Anda di halaman 1dari 13

CLINICAL SCIENCE SESSION

DEMAM TIFOID

Penyusun:
Adinda Syarifah Noor
Dimas Hari Agung A.S

Perseptor : dr. Riyadi, Sp.A, M.Kes

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2018
DEMAM TIFOID

A. Definisi

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella enterik serotype typhia. Selama terjadinya infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi
dalam sel fagositik mononuclear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.

B. Epidemiologi

 Dunia : 11–20 million people get sick from typhoid and between 128 000 and 161 000
people die from it every year

 South-East Asia incidence : 100-200/100.000 penduduk

 Indonesia : Prevalence: 500/100.000 penduduk,Angka kematian: 0.6-5%

C. Sumber Infeksi dan Transmisi

 Sumber infeksi :

• Makanan dan minuman yang tercemar bakteri salmonella enterica serotipe tyhpi

 Transmisi :

• Secara fecal oral dari makanan atau minuman yang tercemar dengan feses penderita tifoid

D. Faktor Risiko

 Personal higiene yang buruk

 Higiene makanan yang buruk

 Kebersihan lingkungan yang buruk

 Kertersediaan air bersih yang terbatas


 Jamban yang tidak memenuhi syarat layak

 Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara tuntas

 Hypoacidity gastric

E. Mikrobiologi Salmonella typhi

 Taxonomy :

• Family : Entrobactericeae

• Spesies : salmonella enterica

• Subspesies : enterica

• Serovar : Typhi

 Karakteristik :

• Gram (-) batang

• Mempunyai peritrichous flagella

• Facultative anaerob

• Bergerak menggunakan flagel

• Dapat hidup pada air yang membeku

• Bakteri ini dapat hidup pada pH 6-8 pada suhu 15-410C (suhu optimal 37 0C). Bakteri ini
dapat mati pada suhu 54,4 0C selama satu jam dan suhu 60 0C selama 15–20 menit.

 Antigenic Structure

• Terdapat capsule yang tersusun atas Vi antigen yang bertindak sebagai anti-inflamasi dan
pelindung dari fagositosis

• Antigen H : pada flagel

• Antigen O : resistensi terhadap panas dan alcohol


• Lipid A : endotoxin

 Diagnostic Test

• Culture

• Non selective media for primary isolation (Blood Agar)

• Selective or differential agar (e.g. MacConkey Agar, Hektoen Enteric Agar)

• Enrichment broths (e.g. Selenite broth)

 Biocemical

• Catalase (+)

• Oxidase, Urease, Indole (-)

 Serology

• Widal test

suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen yang bertujuan untuk
menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam serum pasien yang disangka
menderita demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.

Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat
antibodi (aglutinin), yaitu :

a. Aglutinin O.
Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O yang
berasal dari tubuh kuman.

b. Aglutinin H.
Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H yang
berasal dari flagela kuman.

c. Aglutinin Vi.
Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen Vi yang
berasal dari simpai kuman.

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita
demam tifoid. Diagnosis demamtifoiddapatditegakkanapabiladitemukan titer antibodi O
mencapai ≥ 1/200, titer antibodi H 1/640,atauterdapatkenaikan 4 kali pada titer sepasang.
Padafaseakutmula-mulatimbulaglutinin O, kemudiandiikutidenganaglutinin H. Pada
infeksi yang aktif, titer Uji Widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang
dilakukan selang paling sedikit 5 hari. Pembentukan aglutinin terjadi pada akhir mingu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu
keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H, pada orang yang sembuh aglutinin O
masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan , sedangkan agglutinin H menetap lebih lama
antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menetukan kesembuhan
penyakit.

Interprestasi uji Widal, yaitu :


 Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita demam
tifoid.
 Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai nilai
diagnostik pasti untuk demam tifoid.
 Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan diagnosis
demam tifoid.
 Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain.
 Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kesembuhan
pasien, karena pada seseorang yang telah sembuh dari demam tifoid, aglutinin
akan tetap berada dalam darah untuk waktu yang lama.
 Rapid IgM detection (Tubex)

 Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna
untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan
antigen O9 yang benar-benar spesifik yang ditemukan pada Salmonella serogrup
D. Tes ini sangat akurat untuk diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.

 Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih baik daripada uji Widal.
Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan
spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan
spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan ideal, dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.

