Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I
PENDAHULUAN

Radang konjungtiva (konjungtivitis) adalah penyakit mata paling umum di dunia.

Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis

berat dengan banyak sekret purulen kental. Penyebab umumnya eksogen tetapi bisa endogen

(Vaughan, 2016).

Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor

lingkungan lain yang mengganggu. Patogen umum yang dapat menyebabkan konjungtivitis

adalah streptococcus pneumoniae, haemophilus influenzae, staphylococcus aureus, neisseria

meningitidis, sebagian besar strain adenovirus manusia, virus herpes simpleks tipe 1 dan 2,

dan dua picornavirus. Dua agen yang ditularkan secara seksual dan dapat menimbulkan

konjungtivitis adalah Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae (Vaughan, 2016).

Konjungtivitis vernal adalah penyakit yang juga dikenal sebagai "konjungtivitis

musiman" adalah penyakit alergi bilateral yang jarang biasanya mulai pada tahun-tahun

prapubertas dan berlangsung selama 5-10 tahun. Penyakit ini lebih banyak pada anak laki-

laki dibandingkan perempuan. Alergen spesifiknya sulit dilacak, pasien biasanya

menampilkan manifestasi alergi. Penyakit ini lebih jarang di daerah beriklim sedang daripada

di daerah hangat, dan hampir tidak ada di daerah dingin. Penyakit ini hampir selalu lebih

parah selama musim semi, musim panas, dan musim gugur daripada di musim dingin. Paling

banyak ditemukan di Afrika subSahara dan Timur Tengah (Vaughan, 2016).

Dalam studi kepustakaan yang disebut dengan konjungtivitis vernal adalah keradangan

yang berulang khas musiman, bersifat bilateral, dengan gambaran hipertrofi papiler didaerah

tarsus dan limbus (PDT, 2008). Pasien umumnya mengeluh sangat gatal dengan kotoran mata

berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat alergi di keluarga (hay feoer, eksim, dll), dan

terkadang disertai riwayat alergi pasien itu sendiri (Vaughan, 2016).


1.1. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui konjungtivitis vernal yg meliputi definisi, etiologi, epidemiologi,


patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis, diagnosis banding, terapi,
komplikasi dan prognosis

1.2. Manfaat Penulisan

1. Menambah pengetahuan mengenai conjungtivitis vernal

2. Sebagai bahan pembelajaran untuk memenuhi salah satu persyaratan mengikuti


kegiatan Kepaniteraan Klinik bagi Dokter Muda Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Malang di RS Bhayangkara Kediri.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Anatomi Konjungtiva

3. Membran mukosa transparan yang membungkus permukaan posterior kelopak

mata (konjungtiva palpebralis) dan


melipat pada superior dan inferior
formiks kemudian melapisi permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbaris),
(Vaughan, 2016).

3
Obat diserap melalui konjungtiva, konjungtiva mengandung sel musin yang
dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.

- Konjungtiva terdiri atas tiga bagian yaitu :


o Konjungtiva tarsal : menutupi tarsal (sukar digerakkan)
o Konjungtiva bulbi : menutupi sklera (mudah digerakkan)
o Konjungtiva fornises/ forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan
konjuntiva tarsal dan konjungtiva bulbi.

Konjungtiva tarsal dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan
dibawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.

2.2 Konjungtivitis

Radang konjungtiva (konjungtivitis) adalah penyakit mata paling umum di dunia.

Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis

berat dengan banyak sekret purulen kental. Penyebab umumnya eksogen tetapi bisa endogen

(Vaughan, 2016).

Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor

lingkungan lain yang mengganggu, beberapa mekanisme melindungi permukaan mata dari

substansi luar. Film air mata, komponen aquos mengencerkan materi infeksi, mukus

menangkap debris, dan aktivitas pompa palpebra membilas air mata ke duktus air mata secara

konstan, air mata mengandung substansi antimikroba, termasuk lisozim dan antibodi (IgG

dan IgA). Patogen umum yang dapat menyebabkan konjungtivitis adalah streptococcus

pneumoniae, haemophilus influenzae, staphylococcus aureus, neisseria meningitidis,

sebagian besar strain adenovirus manusia virus herpes simpleks tipe 1 dan 2, dan dua

picornavirus. Dua agen yang ditularkan secara seksual dan dapat menimbulkan konjungtivitis

adalah Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae (Vaughan, 2016).

