Anda di halaman 1dari 10

1.

Kerajaan Kutai Martadipura

Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah
tertua. Berdiri sekitar abad ke-4. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur,
tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama
tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada
prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit
informasi yang dapat diperoleh. Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / prasasti dalam
upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi
sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Yupa
adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh para brahman
atas kedermawanan raja Mulawarman. Dalam agama hindu sapi tidak disembelih seperti
kurban yang dilakukan umat islam. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang
memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa
karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

Asmawarman

Aswawarman adalah Anak Raja Kudungga.Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan
Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman
memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.

Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa
pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah
kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup
sejahtera dan makmur.

Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi
dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya

Mulawarman

Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan
Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara
penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang
ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu.

Runtuhnya Kerajaan Kutai Martadipura

Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas
dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji
Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai
Kartanegara yang saat itu ibukota di Kutai Lama(Tanjung Kute).

Kutai Kartanegara inilah, pada tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra
Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejak tahun
1735 kerajaan Kutai Kartanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi
bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai
Kartanegara.
2. Kerajaan Tarumanegara

Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di
wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah
satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan
sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu
Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu. Kata tarumanagara berasal dari
kata taruma dan nagara. Nagara artinya kerajaan atau negara sedangkan taruma berasal
dari kata tarumyang merupakan nama sungai yang membelah Jawa Barat yaitu Citarum.
Pada muara Citarum ditemukan percandian yang luas yaituPercandian
Batujaya dan Percandian Cibuaya yang diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan
Taruma. Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan
atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan
Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah
adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan
Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang
prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada
kaum brahmana.

Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang
ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan satu diLebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini
diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M
dan dia memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di
sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan
dari Kerajaan Salakanagara.

Prasasti yang ditemukan:

1. Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi
milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2. Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya,
Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya
menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian
Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12 km oleh Purnawarman pada tahun ke-
22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk
menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan
Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
3. Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiyang
yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten,
berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6. Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7. Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor

3. Kerajaan Mataram

Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan
Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-
8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak
meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang
bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.
Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa
Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang
sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.

Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa
Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini.
Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-
16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan
Mataram Kunoatau Kerajaan Mataram Hindu.

Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah
untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi
Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan
prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama
kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.

Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan,


bahkan sampai ke daerah Jawa Timursekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi
lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain.

Dinasti yang berkuasa

Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di
Kerajaan Medang, yaituWangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah,
serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.

Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini
menganut agamaHindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa
pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan
atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragamaBuddha Mahayana.

Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula
menguasai Kerajaan Sriwijaya diPulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an,
seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatanberhasil
menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa
menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap
sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.

Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai
anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat
bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan
daftar silsilah keturunan Sanjaya.

Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan
putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran
sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat
ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja
Sailendra.

Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai
Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan
kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan
Rakai Garung.

Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang
bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di
Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.

Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai


Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui,
misalnya Dharanindraataupun Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan
bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.

Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru
muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun
istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok
menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i
Medang i Bhumi Mataram.

4. Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Jawa: ꦯꦿꦶ ꦮꦶꦗꦪ ; Thai: ศรีวช
ิ ยั atau "Ṣ̄rī wichạy")
adalah salah satu kemaharajaanbahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak
memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan berdasarkan peta membentang
dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat dan
kemungkinanJawa Tengah. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau
"gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya
bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan
ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia
mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang
paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan
Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah
bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya tahun 1025
serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di
bawah kendali kerajaan Dharmasraya.

Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat
publikasi tahun 1918 dari sejarawanPerancis George Cœdès dari École française d'Extrême-
Orient.

Masa keemasan

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada


kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai
dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam
mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah
kedaulatan dan kekuasaanya.

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara
lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung
Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka danSelat
Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan
perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya
mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani
pasar Tiongkok, dan India.

Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza.
Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik
menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah
kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang
tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau
wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh,
kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari
seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan
dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj
(Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur
dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10,
akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan
bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti
Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi,
sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-
tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling
mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di
pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa.
Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan
992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali
tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok
memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia
dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut
adalahDharmawangsa Teguh.

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu,
namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya.Prasasti
Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera.
Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil
membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena
pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar
pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa,
berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan
dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya
memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur
angkatan laut Jawa.

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi


dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan
utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah
candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia.
Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien
wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu. (Candi Bungsu,
salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa,
maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan
Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan
Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwaMahapralaya, yaitu
peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang
merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan
menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.

