sistem politik dan hukum bentukan pada pemerintahan negara -- biasanya dikodifikasikan sebagai
dokumen tertulis. Hukum ini tidak mengatur hal-hal yang terperinci, melainkan hanya menjabarkan
prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi peraturan-peraturan lainnya. Dalam kasus bentukan negara,
konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini merujuk secara
khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar
hukum termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara
pada umumnya, Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya.
Istilah konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan
negara.
Dalam sejarah indonesia, sudah beberapa kali pemerintah melakukan amandemen pada UUD
1945. Hal ini tentu saja dilakukan untuk menyesuaikan undang-undang dengan perkembangan
zaman dan memperbaikinya sehingga dapat menjadi dasar hukum yang baik. Dalam proses
tersebut, terdapat perbedaan antara sistem pemerintahan sebelum dilakukan amandemen dan
setelah dilakukan amandemen. Perbedaan tersebut adalah:
1. MPR
SEBELUM AMANDEMEN
Sebelum dilakukan amandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi negara sebagai pemegang
dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
WEWENANG
membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk
penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada
Presiden/Mandataris.
Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis.
Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden.
Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis
Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.
Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa
jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau
Undang-Undang Dasar.
Mengubah undang-Undang Dasar.
Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.
Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji anggota.
SESUDAH AMANDEMEN
Setelah amandemen, MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan
lembaga tinggi negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.
WEWENANG
Menghilangkan supremasi kewenangannya
Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN
Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung
melalui pemilu)
Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
Melantik presiden dan/atau wakil presiden
Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden dalam hal terjadi
kekosongan Wakil Presiden
Memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan
Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pemilu sebelumnya sampai
berakhir masa jabatannya, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN
2. DPR
SEBELUM AMANDEMEN
Presiden tidak dapat membubarkan DPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui
pemilihan umum secara berkala lima tahun sekali. Meskipun demikian, Presiden tidak
bertanggung jawab kepada DPR.
WEWENANG
Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
Memberikan persetujuan atas PERPU.
Memberikan persetujuan atas Anggaran.
Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
Tidak disebutkan bahwa DPR berwenang memilih anggota-anggota BPK dan tiga hakim pada
Mahkamah Konstitusi.
SESUDAH AMANDEMEN
Setelah amandemen, Kedudukan DPR diperkuat sebagai lembaga legislatif dan fungsi serta
wewenangnya lebih diperjelas seperti adanya peran DPR dalam pemberhentian presiden,
persetujuan DPR atas beberapa kebijakan presiden, dan lain sebagainya.
WEWENANG
Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama
Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang
tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan
Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan pemerintah
3. PRESIDEN
SEBELUM AMANDEMEN
Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan
legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power). Presiden mempunyai
hak prerogatif yang sangat besar. Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat
menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya,
sehingga presiden bisa menjabat seumur hidup.
WEWENANG
Mengangkat dan memberhentikan anggota BPK.
Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang
memaksa)
Menetapkan Peraturan Pemerintah
Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
PEMILIHAN
Presiden dan Wakil Presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR.
SETELAH AMANDEMEN
Kedudukan presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan berwenang membentuk
Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Masa jabatan presiden adalah lima tahun dan dapat
dipilih kembali selama satu periode.
WEWENANG
Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD
Presiden tidak lagi mengangkat BPK, tetapi diangkat oleh DPR dengan memperhatikan DPD lalu
diresmikan oleh presiden.
Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden
melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan
RUU menjadi UU.
Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang
memaksa)
Menetapkan Peraturan Pemerintah
Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan
DPR
Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR
Menyatakan keadaan bahaya
PEMILIHAN
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilu sebelumnya. Pilpres pertama kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun 2004.
Jika dalam Pilpres didapat suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di
setiap provinsi yang tersebar di lebih dari separuh jumlah provinsi Indonesia, maka dinyatakan
sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden terpilih, maka pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam
Pilpres mengikuti Pilpres Putaran Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam
Pilpres Putaran Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.
4. MAHKAMAH KONSTITUSI
SEBELUM AMANDEMEN
Mahkamah konstitusi berdiri setelah amandemen
SETELAH AMANDEMEN
WEWENANG
Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
KETUA
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun.
Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena
masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan
kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya
2 tahun). Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar hukum
tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal antar
anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003.
Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan
disumpah pada 22 Agustus 2006. Pada 19 Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang baru diangkat
melakukan voting tertutup untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti 2008-2011
dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie Fadjar sebagai
wakil ketua.
HAKIM KONSTITUSI
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim
Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun,
dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Hakim Konstitusi periode 2003-2008 adalah:
1. Jimly Asshiddiqie
2. Mohammad Laica Marzuki
3. Abdul Mukthie Fadjar
4. Achmad Roestandi
5. H. A. S. Natabaya
6. Harjono
7. I Dewa Gede Palguna
8. Maruarar Siahaan
9. Soedarsono
Hakim Konstitusi periode 2008-2013 adalah:
1. Jimly Asshiddiqie, kemudian mengundurkan diri dan digantikan oleh Harjono
2. Maria Farida Indrati
3. Maruarar Siahaan
4. Abdul Mukthie Fajar
5. Mohammad Mahfud MD
6. Muhammad Alim
7. Achmad Sodiki
8. Arsyad Sanusi
9. Akil Mochtar
5. MAHKAMAH AGUNG
SEBELUM AMANDEMEN
Kedudukan: :
Kekuasan kehakiman menurut UUD 1945 sebelum amandemen dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman (Pasal 24 (1)). Kekuasaan kehakiman hanya terdiri atas
badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Lembaga ini dalam tugasnya
diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang
kekuasaan lainnya, terutama eksekutif.
WEWENANG
Sebelum adanya amandemen, Mahkamah Agung berwenang dalam kekuasaan kehakiman secara
utuh karena lembaga ini merupakan lembaga kehakiman satu-satunya di Indonesia pada saat itu.
SETELAH AMANDEMEN
Kedudukan:
MA merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman disamping itu sebuah
mahkamah konstitusi diindonesia (pasal 24 (2) UUD 1945 hasil amandemen ). Dalam
melaksanakan kekusaan kehakiman , MA membawahi Beberapa macam lingkungan peradilan,
yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara( Pasal
24 (2) UUD 1945 hasil amandemen).
WEWENANG
Fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti
Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi
6. BPK
SEBELUM AMANDEMEN
Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa
Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undangundang. Hasil Pemeriksaan itu
diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat” PASAL 23
SESUDAH AMANDEMEN
Pasal 23F
(1) Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan
oleh Presiden.
(2) Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota.
Pasal 23G
(1) BPK berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap propinsi
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai BPK di atur dengan undang-undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD
1945 atau UUD '45, adalah konstitusi negara Republik Indonesia saat ini. UUD 1945 disahkan
sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27
Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di
Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945,
dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959. Pada kurun waktu
tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen), yang mengubah
susunan lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Sebelum dilakukan Perubahan, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16
bab, 37 pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat
berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat
Aturan Tambahan), serta Penjelasan.Setelah dilakukan 4 kali perubahan, UUD 1945 memiliki 20
bab, 73 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, diterbitkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan
Kompilasi Tanpa Ada Opini. Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang
dibentuk pada tanggal 29 April 1945, adalah Badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada
masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945
Ir.Sukarno menyampaikan gagasan tentang "Dasar Negara" yang diberi nama Pancasila.
Kemudian BPUPK membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang untuk menyempurnakan
rumusan Dasar Negara. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPK membentuk Panitia
Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah
Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan
syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya" maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah
Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD
1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK). Nama Badan ini tanpa kata "Indonesia" karena hanya diperuntukkan
untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal
10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia.
Dalam kurun waktu 1945-1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena
Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat
Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi
kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945
dibentuk Kabinet Semi-Presidensiel ("Semi-Parlementer") yang pertama, sehingga peristiwa ini
merupakan perubahan sistem pemerintahan agar dianggap lebih demokratis.
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD
1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang
dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang
Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang
memberi kekuasaan pada fihak swasta untuk menghancur hutan dan sumberalam kita.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", diantara melalui
sejumlah peraturan:
Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk
mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan
bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta
pendapat rakyat melalui referendum.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan
pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap
UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde
Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat),
kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga
dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat
penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara
hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945,
tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih
dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem
pemerintahan presidensiil.
Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan
dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD
1945
Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD
1945
Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD
1945
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan Menteri
7. Instruksi Menteri
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU
4. PERPU
5. PP
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
1. UUD 1945
2. UU/PERPU
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena
“kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah
“penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN,
mengangkat presiden dan wakil presiden.
Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan
golongan yang diangkat.
PRESIDEN
Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun
kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power
and responsiblity upon the president).
Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang
kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden
serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
DPR
Di samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain
seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.
H. Lembaga Negara Dan Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Sesudah
Perubahan UUD 1945
Amandemen UUD 1945
Era reformasi memberikan harapan besar bagi terjadinya perubahan menuju
penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan dan memiliki akuntabiitas tinggi serta
terwujudnya good governance.
Latar Belakang Amandemen UUD 1945 :
1. UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di
tangan MPR yang sepenuhnya melakukan kedaulatan rakyat. Penyerahan kekuasaan tertinggi
pada MPR merupakan kunci yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan negara seakan-akan
tidak memiliki khubungan dengan rakyat.
2. UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar pada Presiden.
3. UUD 1945 mengandung pasal-pasa yang sangat luwes sehingga dapat menimbulkan
multitafsir.
4. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negaar belum cukup di dukung ketentuan
konstitusi yang menatur tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, memberdayakan
rakyat, penghormatan, HAM dan Otonomi daerah.
Tujuan Amandemen:
Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara, jaminan dan perlindungan
HAM, pelaksanaan kedaulatan rakyat, penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern,
jaminan konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial, serta melengkapi
aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan
perjuanagan negara mewujudkan demokrasi seperti pengaturan wilayah negara dan pemilu.
Tahapan Amandemen:
1. Amandemen ke-1 pada sidang MPR disahkan tangggal 19 Oktober 1999
2. Amandemen ke-2 pada sidang tahunan MPR disahkan tangggal 18 Agustus 2000
3. Amandemen ke-3 pada sidang tahunan MPR disahkan tangggal 10 Nopember 2001
4. Amandemen ke-4 pada sidang tahunan MPR disahkan tangggal 10 Agustus 2002
Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan
menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan
kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of
law.
Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti
Hakim.
Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu
setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.
Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga
negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan
hukum.
Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara
disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.
MPR
Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya
seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
Menghilangkan supremasi kewenangannya.
Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara
langsung melalui pemilu).
Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
DPR
DPD
Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah
dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan
golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan
daerah.
BPK
PRESIDEN
Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan
pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan
presidensial.
Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan
DPR.
Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan
DPR.
Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden
menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian
jabatan presiden dalam masa jabatannya.
MAHKAMAH AGUNG
MAHKAMAH KONSTITUSI
Dengan terjadinya perubahan UUD 1945 berarti terjadi pula perubahan sistem ketatanegaraan
RI. Perubahan tersebut antara lain :
1. MPR bukan lagi pemegang kedaulatan rakyat sehingga merubah kedudukan MPR. Lembaga ini
bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara tetapi sebagai lembaga tinggi negara.
2. Kekuasaan DPR dalam struktur yang telah di amandemen menjadi lebih memperoleh
kedudukannya karena DPR memegang kekuasaan membentuk UU yan gsebelumnya hanya
berupa hak, sedang kewajiban membentuk UU ada di tangan Presiden.
3. DPA menjadi hilang dan sebagai gantinya disebut dengan Dewan Pertimbangan yang dibentuk
oleh Presiden dan statusnya di bawah Presiden. Tugasnya memberi nasihat dan pertimbangan
pada Presiden.
4. Kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Mahkamah
Konstitusi yang masing-masing memiliki tugas yang berbeda .
5. Bentuk NKRI sudah final tidak akan dilakukan perubahan.
Kekuasaan Kehakiman
1. Mahkamah Agung (MA) berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundangan di bawah undang-undang terhadap UU.
2. Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dan
keputusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus tentang pembubaran parpol
dan memutus perselisihan hasil pemilu.