4
Sitologi konjungtivitis cedera epitel konjungtiva oleh agen perusak dapat diikuti oleh

edema epitel, kematian sel dan eksfoliasi, hipertrofi epitel, atau pembentukan granuloma.

Selain itu, terjadi edema stroma konjungtiva (kemosis) dan hipertrofi lapisan limfoid stroma

(pembentukan folikel). Dapat ditemukan sel-sel radang termasuk neutrofil, eosinofil, basofil,

limfosit, dan sel plasma, yang sering kali menunjukkan sifat agen perusaknya. Sel-sel radang

bermigrasi dari stroma konjungtiva melalui epitel ke permukaan. Sel-sel ini kemudian

bergabung dengan fibrin dan mukus dari sel-sel goblet untuk membentuk eksudat

konjungtiva, yang menyebabkan "perlengketan" tepian palpebra (terutama di pagi hari). Sel-

sel radang terlihat dalam eksudat atau kerokan yang diambil dengan spatula platina steril dari

permukaan konjungtiva yang telah dianestesi. Bahan itu dipulas dengan pulasan Gram (untuk

mengidentifikasi organisme bakteri) dan dengan pulasan Giemsa (untuk menetapkan jenis

dan morfologi sel). Banyaknya leukosit polimorfonuklear adalah ciri khas konjungtivitis

bakteri. Secara umum, sel mononuklear dalam jumlah banyak khususnya limfosit khas untuk

konjungtivitis virus. Jika ditemukan pseudomembran atau membran sejati

(keratokonjungtivitis epidemika atau konjungtivitis virus herpes simpleks), neutrofil akan

menjadi sel terbanyak karena adanya nekrosis yang menyertai. Pada konjungtivitis klamidia,

jumlah neutrofil dan limlosit biasanya setara. Pada konjungtivitis alergika, eosinofil dan

basofil sering ditemukan dalam biopsi konjungtiva, tetapi jarang pada sediaan hapus

konjungtiva; eosinofil atau granul eosinofilik biasanya ditemukan pada keratokonjungtivitis

vernal (musim semi). Sejumlah besar protein yang disekresikan eosinofil (protein kation

eosinofil) dapat ditemukan dalarn air mata pasien konjungtivitis vernal, atopik, atau alergika.

Eosinofil dan basofil terdapat pada konjungtivitis alergika, dan sebaran granul eosinofilik dan

eosinofil terdapat dalam keratokonjungtivitis vernal. Pada semua jenis konjungtivitis terdapat

sel-sel plasma dalam stroma konjungtiva. Mereka tidak bermigrasi melalui epitel sehingga

tidak tampak dalam hapusan eksudat atau kerokan permukaan konjungtiva, kecuali epitelnya

5
telah nekrotik, seperti pada trakoma, dalam hal ini pecahnya sebuah folikel memungkinkan

sel-sel plasma mencapai permukaan epitel. Karena folikel matang pada trakoma mudah

pecah, ditemukannya sel-sel limfobtastik besar dan berwarna pucat (sel pusat-germinal) pada

kerokan merupakan indikasi kuat trakoma (Vaughan, 2016).

2.2.1 Gejala Konjungtivitis

Gejala Konjungtivitis Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu

sensasi tergores atau terbakar, sensasi penuh di sekeliling mata, gatal, dan fotofobia

(Vaughan, 2016).

Sensasi benda asing dan sensasi tergores atau terbakar sering dihubungkan dengan

edema dan hipertrofi papila yang biasanya menyertai hiperemia konjungtiva. Jika ada rasa

sakit, kornea agaknya juga terkena. Tanda-tanda penting konjungtivitis adalah hiperemia,

mata berair, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papilar, kemosis, folikel, pseudomembran dan

membran, granuloma, dan adenopati preaurikular (Vaughan, 2016).

Hiperemia adalah tanda klinis konjungtivitis akut yang paling menyolok. Kemerahan

paling jelas di forniks dan makin berkurang ke arah limbus karena dilatasi pernbuluh-

pembuluh konjungtiva posterior (dilatasi perilimbus atau hiperemia siliaris mengesankan

adanya radang kornea atau struktur yang lebih dalam.) Warna merah terang mengesankan

konjungtivitis bakteri, dan tampilan putih susu mengesankan konjungtivitis alergika.

