Anda di halaman 1dari 61

PRESENTASI KASUS

TUBERKULOSIS PARU DENGAN DIABETES MELITUS

Disusun oleh:

Melda Khairunisa S.ked

NPM: 1102010162

PEMBIMBING

dr. Rizky Drajat Sp.P

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KOTA CILEGON

OKTOBER 2014

0
STATUS PASIEN

ILMU PENYAKIT DALAM

IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : Ny. IF

Usia : 43 tahun

Alamat : Komp. Tw. Fwa 35 No. 05

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

No. RM : 579***

Ruang rawat inap : Alamanda

Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 23 september 2014 di bangsal alamanda


RSUD Cilegon pada jam 06.30 WIB

A. ANAMNESIS
 Keluhan utama:
Batuk berdarah sejak 3 hari yang lalu.
 Keluhan tambahan:
Pusing, badan terasa lemas, keringat malam, berat badan menurun
 Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD kota cilegon pada tanggal 20 september
dengan keluhan batuk berdarah sejak beberapa jam SMRS, pasien mengalami
sesak napas dan nyeri dada pada saat batuk, pasien mengeluh pusing, sering
keringat pada malam hari, nafsu makan pasien menurun dan pasien mengalami
penurunan berat badan. Keluhan demam dan sesak tidak dirasakan oleh
pasien, mual dan muntah disangkal oleh pasien, Tidak ada keluhan pada BAK
dan BAB. Sebelumnya ± 2 minggu yang lalu pasien hanya mengeluh batuk
berdahak yang disertai dahak berwarna kuning kental.

1
Pada bulan agustus pasien mengatakan pernah mengalami batuk
berdahak yang disertai darah, pasien pergi berobat ke puskesmas dan hanya
diberi obat batuk, beberapa hari kemudian batuk berdahak disertai darah tidak
dirasakan lagi oleh pasien.

Riwayat penyakit dahulu:

Riwayat diabetes (+) sejak 1 tahun yang lalu , penyakit jantung, asma, dan
alergi disangkal.
Riwayat penyakit keluarga:
Kedua orangtua pasien mempunyai penyakit diabetes melitus
B. STATUS GENERALIS
1. Kesadaran : Compos mentis
2. Keadaan umum : Tampak lemah
3. Tekanan darah : 110/70
4. Nadi : 80 x/menit
5. Suhu : 36,8o C
6. Pernapasan : 24 x/ menit
7. Gizi : cukup

C. PEMERIKSAAN FISIK
 Kulit
1. Warna : sawo matang
2. Jaringan parut : tidak ada
3. Pertumbuhan rambut : normal
4. Suhu raba : hangat
5. Keringat : umum
6. Kelembaban : lembab
7. Turgor : cukup
8. Ikterus : tidak ada
9. Edema : tidak ada
 Kepala
1. Bentuk : normocephal
2. Posisi : simetris
3. Penonjolan : tidak ada
 Mata
1. Exophtalmus : tidak ada
2. Enophtalmus : tidak ada
3. Edema Kelopak : tidak ada
4. Konjungtiva anemis : tidak ada
5. Sklera ikterik : tidak ada
 Telinga
1. Pendengaran : baik
2. Darah : tidak ada
3. Cairan : tidak ada
 Mulut

2
1. Bau pernapasan : tidak tercium
2. Trismus : tidak ada
3. Lidah : tidak deviasi

 Leher
1. Trakea : di tengah, tidak deviasi
2. Kelenjar tiroid : tidak membesar
3. Kelenjar limfe : tidak membesar
 Paru- Paru
1. Inspeksi : gerakan dada tidak simetris dalam keadaan statis dan
dinamis
2. Palpasi : fremitus vokal dan taktil melemah pada hemithoraks
kiri bawah
3. Perkusi : sonor di hemitoraks kanan, redup di hemitoraks kiri
bawah
4. Auskultasi : SN Vesikuler (-/-) ronki (-/+) wheezing (-/-)
 Jantung
1. Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
2. Palpasi : iktus kordis tidak teraba
3. Perkusi : tidak kardiomegali
4. Auskultasi : bunyi jantung I-II normal reguler Gallop (-) Murmur (-)
 Abdomen
1. Inspeksi : datar, tidak ada sikatriks
2. Palpasi : nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba
3. Perkusi : timpani di seluruh kuadran abdomen
4. Auskultasi : bising usus (+) normal
 Ekstremitas

Lengan Kanan Kiri


Tonus otot Normal Normal
Massa otot Normal Normal
Sendi Normal Normal
Gerakan Normal Normal
Kekuatan 5 5

Tungkai dan kaki Kanan Kiri


Tonus otot Normal Normal
Massa otot Normal Normal
Sendi Normal Normal
Gerakan Normal Normal
Kekuatan Normal Normal
Edema Tidak ada Tidak ada
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada

3
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Radiologi: thoraks PA
Pulmo : corakan bronkovaskular meningkat, tampak infiltrate dan
kavitas pada lapang atas paru kanan.

 Pemeriksan Laboratorium

Pemeriksaan 20 september Nilai normal


2014
Hematologi: <20
LED
Hb 12,3 Dws:11,7-15,5
Ht 37,9 Dws:32-47
Eritrosit 3,8-5,2
Leukosit 9.680 Dws:3600-
11.000
Trombosit 444.000 Dws:150.000-
440.000
MCV 80-100
MCH 26-34
MCHC 32-36
GDS 250 <200
Fungsi ginjal: 20-40
Ureum 19
Kreatinin 0,7 0,35-0,93
Elektrolit: 136,3
Na+
K+ 4,32
Cl- 103,0
Hitung jenis: 0-1
Basofil
Eosinofil 1-3
Batang 3-5
Segmen 50-70
Limfosit 25-40
Monosit 2-8
Fungsi hati: 6-8
Protein total
Albumin 3,4-4,8

4
Globulin <2
Bilirubin total 0,1-1,0
Bilirubin direk 0-0,2
Bilirubin
indirek
SGPT 10 0-35
SGOT 7 0-35
Alkali 30-120
fosfatase
Asam urat 2-7
BTA Sputum: (-)tidak
BTA I
ditemukan
BTA
BTA II (-)tidak
ditemukan
BTA
BTA III (-)tidak
ditemukan
BTA

E. RESUME
Pada pemeriksaan fisik didapati fremitus vokal dan taktil melemah pada
hemitoraks kiri, perkusi meredup di hemitoraks kiri, dan adanya suara nafas
tambahan berupa Ronki di hemithoraks kiri. Foto rontgen toraks PA terdapat
cavitas pada lobus kiri bawah. Pemeriksaan laboratorium didapati kenaikan enzim
hati, kreatinin dan ureum.

