PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Mengetahui penyebab penyakit Dipteri
2. Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri
3. Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri
4. Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,laring,
hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjunngtiva atau
vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri.
Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah
inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri
faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus
yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan
membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan
terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin
dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang
progresif,timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-
macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan
bagian dari impetigo.(Kadun,2006)
2.2 Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Berbentuk batang gram
positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi
kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunayi efek
patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheriae
ini yaitu : type mitis, type intermedius dan type gravis. Corynebacterium diphtheriae dapat
dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe.
Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe
gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen.
Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat
ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.(Depkes,2007)
2.3 Cara Penularan
Cara Penularan Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai
penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada
masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection.
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak
masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri khas dari
penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal , dimana
pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu
rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembrane). Membran ini
sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-
kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan miyocarditis. Penderita
yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringeal.(Depkes,2007)
2.3.1 Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya nyeri menelan.
Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota
gerak) dan nefritis (radang ginjal).
2.3.2 Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang
bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati
akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.
Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut
tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak
lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga
akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut
sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
Difteri laring ( laryngo tracheal diphtheriae ) dengan gejala tidak bisa bersuara,
sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah,
kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan
difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka
mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya.
Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi
cenderung tidak terasa apa apa.
2.4 Diagonosis
Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus ditegakakkan berdasarkan gejala
klinik.
Pengambilan smear dari membran dan bahan dibawah membran, tetapi hasilnya kurang
dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan Shick test bisa
dilakukan untuk menentukan status imunitas penderita.
2.6 Patogenesis
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut
atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun.
Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di
seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya
saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi
toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan
dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan
menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak
jarang difteri juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran
udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang
dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan
dengan EKG.(Ditjen P2PL Depkes,2003)
2.7 Komplikasi
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu
antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin. Komplikasi difteri terdiri dari :
a. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
b. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalan nafas
c. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin.
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi gagal
jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab gerakan tak terkoordinasi.
Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan kerusakan ginjal.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, oleh
karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
b. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi ringan,
Infeksi sedang dan Infeksi berat.
c. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring, difteri laring dan
difteri kutaneus dan vaginal.
d. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
Panas lebih dari 38 °C
Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
Sakit waktu menelan
Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena
pembengkakan kelenjar leher
e. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai
carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau
kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection dan difteri kulit yang
mencemari tanah sekitarnya.
f. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak
masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
g. Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan dengan pemberian imunisasi DPT 1, DPT2 dan
DPT 3 pada bayi mulai umur 2 bulan dan dilanjutkan dengan imunisasi DPT berikutnya
dengan jarak waktu 4 paling sedikit 4 minggu (1 bulan ). Kemudian diulang lagi pada saat
usia sekolah dasar yaitu kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain itu juga dilakukan dengan cara
menjaga kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari kuman difteri ini.
h. Pengobatan pada difteri terbagi menjadi dua yaitu Perawatan umum yaitu dengan isolasi , bed
rest 2-3 hari, intake makan : makanan lunak, mudah dicerna, protein dan kalori cukup, dan
pengobatan khusus yang bertujuan menentralisir toksin dan membunuh basil dengan
antibiotika ( penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin,
Klindamisin, tetrasiklin).
i. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya klb difteri adalah :
Cakupan imunisasi
Kualitas vaksin
Lingkungan
Rendahnya tingkat pengetahuan ibu dan keluarga
Akses pelayanan kesehatan yang rendah
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV Infomedika, Jakarta Ditjen
P2PL,
Depkes RI, 2007, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa
(Pedoman Epidemiologi Penyakit), Jakarta
Ditjen P2PL, 2003, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit, , Jakarta
Ditjen P2PL, 2005, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, Jakarta
Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten
Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2 No.5
Seksi P & SE, 2008, KLB Difteri Jatim, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2008