F. Patogenesis dan Patofisiologi

Demam tifoid disebabkan oleh masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan
Salmonella paratyphi (S. paratyphi) kedalam tubuh manusia, melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi kuman tersebut. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Usus yang
terserang tifus umumnya ileum terminal / distal, tetapi terkadang bagian lain usus halus dan
kolon proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I).
Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman akan
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh sel makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke plaque peyeri di
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
toraksikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar keseluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan
sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinosoid dan selanjutnya
masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia kedua kalinya. Pada masa
ini, terjadilah gejala-gejala infeksi sitemik.
Didalam hati, kuman berkembang dan selanjutnya masuk kedalam empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten kedalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, dan berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
melepaskan endotoksin yang meningkatkan siklik adenosin monofosfat dan air kedalam
lumen intestinal Endotoksin Salmonella sangat berperan pada patogenesis demam tifoid,
karena menbantu terjadinya proses inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, ganguan mental dan gangguan koagulasi.
Didalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan
(S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas type lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ) yang terjadi pada minggu pertama infeksi. Perdarahan saluran
cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang
mangalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel manonuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini akan berkembang hingga kelapisan otot, serosa, dan
akhirnya dapat mengakibatkan perforasi. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan
sel mononuclear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan
retikuloenditelial lain seperti limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan – kelainan patologis
yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, pau, ginjal,
jantung, empedu mengalir ke dalam usus, sehingga menjadi karier intestinal.
Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga juga
menjadi karier (urinary carier). Adapun tempat-tempat yang menyimpan basil ini,
memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps).
Patomekanisme munculnya gejala klinis pada demam tifoid :

1. Demam, disebabkan karena peningkatan set point pada pusat thermoregulator di


hipotalamus. Endotoksin dapat secara langsung mempengaruhi termoregulasi di
hipotalamus, dan juga dapat merangsang pelepasan pirogen endogen, yang pada akhirnya
juga mempengaruhi termoregulasi di hipotalamus.
2. Mialgia, sakit kepala dan nyeri abdominal. Merupakan respon dari termoregulator,
dimana terjadi pengaktifan saraf simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi dan pengalihan
aliran darah dari tempat-tempat seperti otot lurik, saluran cerna, kulit dan lainnya yang
kurang begitu penting.
3. Hepatomegali dan splenomegali. Karena pada tempat ini terjadi proliferasi salmonella,
juga terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear.
4. Bradikardia relatif, terjadi karena pengaruh endotoksin terhadap kerja miokardium.

G. Gambaran Klinis

Masa inkubasi dari demam tifoid bervariasi, tergantung kepada infecting dose dari bakteri
Salmonella. Rata-rata, masa inkubasi pada anak lebih singkat dari dewasa, yaitu 5-8 hari.

Pada fase prodromal yang berlangsung selama 2-4 hari hingga 1 minggu, pasien mengeluhkan
gejala yang tidak spesifik seperti sakit kepala, lemas, myalgia, anoreksia, dan demam yang
berfluktuasi lebih dari 1°C, tidak pernah mencapai suhu normal, dan perlahan-lahan meningkat
(rising remittent fever). Diare dapat ditemukan pada hari-hari pertama sakit, selanjutnya terjadi
konstipasi. Anak biasanya mengeluhkan mual, muntah, serta sakit di daerah abdomen, namun
tidak dapat menunjukkan daerah yang paling sakit.

Selanjutnya, terjadi fase toksik selama 2-3 hari hingga 1 minggu dimana anak mengeluhkan
gejala prodromal yang bertambah berat ditambah. Pada kondisi ini, anak tampak sakit berat,
letargi, delirium, dan disorientasi. Demam tinggi biasanya menetap (continuous fever). Terjadi
pula distensi abdomen dengan penurunan bising usus. Gejala lain yang ditemukan adalah
bradikardia relative, yaitu peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi
nadi.

Di sekitar hari ke-7 hingga hari ke-10, biasanya muncul lesi makulopapular berwarna merah
muda (rose spots) pada daerah dada bagian bawah dan abdomen bagian atas. Lesi ini akan
memudar jika diberi penekanan (blanching). Biasanya muncul selama 2-3 hari akibat embolisasi
bakteri. Komplikasi rawan terjadi pada fase ini.

Fase konvalesens/perbaikan biasanya terjadi secara lambat dan perlahan selama 1-2 minggu.
Temuan-temuan pada pemeriksaan fisik berangsur membaik, namun komplikasi intestinal dan
malnutrisi masih bisa terjadi.

H. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis

 Pemeriksaan hematologi rutin


Sering ditemukan anemia normokrom-normositer akibat supersi sumsum tulang,
leukopenia disertai limfositosis relative, trombositopenia.
 Pemeriksaan kimia darah
Pada penderita dengan komplikasi hepatitis tifosa, dapat ditemukan peningkatan enzim
transaminase hepar dan bilirubin serum.
 Kultur
Kultur sumsum tulang memiliki angka keberhasilan 90% dan tidak dipengaruhi oleh
pemberian antibiotik, namun bersifat invasive dan jarang dilakukan. Kultur darah
biasanya positif pada minggu pertama dan kedua dengan angka keberhasilan 60-80%,
namun dipengaruhi oleh pemberian antibiotik. Kultur urin dan feses dapat dilakukan pada
minggu kedua dan ketiga setelah terjadi bakteremia sekunder. Selain itu, kultur juga bisa
diambil dari rose spot.
 Serologi
a) Widal
Tes Widal mengukur aglutinasi dari antibodi serum terhadap antigen O dan H dari
bakteri. Biasanya, antibody terhadap antigen O muncul di hari ke-6 sampai hari ke-8,
sedangkan antibody terhadap antigen H muncul di hari ke-10 hingga hari ke-12. Serum
penderita dicampurkan dengan antigen, kemudian dilihat apakah terjadi aglutinasi.
Kemudian dilakukan pengenceran dan dinilai apakah masih ada aglutinasi. Semakin
besar pengenceran/titer, semakin besar kemungkinan pasien menderita demam tifoid.
Hasil positif apabila titer antibodi O lebih dari 1/320, titer antibodi H lebih dari 1/160,
atau terjadi kenaikan titer sebanyak 4 lipat pada pemeriksaan kedua yang dilakukan 5-
10 hari setelah pemeriksaan pertama.
Pemeriksaan Widal tidak direkomendasikan karena cenderung membuang waktu
sehingga menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pemberian antimikroba, memiliki
nilai cut-off yang bergantung pada baseline dari populasi normal, tidak spesifik untuk
Salmonella typhi karena bisa terjadi reaksi silang dengan Enterobacteriaceae lain, serta
dapat menjadi positif palsu pada pasien dengan riwayat imunisasi tifoid atau riwayat
demam tifoid sebelumnya.

b) IgM Antigen O9 (Tubex-TF®)


Tes Tubex menilai aglutinasi antibodi IgM serum terhadap antigen O9 yang spesifik
untuk Salmonella Typhi menggunakan partikel berwarna. Prinsip yang digunakan
adalah aglutinasi kompetitif, yaitu serum pasien dicampur dengan reagen A (partikel
magnetik yang dilapisi lipopolisakarida Salmonella Typhi) dan reagen B (partikel
berwarna biru yang dilapisi antibodi spesifik untuk antigen O9). Jika tidak terdapat
antibodi di serum, maka partikel biru (reagen B) akan berikatan dengan partikel
magnetik (reagen A) sehingga partikel magnetik dan partikel biru akan mengendap di
bawah, meninggalkan warna merah pada larutan. Sedangkan, jika terdapat antibodi di
serum, maka antibodi akan berikatan dengan partikel magnetik, sehingga partikel biru
tidak berikatan dengan partikel magnetik. Oleh karena itu, larutan akan berwarna biru.
Kemudian, hasil pemeriksaan ditentukan dengan pembacaan warna pada hasil akhir
reaksi, lalu dicocokkan dengan skala pada color scale.

I. Komplikasi
Komplikasi yang paling serius adalah perdarahan (1-10%) dan perforasi usus (0,5-3%) yang
biasanya terjadi pada minggu kedua atau awal minggu ketiga. Perdarahan biasanya muncul
sebagai anemia. Pada perdarahan hebat, dapat terjadi syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran
melena.

Perforasi usus biasanya terjadi di terminal ileum atau cecum. Gejalanya mirip dengan apendisitis
akut, yaitu bertambahnya nyeri abdomen secara sigifikan pada kuadran kanan bawah, nyeri tekan
perut, kaku otot perut (abdominal rigidity), abdominal muscle guarding, peningkatan frekuensi
nadi secara tiba-tiba, dan hipotensi. Pada pemeriksaan radiologi region abdomen, terdapat gas di
bawah diafragma.

