Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri,
Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab
kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan 1,7 juta
kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I.
Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan
penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri
ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan
kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah.
Rendahnya kasus difteri sangat dipengaruhi adanya program imunisasi. Jumlah kasus
penyakit difteri di Propinsi Jawa Timur tahun 2006 sebesar 39 kasus, dengan rincian
jumlah terbanyak Kota Surabaya 8 Kasus, Kab. Sidoarjo 7 kasus, Kab. Sumenep 4 kasus
dan Kota Probolinggo 4 kasus .( Dinkes Jatim ,2006)

1.2. Rumusan Masalah


1. Bakteri apa yang menyebabkan penyakit dipteri?
2. Bagaimana tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri?
3. Berapa lama masa inkubasi penyakit dipteri?
4. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit dipteri?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Mengetahui penyebab penyakit Dipteri
2. Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri
3. Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri
4. Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi

Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,laring,
hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjunngtiva atau
vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri.
Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah
inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri
faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus
yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan
membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.

Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan
terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin
dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang
progresif,timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-
macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan
bagian dari impetigo.(Kadun,2006)

2.2 Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Berbentuk batang gram
positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi
kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunayi efek
patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheriae
ini yaitu : type mitis, type intermedius dan type gravis. Corynebacterium diphtheriae dapat
dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe.
Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe
gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen.
Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat
ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.(Depkes,2007)
2.3 Cara Penularan
Cara Penularan Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai
penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada
masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection.
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak
masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri khas dari
penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal , dimana
pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu
rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembrane). Membran ini
sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-
kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala dan miyocarditis. Penderita
yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringeal.(Depkes,2007)
2.3.1 Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
 Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan
gejala hanya nyeri menelan.
 Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
 Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota
gerak) dan nefritis (radang ginjal).
2.3.2 Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
 Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan ingus yang
bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus difteri. Bila tidak diobati
akan berlangsung mingguan dan merupakan sumber utama penularan.
 Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang akut
tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi yang cepat, tampak
lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga
akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut
sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
 Difteri laring ( laryngo tracheal diphtheriae ) dengan gejala tidak bisa bersuara,
sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah,
kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan
difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
 Difteri kutaneus (cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala berupa luka
mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya.
Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi
cenderung tidak terasa apa apa.
2.4 Diagonosis
Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus ditegakakkan berdasarkan gejala
klinik.

Test yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi:

 gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi Corynebacterium


diphtheriae.
 Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung) dapat di
lakuka dengan electrocardiogram (ECG).

Pengambilan smear dari membran dan bahan dibawah membran, tetapi hasilnya kurang
dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan Shick test bisa
dilakukan untuk menentukan status imunitas penderita.

2.5 Gejala Penyakit


Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas lebih dari 38 °C
b. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
c. Sakit waktu menelan
d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan
kelenjar leher.
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit
waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada
tonsil tampak membran putih kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya
diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan
laboratorium. Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak
jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah
bening di leher sering terjadi.(Ditjen P2PL Depkes,2003)

2.6 Patogenesis
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut
atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun.
Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di
seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya
saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi
toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan
dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan
menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak
jarang difteri juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran
udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang
dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan
dengan EKG.(Ditjen P2PL Depkes,2003)
2.7 Komplikasi
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu
antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin. Komplikasi difteri terdiri dari :
a. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
b. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalan nafas
c. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin.
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi gagal
jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab gerakan tak terkoordinasi.
Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan kerusakan ginjal.

