Konjungtivitis Vernal
Konjungtivitis Vernal
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis
berat dengan banyak sekret purulen kental. Penyebab umumnya eksogen tetapi bisa endogen
(Vaughan, 2016).
lingkungan lain yang mengganggu. Patogen umum yang dapat menyebabkan konjungtivitis
meningitidis, sebagian besar strain adenovirus manusia, virus herpes simpleks tipe 1 dan 2,
dan dua picornavirus. Dua agen yang ditularkan secara seksual dan dapat menimbulkan
musiman" adalah penyakit alergi bilateral yang jarang biasanya mulai pada tahun-tahun
prapubertas dan berlangsung selama 5-10 tahun. Penyakit ini lebih banyak pada anak laki-
menampilkan manifestasi alergi. Penyakit ini lebih jarang di daerah beriklim sedang daripada
di daerah hangat, dan hampir tidak ada di daerah dingin. Penyakit ini hampir selalu lebih
parah selama musim semi, musim panas, dan musim gugur daripada di musim dingin. Paling
Dalam studi kepustakaan yang disebut dengan konjungtivitis vernal adalah keradangan
yang berulang khas musiman, bersifat bilateral, dengan gambaran hipertrofi papiler didaerah
tarsus dan limbus (PDT, 2008). Pasien umumnya mengeluh sangat gatal dengan kotoran mata
berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat alergi di keluarga (hay feoer, eksim, dll), dan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Obat diserap melalui konjungtiva, konjungtiva mengandung sel musin yang
dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.
Konjungtiva tarsal dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan
dibawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.
2.2 Konjungtivitis
Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis
berat dengan banyak sekret purulen kental. Penyebab umumnya eksogen tetapi bisa endogen
(Vaughan, 2016).
lingkungan lain yang mengganggu, beberapa mekanisme melindungi permukaan mata dari
substansi luar. Film air mata, komponen aquos mengencerkan materi infeksi, mukus
menangkap debris, dan aktivitas pompa palpebra membilas air mata ke duktus air mata secara
konstan, air mata mengandung substansi antimikroba, termasuk lisozim dan antibodi (IgG
dan IgA). Patogen umum yang dapat menyebabkan konjungtivitis adalah streptococcus
sebagian besar strain adenovirus manusia virus herpes simpleks tipe 1 dan 2, dan dua
picornavirus. Dua agen yang ditularkan secara seksual dan dapat menimbulkan konjungtivitis
4
Sitologi konjungtivitis cedera epitel konjungtiva oleh agen perusak dapat diikuti oleh
edema epitel, kematian sel dan eksfoliasi, hipertrofi epitel, atau pembentukan granuloma.
Selain itu, terjadi edema stroma konjungtiva (kemosis) dan hipertrofi lapisan limfoid stroma
(pembentukan folikel). Dapat ditemukan sel-sel radang termasuk neutrofil, eosinofil, basofil,
limfosit, dan sel plasma, yang sering kali menunjukkan sifat agen perusaknya. Sel-sel radang
bermigrasi dari stroma konjungtiva melalui epitel ke permukaan. Sel-sel ini kemudian
bergabung dengan fibrin dan mukus dari sel-sel goblet untuk membentuk eksudat
konjungtiva, yang menyebabkan "perlengketan" tepian palpebra (terutama di pagi hari). Sel-
sel radang terlihat dalam eksudat atau kerokan yang diambil dengan spatula platina steril dari
permukaan konjungtiva yang telah dianestesi. Bahan itu dipulas dengan pulasan Gram (untuk
mengidentifikasi organisme bakteri) dan dengan pulasan Giemsa (untuk menetapkan jenis
dan morfologi sel). Banyaknya leukosit polimorfonuklear adalah ciri khas konjungtivitis
bakteri. Secara umum, sel mononuklear dalam jumlah banyak khususnya limfosit khas untuk
menjadi sel terbanyak karena adanya nekrosis yang menyertai. Pada konjungtivitis klamidia,
jumlah neutrofil dan limlosit biasanya setara. Pada konjungtivitis alergika, eosinofil dan
basofil sering ditemukan dalam biopsi konjungtiva, tetapi jarang pada sediaan hapus
vernal (musim semi). Sejumlah besar protein yang disekresikan eosinofil (protein kation
eosinofil) dapat ditemukan dalarn air mata pasien konjungtivitis vernal, atopik, atau alergika.