3. Komisi Yudisial (KY) bersifat mandiri. Berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim.
KESIMPULAN
1. Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam
Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 → Perubahan Pertama UUD
1945
Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 → Perubahan Kedua UUD 1945
Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 → Perubahan Ketiga UUD
1945
Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 → Perubahan Keempat UUD
1945
Badan Eksekutif
Dalam sistem presidensial menteri-menteri merupakan pembantu presiden dan
langsung dipimpin olehnya, sedangkan dalam sistem parlementer para menteri
dipimpin oleh seorang perdana menteri.
Masa hidup suatu kabinet tergantung pada dukungan dalam badan legislatif.
Ada dua partai politik yang dominan, yaitu Partai Konservatif dan Partai Buruh,
sehingga partai yang menang dalam pemilu dapat mengharapkan dukungan
mayoritas dalam parlemen, sedangkan partai oposisi hanya ada satu yang
menonjol.
Masa jabatan empat tahun, boleh diperpanjang delapan tahun kalau dipilih kembali.
Masa sesudah Orde Baru dikenal sebagai Orde Reformasi, tujuannya melakukan
perubahan politik sehingga sistem politik Indonesia lebih demokratis.
Badan Legislatif
Badan Legislatif atau Legislature mencerminkan salah satu fungsi badan itu yaitu
legislate, atau membuat undang-undang. Nama lain yang dipakai ialah Assembly.
Nama lain lagi adalah Parliament.
Menurut teori, rakyatlah yang berdaulat; rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu
“kehendak”. Karena itu keputusan-keputusannya, baik yang bersifat kebijakan
maupun undang-undang mengikat seluruh masyarakat.
Mengontrol badan eksekutif, dalam arti menjaga agar semua tindakan badan
eksekutif sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan. Untuk
menyelenggarakan tugas ini, badan eksekutif perwakilan rakyat diberi hak-hak
kontrol khusus, seperti hak bertanya, interpelasi dsb.
(i) Anggota badan legislatif berhak untuk mengajukan pertanyaan kepada pemerintah
mengenai sesuatu masalah dan mengorek informasi mengenai kebijakan
pemerintah. Kegiatan ini banyak menarik perhatian media massa.
(ii) Interpelasi, yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai
kebijakan di suatu bidang. Badan eksekutif wajib memberi penjelasan dalam
sidang pleno, yang mana dibahas oleh anggota-anggota dan diakhiri dengan
pemungutan suara mengenai apakah keterangan pemeritah memuaskan atau tidak.
Dalam hal terjadi perselisihan antara badan legislatif dan badan eksekutif,
interpelasi dapat dijadikan batu loncatan untuk diajukan mosi tidak percaya.
(iii) Angket (Enquete), adalah hak anggota badan legislatif untuk mengadakan
penyelidikan sendiri.
(iv) Mosi, merupakan hak kontrol yang paling ampuh. Jika badan legislatif menerima
suatu mosi tidak percaya, maka dalam sistem parlementar kebinet harus
mengundurkan diri dan terjadi suatu krisis kabinet. Pada masa reformasi, anggota
DPR (1994-2004) menggunakan hak mosi ketika melakukan pemakzulan Presiden
Abdurrahman Wahid sebagai presiden tahun 2001.
Badan Yudikatif
Dalam tiap negara hukum badan yudikatif haruslah bebas dari campur tangan badan
eksekutif demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi
manusia.
Komisi Yudisial (KY): adalah suatu lembaga baru yang bebas dan mandiri, yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan berwenang dalam rangka
menegakkan kehormatan dan perilaku hakim.
Berbagai upaya untuk menegakkan supremasi hukum dan modernisasi hukum, salah
satunya adalah dengan dibentuknya lembaga-lembaga baru:
(i) Komisi Hukum Nasional (KHN): Tujuannya untuk mewujudkan sistem hukum
nasional demi menegakkan supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia
berdasarka keadilan dan kebenaran dengan melakukan pengkajian masalah-
masalah hukum.
(ii) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
(iii) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(iv) Komisi Ombudsman Nasional (KON): Tujuannya, melalui peran serta masyarakat,
membantu menciptakan atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam
melaksanakan pemberantasan korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), dan
meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan
umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik.