reseptor ini
belum diketahui sepenuhnya, tetapi diperkirakan memiliki tanggung jawab
terhadap beberapa reflex yang ditemukan pada percobaan terhadap hewan.
Ketika paru dan dinding dada distensi, terdapat respon peregangan yang terjadi
dan menghambat inspirasi lebih lanjut. Ini merupakan mekanisme keamanan
untuk menghindari overdistensi. Ketika volume paru rendah, terdapat refleks
oposit. Sedikit peningkatan ukuran paru dapat merangsang reseptor
peregangan untuk menyebabkan inspirasi lebih lanjut. Hal ini dapat dilihat pada
pasien di bawah pengaruh anestesi opioid; nafas spontan dapat hilang atau
sangat lambat, tetapi jika pasien diberi tekanan positif rendah oleh
anestesiologis, inspirasi dapat terangsang dan pasien mengambil nafas dalam.

Reflek ini juga memiliki beberapa fungsi pada neonatus setelah lahir, ketika
nafas kecil dapat menstimulasi inspirasi lebih lanjut. Pada pembuluh darah paru
juga terdapat reseptor peregangan. Jika pembuluh darah ini teregang, seperti
pada gagal jantung, reseptor akan merespon dengan hiperventilasi. Informasi
dari reseptor-reseptor pada paru dibawa ke pusat respirasi oleh nervus vagus.

7. Suplai Eferen

Saraf eferen dari pusat respirasi melewati medulla spinalis ke diafragma, otot
intercostae dan otot aksesorius inspirasi pada leher. Diafragma dipersarafi oleh
nervus phrenic yang dibentuk di leher dari saraf spinalis, C3,4, dan 5. Otot
intercostae dipersarafi oleh saraf intercostae yang meninggalkan medulla
spinalis antara T1 dan T12. Otot aksesorius di leher dipersarafi oleh pleksus
servikalis. Selama pernafasan normal, inspirasi adalah proses muskular aktif.
Ekspirasi terjadi secara pasif dan bergantung pada elastisitas jaringan untuk
mengempiskan paru. Otot yang memiliki peran paling penting untuk inspirasi
adalah otot diafragma. Penyakit apapun yang mengganggu jalur eferen dari
pusat respirasi ke C3,4 dan 5 dan juga saraf phrenic ke diafragma, dapat
menyebabkan kesulitan dalam proses bernapas. Trauma pada bagian servicalis,
diatas C3, memiliki efek yang fatal karena alasan diatas.

ANESTESI DAN PERNAFASAN

Efek penekan dari obat anestetik dan pelumpuh otot lurik terhadap respirasi
telah dikenal sejak dahulu ketika kedalaman, karakter, dan kecepatan respirasi dikenal
sebagai tanda klinis yang bermanfaat terhadap kedalaman anesthesia. Zat-zat
anestetik intravena dan abar (volatile) serta opioid semuanya menekan pernapasan dan
menurunkan respons terhadap CO2. Respon ini tidak seragam, opioid mengurangi laju
pernapasan, zat abar trikloretilen meningkatkan laju pernapasan. Hiperkapnia atau
hiperkarbia (PaCO2 dalam darah arteri meningkat) merangsang kemoreseptor di badan
aorta dan karotis dan diteruskan ke pusat napas, terjadilah napas cepat dan dalam
(hiperventilasi). Sebaliknya hipokapnia atau hipokarbia (PaCO2 dalam darah arteri
menurun) menghambat kemoreseptor di badan aorta dan karotis dan diteruskan ke
pusat napas, terjadilah napas dangkal dan lambat (hipoventilasi).

Induksi anesthesia akan menurunkan kapasitas sisa fungsional (functional


residual volume), mungkin karena pergeseran diafragma keatas, apalagi setelah
pemberian pelumpuh otot. Menggigil pasca anesthesia akan meningkatkan konsumsi
O2. Pada perokok berat, mukosa jalan napas mudah terangsang, produks lendir
meningkat, darahnya mengandung HbCO kira-kira 10% dan kemampuan Hb mengikat
)2 menurun sampai 25%. Nikotin akan menyebabkan takikardia dan hipertensi.

Dalam kondisi normal hanya O2 yang diambil paru dan tidak ada ambilan
terhadap nitrogen. Bila ada gas kedua yang diabsorbsi dengan cepat, seperti N 2O
masuk kedalam paru kemudian ambilan gas ini memiliki efek mengkonsentrasikan
gas-gas yang tetap berada dalam alveoli. Efek terhadap O2 tidak memiliki kepentingan
klinis, tetapi peningkatan kadar zat-zat anestetik abar (volatile) akan mempercepat
induksi anesthesia. Kebalikannya bila pemberian N2O dihentikan, eliminasi gas ini
akan mengencerkan gas-gas dalam alveoli dan akan menyebabkan hipoksemia jika
tidak diberikan tambahan O2.