Eosinofil dan basofil terdapat pada konjungtivitis alergika, dan sebaran granul eosinofilik dan
eosinofil terdapat dalam keratokonjungtivitis vernal. Pada semua jenis konjungtivitis terdapat
sel-sel plasma dalam stroma konjungtiva. Mereka tidak bermigrasi melalui epitel sehingga
tidak tampak dalam hapusan eksudat atau kerokan permukaan konjungtiva, kecuali epitelnya
5
telah nekrotik, seperti pada trakoma, dalam hal ini pecahnya sebuah folikel memungkinkan
sel-sel plasma mencapai permukaan epitel. Karena folikel matang pada trakoma mudah
pecah, ditemukannya sel-sel limfobtastik besar dan berwarna pucat (sel pusat-germinal) pada
Gejala Konjungtivitis Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu
sensasi tergores atau terbakar, sensasi penuh di sekeliling mata, gatal, dan fotofobia
(Vaughan, 2016).
Sensasi benda asing dan sensasi tergores atau terbakar sering dihubungkan dengan
edema dan hipertrofi papila yang biasanya menyertai hiperemia konjungtiva. Jika ada rasa
sakit, kornea agaknya juga terkena. Tanda-tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia,
mata berair, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papilar, kemosis, folikel, pseudomembran dan
Hiperemia adalah tanda klinis konjungtivitis akut yang paling menyolok. Kemerahan
paling jelas di forniks dan makin berkurang ke arah limbus karena dilatasi pernbuluh-
adanya radang kornea atau struktur yang lebih dalam.) Warna merah terang mengesankan
Hiperemia tanpa infiltrasi sel mengesankan iritasi oleh penyebab fisik seperti matahari, asap,
dll. Mata berair (epifora) sering kali menyolok pada konjungtivitis. Sekresi air mata
diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, sensasi terbakar atau tergores, atau oleh rasa
gatalnya. Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh-pembuluh yang hiperemik dan
menambah jumlah air mata tersebut. Kurangnya sekresi air mata yang abnormal
6
Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut, pada hampir semua jenis
konjungtivitis, didapatkan banyak kotoran mata di palpebra saat bangun tidur, jika eksudat
sangat banyak dan palpebranya saling melengket, agaknya konjungtivitis disebabkan oleh
bakteri atau klamidia. Pseudoptosis adalah terkulainya palpebra superior karena infiltrasi di
otot muller, keadaan ini dijumpai pada beberapa jenis konjungtivitis berat, misalnya trakoma
yang terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh serabut-
serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk substansi papila (bersama unsur sel
dan eksudat) mencapai membran basai epitel, pembuluh ini bercabang-cabang di atas papila
mirip jeruji payung. Eksudat radang rnengumpul di antara serabut-serabut dan membentuk
digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat. Bila papilanya kecil, tampilan
konjungtiva umumnya liciry seperti beludru. Konjungtiva dengan papila merah mengesankan
penyakit bakteri atau klamidia (mis, konjungtiva tarsal merah rnirip beludru adalah khas pada
trakoma akut). Pada infiltrasi berat konjungtiva dihasilkan papila raksasa. Pada konjungtivitis
vernal, papila ini disebut juga "papila cobblestone" karena tampilannya yang rapat papila
raksasa beratap rata, poligonal, dan berwarna putih susu-kemerahan. Di tarsus superior,
papila macam ini mengesankan konjungtivitis vernal dan konjungtivitis papilar raksasa
Papila raksasa dapat pula timbul di limbus, terutama di daerah yang biasanya terpajan
saat mata terbuka. Di sini papila tampak berupa tonjolan-tonjolan gelatinosa yang dapat
meluas sampai ke kornea. Papila limbus khas untuk keratokoniungtivitis vernal, tetapi jarang
alergika. Kemosis konjungtiva bulbaris terlihat pada pasien trikinosis, sesekali kemosis
7
tampak sebelum terlihatnya infiltrat atau eksudat. Folikel tampak pada sebagian besar kasus
neonatal, beberapa kasus konjungtivitis parasitik, dan pada beberapa kasus konjungtivitis
toksik yang diinduksi oleh pengobatan topikal, seperti idoxuridine, dipivefrin, dan miotik.