F. DIAGNOSIS KERJA
Hemaptoe e.c TB paru + DM tipe II dengan hiperglikemia

G. DASAR DIAGNOSIS
 TB Paru
Atas dasar:
 Keluhan sesak napas
 Batuk berdahak darah
 Nyeri dada saat batuk
 Demam yang kadang tinggi
 Keringat malam
 Penurunan berat badan
 Penurunan fremitus taktil dan vokal di hemitoraks kiri
 Foto rontgen toraks PA terdapat cavitas pada lobus kiri bawah.

H. PENATALAKSANAAN IGD

5
 O2 3L/menit
 IVFD RL 20tpm
 Inj. Ranitidin 1 ampul
 Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
 Inj vit K
 Inj. Asam tranexamat 3x1
 Codein 3x10mg
 Actrapid 4 IU
I. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam

J. FOLLOW UP

 23 september 2014
S:
 Sesak nafas berkurang
 Batuk berdahak darah
 Lemas
 mual
 Nafsu makan berkurang

O:

 Keadaan: lemah
 Kesadaran: compos mentis
 TD:110/70
 S: 36,8oC
 N: 80 x/menit
 P: 24 X/menit
 GDS : 181
 Toraks: cor: BJ I-II reguler, Murmur (-) Gallop (-)
 Pulmo:
Inspeksi: pergerakan napas simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : fremitus taktil dan vokal melemah di hemitoraks kiri bawah
Perkusi: sonor di hemitoraks kanan, redup di hemitoraks kiri
Auskultasi: vesikuler melemah di hemitoraks kiri bawah, Wheezing
(-), Ronki (+/+)

 Abdomen: supel, datar, nyeri tekan (-), BU (+), hepar & lien tidak
teraba

A: hemoptoe ec TB paru + DM tipe II

P: IVFD RL 20 tpm

6
Injeksi:

 Ranitidin 2x1
 Ceftriaxone 1x2
 As. Tranexamat 3x1
 Vit.K 3x1
 MP 2x62,5 mg

Oral:

 OAT RHZE 1X1


 Codein 3x10mg

 24 september 2014
S:
 Batuk berdahak darah (-)
 sesak napas berkurang
 urin berwarna merah
 lemas
O:
 Keadaan: lemah
 Kesadaran: compos mentis
 TD:110/60
 S: 36,5oC
 N: 80 x/menit
 P: 20 X/menit
 Toraks:
Cor: BJ I-II reguler, Murmur (-) Gallop(-)
Pulmo:
Inspeksi: pergerakan napas simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : fremitus taktil dan vokal melemah di hemitoraks kiri bawah
Perkusi: sonor di hemitoraks kanan, redup di hemitoraks kiri
Auskultasi: vesikuler melemah di hemitoraks kiri bawah, Wheezing
(-), Ronki (+/+)

 Abdomen: supel, datar, nyeri tekan (-), BU (+), hepar & lien tidak
teraba
A: TB paru + DM tipe II

P: IVFD RL 20 tpm

Injeksi:

 Ranitidin 2x1
 Ceftriaxone 1x2g
 As. Tranexamat 3x1
 Vit.K 3x1

7
Oral:

 OAT RHZE 1X1


 Codein 3x10mg

TINJAUAN PUSTAKA

8
1. DEFINISI

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis


complex.7

2. EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah utama kesehatan global. Setiap tahun, ada sekitar 9
juta kasus baru tuberkulosis, dan 2 juta orang meninggal karena penyakit tersebut. Kasus terbanyak
terjadi di Afrika (30%) dan Asia (55%), dengan India dan Cina sendiri 35% dari semua kasus (Gambar
1). Ada 22 yang disebut negara beban tinggi (HBCs) yang mencapai sekitar 80% kasus TB di dunia,
dan yang telah diberikan perhatian khusus dalam penanggulangan TB sejak sekitar tahun 2000. 8

9
Gambar 1. Insiden Tuberkulosis di Dunia tahun 2009. 8

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di
Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh
kalangan usia.7

FAKTOR RESIKO

Umumnya, orang yang beresiko tinggi untuk mengembangkan penyakit TB terbagi dalam dua
kategori:3

3. 1. Orang yang baru terinfeksi bakteri TB


Orang yang baru terinfeksi Bakteri TB Ini termasuk:

Kontak dekat seseorang dengan penyakit TB menular, orang yang telah berimigrasi dari
wilayah di dunia dengan tingkat insiden TB yang tinggi, anak-anak kurang dari 5 tahun yang memiliki
tes TB positif, kelompok dengan tingginya tingkat penularan TB, seperti orang tunawisma, pengguna
narkoba suntikan, dan orang dengan infeksi HIV, orang yang bekerja atau tinggal dengan orang-orang
yang berisiko tinggi TB dalam sarana atau lembaga seperti rumah sakit, tempat penampungan
tunawisma, lembaga pemasyarakatan, panti jompo, dan rumah tinggal dengan mereka yang terkena
HIV.

3. 2. Orang dengan kondisi medis yang sistem kekebalan tubuhnya lemah.


Orang dengan kondisi tubuh yang sistem sekebalan tubuh nya melemah seperti bayi dan
anak-anak seringkali memiliki sistem kekebalan tubuh lemah. Orang lain dapat memiliki sistem
kekebalan tubuh yang melemah juga, terutama orang-orang dengan kondisi seperti berikut ini:
Infeksi HIV (virus yang menyebabkan AIDS), penyalahgunaan zat silikosis, diabetes mellitus, Penyakit
ginjal berat, Berat badan rendah, transplantasi organ, pengobatan medis seperti kortikosteroid atau
transplantasi organ, perawatan khusus untuk rheumatoid arthritis atau Crohn disease.

10
BIOMOLEKULER

Mycobacterium tuberculosis berbentuk panjang lurus atau sedikit melengkung, tidak


berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 μm dan panjang 1 – 4 μm. Dinding
Mycobacterium tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).
Penyusun utama dinding Mycobacterium tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi.
Unsur lain yang ada pada dinging sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan
dan arabinomanan. Struktur dinding yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri Mycobacterium
tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol. 7

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen Mycobacterium tuberculosis dapat diidentifikasi
dengan menggunakan antibodi monoklonal.7

Genom M. tuberculosis mengandung guanin dan sitosin. Terdapat 3 penanda genetik.


Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada sebagai DNA target,
kelompok 2 merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok 3 adalah
sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan. 7

Termasuk dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah

1) Mycobacterium tuberculosae 2) Varian Asian 3) Varian African I 4) Varian African II

5) Mycobacterium bovis.3

CARA PENULARAN

Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan
besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB.
Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya terjadi secara inhalasi, sehingga TB paru
merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. 3

TB menular melalui udara dari satu orang ke orang lain. Bakteri TB dimasukkan ke udara
ketika seseorang dengan penyakit TB paru-paru batuk, bersin, berbicara, atau bernyanyi. Orang
terdekat dapat menghirup bakteri ini dan menjadi terinfeksi 5. Penularan ini sebagian besar melalui
inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang di dapat dari pasien TB paru dengan
batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam. 3

11
Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi langsung. Infeksi yang
disebabkan oleh Mycobacterium bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan dengan
baik atau terkontaminasi.3

TB tidak tersebar melalui menjabat tangan, berbagi makanan atau minuman, menyentuh
seprai atau kursi toilet, berbagi sikat gigi dan berciuman. 5

Gambar 2. Cara penularan TB.5

PATOGENESIS

1. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sraang reaktivasi.
Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional).
Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks
primer ini akan mengalami salah satu hal sebagai berikut; 7

1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)


2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik, sarang
perkapuran di hilus)
3) Menyebar dengan cara; a. Perkontinuitatum b. Bronkogen c. Hematogen dan limfogen

2. Tuberkulosis Postprimer

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun – tahun kemudian setelah tuberkulosis


primer, biasanya terjadi pada usia 15 – 40 tahun. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang

12
dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil, sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu
jalan berikut ini;7

1) Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat


2) Sarang tersebut akan meluas san segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan
fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk pengapuran. Sarang
tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila
jaringan keju dibatukan keluar.
3) Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan kaseosa. Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya
jaringan keju yang keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal
(kaviti sklerotik).
Kaviti itu akan menjadi; a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru b) Memadat
dan membungkus diri (enkapsulasi) dan disebut tuberkuloma. c) Bersih dan menyembuh yang
disebut open healed cavity.

Gambar 3. Patogenesis tuberkulosis primer

13
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap itu disebut masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada
proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbuk gejala klinis.
Masa inkubasi TB berlangsung selama 2 - 12 minggu, biasanya berlangsung 4 – 8 minggu seperti
terlihat pada gambar berikut.

Gambar 4. Waktu perjalanan penyakit tuberkulosis primer

KLASIFIKASI

1. Tuberkulosis Paru7

1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak ( BTA )


A. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah
 Sekurang – kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukan hasil BTA positif.
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukan gambaran tuberkulosis aktif.
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukan BTA positif dan biakan
positif.
B. Tuberkulosis paru BTA (-)

14
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukan BTA negatif, gambaran klinis dan
kelainan radiologi menunjukan tuberkulosis aktif.
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif.
2. Berdasarkan tipe pasien7
A. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

B. Kasus kambuh
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian lagi
berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

C. Kasus drop out


Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat
2bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

D. Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.

E. Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan katagori 2 dengan pengawasan yang baik.

F. Kasus bekas TB
 Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi paru menunjukan lesi
TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukan gambaran yang menetap.
 Pada kasus gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan
OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran
radiologi.

2. Tuberkulosis Ekstraparu

15
Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh selain paru,
misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing. Diagnosis sebaiknya
didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. 7

MANIFESTASI KLINIS

Keluhan pasien tuberkulosis dapat bermacam – macam atau malah banyak pasien ditemukan
TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan terbanyak adalah; 3

 Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang kadang panas
badan dapat mencapai 40 – 41 ̊C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi
kemudian dapat timbul kembali.
 Batuk/batuk darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk radang keluar. Sifat batuk ini dimulai
dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif
(mengasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat
pembuluh darah yang pecah.
 Sesak napas. Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesaknapas akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah
bagian paru - paru.
 Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
mencapai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu
pasien menarik/melepaskan napasnya.
 Malaise. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu makan, berat badan
turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise ini makin lama
makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Pemeriksaan Fisik

16
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum paseien mungkin ditemukan konjungitva
mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan
menurun.3

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan perkembangan penyakit umunya tidak menemukan kelainan. Kelainan paru pada umunya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks
lobus inferior.7 Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas maka akan didapatkan perkusi yang redup
dan auskultasi suara napas bronkial. Akan di dapatkan juga suara napas tambahan berupa rhonki
basah, kasar dan nyaring.tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya
menjadi vesikuler melemah. Bila terjado kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara
hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik. 3

Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan
retraksi otot – otot interkostal. Bagian paru yang sakit akan menjadi sedikit menciut dan menarik isi
mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat
luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru – paru akan terjadi pengecilan daerah aliran
darah paru dan selanjutnya akan meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal)
diikuti kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Disini akan didapatkan tanda gagal jantung kanan dan
kor pulmonal seperti; takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur
graham-steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites
dan edema.3

Pada pleuritits tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai
tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. 7

Pada limfadenitis tuberkulosis terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah
leher, terkadang di daerah ketiak.7

Pemeriksaan Bakteriologi

A. Bahan pemeriksaan
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronko-alveolar, urin, faeces dan
jaringan biposi.7

17
B. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS)

1. Sewaktu / spot (dahak sewaktu kunjungan)


2. Pagi (keesokan harinya)
3. Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)
Atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

Bahan pemeriksaan dikumpulkan / ditampung dalam pot yang bermulut lebar,


berpenampang 6cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. 7

C. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain


Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain dapat dilakukan dengan cara;
Mikroskopis dan biakan.7

Pemeriksaan mikroskopis

Mikroskopis biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

Mikroskopis flouresens : pewarnaan auramin-rhodamin

Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila;

3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif → BTA positif

1 kali positif, 2 kali negatif → ulangi BTA 3 kali, kemudian

Bila 1 kali positif, 2 kali negatif → BTA positif

Bila 3 kali negatif → BTA negatif

18
Gambar 6. Alur penegakan diagnostik sistematik pada pasien BTA 3 negatif. 9

Pemeriksaan biakan kuman

Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dengan metode konvensional dengan cara; 7

Egg base media : Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh

Agar base media : Middle brook

19
Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan standar adalah foto thoraks PA. Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi
TB aktif: Bayangan berawan/ nodular di segmen apikal dan psoterior lobus atas paru dan segmen
posterior lobus bawah, Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular, bayangan bercak milier, efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). 7

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif; Fibrotik, kalsifikasi, Schwarte atau
penebalan pleura. Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut; 1) lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan, serta tidak dijumpai kaviti. 2) lesi luas, bila proses lebih
luas dari lesi minimal.7

Pemeriksaan khusus

Salah stau masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembanga kini ada
beberapa tekhnik yang lebih baru yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kuman tuberkulosis
secara cepat.7

1. Pemeriksaan BACTEC
2. Polymerase chain reaction ( PCR )
3. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan penunjang lain

1. Analisis cairan pleura


Interpretasi hasil analisis yang mendukung tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan
cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat limfosit dominan dan glukosa
rendah.7

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan7


3. Pemeriksaan darah
Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator
penyembuhan pasien.7

4. Uji tuberkulin

20
Tes tuberkulin: Tes kulit TB (juga disebut tes kulit tuberkulin Mantoux) dilakukan dengan
menyuntikkan sejumlah kecil cairan ( 0,1 cc tuberkulin P.P.D (purifed protein derivative)
berkekuatan 5 T.U ( intermediate strength ) ) ke dalam kulit di bagian lengan bawah. 5 Setelah
48 sampai 72 jam tuberkulin disuntikan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang
terdiri dari infiltrat limfosit. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi selular dan
antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh antibodi
humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan. 3

Berdasarkan hal tersebut, hasil tes Mantoux dibagi dalam:

1) Indurasi 0 – 5 mm (diameternya) : Mantoux negatif


2) Indurasi 6 – 9 mm : hasil meragukan
3) Indurasi 10 – 15 mm : Mantoux positif
4) Indurasi lebih dari 15 mm : Mantoux positif kuat
Untuk pasien dengan HIV positif, test Mantoux ± 5 mm, dinilai positif. 3

Tes kulit positif: Ini berarti tubuh seseorang terinfeksi dengan bakteri TB. Tes tambahan
diperlukan untuk menentukan apakah seseorang memiliki infeksi TB laten atau aktif TB. 5

Tes kulit negatif: Ini berarti tubuh seseorang tidak bereaksi terhadap tes, dan bahwa infeksi
TB laten atau penyakit TB tidak mungkin.5

Kriteria Diagnosis Tuberkulosis

Menurut American thoracic Society dan WHO diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah
dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru secara
biakan. WHO sendiri memberikan kriteria pasien tuberkulosis paru; 3

1. Pasien dengan sputum BTA positif : 1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara
mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan, atau 2. Satu
sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif,
atau 3. Satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif.
2. Pasien dengan sputum BTA negatif : 1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara
mikroskopis tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2 kali pemeriksaan tetapi gambaran
radiologis sesuai dengan TB aktif atau 2. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara
mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali pada biakannya positif.

21
TERAPI

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif ( 2 - 3 bulan ) dan fase
lanjutan ( 4 atau 7 bulan ) seperti yang bisa dilihat pada ( gambar 8. Paduan obat fase intensif dan
fase lanjutan ).7

Gambar 8. Panduan pemberian regimen pengobatan TB kasus baru. 10

1 Obat Anti Tuberkulosis ( OAT )

1. Jenis obat utama ( lini 1 ) yang digunakan adalah:


 Isoniazid
 Rifampisin
 Pirazinamid
 Streptomisin
 Etambutol

2. Jenis obat tambahan lainnya ( lini 2 )


 Kanamisin
 Amikasin
 Kuinolon
 Makrolid dan amoksilin + asam klavunat
 Beberapa obat berikut ini yang belum tersedia di Indonesia antara lain :
Kapreomisin, sikloserin, Thioamides.

22
Kemasan

 Obat tunggal.
 Obat disajikan secara terpisah, masing masing INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol.
 Obat kombinasi dosis tetap ( fixed dose combination ).

Dosis Obat Anti Tuberkulosis

Tabel di bawah ini ( Gambar 9 ) memperlihatkan rekomendasi dosis obat yang dipakai secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien menurut World Health
Organization.

Gambar 9. Rekomendasi dosis lini 1 obat anti tuberkulosis menurut WHO. 10

23
Gambar 10. Frekuensi pemberian dosis pada fase intensif dan fase lanjutan. 10

Paduan Obat Anti Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi;7

 TB paru ( kasus baru ), BTA positif atau pada foto torak; lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH

Atau

2 RHZE / 6 HE

Atau

2 RHZE / 4 R3H3

Paduan ini dianjurkan untuk

a. TB paru BTA (+), Kasus baru.


b. TB paru BTA (-) dengan gambaran radiologi lesi luas.
 TB Paru ( kasus baru ), BTA negatif, pada foto torak; lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH

Atau

6 RHE

Atau

24
2 RHZE / 4 RH3H3

 TB paru kasus kambuh


Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase
lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji
resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.

 TB paru kasus gagal pengobatan


Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 ( contoh
panduan; 3 – 6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan
15 – 18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin ). Dalam keadaan yang tidak
memungkinkan dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai
dengan hasil uji resistensi. Bila tidak ada hasil uji resistensi dabat diberikan
RHE selama 5 bulan.

 TB paru kasus putus obat


Pasien TB paru kasus lalai obat akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria;

a) Berobat ≥ 4 bulan
- BTA saat ini negatif
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka
pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif
lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikandiagnosis TB. bila
terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan panduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu yang lebih lama.

- BTA saat ini positif


Pengobatan dimulai dari awal dengan panduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu yang lebih lama.

b) Berobat < 4 bulan


- Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan panduan
obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama.

25
- Bila BTA negatif gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan
diteruskan.
 TB paru kasus kronik
Pengobatan TB paru kasus kronik jika belum ada hasil uji resistensi berikan
RHZES. Jika telah ada uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
( minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif ) ditambah dengan obat
lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid. Pengobatan minimal 18 bulan.
Jika tidak mampu maka berikan INH seumur hidup. 7

Efek samping obat

Tabel berikut menunjukan efek samping obat dan tatalaksananya ( Gambar 11 )

26
Gambar 11. Efek samping obat dan tatalaksananya. 10

*streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada perempuan
hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin. 7

27
Terapi Pembedahan

Indikasi Operasi7

1. Indikasi mutlak
A. semua pasien yang telah mendapat oat adekuat tetapi dahak tetap positif.
B. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konserfatif.
C. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif.
2. Indikasi relatif
A. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang.
B. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
C. Sisa kaviti yang menetap.

