Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Sedatif- Hipnotik adalah golongan obat depresi SSP. Efeknya bergantung pada dosis, mulai
dari yang ringan (menenangkan, menyebabkan kantuk, menidurkan) hingga yang berat
(menghilangkan kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati
Sedatif adalah zat-zat yang dalam dosis terapi yang rendah dapat menekan aktivitas mental,
menurunkan respons terhadap rangsangan emosi sehingga menenangkan.
Hipnotik adalah Zat-zat dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan untuk tidur
dan mempermudah atau menyebabkan tidur.
Pada awalnya digunakan etanol, kemudian mengguanakan opium yang telah banyak
digunakan oleh para dokter. Bromida organik sebagai sedatif-hipnotika dan antikonvulsan diikuti
dengan kloral, paraldehid, sulfonal dan uretan. Pada tahun 1903 barbiturat dikenal sebagai
depresan dengan aksi depresan pada serebrospinal.
Pada dosis terapi, obat sedative menekan aktivitas mental, menurunkan respon terhadap
rangsangan emosi sehingga menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan
mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis.

2.2 Mekanisme Kerja Hipnotik


Pada tahun 1977 ditemukan reseptor benzodiazepin spesifik di permukaan membran neuron,
terutama di kulit otak dan lebih sedikit di otak kecil dan system limbis. Barbiturat dan
benzodiazepine pada dosis terapi terutama bekerja dengan jalan pengikatan pada reseptor
tersebut.

Efeknya ialah potensiasi penghambatan neurotransmisi oleh GABA disinaps semua saraf otak
dan blokade dari pelepasan muatan listrik.
2.3 Pergolongan Hipnotik

a) Benzodiazepin
Obat golongan benzodiazepine langsung bekerja pada system syaraf pusat. Efek yang
paling menonjol adalah aktivitas sedasi, hipnosis, berkurangnya ansietas, relaksasi otot,
anterograde amnesia, dan antikonvulsan.

Struktur kimia benzodiazepine:


Benzodiazepin dipercaya memunculkan sebagian besar efeknya melalui interaksinya
dengan reseptor neurotransmiter inhibitori yang secara langsung diaktivasi oleh GABA.
Reseptior GABA merupakan protein terikat membran yang dapat dibagi menjadi dua subtipe
utama yaitu reseptor GABA A dan GABA B. Benzodiazepin bekerja pada reseptor GABA A
tetapi tidak pada reseptor GABA , dengan berikatan secara langsung pada tempat spesifik yang
berbeda dengan tempat ikatan GABA pada kompleks reseptor/saluran ion.
Tidak seperti barbiturat, benzodizepin tidak secara langsung mengaktivasi reseptor
GABA A, tetapi membutuhkan GABA untuk mengekspresikan efeknya; yaitu senyawa-senyawa
ini hanya memodulasi efek GABA. Ligan reseptor benzodiazepin dapat bekerja sebagai agonis,
antagonis, atau agonis invers pada tempat reseptor benzodiazepin, tergantung pada senyawanya.
Agonis pada reseptor benzodiazepin meningkatkan jumlah arus klorida yang dihasilkan melalui
aktivasi reseptor GABA A, sedangkan agonis invers menurunkan.Kedua efek ini dapat diblok
oleh antagonis pada tempat reseptor benzodiazepin. Salah satu antagonis tersebut, flumazenil,
digunakan secara klinis untuk membalikkan efek benzodiazepin dosis tinggi.
Dosis hipnotik benzodiazepin tidak memiliki efek terhadap pernapasan pada subjek
normal, tetapi perhatian khusus harus diberikan dalam penangan anak-anak dan individu yang
mengalami gangguan fungsi hepatik, seperti alkoholik. Efek kardiovaskular benzodiazepin pada
orang normal hanya sedikit, kecuali pada intoksikasi parah; efek merugikan pada penderita
gangguan tidur obstruktif atau penyakit jantung.
Sifat fisikokimia dan farmakokinetik benzodiazepin sangat mempengaruhi kegunaan
klinisnya. Semua benzodiazepin pada dasarnya diabsorpsi sempurna, kecuali klorazepat; obat ini
cepat mengalami dekarboksilasi dalam cairan lambung menjadi N-desmetil-diazepam
(nordazepam), yang kemudian diabsorpsi sempurna. Beberapa benzodiazepin (seperti prazepam
dan flurazepam) mencapai sirkulasi sistemik hanya dalam bentuk metabolit aktif.