Folikel-folikel di forniks inferior dan tepi tarsus mempunyai sedikit nilai diagnostik, tetapi
jika terdapat pada tarsus (terutama tarsus superior), harus dicurigai adanya konjungtivitis
klamidia, viral, atau toksik (pascamedikasi topikal). Folikel merupakan suatu hiperplasia
limfoid lokal di dalam lapisan timfoid konjungtiva dan biasanya mempunyai sebuah pusat
germinal. Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat kelabu atau putih yang
avaskular. Pada pemeriksaan slitlamp, lampak pembuluh- pembuluh kecil yang muncul pada
batas folikel dan mengitarinya. Pseudomembran dan membran adalah hasil dari proses
Membran'adalah pengentalan yang meliputi seluruh epitel, yang jika diangkat, meninggalkan
permukaan yang kasar dan bcrdarah. Pseudomembran atau membran dapat menyertai
streptokok, difteria, pemfigoid sikatrikal dan erythema multiforme mayor. Membran dan
pseudomembran dapat pula akibat luka bakar kimiawi, terutama luka bakar alkali (Vaughan,
2016).
preaurikular tampak jelas pada sindrom okuloglandular parinaud dan, jarang, pada ke-
sedikit nyeri tekan, ada pada konjungtivitis herpes simpleks primer, keratokonjungtivitis
epidemika, konjungtivitis inklusi, dan trakoma. KGB preaurikular kecil tanpa nyeri tekan
8
limfadenopati preaurikular terlihat pada anak-anak dengan infeksi kelenjar meibom
Dalam studi kepustakaan yang disebut dengan konjungtivitis vernal adalah keradangan
yang berulang khas musiman, bersifat bilateral, dengan gambaran hipertrofi papiler didaerah
tarsus dan limbus (PDT, 2008). Konjungtivitis vernalis (KV) merupakan inflamasi
konjungtiva yang bersifat bilateral dan rekuren. Kelainan ini ditandai oleh papil cobblestone
pada konjungtiva tarsal dan hipertrofi papil pada konjungtiva limbus (Vaughan, 2016).
Insidens penyakit ini berkisar antara 0,1-0,5% diantara penyakit mata lainnya dan
meningkat terutama pada musim kemarau. Penyakit ini umumnya terjadi pada anak berusia
antara 3-25 tahun, dan lebih sering pada laki-laki (Vaughan, 2016).