Hiperemia tanpa infiltrasi sel mengesankan iritasi oleh penyebab fisik seperti matahari, asap,

dll. Mata berair (epifora) sering kali menyolok pada konjungtivitis. Sekresi air mata

diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, sensasi terbakar atau tergores, atau oleh rasa

gatalnya. Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh-pembuluh yang hiperemik dan

menambah jumlah air mata tersebut. Kurangnya sekresi air mata yang abnormal

mengesankan keratokonjungtivitis (Vaughan, 2016).

6
Eksudasi adalah ciri semua jenis konjungtivitis akut, pada hampir semua jenis

konjungtivitis, didapatkan banyak kotoran mata di palpebra saat bangun tidur, jika eksudat

sangat banyak dan palpebranya saling melengket, agaknya konjungtivitis disebabkan oleh

bakteri atau klamidia. Pseudoptosis adalah terkulainya palpebra superior karena infiltrasi di

otot muller, keadaan ini dijumpai pada beberapa jenis konjungtivitis berat, misalnya trakoma

dan keratokonjungtivitis epidemika. Hiperkofi papilar adalah reaksi konjungtiva nonpesitik

yang terjadi karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di bawahnya oleh serabut-

serabut halus. Ketika berkas pembuluh yang membentuk substansi papila (bersama unsur sel

dan eksudat) mencapai membran basai epitel, pembuluh ini bercabang-cabang di atas papila

mirip jeruji payung. Eksudat radang rnengumpul di antara serabut-serabut dan membentuk

tonjolan-tonjolan konjungtiva. Pada penyakit-penyakit nekrotik (mis, trakoma), eksudat dapat

digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat. Bila papilanya kecil, tampilan

konjungtiva umumnya liciry seperti beludru. Konjungtiva dengan papila merah mengesankan

penyakit bakteri atau klamidia (mis, konjungtiva tarsal merah rnirip beludru adalah khas pada

trakoma akut). Pada infiltrasi berat konjungtiva dihasilkan papila raksasa. Pada konjungtivitis

vernal, papila ini disebut juga "papila cobblestone" karena tampilannya yang rapat papila

raksasa beratap rata, poligonal, dan berwarna putih susu-kemerahan. Di tarsus superior,

papila macam ini mengesankan konjungtivitis vernal dan konjungtivitis papilar raksasa

dengan sensitivitas terhadap lensa kontak di tarsus inferior, mengesankan konjungtivitis

atopik (Vaughan, 2016).

Papila raksasa dapat pula timbul di limbus, terutama di daerah yang biasanya terpajan

saat mata terbuka. Di sini papila tampak berupa tonjolan-tonjolan gelatinosa yang dapat

meluas sampai ke kornea. Papila limbus khas untuk keratokoniungtivitis vernal, tetapi jarang

pada keratokonjungtivits atopik kemosis konjungtiva sangat mengarah pada konjungtivitis

alergika. Kemosis konjungtiva bulbaris terlihat pada pasien trikinosis, sesekali kemosis

7
tampak sebelum terlihatnya infiltrat atau eksudat. Folikel tampak pada sebagian besar kasus

konjungtivitis virus, semua kasus konjungtivitis klamidia, kecuali konjungtivitis inklusi

neonatal, beberapa kasus konjungtivitis parasitik, dan pada beberapa kasus konjungtivitis

toksik yang diinduksi oleh pengobatan topikal, seperti idoxuridine, dipivefrin, dan miotik.

Folikel-folikel di forniks inferior dan tepi tarsus mempunyai sedikit nilai diagnostik, tetapi

jika terdapat pada tarsus (terutama tarsus superior), harus dicurigai adanya konjungtivitis

klamidia, viral, atau toksik (pascamedikasi topikal). Folikel merupakan suatu hiperplasia

limfoid lokal di dalam lapisan timfoid konjungtiva dan biasanya mempunyai sebuah pusat

germinal. Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat kelabu atau putih yang

avaskular. Pada pemeriksaan slitlamp, lampak pembuluh- pembuluh kecil yang muncul pada

batas folikel dan mengitarinya. Pseudomembran dan membran adalah hasil dari proses

eksudatif dan hanya berbeda derajatnya. Pseudomembran adalah suatu Pengentalan

(koagulum) di atas permukaan.epitel, yang bila diangkat, epitelnya tetap utuh.