Penggolongan obat benzodiazepine berdasarkan waktu paruh eliminasinya:


a benzodiazepin kerja sangat singkat
b obat kerja-singkat, dengan t1/2 kurang dari 6 jam, antara lain: triazolam,
zolpidem, nonbenzodiazepin (t1/2, sekitar 2 jam), dan zopiklon (t1/2 5 sampai 6 jam);
c obat kerja-sedang, dengan t1/2 6 sampai 24 jam, antara lain estazolam dan
temazepam; dan
d obat kerja lama, dengan t1/2 lebih dari 24 jam, antara lain flurazepam, diazepam,
dan kuazepam. Benzodiazepin dan metabolit aktifnya berikatan dengan protein plasma.
Benzodiazepin banyak dimetabolisme oleh enzim-enzim dalam kelompok sitokrom P450,
terutama CYP3A4 dan CYP2C19. Beberapa benzodiazepin, seperti oksazepam, langsung
terkonjugasi dan tidak dimetabolisme oleh enzim ini. Karena metabolit aktif beberapa
benzodiazepin mengalami biotransformasi lebih lambat daripada senyawa induknya, hubungan
antara durasi kerja beberapa benzodiazepin dengan waktu paruh eliminasinya setelah diberikan
adalah kecil.

b) Barbiturat
Barbiturat merupakan derivate asam barbiturate (2,4,6-trioksoheksa-hidropirimidin).
Asam barbiturate sendiri tidak menyebabkan depresi SSP, efek hipnotik sedatif dan efek lainnya
ditimbulkan bila pada posisi 5 terdapat gugus alkil atau aril.
 Memiliki 4 daya kerja :
Khasiat anksiolitis, sedatif-hipnotis, antikonvulsif, daya relaksasi otot.
 Penggunaan :
Pada umumnya benzodiazepin menimbulkan hasrat tidur bila diberikan dalam dosi tinggi
pada malam hari dan memberikan efek menenangkan (sedasi) dan mengurangi kecemasan
pada pemberian dalam dosis rendah pada siang hari.
 Keuntungan :
 Tidak atau hampir tidak merintangi tidur REM
 Bila digunakan hanya untuk beberapa minggu, merupakan obat tidur yg relative aman sehingga
menjadi hipnotika pilihan pertama
2.4 Mekanisme Aksi
1. Benzodiazepin
Benzodiazepine dapat menimbulkan efek farmakologis dengan cara memfasilitasi aksi
gamma-aminobutyric acid (GABA), suatu neurotransmiter inhibitor utama di SSP.
Benzodiazepine tidak mengaktivasi reseptor GABAA namun memperkuat afinitas reseptor untuk
GABA. Akibat adanya peningkatan afinitas reseptor GABA untuk neurotransmiter inhibisi yang
terinduksi oleh benzodiazepine, maka terjadi peningkatan jumlah gerbang saluran klorida yang
terbuka sehingga meningkatkan konduktansi klorida, menghasilkan hiperpolarisasi membran sel
postsynaptic, dan mengubah neuron postsynaptic sehingga menjadi lebih resisten terhadap
eksitasi. Resistensi terhadap eksitasi dianggap sebagai mekanisme yang berperan pada
benzodiazepine dalam menimbulkan efek anxiolitik, sedasi, amnesia anterograde, potensiasi
alkohol, antikonvulsan dan relaksan otot rangka.