Obat-obatan opioid, seperti morphine atau fentanyl efeknya menekan pusat


pernapasan sehingga merespon terjadinya hiperkarbia. Efek ini dapat dibalikkan
dengan menggunakan naloxone. Zat - zat anestetik abar (volatile)dapat menekan pusat
pernapasan dengan cara yang sama.walaupun eter memiliki efek yang lebih kecil pada
pernapasan dibandingkan dengan zat-zat yang lain. Zat-zat abar juga mengganggu
Alirah darah di paru-paru, hasilnya terjadi penigkatan ventilasi / perfusi yang tidak
sebanding dan menurunkan efisiensi dari oksigenasi.

Nitrit oxide hanya mempunyai efek minor pada pernapasan. Efek depresan dari
opioid dan zat abar bersifat aditif dan monitoring ketat dari pernapasan sangatlah
penting, ketika oksigen tidak tersedia respirasi harus selalu didukung selama proses
anetesi berlangsung.
Anestesi, Penyakit Pulmoner, dan Rokok

Pasien yang memiliki gejala penyakit paru obstruksi dapat meningkatkan


resiko pada saat intraoperatif dan PPC. Sebagai contoh, pasien dengan
penurunan FEV I / FVC atau penurunan aliran midexpiratory tidak hanya
menyebabkan obstruksi saluran pernapasan tapi juga biasanya dapat
meningkatkan aktifitas saluran pernapasan. karena terdapat resiko timbulnya
reflex bronkokonstriksi selama laringoskopi dan intubasi trakea, pasien dengan
PPOK atau astma harus menerima terapi bronkodilator agresif preoperatif.

Konsentrasi alveolar yang tinggi dari anestesi inhalasi yang kuat akan
menahan reflex saluran pernapasan atau reflex bronkokonstriksi tetapi hal ini
membutuhkan system kardiovaskular yang sehat. Pemberian tambahan obat
intravena seperti opioid dan lidokain sebelum intubasi (airway instrumentation)
akan mengurangi reaktifitas saluran pernapasan. Selain itu, kortikosteroid dosis
tunggal dapat membantu mencegah peningkatan tahanan saluran napas pasca
operasi.

Ventilasi spontan selama anestesi umum berlangsung pada pasien


dengan penyakit obstruktif berat kemungkinan besar mengakibatkan
hiperkarbia dibandingkan pasien yang memiliki fungsi paru-paru yang normal.
FEV1 preoperatif yang menurun berhubungan dengan PaCO2 yang meningkat
selama anetesi. Ventilasi mekanik yang lambat (8-10 nafas/menit) sebaiknya
digunakan untuk exhalasi. Kecepatan ventilasi yang lambat mengharuskan tidal
volume yang lebih besar jika menginginkan PaCO2 yang normal. Tetapi tidal
volume yang lebih besar dan puncak tekanan yang lebih tinggi pada saluran
napas dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya pulmonary barotrauma pada
pasien.

Tidal volume dan aliran inspirasi akan mengatur untuk menjaga puncak
tekanan saluran napas kurang dari 40 cmH2O, aliran inspirasi yang lebih tinggi
dapat menyebabkan waktu inspirasi yang lebih pendek dan kadang-kadang
menimbulkan sebuah puncak tekanan saluran napas yang tinggi, karena itu
kesimbangan yang menghindari tekanan saluran napas yang tinggi dan tidal
volume yang tinggi yang dapat mengakibatkan ekspiratori yang terpanjang,
seharusnya dapat dicapai.

Idealnya, berdasarkan pada prosedur dan durasi anestesi, seseorang akan


mengekstubasi trakea pasien pada saat akhir operasi. Tracheal tube yang
bersifat iritatif dapat meningkatkan resistensi saluran napas dan reflex
bronkokonstriksi dan juga membatasi kemampuan pasien untuk membersihkan
secret secara efektif dan juga meningkatkan resiko infeksi iatrogenic. Untuk
beberapa pasien dengan penyakit obstruktif seperti astma pada orang muda,
banyak dokter melakukan ekstubasi trakea selama anestesi dalam pada saat
akhir operasi.Penyakit restrictive diperlihatkan oleh penurunan yang
proporsional pada semua volume paru – paru. Penurunan FRC menimbulkan
pemenuhan paru yang rendah dan juga mengakibatkan hipoksemia. Ciri khas
pasien ini nafas cepat dan dangkal.

Ventilasi tekanan positif dari pasien yang memiliki penyakit restriktif


adalah penuh dengan puncak tekanan saluran nafas karena kebanyakan tekanan
dibutuhkan untuk mengembangkan paru-paryu yang kaku. Tidal volume
mekanik yang lebih rendah pada kecepatan tinggi dapat menurunkan resiko
tejadinya barotrauma tetapi memperbanyak ventilasi yang dapat meyebabkan
depresi kardiovaskular dan meningkatkan peluang perkembangan atelektasis.
Tidal volume yang lebih besar dapat menghindarinya karena peningkatan resiko
dari barotrauma dan volutrauma. Beberapa strategi untuk melindungi paru-paru
yaitu mengembangkan dan memberi nafas buatan kepada pasien dengan
penyakit paru-paru restriktif yang sangat parah. Karena FRC kecil, pasokan
oksigen yang rendah didapat selama periode apneic. Rata-rata preoxigenasi
dengan FIO2 dihasilkan pada hipoxemi arteri kedua setelah penghentian nafas
atau pemutusan dari sirkuit ventilator. Pasien dengan penyakit paru restrictif
yang berat kurang mentoleransi apnea, karena hipoxemia arteri berkembang
dengan cepat, pemindahan pasien ini kerumah sakit akan menunjukkan sebuah
getaran pada oximeter.