Membran'adalah pengentalan yang meliputi seluruh epitel, yang jika diangkat, meninggalkan

permukaan yang kasar dan bcrdarah. Pseudomembran atau membran dapat menyertai

keratokonjungtivitis epidemika, konjungtivitis virus herpes simpleks primer, konjungtivitis

streptokok, difteria, pemfigoid sikatrikal dan erythema multiforme mayor. Membran dan

pseudomembran dapat pula akibat luka bakar kimiawi, terutama luka bakar alkali (Vaughan,

2016).

Limfadenopati preaurikular adalah tanda penting konjungtivitis. Sebuah KGB

preaurikular tampak jelas pada sindrom okuloglandular parinaud dan, jarang, pada ke-

ratokonjungtivitis epidemika. Sebuah KGB preaurikular besar atau kecil, kadang-kadang

sedikit nyeri tekan, ada pada konjungtivitis herpes simpleks primer, keratokonjungtivitis

epidemika, konjungtivitis inklusi, dan trakoma. KGB preaurikular kecil tanpa nyeri tekan

terdapat pada demam faringokonjungtiva dan konjungtivitis hemoragik akut. Kadang-kadang

8
limfadenopati preaurikular terlihat pada anak-anak dengan infeksi kelenjar meibom

(Vaughan, 2016) (Vaughan, 2016).

2.3 Konjungtivitis Vernal

Dalam studi kepustakaan yang disebut dengan konjungtivitis vernal adalah keradangan

yang berulang khas musiman, bersifat bilateral, dengan gambaran hipertrofi papiler didaerah

tarsus dan limbus (PDT, 2008). Konjungtivitis vernalis (KV) merupakan inflamasi

konjungtiva yang bersifat bilateral dan rekuren. Kelainan ini ditandai oleh papil cobblestone

pada konjungtiva tarsal dan hipertrofi papil pada konjungtiva limbus (Vaughan, 2016).

Insidens penyakit ini berkisar antara 0,1-0,5% diantara penyakit mata lainnya dan

meningkat terutama pada musim kemarau. Penyakit ini umumnya terjadi pada anak berusia

antara 3-25 tahun, dan lebih sering pada laki-laki (Vaughan, 2016).

Lebih dari sembilan puluh persen pasien KV memiliki riwayat atopi pada dirinya

maupun anggota keluarganya. Patogenesis dan etiologi penyakit ini belum diketahui dengan

pasti. Beberapa peneliti menghubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV. Tata

laksana adekuat untuk mencegah terjadinya kekambuhan sampai saat ini belum memberikan

hasil yang memuaskan. Namun umumnya setelah 2 sampai 10 tahun akan terlihat resolusi

gejala secara spontan (Vaughan, 2016).

Penyakit ini lebih jarang di daerah beriklim sedang daripada di daerah hangat, dan

hampir tidak ada di daerah dingin. Penyakit ini hampir selalu lebih parah selama musim semi,

musim panas, dan musim gugur daripada di musim dingin. Paling banyak ditemukan di

Afrika subSahara dan Timur Tengah. Pasien umumnya mengeluh sangat gatal dengan kotoran

mata berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat alergi di keluarga (hay feoer, eksim, dll), dan

terkadang disertai riwayat alergi pasien itu sendiri. Konjungtiva tampak putih-susu, dan

9
terdapat banyak papila halus di konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebralis superior

sering menampilkan papila raksasa mirip batu kali. Setiap papila raksasa berbentuk poligonal,

dengan atap tata, dan mengandung berkas kapiler. Mungkin terdapat kotoran mata berserabut

dan pseudomembran fibrinosa (tanda Maxwell-Lyons). Pada beberapa kasus, terutama pada

orang negro turunan Afrika, lesi paling mencolok terdapat di limbus, yaitu pembengkakan

gelatinosa (papitlae) (Vaughan, 2016).

Bintik-bintik tranta adalah bintik-bintik putih yang terlihat di limbus pada beberapa

pasien dengan fase aktif konjungtivitis vernal. Ditemukan banyak eosinofil dan granula

eosinofilik bebas di dalam bintik tranta dan sediaan hapus eksudat konjungtiva yang terpulas

Giemsa. Parut konjungtiva biasanya tidak ada, kecuali pasien telah menjalani krioterapi,

pengangkatan papila, iradiasi, atau prosedur yang dapat merusak lainnya. Terbentuk ulkus

kornea superfisial yang dapat berakibat parut ringan di kornea (Vaughan, 2016).