Kemungkinan besar efek sedatif benzodiazepine merefleksikan aktivasi reseptor GABA A


subunit α-1, sedangkan aktivitas anxiolitik terjadi karena aktivasi reseptor α-2. Reseptor GABAA
yang mengandung α-1 merupakan subtipe reseptor yang paling banyak ditemukan pada otak
(terutama di korteks serebral, korteks serebelar, thalamus), jumlahnya mencapai sekitar 60% dari
semua jenis reseptor GABAA yang ada di otak. Jumlah reseptor GABAA subunit α-2 tidak
sebanyak subunit α-1, dan reseptor ini lebih sering ditemukan pada hippocampus dan amygdala.
Distribusi anatomis dari reseptor ini konsisten efek minimal obat tersebut di luar SSP (efek
sirkulasinya sangat minimal). Di masa depan, kita mungkin bisa mendesain suatu jenis
benzodiazepine yang selektif bekerja pada reseptor subunit α-2 sehingga obat tersebut hanya
dapat menghasilkan efek anxiolitik tanpa menimbulkan sedasi. Signifikansi fisiologis dari
substansi endogen yang bekerja pada reseptor GABAA hingga saat ini masih belum diketahui
secara pasti.

Reseptor GABAA merupakan suatu makromolekul besar yang secara fisik terdiri atas banyak
lokasi pengikatan molekul (terutama pada subunit α, β, gamma) seperti GABA, benzodiazepine,
barbiturate, etonamide, propofol, neurosteroid, dan alkohol. Benzodiazepine, barbiturate,
etonamide, propofol, neurosteroid, dan alkohol dapat saling berinteraksi dan memberikan efek
sinergistik yang dapat meningkatkan kemampuan inhibisi pada SSP yang dimediasi oleh reseptor
GABAA. sifat ini dapat menjelaskan sinergi farmakologis dari masing-masing substansi tadi,
serta resiko terjadinya overdosis jika masing-masing obat-obatan tadi digunakan secara
kombinasi, dan hal ini dapat menyebabkan depresi SSP yang mengancam jiwa. Sinergi tersebut
merupakan dasar farmakologi terjadinya toleransi silang/cross-tolerance antara berbagai
golongan obat yang berbeda dan hal ini konsisten dengan dengan penggunaan klinis
benzodazepine sebagai obat pilihan pertama untuk mengatasi detoksikasi alkohol. Sebaliknya,
benzodiazepine memiliki built in ceiling effect (efek batas dosis tertinggi) yang dapat mencegah
inhibisi GABA secara berlebihan ketika telah mencapai efek maksimum. Rendahnya toksisitas
dari benzodiazepine dan keamanan klinisna disebabkan oleh adanya batasan efek terhadap
neurotransmisi GABAergic/GABAergik.

Perbedaan onset dan durasi aksi di antara semua jenis benzodiazepine merefleksikan
perbedaan potensi (afinitas ikatan), kelarutan lemak, dan farmakokinetika (uptake, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi). Semua benzodiazepine sangat larut dalam lemak dan sangat kuat
terikat pada protein plasma, terutama pada albumin. Hipoalbuminemia yang disebabkan oleh
sirosis hepatis atau gagal ginjal kronik dapat meningkatkan jumlah fraksi benzodiazepine yang
tidak berikatan (unbound fraction), sehingga dapat memperkuat efek klinis obat ini. Apabila
dilakukan pemberian secara oral, maka benzodiazepine dapat diserap dengan baik oleh traktus
gastrointestinal. Sedangkan pemberian secara injeksi intravena dapat membuat obat ini mudah
memasuki SSP dan organ-organ lain yang perfusinya baik.