Lebih dari sembilan puluh persen pasien KV memiliki riwayat atopi pada dirinya
maupun anggota keluarganya. Patogenesis dan etiologi penyakit ini belum diketahui dengan
pasti. Beberapa peneliti menghubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV. Tata
laksana adekuat untuk mencegah terjadinya kekambuhan sampai saat ini belum memberikan
hasil yang memuaskan. Namun umumnya setelah 2 sampai 10 tahun akan terlihat resolusi
Penyakit ini lebih jarang di daerah beriklim sedang daripada di daerah hangat, dan
hampir tidak ada di daerah dingin. Penyakit ini hampir selalu lebih parah selama musim semi,
musim panas, dan musim gugur daripada di musim dingin. Paling banyak ditemukan di
Afrika subSahara dan Timur Tengah. Pasien umumnya mengeluh sangat gatal dengan kotoran
mata berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat alergi di keluarga (hay feoer, eksim, dll), dan
terkadang disertai riwayat alergi pasien itu sendiri. Konjungtiva tampak putih-susu, dan
9
terdapat banyak papila halus di konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebralis superior
sering menampilkan papila raksasa mirip batu kali. Setiap papila raksasa berbentuk poligonal,
dengan atap tata, dan mengandung berkas kapiler. Mungkin terdapat kotoran mata berserabut
dan pseudomembran fibrinosa (tanda Maxwell-Lyons). Pada beberapa kasus, terutama pada
orang negro turunan Afrika, lesi paling mencolok terdapat di limbus, yaitu pembengkakan
Bintik-bintik tranta adalah bintik-bintik putih yang terlihat di limbus pada beberapa
pasien dengan fase aktif konjungtivitis vernal. Ditemukan banyak eosinofil dan granula
eosinofilik bebas di dalam bintik tranta dan sediaan hapus eksudat konjungtiva yang terpulas
Giemsa. Parut konjungtiva biasanya tidak ada, kecuali pasien telah menjalani krioterapi,
pengangkatan papila, iradiasi, atau prosedur yang dapat merusak lainnya. Terbentuk ulkus
kornea superfisial yang dapat berakibat parut ringan di kornea (Vaughan, 2016).
Konjungtivitis vernalis merupakan salah satu bentuk proses inflamasi kronik dan
berulang pada mata, umumnya bilateral. Pasien dengan atopi mempunyai risiko lebih besar
untuk menderita KV. Konjungtivitis Vernalis dibedakan atas 3 tipe yaitu tipe palpebra, tipe
limbus atau campuran keduanya. Prevalensi KV lebih tinggi di daerah tropis seperti Afrika,
India, Mediteranian, Amerika Tengah dan Selatan, serta Timur Tengah. KV lebih banyak
terdapat pada kulit berwarna dibandingkan kulit putih. Penyakit ini lebih banyak didapatkan
pada laki-laki dengan Berdasarkan data rekam medik IKA FKUI/ RSCM sejak tahun 1998 –
dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 14 : 8. Etiologi KV sampai saat ini
belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor penyebab diduga adalah alergen serbuk sari,
debu, tungau debu rumah, bulu kucing, makanan, faktor fisik berupa panas sinar matahari
atau angin. Reaksi alergi yang terjadi dapat disebabkan oleh satu atau lebih alergen atau
10
Patogenesis terjadinya kelainan ini belum diketahui secara jelas, tapi terutama
2.3.1 Patofisiologi
Penyebab utama konjungtivitis vernal adalah reaksi allergi, hal ini didasarkan pada
beberapa pemikiran :
c.Lebih sering diderita oleh anak dan usia muda. (Burris, 2017).
eosinofil dan limfosit pada subepitel dan epitel. Dalam perjalanan penyakitnya, infiltrasi sel
dan penumpukan kolagen akan membentuk papil raksasa. Penemuan ini menjelaskan bahwa
KV bukan murni disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat, melainkan
merupakan kombinasi tipe I dan IV. Hiperreaktivitas non spesifik juga mempunyai peran
dalam KV. Faktor lain yang berperan adalah aktivitas mediator non Ig E oleh sel mast
(Vaughan, 2016).
