Anda di halaman 1dari 12

DIMENSI PENGETAHUAN DAN ILMU

A. Teori Tentang Pengetahuan


Pegetahuan (Knowledge atau ilmu) adalah bagian yang esensial-aksiden manusia, karena
pengetahuan adalah buah dari “berpikir”. Berpikir (natiqiyyah) adalah sebagai differentia (atau
fashl) yang memisahkan manusia dari sesame genusnya, yaitu hewan. Sebenarnya kehebatan dan
keunggulan manusia dari spesies-spesies lain karena pengetahuannya. Kemajuan manusia
dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya, lalu apa yang telah dan ingin
diketahui manusia? Bagaimana manusia berpengetahuan? Kemudian apakah yang ia ketahui itu
benar? Dan apa yang menjadi tolak ukur kebenaran?
Pertanyaan-pertanyaan diatas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan diatas sudah
terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk kea lam realita. Namun ketika masalah-
masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu, maka tidak menjadi sederhana lagi. Ilmu
yang dibedah tersebut akan menjadi perselisihan dan perdebatan. Perselisihan tentangnya
menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga muncul adanya
perbedaan ideology.
Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi aktivitas otak yang menerima, merekam dan
mengolah apa yang ada dalam benak, tapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu ini
dengan epistemology (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma’rifah)
Epistemology menjadi sebuah kajian sejak tiga abad yang lalu dan berkembang di dunia
barat. Sementara di sunia islam kajian ini belum populer. Ketika dunia barat mengalami ledakan
dalam kebebasan berekspresi cara berpikir mereka mulai berubah. Renaissance berjasa dalam
menutup kegelapan eropa yang panjang dan membuka sejarah baru. Supremasi dan dominasi
gereja atas ilmu sudah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia
dengan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari
alternative lain dalam memandang dunia. Maka muncul berbagai aliran, seperti aliran rasionalis
dan empiris.
Dalam dunia islam tidak terjadi ledakan seperti dunia barat, karena dalam islam agama dan
ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi antara
agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit terjadi karena interpretasi dari teks agama terlalu dini.
Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung, hal ini dibuktikan dengan
banyaknya ilmuwan islam.
1. Pentingnya Pengetahuan Bagi Manusia
Masalah Epistemologis yang sejak dahulu dan juga sekarang menjadi bahan kajian
adalah, apakah berpengetahuan itu mungkin? Apakah dunia bias diketahui? Sekilas masalah
ini konyol dan menggelikan. Tetapi ada beberapa orang yang mengingkari pengetahuan atau
meragukan pengetahuan. Misalnya, bapak kaum sophis, georgias, pernah dikutip darinya
sebuah ungkapan berikut, “Segala sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat
diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak dapat diinformasikan.”
Mereka mempunyai beberapa alasan yang cukup kuat ketika berpendapat bahwa
pengetahuan sesuatu yang tidak ada atau tidak dapat dipercaya. Pyrrho salah satu dari
mereka menyebutkan bahwa manusia ketika ingin mengetahui sesuatu menggunakan dua
alat yakni indra dan akal. Indra yang merupakan alat pengetahuan paling dasar mempunyai
banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium dan perasa. Mereka
demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya? Demikian
pula dengan akal. Manusia sering kali salah dalam berfikir. Bukti yang paling jelas bahwa
diantara para Filsuf sendiri terdapat perbedaan yang jelas tidak mungkin semua benar pasti
ada yang salah. Maka akal pun tidak dapat dipercaya.
Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja, dan keduanya mungkin bersalah, maka
keduanya tidak mungkin dipercaya. Itu pertama. Kedua, ketika pyrrho juga mengatakan
bahwa indra dan akala seing kali bersalah, atau katakana selalu bersalah, berarti ia
mengetahui bahwa indra dan akal itu salah. Dan itu adalah pengetahuan juga. Alas an yang
dikemukaan oleh Pyrrho tersebut tidak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu
yang tidak mungkin. Alasan itu hanya dapat membuktikan bahwa ada kesalahan dalam akal
dan indra, tetapi tidak semua pengetahuan lewat keduanya salah.