2. Barbiturat
Barbiturat bekerja pada seluruh SSP walaupun pada setiap tempat tidak sama kekuatannya.
Dosis non-anestesi terutama menekan respons pasca sinaps. Penghambatan hanya terjadi pada
sinaps GABA-nergik. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek berbeda pada eksitasi dan
inhibisi transmisi senaptik. Kapasitas barbiturat membantu kerja GABA, sebagian menyerupai
kerja benzodiazepine. Namun pada dosis tinggi bersifat sebgai agonis GABA-nergik sehingga
dapat menimbulkan dpresi SSP yang berat. Turunan barbiturat bekerja dengan menekan
transmisi sinaptik pada sistem pengaktifan retikula di otak dengan cara mengubah permeabilitas
membransel sehingga mengurangi rangsangan sel postsinaptik dan menyebabkan deaktikvasi
korteks serebral.
2.5 Alkohol
a. Pengertian Alkhol
Alkohol merupakan senyawa seperti air yang satu hidrogennya diganti oleh rantai atau
cincin hidrokarbon. Sifat fisis alkohol, alkohol mempunyai titik didih yang tinggi dibandingkan
alkana-alkana yang jumlah atom C nya sama. Hal ini disebabkan antara molekul alkohol
membentuk ikatan hidrogen. Rumus umum alkohol R – OH, dengan R adalah suatu alkil baik
alifatis maupun siklik. Dalam alkohol, semakin banyak cabang semakin rendah titik didihnya.
Sedangkan dalam air, metanol, etanol, propanol mudah larut dan hanya butanol yang sedikit
larut. Alkohol dapat berupa cairan encer dan mudah bercampur dengan air dalam segala
perbandingan (Brady, 1999).
b. Jenis-jenis alkhol
a) Alkohol perimer
Pada alkohol primer(1°), atom karbon yang membawa gugus -OH hanya terikat pada satu gugus
alkil.

Perhatikan bahwa tidak jadi masalah seberapa kompleks gugus alkil yang terikat. Pada masing-
masing contoh di atas, hanya ada satu ikatan antara gugus CH2 yang mengikat gugus -OH
dengan sebuah gugus alkil.
da pengecualian untuk metanol, CH3OH, dimana metanol ini dianggap sebagai sebuah alkohol
primer meskipun tidak ada gugus alkil yang terikat pada atom karbon yang membawa gugus –
OH.Pada alkohol primer(1°), atom karbon yang membawa gugus -OH hanya terikat pada satu
gugus alkil.

b) Alkohol sekunder
Pada alkohol sekunder (2°), atom karbon yang mengikat gugus -OH berikatan langsung
dengan dua gugus alkil, kedua gugus alkil ini bisa sama atau berbeda.

c) Alkohol tersier
Pada alkohol tersier (3°), atom karbon yang mengikat gugus -OH berikatan langsung
dengan tiga gugus alkil, yang bisa merupakan kombinasi dari alkil yang sama atau berbeda.
c. Manfaat alkohol
1. Mengurangi risiko penyakit dan serangan jantung
Bila dikonsumsi dalam dosis rendah, alkohol dapat mengurangi tekanan darah.
Sebaliknya, ketika dikonsumsi berlebihan, alkohol memiliki efek negatif pada tubuh. Alkohol
membantu untuk membersihkan lemak dari arteri dan mengurangi pembekuan darah. Hal ini
dapat membatasi kemungkinan penyakit dan serangan jantung.
2. Mengurangi risiko stroke
Minum alkohol dalam jumlah terbatas bisa menurunkan risiko serangan jantung dan
risiko stroke. Jenis stroke paling umum disebut stroke iskemik. Ini terjadi ketika pembuluh yang
membawa darah ke otak tersumbat. Jenis lain dari stroke iskemik adalah hemoragik. Hemoragik
terjadi ketika darah merembes keluar dari pembuluh darah di otak.
3. Memperbaiki kualitas tidur di malam hari.
Bagi sebagian orang, segelas alkohol sebelum tidur memiliki efek positif bagi tubuh.
Tetapi, konsumsi yang berlebihan malah mengganggu tidur Anda. Bukannya tidur nyenyak,
Anda malah terjaga semalaman dan terkena insomnia.
4. Punya efek diuretic
Alkohol bersifat diuretik, yang berarti punya efek mendorong air keluar dari tubuh lebih
cepat. Peminum berat bisa mengalami dehidrasi karena sering buang air kecil. Konsumsi dalam
jumlah sedang, memiliki dampak diuretik yang tidak berbahaya.
5. Meningkatkan interaksi sosial
Alkohol bisa meningkatkan kognisi sehingga membuat kepribadian orang jadi lebih
ramah. Orang yang sering minum di bar, mereka akan lebih mudah membuka pembicaraan
dengan orang asing. Bahkan, mereka punya banyak lelucon untuk ditertawakan. Alkohol
dianggap mirip psikotropika yang dapat mengubah kondisi kejiwaan seseorang.
6. Mengganggu reaksi obat lain
Konsumsi alkohol dapat mengganggu reaksi obat atau senyawa lain dalam tubuh. Itu berarti
obat-obatan yang diproses di hati, tidak akan dicerna dengan cepat. Alhasil, seseorang akan
merasakan efek obat yang jauh lebih kuat.
7. Peringatan penting !
Alkohol memang memiliki dampak positif bagi kesehatan. Namun, itu bukan berarti Anda bisa
mengonsumsinya secara berlebihan. Ingat! Segala sesuatu yang dilebih-lebihkan selalu
berdampak buruk bagi kesehatan.