Rata-rata kesehatan tiap individu terkena defek restriktif ringan selama


anestesi berlangsung. FRC menurun dari 10 sampai 15 % ketika sehat, individu
bernafas spontan dalam posisi terlentang. Kontrol pernapasan lanjutan hanya
sedikit mengurangi FRC. Anestesi umum terus menerus menurunkan FRC dari 5
sampai 10%, yang biasanya menurnkan kapasitas pemenuhan paru. FRC
mencapai titik terendah dalam menit pertama pada anestesi dan tidak
tergantung apakah pernapasan spontan ataupun terkontrol. Pengurangan FRC
yang berlansung lama pada periode setelah operasi tetapi mungkin
menghasilkan pasca operasi dengan menggunakan tekanan positif end-
expiratory atau CPAP. Bagaimanapun sesaaat setelah tekanan positif saluran
nafas tidak dilakukan lagi, FRC plummet level yang telah turun sebelumnya yang
mencapai titik terendah pasca operasi (12 jam setelah operasi).

Rokok mempengaruhi beberapa fungsi paru-paru pada berbagai cara.


Iritasi yang disebabkan oleh rokok menurunkan motilitas siliar dan
meningkatkan produksi dahak. Sehingga pasien ini memiliki volume dahak yang
berlebihan dan menurunkan kemampuan untuk membersihkan dahak secara
efektif. Pengaruh langsung lainnya pada jaringan paru-paru disebabkan oleh
masuknya zat rokok yang dapat meningkatakan permeabilitas sel ephitel dan
mengubah zat surfactant pada paru-paru. Iritasi jalan nafas atau reaktifitas pada
jalan napas yang sempit disebabkan oleh penghirupan asap rokok yaitu hasil
dari aktifasi dari sensor lokasi akhir dari pusat saluran napas yang paling utama
disebakan oleh nikotin. Pada awal penyakit, bronkitis dan hiperaktifitas jalan
napas adalah masalah utama. Belakangan masalah ini disertai oleh gejala dari
COPD : seperti gas trapping, bentuk diafragma yang datar, dan barrel chest,
kapasitas paru-paru meningkat signifikan sehingga batas recoil elastisitas
mencegah pengosongan pasif secara sempurna, sebagai hasilnya banyak pasien
mengeluarkan nafas secara paksa untuk mengurangi gas trapping. Merokok
adalah salah satu prevalensi tertinggi faktor resiko yang berhubungan dengan
morbiditi pasca operasi. Pasien COPD yang merokok memiliki dua kali lipat
sampai enam kali lipat resiko peningkatan pneumonia pasca operasi
dibandingkan dengan yang tidak merokok. Selanjutnya, resiko relatif perokok
dari PPC adalah dua kali lipat, rata-rata jika mereka tidak memiliki tanda-tanda
klinis dari penyakit paru-paru atau abnormalitas fungsi paru-paru. Angka
kejadian dari PPC pada perokok dapat diturunkan dengan menahan keinginan
untuk merokok, walaupun tidak ada persetujuan umum pada minimal atau
durasi optimal dari menahan keinginan merokok sebelum operasi.
Penelitian pada 200 pasien yang mengalami pencangkokan bypass arteri
koroner dan ditemukan bahwa pasien-pasien yang masih terus merokok atau
berhenti kurang dari 8 minggu sebelum operasi memiliki komplikasi kecepatan
mendekati empat kali, dan pasien yang berhenti merokok lebih dari 8 minggu
sebelum operasi memiliki komplikasi lebih tinggi dari pada yang terus menerus
merokok. Proses menormalkan fungsi mucocciliary memerlukan 2-3 minggu
menahan keinginan untuk merokok, selama produksi dahak meningkat.
Beberapa bulan dari menahan keinginan untuk merokok diperlukan untuk
mengembalikan jumlah dahak pada keadaan normal.

Pada penelitian dari brupopion-assisted penghentian merokok, Hurt dan


coworskers mendemonstrasikan penurunan resiko dari komplikasi pasca operasi
rata-rata setelah 4 minggu menahan keinginan untuk merokok. Jika pasien tidak
dapat berhenti merokok selama 4-8 minggu sebelum operasi, itu adalah hal
yang masih diperdebatkan apakah mereka dapat diberi nasehat untuk berhenti
merokok 24 jam sebelum operasi. 24 jam menahan keinginan untuk merokok
akan menyebabkan tingkat carboxihemoglobin turun ke nilai normal tapi
memungkinkan resiko dari PPC.

Anda mungkin juga menyukai