Evaluasi pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, efek samping obat serta
evaluasi keteraturan obat.

Evaluasi klinis; pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan ( evaluasi ada atau tidaknya efek samping obat, ada atau tidaknya
komplikasi )

Evaluasi bakteriologis ( 0 – 2 – 6/9 bulan pengobatan ) pemeriksaan mikroskopis sebelum


pengobatan dimulai, setelah 2 bulan pengobatan ( setelah fase intensif ), pada akhir pengobatan.

Evaluasi radiologi ( 0 – 2 – 6/9 bulan pengobatan ) sebelum pengobatan dimulai, setelah 2


bulan pengobatan ( setelah fase intensif ), pada akhir pengobatan.

Evaluasi efek samping secara klinis. Melihat fungsi hati; SGOT, SGPT, bilirubin. Fungsi ginjal;
ureum, kreatinin. Gula darah. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid. Pemeriksaan visus
dan uji buta warna bila menggunakan etambutol. Pasien yang menggunakan strepromisin harus
diperiksa uji keseimbangan dan audiometri. 7

KRITERIA SEMBUH

- BTA mikroskopis negatif dua kali ( pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan )
dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.
- Pada foto torak, gambaran radiologi serial tetap sama/perbaikan.

28
- Bila ada fasilitas biakan, maka ditambah biakan negatif. 7

Evaluasi pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap di evaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang di evaluasi
adalah mikroskopis BTA dahak dan foto rontgen torak. Mikroskopis BTA dahak 3, 6, 12 dan 24 bulan
(sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto torak 6, 12, 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh.7

Multi Drug Resistance / MDR

Definisi

Resistensi ganda menunjukan Mycobacterium tuberculosis resiten terhadap rifampisin dan


INH dengan atau tanpa OAT lainnya.7

Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi:

 Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumya tidak pernah mendapat


pengobatan TB.
 Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah
pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.
 Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya.

WHO memperkirakan pada tahun 2008 terdapat 440.000 kasus MDR TB dan terdapat
150.000 kematian. Angka kejadian terbtinggi berada di Eropa dan Asia tengah seperi yang dapat di
lihat pada gambar di bawah ini ( Gambar 12 ). 8

29
Gambar 12. Perkiraan terjadinya kasus MDR TB di seluruh dunia. 8

Klasifikasi OAT untuk MDR

Kriteria utama dibagi menjadi 3 kelompok OAT; 7

1. Obat dengan aktiviti bakterisid : aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid.


2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah : florokuinolon.
3. Obat dengan aktiviti bakteriostatik : etambutol, cycloserin, PAS.

30
Gambar 12. Obat MDR 10

PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS

1. TB Milier

Rawat Inap, Paduan obat 2 RHZE/ 4 RH, Pemberian kortikosteroid tidak rutin hanya di berikan
pada keadaan 1) tanda dan gejala meningitis, 2) sesak napas, 3) tanda/ gejala toksik, demam tinggi.

2. Pleuritis eksudativa TB

Paduan obat : 2 RHZE/ 4 RH, evakuasi cairan dapat diberikan kortikosteroid

31
3. TB paru dengan Diabetes Melitus ( DM )

Paduan OAT prinsipnya sama dengan TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah
terkontrol, apabila kadar gula darah tidak terkontrol maka lama pengoatan dapat dilanjutkan sampai
9 bulan, hati – hati dengan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektifitas obat oral
antidiabetes ( sulfonilurea ), diperhatikan penggunaan etambutol karena efek sampingnya pada
mata.7

4. TB paru dengan HIV/ AIDS

Gambar 13. Manifestasi TB + HIV.10

5. TB paru pada kehamilan dan menyusui

Obat antituberkulosis harus tetap diberikan kecuali streptomisin, karena efek samping
streptomisin pada gangguan pendengaran janin.pada pasien TB yang menyusui, OAT dan ASI tetap
dapat diberikan. Pada perempuan usia produktif pengobatan TB dengan rifampisin, dianjurkan untuk

32
tidak menggunakan kontrasepsi humoral karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan
efektifitas obat kontrasepsi hormonal berkurang.7

6. TB paru pada gagal ginjal

Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan kapreomisin. Sebaiknya hindari


penggunaan etambutol.7

7. TB paru dengan kelainan hati

Pada kelainan hati pirazinamid tidak boleh diberikan. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2
SHRE/ 6 RH atau 2 SHE/ 10 HE. Pada pasien hepatitis akut atau klinis ikterik lebih baik OAT ditunda. 7

8. Hepatitis imbas obat

Bila klinis ikterik (+), gejala mual, muntah → OAT STOP. Bila gejala klinis (+) dan SGOT SGPT ≥
3 kali → OAT STOP. Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan; Bilirubun > 2 → OAT STOP,
SGOT SGOT ≥ 5 kali → OAT STOP, SGOT SGPT ≥ 3 kali → teruskan pengobatan dengan pengawasan.

Stop OAT yang bersifat hepatotoksik ( RHZ ) setelah itu monitor klinis laboratorium. Bila klinis
dan laboratorium kembali normal ( bilirubin, SGOT, SGPT ) maka tambahkan INH sampai dengan dosis
penuh 300 mg. Bila klinis dan laboratorium kembali normal tambahkan rifampisin dosis penuh.
Sehingga paduan obat menjadi RHES. Pirazinamid tidak boleh diberikan. 7

9. Tuberkulosis pada organ lain

Pengobatan untuk TB tulang, TB sendi, TB kelenjar lama pengobatan diberikan

9 – 12 bulan. Paduan OAT yang dianjurkan adalah 2 RHZE/ 7 – 10 RH. Pemberian kortikosteroid pada
perikarditis TB dosis yang dianjurkan ialah 0,5 mg/kgBB/hari selama 3 – 6 minggu. 7

II. 9. PREVENTIF TB PARU

 Vaksinasi BCG
 Kemoprofilaksis
Dengan menggunakan isoniazid atau rifampisin. Beberapa peneliti pada International Union
Againts Tuberculosis menyatakan bahwa profilaksis dengan INH diberikan selama 1 tahun. 4

33
KOMPLIKASI

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi lanjut; komplikasi dini: pleuritis, efusi
pleura, empiema, laringitis. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas ( SOFT → Sindrome Obstruksi
Pasca Tuberculosis ), fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas
dewasa.3

KESIMPULAN

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis


complex. Cara penularan dengan terhirupnya droplet nuclei dari orang yang aktif tuberkulosis. Gejala
klinis yang timbul berupa gejala lokal ( batuk ≥ 2 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada ) dan
gejala sistemik ( malaise, anoreksia, BB turun, keringat malam ). Penegakan diagnosis TB berdasarkan
temuan bakteri M. tuberculosis di dahak atau jaringan paru. Diagnosis juga dapat ditunjang dengan
foto thoraks.