d. Efek samping alcohol

1) Efek Jangka Pendek


Alkohol mempengaruhi sistem saraf dengan menghambat distribusi sinyal antara saraf tulang
belakang dengan otak.Alkohol diserap oleh darah yang pada akhirnya mempengaruhi saraf
sehingga memicu mati rasa.Terdapat dua sistem tubuh manusia yaitu sistem sadar dan sistem
tidak sadar.Sistem sadar mengontrol pergerakan otot, sedangkan sistem tidak sadar mengontrol
fungsi lain seperti denyut jantung dan sinyal-sinyal listrik yang melintas dari otak melalui
neuron.Sistem tubuh tidak sadar akan terpengaruh terutama jika seseorang mengkonsumsi
alkohol secara berlebih.Alkohol merupakan depresan yang menekan kinerja sistem saraf
pusat.Alkohol juga dikenal meningkatkan aktivitas ‘asam gamma aminobutyric’ (GABA) dan
melemahkan ‘glutamin’.Akibatnya, koordinasi tubuh seseorang menjadi tumpul. Kurangnya
koordinasi dan perilaku yang tidak terkontrol merupakan efek paling terlihat ketika seseorang
mabuk.

2) Efek jangka Panjang


Konsumsi jangka panjang alkohol bisa mengakibatkan efek berbahaya.
Sel-sel menjadi di semipermeabel atau berubah lebih tebal akibat konsumsi alkohol.sel-sel yang
tidak sehat akhirnya berkontribusi dalam melemahkan system saraf.tingkat toleransi seseorang
yang tinggi terhadap alkohol membuatnya lebih rentan terhadap berbagai macam infeksi.
2.5 Psikotropika

Psikotropika adalah merupakan suatu zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
.

1 Efek pemakaian psikotropika

Zat atau obat psikotropika ini dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan
saraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi
(mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan
ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya.
Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan pejabat
kesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk, tidak saja menyebabkan
ketergantungan bahkan juga menimbulkan berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun
psikis si pemakai, tidak jarang bahkan menimbulkan kematian.

2 Golongan psikotropika

Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan digolongkan


menjadi4 golongan, yaitu:

1. Psikotropika golongan I : yaitu psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan


pengobatan dengan potensi ketergantungan yang sangat kuat
2. Psikotropika golongan II : yaitu psikotropika yang berkhasiat terapi tetapi dapat
menimbulkan ketergantungan.
3. Psikotropika golongan III : yaitu psikotropika dengan efek ketergantungannya sedang
dari kelompok hipnotik sedatif.
4. Psikotropika golongan IV : yaitu psikotropika yang efek ketergantungannya ringan.

Anda mungkin juga menyukai