Oleh karena itu, mesti ada cara agar akal dan indra tidak bersalah. Menurut Ibnu
Sina, ada cara lain yang lebijh efektif menghadapi mereka, yaitu pukulah mereka. Kalau dia
merasakan kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit.
Sedangkan Rene Descartes termasuk pemikir yang beraliran rasionalin. Ia cukup
berjasa dalam membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Descartes termasuk pemikir
yang pernah mengalami Skeptisme akan pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan
bangkin menjadi seorang yang menyakini realita. Ia mencari dasar keyakinanya terhadap
tuhan alam jiwa dan kota Paris. Dia mendapatkan bahwa yang menjadi dasar alat keyakinan
dan pengetahuan adalah indra dan akal. Ternyata keduanya masih perlu didiskusikan artinya
kesuanya tidak memberikan hal yang pasti dan meyakinkan. Lantas dia berfikir ahwa segala
sesuatu biasa diragukan tapi dia tidak bisa meragukan akal dan pikiranya. Dengan kata lain
ia meyakini dan mengetahui bahwa dirinya ragu ragu dan berfikir. Ungkapanya yang
populer dan sekaligus pondasi keyakinan dan pengetahuanya adalah “saya berpikir, maka
saya ada”. Argumentasinya akan realita, menggunakan silogisme kategori bentuk pertama,
namun tanpa menyebutkan premis mayor, misalnya ;”saya berpikir, setiap yang berpikir
ada maka saya ada”.
Keraguan itu didunia islam dialami oleh Imam Al Ghozali yang pernah skeptis pada
realita, namun ia pun selamat dan menjadi pemikir besar dalam filsafat dan tashawuf.
Perkataanya yang populer adalah “keraguan adalah kendaraan yang mengantarkan
seseorang ke keyakinan”.
2. Sumber Dan Alat Pengetahuan
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu bauk menggunakan logita deduktif maupun
logika induktif. Pada dasarnya ada dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar. Pertama adalah mendasarkan diri pada rasio dan yang kedua
mendasarkan diri pada pengalaman. Kaum Rasionalis mendasarkan diri pada rasio dan kaum
Empirisme mendasarkan diri pada pengalaman.
Kaum Rasionalis menggunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuanya.
Premis yang dipakai dalam penalaranya didapatkan dari ide yang dianggapnya jelas dan
dapat diterima. Menurut mereka ide bukanlah ciptaan manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada
jauh sebelum manusia memikirkanya. Paham ini dikenal dengan Idealisme. Fungsi pikiran
manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut lalu menjadi pengetahuanya. Prinsip itu sendiri
sudah ada dan bersifat Apriori dan dapat diketahui manusia lewat kemampuan berfikir
rasionalnya. Pngalaman tidaklah membuahkan prinsip, akan tetapi hanya dengan
mengetahui prinsip didapat lewat penalaran rasional itulah kita dapat mengerti kejadian-
kejadian yang terjadi disekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum
rasionalis bersifat Apriori dan pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran
rasional.
Sedangkan kaum Empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan
didapat lewat penalaran yang abstrak, namun lewat penalaran yang konkret dan dapat
dinyatakan lewat panca indra. Selain rasionalisme dan empirisme terdapat pengetahuan lain
untuk diketahui yaitu; intuisi dan wahyu. Sampai sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan
secara rasional dan empiris keduanya merupakan induk produk dari sebuah rangkaian
penalaran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikiranya pada suatu masalah, tiba-tiba
mendapat jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berliku-liku dia sudah
mendapatkan jawabanya melalui intuisi yang juga bisa bekerja dalam keadaan yang tidak
sepenuhnya sadar.
Artinya, jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak pada saat seseorang itu
secara sadar sedang menggelutinya. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan.
Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi ini tidak dapat diandalkan.