Konjungtivitis vernalis merupakan salah satu bentuk proses inflamasi kronik dan

berulang pada mata, umumnya bilateral. Pasien dengan atopi mempunyai risiko lebih besar

untuk menderita KV. Konjungtivitis Vernalis dibedakan atas 3 tipe yaitu tipe palpebra, tipe

limbus atau campuran keduanya. Prevalensi KV lebih tinggi di daerah tropis seperti Afrika,

India, Mediteranian, Amerika Tengah dan Selatan, serta Timur Tengah. KV lebih banyak

terdapat pada kulit berwarna dibandingkan kulit putih. Penyakit ini lebih banyak didapatkan

pada laki-laki dengan Berdasarkan data rekam medik IKA FKUI/ RSCM sejak tahun 1998 –

2003 di Poliklinik Subbagian Alergi dan Imunologi, terdapat KV sebanyak 22 kasus KV

dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 14 : 8. Etiologi KV sampai saat ini

belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor penyebab diduga adalah alergen serbuk sari,

debu, tungau debu rumah, bulu kucing, makanan, faktor fisik berupa panas sinar matahari

atau angin. Reaksi alergi yang terjadi dapat disebabkan oleh satu atau lebih alergen atau

bersama- sama dengan faktor–faktor lain (Vaughan, 2016).

10
Patogenesis terjadinya kelainan ini belum diketahui secara jelas, tapi terutama

dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas pada mata. Reaksi hipersensitivitas tipe I

merupakan dasar utama terjadinya proses inflamasi pada KV (Vaughan, 2016).

2.3.1 Patofisiologi

Penyebab utama konjungtivitis vernal adalah reaksi allergi, hal ini didasarkan pada
beberapa pemikiran :

a. Konjungtivitis yang kambuh secara musiman

b.Pada pemeriksaan kerakan getah mata didapatkan eosinofil.

c.Lebih sering diderita oleh anak dan usia muda. (Burris, 2017).

Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang interstisial


terutama oleh reaksi hipersensitif tipe I. Tahap awal konjutngtivitis vernalis ditandai oleh fase
prehipertrofi dalam fase ini terjadi pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil
yang ditutup oleh satu lapis sel epithel dengan degenerasi hyaline serta pseudomembran
milky white (Thong, 2017).
Patogenesis terjadinya kelainan ini belum diketahui secara jelas, tapi terutama

dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas pada mata. Reaksi hipersensitivitas tipe I

merupakan dasar utama terjadinya proses inflamasi pada KV (Vaughan, 2016).

Pemeriksaan histopatologik dari lesi di konjungtiva menunjukkan peningkatan sel mast,

eosinofil dan limfosit pada subepitel dan epitel. Dalam perjalanan penyakitnya, infiltrasi sel

dan penumpukan kolagen akan membentuk papil raksasa. Penemuan ini menjelaskan bahwa

KV bukan murni disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat, melainkan

merupakan kombinasi tipe I dan IV. Hiperreaktivitas non spesifik juga mempunyai peran

dalam KV. Faktor lain yang berperan adalah aktivitas mediator non Ig E oleh sel mast

(Vaughan, 2016).

11
Reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai dengan terbentuknya antibodi IgE spesifik

terhadap antigen bila seseorang terpapar pada antigen tersebut. Antibodi IgE berperan sebagai

homositotropik yang mudah berikatan dengan sel mast dan sel basofil. Ikatan antigen dengan

antibodi IgE ini pada permukaan sel mast dan basofil akan menyebabkan terjadinya

degranulasi dan dilepaskannya mediator-mediator kimia seperti histamin, slow reacting

substance of anaphylaxis, bradikinin, serotonin, eosinophil chemotactic factor, dan faktor-

faktor agregasi trombosit. Histamin adalah mediator yang berperan penting, yang

mengakibatkan efek vasodilatasi, eksudasi dan hipersekresi pada mata. Keadaan ini ditandai

dengan gejala seperti mata gatal, merah, edema, berair, rasa seperti terbakar dan terdapat

sekret yg bersifat mukoid. Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat mempunyai

karakteristik, yaitu dengan adanya ikatan antara antigen dengan IgE pada permukaan sel

mast, maka mediator kimia yang terbentuk kemudian akan dilepaskan seperti histamin,

leukotrien C4 dan derivat-derivat eosinofil yang dapat menyebabkan inflamasi di jaringan

konjungtiva (Vaughan, 2016).