5. Kerajaan Kalingga

Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah


sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengahsekitar abad ke-6 masehi.
Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat
antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan
ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi
kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian
pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan
Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui
dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal
memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.

Pengaruh kerajaan kalingga sampai daerah selatan Jawa Tengah, terbukti diketemukannya
prasasti Upit/Yupit yang diperkirakan pada abad 6-7 M. Disebutkan dalam prasasti tersebut
pada wilayah Upit merupakan daerah perdikan yang dianugerahkan oleh Ratu Shima.
Daerah perdikan Upit sekarang menjadi Ngupit. Kampung Ngupit adalah kampung yang
berada di Desa Kahuman/Desa Ngawen, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten. Prasasti
Upit/Yupit sekarang disimpan di kantor purbakala Jateng di Prambanan. Terdapat kisah yang
berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris yang menjunjung
tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini
bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan
menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang keras yaitu
pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari
seberang lautan mendengar mengenai kemashuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal
jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di
persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada sorang pun rakyat Kalingga yang berani
menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian
kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung
hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Dewan menteri memohon agar Ratu
mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang
yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipotong kakinya. Di Puncak
Rahtawu (Gunung Muria) dekat dengan Kecamatan Keling di sana terdapat empat arca batu,
yaitu arca Batara Guru, Narada, Togog, dan Wisnu. Sampai sekarang belum ada yang bisa
memastikan bagaimana mengangkut arca tersebut ke puncak itu mengingat medan yang
begitu berat. Pada tahun 1990, di seputar puncak tersebut, Prof Gunadi[3] dan empat orang
tenaga stafnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta (kini Balai Arkeologi Yogyakarta)
menemukan Prasasti Rahtawun. Selain empat arca, di kawasan itu ada pula enam tempat
pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak. Masing-masing
diberi nama (pewayangan) Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu
Dewonoto, dan Kamunoyoso. Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa
pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha
Hinayana. Di Ho-ling adapendeta Cina bernama Hwining, yang menerjemahkan salah
satu kitab agama Buddha ke dalam Bahasa Tionghoa. Ia bekerjasama dengan pendeta
Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana,
tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.
6. Kerajaan Kediri

Kerajaan Kadiri atau Kediri atau Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa
Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di
sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri
berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berartikota api. Nama ini terdapat
dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan
berita dalamSerat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan
sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena
kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri
Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru,
yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakanmendapatkan kerajaan timur
bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.

Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang


dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan
Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama
yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kotaJanggala.

Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama
Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri.
Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling
wai tai ta (1178).

Nama "Kediri" atau "Kadiri" sendiri berasal dari kata Khadri yang berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti pohon pacé atau mengkudu (Morinda citrifolia). Batang kulit
kayu pohon ini menghasilkan zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam
pembuatan batik, sementara buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan tradisional.

Keruntuhan Kerajaan Kediri

Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan


dalamPararaton dan Nagarakretagama.

Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana yang kemudian
meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita
memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.

Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil
menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri,
yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.

Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan
Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun
1258 Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271
Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang. Jayakatwang memberontak terhadap
Singhasari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu dimana leluhurnya
Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang
membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan
serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu
Kertanegara, Raden Wijaya.

7. Kerajaan Singasari

Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari, adalah sebuah
kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini
sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.

Menurut Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang
menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia mati
dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang
kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang
bernama Ken Dedes.Ken Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari
kekuasaan Kerajaan Kadiri.

Pada tahun 1254 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kerajaan Kadiri melawan
kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang
mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang
Amurwabhumi. Perang melawan Kerajaan Kadiri meletus di desa Ganter yang
dimenangkan oleh pihak Tumapel.

Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel,
namun tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan
Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil
mengalahkan Kertajaya raja Kerajaan Kadiri.

Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255, menyebutkan kalau pendiri
Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar anumerta dari
Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut
dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang
melawan Kerajaan Kadiri, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.

Keruntuhan Kerajjan Singasari

Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya
mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi
pemberontakan Jayakatwang bupati Gelanggelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar,
sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh.
Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di
Kerajaan Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.

8. Kerajaan Majapahit

Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang pernah
berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya
menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas diNusantara pada masa
kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan
dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.
Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra,Semenanjung
Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih
diperdebatkan.

Anda mungkin juga menyukai