Pengetahuan inuitif dapat digunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam
menentukan benar atau tidak nya suatu penalaran. Wahyu merupakan pengetahuan yang
disampaikan oleh Tuhan pada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat Nabi-nabi yang
diutusnya sepanjang jaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai
kehidupan sekarang yang terjangkau oleh pengalaman, namun juga mencakub masalah yang
bersifat transedental kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan,
kepercayaan kepada Nabi sebagai suatu pengantar, dan kepercayaan terhadap suatu wahyu
sebagai cara penyampaian merupakan titik dasar dari penyusunan pengetahuan ini, sehingga
suatu pernyataan harus dipercaya dulu baru bisa diterima. Dan pernyataan ini bisa saja dikaji
lewat metode lainya. Secara rasional bisa dikaji, misalnya apakah pernyataan pernyataan
yang terkandung didalamnya konsisten atau tidak. Dan dipihak lain, secara empiris bisa
dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut.
Sedangkan para filusuf islam menyebutkan beebrapa sumber dan sekaligus alat
pengetahuan, yaitu ;
1. Alam fisik
2. Alam akal
3. Analogy (Tamtsil)
1) Alam Fisik
Tanpa indra manusia tidak dapat mengetahui alam realitas. Disebutkan bahwa
barang siapa tidak mempunyai satu indra, maka ia tidak akan mengetahui sejumlah
pengetahuan. Dalam filsafat Aristoteles pengetahuan lewat indra termasuk dari enam
pengetahuan yang axioamatis (badihiyyat) meski indra berperan sangat signifikan dalam
pengatahuan namun indra hanya sebagai syarat yang lazim bukan syarat yang cukup.
Peranan indra hanya memotret realita materi yang sifatnya parsial saja, dan untuk
menggeneralisasikanya dibutuhkan akal. Bahkan dalam kajian filsafat islam yang peling
akhir, pengetahuan yang diperoleh melalui indra sebenarnya bukanlah lewat indra.
Mereka mengatakan bahwa objek pengetahuan (Alma’lum) ada dua macama, yaitu ; 1)
Objek pengetahuan yang substansial dan 2) Objek pengetahuan aksidental. Yang
diketahui secara substansial oleh manusia adalah objek yang ada dalam benak,
sedangkan realita diluar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental. Menurut
pandangan ini, indra hanya merespon saja dari realita luar ke realita dalam.
2) Alam Akal
Kaum rasionalis, selain alam tabi’at atau alam fisik meyakini bahwa akal
merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat
pengetahuan. Mereka mengganggap akalah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan,
sedangkan indra hanya membantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita
yang berkaitan dengannya namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena
kata mereka, indra saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pengetahuan
akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada.
Aktifitas-aktifitas akal antara lain :
1. Menarik kesimpulan. Yang dimaksud dengan menarik kesimpulan adalah
mengambil sebuah hukum atas sebuah kasus tertentu dari hukum yang general.
Aktifitas ini dalam istilah logika disebut silogisme kategoris demonstratif.
2. Mengetahui konsep-konsep yang general. Ada dua teori yang menjelaskan aktifitas
akal ini, pertama adalah teori yang mengatakan bahwa akal terlebih dahulu
menghilangkan ciri-ciri yang khas dari beberapa person dan membiarkan titik-titik
kesamaan mereka. Teori ini disebut dengan teori tajrid dan intiza’. Kedua, teori
yang mengatakan bahwa pengetahuan akal tentang konsep yang general melalui
tiga tahapan, yaitu; persentuhan indra dengan materi, merekaman benak, dan
generalisasi.
3. Pengelompokan wujud. Akal mempunyai kemampuan mengkelompokan segala
yang ada dialam realita ke beberapa kelompok, misalnya realita-realita yang
dikelompokan kedalam substansi, dan kedalam aksidensi (yang Sembilan macam).