11
Reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai dengan terbentuknya antibodi IgE spesifik
terhadap antigen bila seseorang terpapar pada antigen tersebut. Antibodi IgE berperan sebagai
homositotropik yang mudah berikatan dengan sel mast dan sel basofil. Ikatan antigen dengan
antibodi IgE ini pada permukaan sel mast dan basofil akan menyebabkan terjadinya
faktor agregasi trombosit. Histamin adalah mediator yang berperan penting, yang
mengakibatkan efek vasodilatasi, eksudasi dan hipersekresi pada mata. Keadaan ini ditandai
dengan gejala seperti mata gatal, merah, edema, berair, rasa seperti terbakar dan terdapat
sekret yg bersifat mukoid. Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat mempunyai
karakteristik, yaitu dengan adanya ikatan antara antigen dengan IgE pada permukaan sel
mast, maka mediator kimia yang terbentuk kemudian akan dilepaskan seperti histamin,
Reaksi hipersensitivitas tipe IV, terjadi karena sel limfosit T yang telah tersensitisasi
bereaksi secara spesifik dengan suatu antigen tertentu, sehingga menimbulkan reaksi imun
dengan manifestasi infiltrasi limfosit dan monosit (makrofag) serta menimbulkan indurasi
jaringan pada daerah tersebut. Setelah paparan dengan alergen, jaringan konjungtiva akan
diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, eosinofil dan basofil. Bila penyakit semakin berat,
banyak sel limfosit akan terakumulasi dan terjadi sintesis kolagen baru sehingga timbul
nodul-nodul yang besar pada lempeng tarsal. Aktivasi sel mast tidak hanya disebabkan oleh
ikatan alergen IgE, tetapi dapat juga disebabkan oleh anafilatoksin, IL-3 dan IL-5 yang
dikeluarkan oleh sel limfosit. Selanjutnya mediator tersebut dapat secara langsung
mengaktivasi sel mast tanpa melalui ikatan alergen IgE. Reaksi hiperreaktivitas konjungtiva
12
selain disebabkan oleh rangsangan spesifik, dapat pula disebabkan oleh rangsangan non
13
Hindari alergen
Basofil
14
2.3.4 Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar IgG serum, IgE serum dan air mata,
kadar histamin serum dan air mata meningkat; dan adanya IgE spesifik. Pemeriksaan
mikroskopik dari scraping konjungtiva, patognomonik KV bila dijumpai > 2 sel eosinofil
dengan pembesaran lensa objektif 40x. Gambaran histo- patologik jaringan konjungtiva pada
KV dijumpai sel eosinofil, sel mast dan sel basofil. Selain itu juga terjadi perubahan pada
mikrovaskular dari sel endotel serta ditemukannya deposit jaringan fibrosis, infiltrasi sel
Pada konjungtivitis alergi musiman, bersifat akut, mereda saat musim dingin, terdapat
edem konjungtiva, jarang disertai perubahan pada kornea. Pada keratokonjungtivitis atopik
tidak ada perbedaan usia atau jenis kelamin, adanya sekret yang jernih, letak kelainan lebih
sering di palpebra inferior, tidak terdapat eosinofil pada scraping konjungtiva, Pada giant
papillary conjunctivitis kelainan juga terdapat di konjungtiva tarsal superior namun dengan
ukuran diameter papila yang lebih dari 0,3 mm, penyebab tersering iritasi mekanik yang lama
2.3.6 Terapi
Konjungtivitis vernal adalah penyakit yang sembuh sendiri, perlu diingat bahwa
medikasi yang dipakai untuk meredakan gejala dapat memberi perbaikan dalam waktu
singkat, tetapi dapat memberi kerugian jangka-panjang. Steroid topikal atau sistemik, yang
mengurangi rasa gataI, hanya sedikit mempengaruhi penyakit kornea, dan efek sampingnya
15
(glaukoma, katarak, dan komplikasi lain) dapat sangat merugikan. Kombinasi antihistamin
penstabil sel mast yang lebih baru bermanfaat sebagai agen profilaktik dan terapeutik pada
kasus sedang hingga berat. Vasokonstriktor, kompres dingin, dan kompres es ada manfaatnya
tidur (jika mungkin juga bekerja) di ruang sejuk ber-AC membuat pasien nyaman (PDT,
2008).