2.8 Pencegahan dan Pengobatan


Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri,tetapi kerentanan terhadap infeksi tergantung
dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada kekebalannya. Bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi taka akan lebih dari 6 bulan dan pada
umur 1 tahun kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak
selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang didapat secara aktif
dengan imunisasi.
Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT
yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar dari pada anak yang status
imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan sumber penularan beresiko penularan difteri 20.821
kali lebih besar daripada tidak ada sumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan
rendah tentang imunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi dan difteri.
Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi
terjadinya difteri.(Kartono,2008)
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan
pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu –
dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri,
pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah
demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat
penurun panas . Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang
pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali.
Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa
sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali.
Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan
mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin difteria dengan
jadwal yang sama.
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama
kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi
dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan.
Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga
kebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita
konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang bersih.
Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk mempercepat
kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri
difokuskan untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh kuman
Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali, biasanya
penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup.
Melihat bahayanya penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan ditemukan gejala
diatas maka harus segera dibawa ke dokter atau rumah sakit untuk segera mendapatkan
penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah sakit untuk diopname dan diisolasi dari orang
lain guna mencegah penularan. Di rumah sakit akan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap
fungsi fungsi vital penderita untuk mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita
umumnya akan diberikan antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria Serum).
Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest : 2-3 minggu,
makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna, protein dan kalori cukup,
kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.
Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari,
namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit
yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat.
Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bisa dicegah
dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya masih positif dan
imunisasi.
Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan membunuh
basil dengan antibiotika ( penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin,
Klindamisin, tetrasiklin).
Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria Serum (ADS)
20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja, tetapi jika membrannya
sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit. Sebelum pemberian serum dilakukan sensitif
test.
Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi 3 hari setelah
panas turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-40 mg/KgBB/hari selama 14
hari.
Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus ) dimana
vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan serta
bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPT diberikan untuk pemberian kekebalan
secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan,
dosis selanjutnya diberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT pada
bayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT (Dipteri
Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada anak sekolah dasa kelas 1.
(Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas,2005) Seorang karier (hasil biakan positif,
tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan difteri, karena itu diberikan antibiotik dan
dilakukan pembiakan ulang pada apus tenggorokannya. Kekebalan hanya diperoleh selama 10
tahun setelah mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi
booster setiap 10 tahun.
2.9 Determinan
Beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan kejadian Difteria diantaranya :
a. Cakupan imunisasi, artinya dimana ada bayi yang kurang bahkan tidak mendapatkan
imunisasi DPT secara lengkap. Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan
status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih
besar dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.
b. Kualitas vaksin, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang menjaga Coldcain
secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
c. Faktor Lingkungan, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang rendah dapat
menunjang terjadinya penyakit Difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat mudah sekali
menyebarkan penyakit difteria bila ada sumber penularan.
d. Rendahnya tingkat pengetahuan ibu, dimana pengetahuan akan pentingnya imunisasi sangat
rendah dan kurang bisa mengenali secara dini gejala-gejala penyakit difteria.
e. Akses pelayanan kesehatan yang rendah, dimana hal ini dapat dilihat dari rendahnya cakupan
imunisasi di beberapa daerah tertentu. Misalnya di Kabupaten Sidoarjo, berdasarkan data
yang ada ada empat desa yang belum tercapai program imunisasinya, yakni Sekardangan,
Porong, Tanggulangin dan Kedungsolo Jabon.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, oleh
karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.
b. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu: Infeksi ringan,
Infeksi sedang dan Infeksi berat.
c. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring, difteri laring dan
difteri kutaneus dan vaginal.
d. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
 Panas lebih dari 38 °C
 Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
 Sakit waktu menelan
 Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena
pembengkakan kelenjar leher
e. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai
carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau
kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection dan difteri kulit yang
mencemari tanah sekitarnya.
f. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak
masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan.
g. Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan dengan pemberian imunisasi DPT 1, DPT2 dan
DPT 3 pada bayi mulai umur 2 bulan dan dilanjutkan dengan imunisasi DPT berikutnya
dengan jarak waktu 4 paling sedikit 4 minggu (1 bulan ). Kemudian diulang lagi pada saat
usia sekolah dasar yaitu kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain itu juga dilakukan dengan cara
menjaga kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari kuman difteri ini.
h. Pengobatan pada difteri terbagi menjadi dua yaitu Perawatan umum yaitu dengan isolasi , bed
rest 2-3 hari, intake makan : makanan lunak, mudah dicerna, protein dan kalori cukup, dan
pengobatan khusus yang bertujuan menentralisir toksin dan membunuh basil dengan
antibiotika ( penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin,
Klindamisin, tetrasiklin).
i. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya klb difteri adalah :
 Cakupan imunisasi
 Kualitas vaksin
 Lingkungan
 Rendahnya tingkat pengetahuan ibu dan keluarga
 Akses pelayanan kesehatan yang rendah

3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV Infomedika, Jakarta Ditjen
P2PL,

Depkes RI, 2007, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa
(Pedoman Epidemiologi Penyakit), Jakarta

Ditjen P2PL, 2003, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit, , Jakarta

Ditjen P2PL, 2005, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, Jakarta

Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten
Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol.2 No.5

Profil,2004, Profil Kesehatan http://www.BankData/Depkes.go.id

KJ,2007.Difteri,http://.WWW.BalitaAnda.Com,2007, Difteriae, http://Medlineplus.com/Difteriae ,2007


Wijaya Kusuma, 2004, Difteri, Cara Mencegah dan Mengatasinya, http://Cyberhelath.com ,2004
Supriyanto,dkk, 2008, Reaksi Kekebalan Anak Sekolah Terhadap Toksoid
Difteri.http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/2008

Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr.Sulianti Saroso, 2007, Imunisasi,http:/www.info@infeksi.com


Biofarma, 2007, Vaksinasi, http:/www.biofarma.com,2007

Seksi P & SE, 2008, KLB Difteri Jatim, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2008

Anda mungkin juga menyukai