4. Pemilahan dan penguraian.
5. Penggabungan dan penyusunan.
6. Kreatifitas
3) Analogi (tamtsil)
Termasuk alat pengetahuan manusia adalah analogi yang dalam terminology fiqih
disebut Qiyas. Analogi ialah menetapkan hokum atas sesuatu dengan hukum yang telah
ada pada sesuatu yang lain karena adanya kesamaan antara dua sesuatu itu.
Analogi tersusun dari beberapa unsur; 1) Asal, yaitu kasus parsial yang telah
diketahui hukumnya. 2) Cabang, yaitu kasus parsial yang hendak diketahui hukumnya.
3) Titik kesamaan antara akal dan cabang. Dan 4) hukum yang sudah ditetapkan atas
asal.
Analogi dibagi dua ;
1. Analogi interpretative : ketika sebuah kasus yang sudah jelas hukumnya, namun
tidak diketahui illatnya atau sebab penetapanya
2. Analogi yang dijelaskan ilatnya : kasus yang sudah jelas hukum dan illatnya

3. Dasar-Dasar Pengetahuan
Dengan kemampuan menalar yang dimiliki manusia, menyebabkan manusia mampu
mengembangkan pengetahuan yang menjadi rahasia kekuasaannya. Secara simbolik
manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah itu manusia harus
hidup berbekal pengetahuanya itu. Dia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, mana
yang baik mana yang buruk, mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus menerus
dia selalu hidup dalam pilihan. Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan
oengetahuan ini secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun
pengetahuan ini terbatan untuk kelangsungan hidupnya. Manusia mengembangkan
pengetahuanya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan demi kelangsungan hidupnya. Dan
memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan untuk sekedar
kelangsungan hidupnya, namun lebih dari pada itu. manusia mengembangkan kebudayaan;
memberi makna bagi kehidupan manusia “memanusiakan” diri dalam hidupnya. Intinya
manusia di dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar
kelangsungan hidupnya. Inilah yang membuat manusia mengembangkan pengetahuannya
dan pengetahuan ini mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas. Pengetahuan
ini mampu dikembangkan manusia disebabkan oleh dua hal utama;
1) Bahasa; manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan
jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut.
2) Kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar
cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Dua kelebihan inilah yang memungkinkan
manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan
pikiran yang mampu menalar.

a. Hakikat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang
berupa pengetahuan. Manusia pada hakekatnya merupakan makhluk yang berpikir, merasa,
bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang
didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang
dikaitkan dengan kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan
yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Berpikir merupakan
suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi
setiap orang adalah tidak sama Oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan
pengetahuan yang benar itu pun berbeda-beda dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran
mempunyai Apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini
merupakan landasan bagi proses kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses
penemuan kebenaran dimana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenaran
masing-masing.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu.
1) Ciri pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika,
setiap penalaran mempunyai logika tersendiri atau dapat juga disimpulkan bahwa
kegiatan penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir logis, di mana berpikir logis
disini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika
tertentu.
2) Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran
merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan
kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang
bersangkutan. Artinya, penalaran ilmiah merupakan kegiatan analisis yang
mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang
mempergunakan logikanya tersendiri. Sifat Analitik ini merupakan konsekuensi dari
suatu pola berpikir tertentu.
Dengan demikian, penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan
pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran
maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan
baru dianggap sahid (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut
cara. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, dimana logika secara luas dapat
didefinisikan sebagai“pengkajian untuk berpikir secara sahih".
Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan
tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran, maka hanya difokuskan kepada dua
jenis penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif dan
hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual yang nyata
menjadi kesimpulan bersifat umum. Sedangkan logika deduktif, menarik kesimpulan dari
hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat Individual (khusus).
b. Induksi
Induksi merupakan cara berpikir dimana ditarik dari suatu kesimpulan yang bersifat
umum dari berbagai kasus yang bersifat individu. Penalaran secara induktif dimulai dengan
mengemukakan pernyataan-pernyataan yang bersifat khas dan terbatas dalam menyusun
argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Kesimpulan yang
bersifat umum ini penting artinya karena mempunyai dua keuntungan, yaitu:
1) Bersifat ekonomis
2) Dimungkinkannya proses penalaran selanjutnya
c. Deduksi
Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif.