Pengobatan TB dilakukan minimal dalam 6 bulan. Terdapat beberapa paduan tatalaksana


disesuaikan dengan kondisi khusus dan umum pasien. Untuk paduan obat yang digunakan pada
kasus TB baru yang aktif adalah 2 RHZE/ 4 RH. Diperlukan pemantauan evaluasi medis untuk menilai
efek samping obat, kegagalan terapi dan tingkat kesembuhan.

II
DIABETES MELITUS

DEFINISI

Menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak
dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat
dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan
fungsi insulin (PERKENI 2006).

Diabetes Melitus (DM) sering juga dikenal dengan nama kencing manis atau penyakit
gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih merupakan kumpulan

34
gejala yang timbul pada diri seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan glukosa
darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2005).

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya(Sudoyo,Aru W,2006).

Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa didalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial
ekonomi(Shahab,Alwi, 2006).

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (PERKENI, 2006).

KLASIFIKASI

Diabetes melitus diklasifikasikan menurut etiologinya seperti yang tertera pada tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi diabetes menurut etiologinya. Sumber : PERKENI, 2006

Klasifikasi lainnya membagi diabetes melitus atas empat kelompok yaitu diabetes
melitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes melitus bentuk khusus, dan diabetes melitus
gestasional (Adam, John MF, 2000).

American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes


(2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam (Dewi,
Debhryta Ayu, 2009):

35
1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya
destruksi sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.

2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan
sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.

3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor
lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel β pankreas, kelainan genetik pada
aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat
penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan
terapi setelah transplantasi organ).

4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami
selama masa kehamilan.

DIAGNOSIS

Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.
Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan asal bahan darah yang
diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan glukosa darah sebaiknya dilakukan di
laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat
dapat juga dipakai bahan darah utuh, vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO. Untuk pemantauan hasil
pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler (Sudoyo,Aru W, 2006).

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM


perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini (PERKENI,
2006) :

1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat


badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126
mg/dl juga digunakan untuk acuan diagnosis diabetes melitus. Untuk kelompok tanpa
keluhan khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja
abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Diperlukan
pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa
darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari

36
hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥
200 mg/dl (Sudoyo,Aru W, 2006).

Tabel 3. Kriteria diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan penyaring.
Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda
diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan
mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji
diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya
positif, untuk memastikan diagnosis definitif (Sudoyo,Aru W, 2006).
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Dibetes melitus,
toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga
dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai
intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju diabetes melitus. Kedua keadaan
tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya diabetes melitus dan penyakit
kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI, 2006).
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) standar (Sudoyo,Ari W, 2006).
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994)

 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
 Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
 Diperiksa kadar glukosa darah puasa
 Diberikan glukosa 75 g (orang dewasa), atau 1,75 g/Kg BB (anak-anak), dilarutkan
dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit.
 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai.

37
 Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
 Selama proses pemeriksaan, subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi criteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT
(Glukosa Darah Puasa Terganggu) dari hasil yang diperoleh.
- TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembebanan antara 140 – 199 mg/dl
- GDPT : glukosa darah puasa antara 100 – 125 mg/dl.

Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan
diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk menentukan
diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa tergagnggu.
Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT.

38
Gambar 1. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi glukosa
terganggu. Sumber : Sudoyo, Aru W, 2006.

PENATALAKSANAAN

Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang umumnya
mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya resistensi insulin.
Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat
tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu
hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian
setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara
klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi
kriteria diagnosis diabetes melitus (Sudoyo, Aru W, 2006).
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah meningkatnya kualitas
hidup penyandang diabetes (PERKENI, 2006).
Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu (PERKENI, 2006):
1. Jangka pendek, hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan
rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
2. Jangka panjang, tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neyropati.
Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
diabetes melitus. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalu pengelolaan pasien secara holistik
dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan tingkah laku (PERKENI, 2006).
Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan
non farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, kegiatan
jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan
langkah-langkah tesebut sasaran pengendalian belum tercapai, maka dilanjutkan dengan
penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan obat perlu
diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia
seperti yang tertera pada gambar 2.

39
Gambar 2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa
darah. Sumber: Sudoyo, Aru W, 2006.

40
Untuk penatalaksanaan diabetes melitus, di Indonesia, pendekatan yang
digunakan adalah berdasarkan dari pilar penatalaksanaan diabetes melitus yang sesuai
dengan konsensus penatalaksanaan diabetes melitus menurut PERKENI tahun 2006.
Adapun pilar penatalaksanaan diabetes melitus sebagai berikut :

A. Edukasi.

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlikan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

41
Tujuan dari perubahan perilaku adalah agar penyandang diabetes dapat menjalani pola
hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah (PERKENI, 2006) :
1. Mengikuti pola makan sehat
2. Meningkatkan kegiatan jasmani
3. Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman,
teratur
4. Melakukan Pementauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan
data yang ada
5. Melakukan perawatan kaki secara berkala
6. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut dengan tepat
7. Mempunyai ketrampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung
dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti
pengelolaan penyandang diabetes.
8. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

B. Terapi Gizi Medis.

Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total.
Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter,
ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes
sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori
dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI, 2006)

42
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain (Sudoyo, Aru
w, 2006) :
1. Menurunkan berat badan
2. Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
3. Menurunkan kadar glukosa darah
4. Memperbaiki profil lipid
5. Meningkatkan sensitifitas reseptor insulin
6. Memperbaiki sistem koagulasi darah

Adapun tujuan dari terapi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan (Sudoyo, Aru w, 2006) :
1. Kadar glukosa darah mendekati normal
 Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl
 Glukosa darah 2jam setelah makan <180 mg/dl
 Kadar A1c < 7%
2. Tekanan darah < 130/80 mmhg
3. Profil lipid yang berkisar normal
 Kolesterol LDL < 100 mg/dl
 Kolesterol HDL > 40 mg/dl
 Trigliserida < 150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin

Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi kerbohidrat, protein
dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian
rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat (Sudoyo, Aru w, 2006).
Adapun komposisi bahan makanan yang direkomendasikan untuk diabetisi menurut
konsensus penatalaksanaan diebetes melitus di Indonesia menurut PERKENI tahun 2006
adalah sebagai berikut :
1. Karbohidrat, sebagai sumber energi, diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih
dari 55-65% dari total kebutuhan energi dalam sehari, atau tidak boleh lebih dari
70%jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal
(MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat
kandungan energi sebesar 4 kilokalori.
Rekomendasi pemberian karbohidrat (Sudoyo, Aru w, 2006) :
1. Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih
ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri.
2. Dari total kebutuhan kalori per hari, 60-70% diantaranya bersumber dari
karbohidrat
3. Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah karbohidrat
maksimal 70% dari total kalori perhari
4. Jumlah serat 25-50 gram per hari
5. Jumlah sukrose sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan
sampai lebih dari total kebutuhan kalori per hari

43
6. Sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti aspartame,
acesulfam dan sucralosa
7. Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram per hari
8. Fruktosa tidakk boleh lebih dari 60 gram per hari

2. Protein, jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari


total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan
pembatasan asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan
suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4
kilokalori/gram (Sudoyo, Aru w, 2006).
Rekomendasi pemberian protein sebagai berikut (Sudoyo, Aru w, 2006):
1. Kebutuhan protein 15-25 % dari total kebutuhan energi per hari
2. Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi kadar gula darah
3. Pada keadaan kadar gula darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-
1 mg/kgbb/hari
4. Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85
gram/kgbb/hari dan tidak kurang dari 40 gram
5. Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih
dianjurkan daripada hewani.

3. Lemak, mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan


makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak
seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak
dibedakan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak
jenuh dan kolesterol disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki
profil lipid tidak normal yang sering tidak normal dijumpai pada diabetes. Asam
lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid = MUFA),
merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah
dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan
trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kolesterol HDL.
Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid =
PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki
agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat
menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktifitas enzim
lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer,
sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL (Sudoyo, Aru w, 2006).
Rekomendasi pemberian lemak adalah sebagai berikut (Sudoyo, Aru w, 2006) :
1. Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal
10 % dari total kebutuhan kalori per hari
2. Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan
sampai maksimal 7% dari total kebutuhan kalori per hari
3. Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL ≥ 100
mg/dl, maka maksimal kolesterol yang dapat dikonsumsi 200 mg/hari

44
4. Batasi asupan asam lemak bentuk trans
5. Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak
tidak jenuh rantai panjang.
6. Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan
kalori per hari.
4. Serat, seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan
bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25
g/1000 kkal/hari (PERKENI, 2006).
5. Kebutuhan kalori, Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas,
berat badan, dll (PERKENI, 2006).
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb (PERKENI, 2006) :
1. Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
2. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanitadi bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
1. Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
2. BB Normal : BB ideal ± 10 %
3. Kurus : < BBI - 10 %
4. Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh. Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/TB(m2)
Klasifikasi IMT adalah sebagai berikut menurut WHO WPR/IASO/IOTF dalam
The Asia Pacific Perspective:Redefning Obesity and its Treatment.
1. BB Kurang <18,5
2. BB Normal 18,5-22,9
3. BB Lebih >23,0
a) Dengan risiko 23,0-24,9
b) Obes I 25,0-29,9
c) Obes II ≥ 30

C. Latihan jasmani.

Pengelolaan diabetes yang meliputi empat pilar, aktivitas fisik merpakan salah
satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar
yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan untuk semua orang
termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari (Sudoyo, Aru w, 2006).
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang

45
bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan
(PERKENI,2006).

Tabel 5. Aktifitas fisik sehari-hari. Sumber : PERKENI, 2006

D. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum


tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (PERKENI, 2006).
Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik
kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia
(Sudoyo, Aru W, 2006).

Obat hipoglikemik oral (OHO)


Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan (PERKENI, 2006) :

1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid


Sulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada
pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan
penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.

46
2. Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel
otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang
menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara
berkala.

3. Penghambat glukoneogenesis: metformin


Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan
hipoksemia (misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, gagal
jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk
mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.

47
4. Penghambat glukosidase alfa (acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari (PERKENI, 2006) :


1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis
hampir maksimal
2. Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan
3. Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
4. Repaglinid, Nateglinid : sesaat/ sebelum makan
5. Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
6. Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makansuapan pertama
7. Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.

Tabel 6. Mekanisme kerja, efek samping utama, dan pengaruh terhadap penurunan A1C
(Hb-glikosilat). Sumber : PERKENI, 2006.

48
Tabel 7. Obat hipoglikemia oral. Sumber : PERKENI, 2006

Insulin

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta,
insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan
tubuh untik keperluan regulasi glukosa darah (Sudoyo, Aru W, 2006).
Insulin diperlukan pada keadaan (PERKENI, 2006) :
1. Penurunan berat badan yang cepat
2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
3. Ketoasidosis diabetik
4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat
6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
7. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
8. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional
9. yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
10.Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
11.Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

49
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni (PERKENI,
2006) :
1. insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
2. insulin kerja pendek (short acting insulin)
3. insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
4. insulin kerja panjang (long acting insulin)
5. insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin)

tabel 8. Farmakokinetik insulin berdasarkan waktu kerja. Sumber : PERKENI, 2006

2.5 Penilaian hasil terapi


Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara terencana
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah (PERKENI, 2006) :

50
1 Pemeriksaan kadar glukosa darah

Tujuan pemeriksaan glukosa darah:


a) Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
b) Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
Kalau karena salah satu hal terpaksa hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan
pemeriksaan 2 jam posprandial.

2 Pemeriksaan A1C

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau


hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun.

3 Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)

Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini
banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang
umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
memakai alat-alat tersebut dapat
dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan
sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan
dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.
PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi
insulin.

51
Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang
dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai
ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko
hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia
nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala seperti
hypoglycemic spells. Prosedur PGDM dapat dilihat pada tabel 9.

Kriteria pengendalian DM

Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM


yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa
darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang
diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Kriteria keberhasilan pengendalian
DM dapat dilihat pada Tabel 10 (PERKENI, 2006).

52
Tabel 10. Kriteria pengendalian diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

Komplikasi

1. Komplikasi akut

Ketoasidosis diabetik

Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang


ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi
insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes
melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik,
KAD biasanya mengalami dehidrasi berat bahkan sampai menyebabkan syok (Sudoyo, Aru
W, 2006).

53
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, dan hormon pertumbuhan),
keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel
tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi
dan tidak menentukan berat ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu (Sudoyo, Aru W, 2006) :

1. Akibat hiperglikemia
2. Akibat ketosis

Gambar 3. Patofisiologi KAD. Sumber : sudoyo, aru w, 2006

KAD ditegakkan dengan kriteria diagnosis sebagai berikut (Sudoyo, Aru W,


2006) :

1. Kadar glukosa > 250 mg%


2. pH < 7,35
3. HCO3 rendah
4. Anion gap yang tinggi
5. Keton serum positif

54
Begitu masalah KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai. Pengelolaan KAD
tentunya berdasarkan patofisiologi dan patogenesis penyakit, merupakan terapi titerasi,
sehingga sebaiknya dirawat diruang perawatan intensif. Prinsip-prinsip pengelolaan KAD
adalah (Sudoyo, Aru W, 2006) :

1. Penggantian cairan dan garam yang hilang


2. Menekan lipolisis sel lemak dan glukoneogenesis sel hati dengan insulin
3. Mengatasi stres sebagi pencetus KAD
4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan
serta penyesuaian pengobatan.

Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik

Sindrom koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) ditandai oleh


hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah
dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguanneurologis dengan atau
tanpa adanya ketosis (Sudoyo, Aru W, 2006).
Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa
hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai
poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari
10% kasus (Sudoyo, Aru W, 2006).

HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit
penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat dibagi
menjadi enam kategori : infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tak terdiagnosis,
penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering (57,1%).
Compliance yang buruk terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan HHNK (21%)
(Sudoyo, Aru W, 2006).

Faktor yang memulai timbulnya HHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria


mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang
semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan volume
intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi
glomerular, menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak
dibanding natrium menyebabkan kadar hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk
menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin (Sudoyo, Aru W,
2006).
Penatalaksanaan HHNK, meliputi lima pendekatan (Sudoyo, Aru W, 2006):
1. Rehidrasi intravena agresif cairan hipotonis.
2. Penggantian elektrolit
3. Pemberian insulin intravena
4. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
5. Pencegahan.

55
Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Bila
terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung
lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah
habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau
lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut
merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya
kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering
lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang lebih lama (PERKENI, 2006).

Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat,


gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai
koma) (PERKENI, 2006).

Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Diberikan


makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau
glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15
menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan
pada pasien dengan hipoglikemia berat (PERKENI, 2006).

Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan glukosa 40%
intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab
menurunnya kesadaran (PERKENI, 2006).

2 Komplikasi kronik

Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentran terjadi komplikasi


pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol, peningkatan
pembentukan Protein Glikasi non enzimakti serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri,
yang menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan komplikasi
baik vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika (Permana,Hikmat, 2007).

Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu


(Permana,Hikmat, 2007):
• Komplikasi mikrovaskular
• Komplikasi makrovaskular
• Komplikasi neurologis

1. Komplikasi Mikrovaskular
Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler.
Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus.

Retinopati diabetika

56
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya
ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan.
Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan
Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal dengan ditandai adanya
mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan
pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada stadium awal
retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan pada kelainan
sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan akan
menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat.

Nefropati diabetika

Diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati paling banyak, sebagai


penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM
mengakibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein
dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat timbul
kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri
persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Dengan demikian upaya
preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah.

2. Komplikasi Makrovaskular

Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri


akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM
timbul lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis
menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit ,kardiovaskular dan penderita diabetes
meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal.

Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar


gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia
merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin
menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin puasa > 15 mU/mL
akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini
dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi
makrovaskular.

Penyakit Jantung Koroner


Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor risiko
koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan
pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri dada paroksismal serti
tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan
tangan) yang timbul saat beraktifitas atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau
mendapat nitrat sublingual.

57
Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih
hebat dan tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-gejala ini dapat tidak timbul
pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.

Stroke

Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada penderita


diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering
timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya
aliran atrteri karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia,
berupa:
- Pusing, sinkop
- Hemiplegia: parsial atau total
- Afasia sensorik dan motorik
- Keadaan pseudo-dementia

Penyakit pembuluh darah

Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis, yang dapat
terjadi pada seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka
akan meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnya terjadi payah jantung.
Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada diabetes disbanding pada orang normal.
Risiko ini akan meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes,
hipertensi atau merokok.

Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada
penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada diabetes,
penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai
fase IV. Faktor factor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai infeksi
merupakan factor utama terjadinya proses gangrene diabetik. Pada penderita dengan
gangrene dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai factor pencetus koma, ataupun
kematian.

3. Neuropati

Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi pada


penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM. MAnifestasi klinis dapat berupa
gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif di
mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal.
Yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan.

Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf akibat
adanya peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan myonositol, penurunan Na/K ATP
ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi
axonal.

58
REFERENSI

1. American Thoracic Society, Centers for Disease Control and Prevention, Infectious Diseases
Society of America: Controlling Tuberculosis in the United States. Am J Respir Crit Care Med
2005;172:1170–1226.
2. American Thoracic Society, Centers for Disease Control and Prevention, Infectious Diseases
Society of America. Diagnostic standards and classification of tuberculosis in adults and
children. Am J Respir Crit Care Med 2000;161:1376–1395.
3. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Penyakit Dalam. EGC. Jakarta:Jilid II;988-994.
4. Amin Z, Bahar A. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku Ajar Penyakit Dalam. EGC.
Jakarta:Jilid II;995-1000.
5. Center for Desease Control and Prevention.
http://www.cdc.gov/tb/topic/basics/default.htm#activetb
6. National Institute for Health and Clinical Excellence. Clinical diagnosis and management of
tuberculosis, and measures for its prevention and control. Menchester 2011;17:1-67.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis
di Indonesia. PDPI. Jakarta, 2006.

59
8. Stop TB Partnership’s New Diagnostics Working Group and World Health Organization.The
Global Plan to Stop TB. Geneva, World Health Organization, 2011-2015.
9. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for Tuberculosis Care
(ISTC). The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2006.
10. World Health Organization. Treatment of Tuberculosis Guidelines WHO Guidelines. Geneva:
World Health Organization, 2010;fourth edition: 1-160.

60

Anda mungkin juga menyukai