Karena bakteri tifoid mengenai sistem retikuloendotelial, dapat terjadi komplikasi berupa
hepatitis, jaundice, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis, dan hemolysis.

Toksin dari bakteri tifoid juga dapat berpengaruh terhadap jantung sehingga menyebabkan toxic
myocarditis dan endokarditis yang bermanifestasi menjadi takikardia, pulsasi lemah, aritmia,
sinoatrial block, bahkan hingga cardi:ogenic shock.

Gejala-gejala respirasi yang dapat menjadi komplikasi di antaranya bronchitis dan


bronkopneumonia.

Komplikasi neurologis biasanya jarang terjadi pada anak, contohnya delirium, psikosis,
peningkatan tekanan intrakranial, acute cerebellar ataxia, korea, ketulian, dan Guillain-Barre
syndrome.

Pada sistem hematologi dan ginjal, bisa terjadi disseminated intravascular coagulation (DIC),
hemolytic-uremic syndrome, pyelonephritis, sindroma nefrotik, dan immune complex
glomerulitis akibat deposisi immunoglobulin IgM, C3, dan antigen bakteri Salmonella.

J. Diagnosis Banding

 Acute gastroenteritis
 Malaria
 Tuberculosis
 Typhus
 Leptospirosis
 Dengue fever
 Infectious mononucleosis
 Acute hepatitis

K. Tatalaksana

 Suportif
- Tirah baring untuk mencegah komplikasi perdarahan atau perforasi usus. Mobilisasi
pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Bila
terjadi penurunan kesadaran, posisi tidur pasien harus diubah-ubah untuk mencegah
komplikasi berupa pneumonia hipoplastik dan dekubitus.
- Menjaga kecukupan asupan cairan, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, dengan komplikasi, serta
penurunan kesadaran yang sulit makan.
- Diet bergizi seimbang, cukup kalori dan protein, konsistensi lunak dan mudah
dicerna, serta rendah serat untuk mencegah komplikasi perdarahan dan perforasi.
 Simptomatik
- Antipiretik berupa acetaminophen 10-15 mg/kgBB setiap 4-6 jam secara peroral
- Deksametason 3 mg/kgBB inisial, diikuti 1 mg/kgBB tiap 6 jam selama 48 jam pada
pasien yang sakit berat, syok, stupor, atau koma
 Definitif (antibiotik)
- Tanpa penyulit
Kloramfenikol 50-75 mg/kgBB/hari selama 14-21 hari
Amoksisilin 75-100 mg/kgBB/hari selama 14 hari
TMP-SMX 8/40 mg/kgBB/hari selama 14 hari
- Terapi alternatif tanpa penyulit
Sefiksim (untuk MDR) 15-20 mg/kgBB/hari selama 7-14 hari
Azitromisin (untuk resistensi kuinolon) 8-10 mg/kgBB/hari selama 7 hari
- Dengan penyulit
Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari selama 14-21 hari
Ampisilin 100 mg/kgBB/hari selama 14 hari
Seftriakson 75 mg/kgBB/hari atau sefotaksim 80 mg/kgBB/hari selama 10-14 hari

L. Pencegahan

 Meminum air yang aman dan bersih. Hal ini dapat dilakukan dengan merebus air minimal
1 menit, menambahkan senyawa klorin, atau menutup tempat penyimpanan air.
 Memakan makanan yang aman dan bersih. Contohnya dengan menghindari makanan
yang mentah atau setengah matang, memakan makanan selagi masih hangat, menghindari
minuman dingin atau es yang sumber airnya tidak jelas, dan menghindari jajan
sembarangan.
 Sanitasi, yaitu dengan mencuci tangan sebelum dan setelah makan dan mengolah
makanan, serta membuang kotoran dengan baik.
 Vaksin tifoid, dengan indikasi hendak mengunjungi daerah endemik, rutin berkontak
dengan karier tifoid, pekerja laboraturium yang bekerja dengan bakteri Salmonella.
Vaksin terdiri atas:
- Vaksin Vi Polysaccharide (ViCPS) yang diberikan pada anak di atas 2 tahun dengan
injeksi subkutan atau intramuskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Efikasi perlindungannya sebesar
70-80%.
- Vaksin oral Ty21a yang tersedia dalam sediaan salut enteric dan cair. Vaksin diberikan
pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing
diselang 2 hari, efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan 67-82%.

Anda mungkin juga menyukai