Deduksi adalah cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya
menggunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah
pertanyaan dan satu kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut
premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor.
Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan
kedua premis tersebut.
Jadi ketepatan penarikan kesimpulan tergantung pada tiga hal, yakni kebenaran
premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan. Sekiranya
salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi, maka kesimpulan yang
akan ditarik nya akan salah.

4. Tingkatan dalam pengetahuan


Setelah kita ketahui tentang pengetahuan secara panjang lebar, untuk selanjutnya
penjelasan mengenai tingkatan pengetahuan. Dari tingkatan pengetahuan tersebut, akan
melahirkan ilmu pengetahuan. Karena pada hakikatnya nya pengetahuan adalah persepsi
subjek (manusia) atau objek (riil dan gaib) atau fakta. Pengetahuan, berdasarkan wujud dan
ketertiban pada realitas dapat dibedakan menjadi pengetahuan teologis, pengetahuan
filosofis, pengetahuan kolektif/individual pengetahuan tentang dunia luar, pengetahuan
teknis dan pengetahuan ilmiah. Singkatnya dapat dibedakan menjadi:
1) Pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan tentang hal-hal yang biasa, yang sehari-hari yang
dialami oleh manusia, dan selanjutnya disebut sebagai pengetahuan.
2) Pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang mempunyai sistem dan metode tertentu,
selanjutnya disebut ilmu pengetahuan.
3) Pengetahuan filosofis, selanjutnya disebut pengetahuan filsafat.
4) Pengetahuan teologis yaitu pengetahuan keagamaan atau pengetahuan tentang agama.
B. Pengertian dan Kaidah Ilmu
Dalam bukunya, Nazir menjelaskan bahwa ilmu tidak lain adalah suatu pengetahuan, baik
natural ataupun sosial yang telah terorganisir serta tersusun secara sistematis menurut kaidah
umum yang telah disepakati. Sedangkan Ahmad Tafsir memberikan batasan ilmu sebagai
pengetahuan logis dan mempunyai bukti empiris. Dengan demikian, ilmu secara lebih rinci
adalah dunia fenomenal, dan metode pendekatan nya Berdasarkan pengalaman dengan
menggunakan berbagai cara seperti observasi, eksperimen, survei, studi kasus dan sebagainya.
Pengalaman-pengalaman itu di oleh-oleh pikiran atas dasar hukum logika yang tertib. Data yang
dikumpulkan diolah dengan cara analitis induktif, kemudian di Tentukan relasi antara data data
diantaranya relasi kausalitas. Konsepsi konsepsi dan relasi relasi disusun menurut suatu sistem
tertentu yang merupakan suatu keseluruhan yang terintegratif. Keseluruhan integratif itu disebut
“ilmu pengetahuan”. Di lain pihak, Lorens Bagus mengemukakan bahwa ilmu menandakan
seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek (atau alam objek) yang sama dan saling keterkaitan
secara logis.
Dari berbagai pengertian ilmu diatas dapat diperoleh gambaran bahwa pada prinsipnya
ilmu merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan pengetahuan
atau fakta yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, dan
dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode
yang biasa dilakukan dalam penelitian ilmiah (observasi, eksperimen, survei, studi kasus dan
lain-lain).
1. Syarat-syarat ilmu
Pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu apabila dapat memenuhi beberapa
persyaratan sebagai berikut:
a) Ilmu mensyaratkan adanya objek yang diteliti, baik yang berhubungan dengan alam
(kosmologi) maupun tentang manusia (biopsikososial). Ilmu mensyaratkan adanya objek
yang diteliti. Lorens Bagus (1996) menjelaskan bahwa dalam teori skolastik terdapat
perbedaan antara objek material dan objek formal. Objek material merupakan objek
konkret yang disimak ilmu. Sedangkan objek formal merupakan aspek khusus atau sudut
pandang terhadap ilmu. Yang mencirikan setiap ilmu adalah objek formalnya. Sementara
objek material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain.
b) Ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu, yang didalamnya berisi pendekatan dan teknik
tertentu. Metode ini dikenal dengan istilah metode ilmiah. Dalam hal ini, Moh. Nazir,
mengungkapkan bahwa metode ilmiah boleh dikatakan merupakan suatu pengejaran
terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari
ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta, dengan
menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Almack (1939) mengatakan bahwa
metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan,
pengesahan dan penjelasan kebenaran. Sesangkan Ostle (1975) berpendapat bahwa metode
ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesuatu interelasi.