Kemungkinan besar, pemulihan terbaik dicapai dengan pindah ke tempat beriklim sejuk
dan lembab. Pasien yang melakukan ini setidaknya membaik bila tidak sembuh total. Gejala
akut pada seorang pasien yang fotofobik hingga tidak dapat berbuat apa-apa sering kali
diatasi dengan steroid sistemik atau topikal jangka pendek, diikuti dengan vasokonstriktor,
kompres dingin, dan pemakaian teratur tetes mata yang memblok histamin. Obat-obatan
iinflamasi non-steroid yang lebih baru, seperti ketorolac dan lodoxamide, cukup bermanfaat
untuk mengurangi gejala, tetapi bisa memperlambat reepitelisasi ulkus (PDT, 2008).
Terapi :
dihindari. Studi klinis baru-baru ini menunjukkan bahwa tetes mata topikal cyclosporine 2%
efektif untuk kasus-kasus berat yang tak responsif. Penyuntikan depot kortikosteroid
supratarsal dengan atau tanpa eksisi papilaraksasa terbukti efektif untuk ulkus "perisai"
vernal. Blefaritis dan konjungtivitis stafilokok adalah komplikasi yang sering dan harus
ditangani. Kekambuhan pasti terjadi, khususnya pada musim semi dan musim panas tetapi
Penatalaksanaan :
a. Menghindari allergan
16
b. Vasokonstriktor, kompres dingin, dan kompres es ada manfaatnya tidur (jika mungkin
c. Pada fase akut dapat diberikan kortikosteroid tiap 2 jam selama 4 hari. Obat lain :
berat..
d. Pada kasus berat dapat juga diberikan anti histamin dan steroid oral. (Sidarta, 2013).
Prognosis pada penderita ini adalah baik, asalkan kebersihan daerah mata tetap dijaga
KV untuk menghilangkan gejala dan menghindari efek iatrogenik yang serius dari obat yang
1. Terapi utama :
2. Terapi topikal :
Pemberian vasokonstriktor topikal dapat mengurangi gejala kemerahan dan edem pada
kombinasi obat vasokonstriktor dan antihistamin topikal (vasocon A) mempunyai efek yang
Pemberian stabilisator sel mast yaitu natrium kromoglikat 2% atau sodium kromolyn
17
vasoaktif, sehingga dapat mengurangi kebutuhan akan kortikosteroid topikal (Vaughan,
2016).
flubirofen dan ketorolak dapat menghambat kerja enzim siklooksigenase, namun saat ini
hanya ketorolak yang mendapat rekomendasi dari Food Drug Administration (Vaughan,
2016).
2016).
topikal, diberikan tiap 2 jam, 8 kali sehari kemudian diturunkan secara bertahap selama 1
minggu, dapat mengobati inflamasi pada KV, tetapi bila tidak dalam serangan akut pemberian
steroid topikal tidak diperbolehkan. Saat ini preparat steroid digunakan dengan cara injeksi
supratarsal pada kasus KV yang refrakter. Siklosporin bekerja menghambat aksi interleukin 2
pada limfosit T dan menekan efek sel T dan eosinofil, terbukti bermanfaat menurunkan
gejala dan tanda KV.Terapi untuk kasus berulang yang tidak dapat diobati dengan natrium
kromoglikat atau steroid, diberikan siklosporin topikal 2% dan mitomisin-C topikal 0,01%
(Vaughan, 2016).
mengurangi gejala KV. Kortikosteroid sistemik diberikan bila ada indikasi khusus yaitu
18
inflamasi berat pada kornea dan konjungtiva, bertujuan untuk mencegah kerusakan jaringan.
Pemberian montelukas dilaporkan dapat mengurangi gejala pada pasien KV yang juga
menderita asma atau pada pasien yang mempunyai risiko terhadap terapi steroid. Namun hal
ini masih dalam perdebatan. Efektivitas pemberian imunoterapi sebagai terapi alergi pada
mata sampai saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan (Vaughan, 2016).
19
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Sidarta. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
Burris CK, MartinJS, and Potter HD. 2017. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov.
Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2008. Ilmu Penyakit Mata. Rumah Sakit Dokter Soetomo
Surabaya.
20