Selanjutnya pada bagian lain Moh Nazir mengemukakan beberapa kriteria metode ilmiah
dalam perspektif penelitian kuantitatif, diantaranya: (a) berdasarkan fakta, (b) bebas dari
prasangka, (c) menggunakan prinsip prinsip analisa, (d) menggunakan hipotesa, (e)
menggunakan ukuran objektif dan menggunakan teknik kuantifikasi. Belakangan ini
berkembang pula metode ilmiah dengan pendekatan kualitatif.
c) Nasution mengemukakan ciri-ciri metode ilmiah dalam penelitian kualitatif, diantaranya:
(a) Sumber data ialah situasi yang wajar atau natural setting, (b) peneliti sebagai instrumen
penelitian, (c) sangat deskriptif, (d) mementingkan proses maupun produk, (e) mencari
makna, (f) mengutamakan data langsung, (g) triangulasi, (h) menonjolkan rancangan
konstektual, (i) mengutamakan perspektif emic, (j) verifikasi, (k) sampling yang purposif,
(l) menggunakan audit trail, (m) partisipatif tanpa mengganggu, (n) mengadakan analisis
sejak awal penelitian, (o) desain penelitian tampil dalam proses penelitian.
2. Karakteristik ilmu
Di samping memiliki syarat-syarat tertentu, ilmu memiliki pula karakteristik atau sifat
yang menjadi ciri hakiki ilmu. Randall dan Buchler mengemukakan beberapa ciri umum ilmu
yaitu: (1) hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama, (2) hasil ilmu
kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan, dan (3) objektif sehingga tidak
bergantung pada pemahaman secara pribadi. Pendapat senada diajukan oleh Ralph Ross dan
Ernest Van Den Haag bahwa ilmu memiliki sifat-sifat rasional, empiris, umum dan
akumulatif.
Sementara itu, cari apa yang dikemukakan oleh lorens bagus tentang pengertian ilmu
dapat diidentifikasikan bahwa salah satu sifat ilmu adalah koheren yakni tidak kontradiksi
dengan kenyataan. Sedangkan berkenaan dengan metode pengembangan ilmu, ilmu memiliki
ciri-ciri dan sifat-sifat yang reliable, valid dan akurat. Artinya, usaha untuk memperoleh dan
mengembangkan ilmu dilakukan melalui pengukuran dengan menggunakan alat ukur yang
memiliki keterandalan dan keabsahan yang tinggi, serta penarikan kesimpulan yang memiliki
akurasi dengan tingkat signifikansi yang tinggi pula.
Sementara itu, Ismaun (2001) mengetengahkan sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai berikut:
(1) obyektif; ilmu berdasarkan hal-hal yang objektif, dapat diamati dan tidak berdasarkan pada
emosional subjektif, (2) koheren; pernyataan atau susunan ilmu tidak kontradiksi dengan
kenyataan, (3) reliable: produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur
dengan tingkat keterandalan (reabilitas) tinggi, (4)valid: produk dan cara-cara memperoleh
ilmu dilakukan melalui alat ukur dengan keabsahan atau validitas yang tinggi, baik secara
internal maupun eksternal, (5) memiliki generalisasi; suatu kesimpulan dalam ilmu dapat
berlaku umum, (6) akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan atau akurasi yang
tinggi, (7) dapat melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan daya prediksi atas
kemungkinan-kemungkinan suatu hal.

Anda mungkin juga menyukai