Reaksi hipersensitivitas tipe IV, terjadi karena sel limfosit T yang telah tersensitisasi

bereaksi secara spesifik dengan suatu antigen tertentu, sehingga menimbulkan reaksi imun

dengan manifestasi infiltrasi limfosit dan monosit (makrofag) serta menimbulkan indurasi

jaringan pada daerah tersebut. Setelah paparan dengan alergen, jaringan konjungtiva akan

diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, eosinofil dan basofil. Bila penyakit semakin berat,

banyak sel limfosit akan terakumulasi dan terjadi sintesis kolagen baru sehingga timbul

nodul-nodul yang besar pada lempeng tarsal. Aktivasi sel mast tidak hanya disebabkan oleh

ikatan alergen IgE, tetapi dapat juga disebabkan oleh anafilatoksin, IL-3 dan IL-5 yang

dikeluarkan oleh sel limfosit. Selanjutnya mediator tersebut dapat secara langsung

mengaktivasi sel mast tanpa melalui ikatan alergen IgE. Reaksi hiperreaktivitas konjungtiva

12
selain disebabkan oleh rangsangan spesifik, dapat pula disebabkan oleh rangsangan non

spesifik, misal rangsangan panas sinar matahari, angin (Vaughan, 2016).

13
Hindari alergen

Terpapar Antigen Tipe I

Basofil

terbentukIg Sel mast


2.3.2 Gejala Klinis Stabilator sel mast
E
Gejala klinis utama adalah rasa gatal yang terus menerus pada mata, mata sering berair,

rasa terbakar atau sepertiBerikatan Mengaktifkan


ada benda asing di sel mast
mata. Gejala tanpa
lainnya melalui ikatan
fotofobia, ptosis, sekret
IGE
mata berbentuk mukus seperti benang tebal berwarna hijau atau kuning tua. KV dapat terjadi
Degranulasi
pada konjungtiva tarsalis atau limbus, atau terjadi bersamaan dengan dominasi pada salah

satu tempat tersebut. Pada MEDIATOR


MELEPASKAN konjungtiva tarsalis superior dapat dijumpai gambaran papil
MEDIATOR KIMIA
Antihistamin
cobblestone yang menyerupai gambaran mozaik atau hipertrofi papil. Sedangkan pada limbus

Serotonin Histaminsatu atau


dijumpai Leukotrien C4 berwarna
lebih papil Eosinofil Faktor
putih yang disebut sebagai Bradikinin
Slow trantas dots, Chemotatic
yaitu terdiri
agrregasi reacting factor
trombosit substance
dari tumpukan sel-sel eosinofil. Apabila penyakit meluas sampai kornea, disebut sebagai
of
anaphylaxis
keratokonjungtivitis vernalis (KKV) dan digolongkan ke dalam penyakit yang lebih berat,
Inflamasi pada
jaringankonjungtiva
karena dapat menyebabkan penurunan visus (Vaughan, 2016).

Pada KV berat akan terakumulasi dan


2.3.3 Diagnosis
vasodilatasi, eksudasi dan terjadi sintesis kolagen baru
Vasokonstrukt hipersekresi pada mata
or Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa pemeriksaan klinis dan laboratorium.
Nodulutamanya
a.Pemeriksaan klinis didapatkan anamnesis keluhan pada Trantas
adalahdotmata merah
(-) kemerahan, mata gatal, merah, edema, berair, rasa tarsal
(-) edema kecoklatan/kotor.
seperti terbakar dan terdapat sekret yg
bersifat mukoid
b.Pemeriksaan pada palpebra didapatkan hipertrofi papiler, cobble stone, giant’s papilae.
Pada konjungtiva bulbi warna merah kecoklatan dan kotor pada issura interpalpebralis.
Tipe IV Limfosit T tersentisisasi bereaksi spesifik
c. Hasil pemeriksaan laboratorium atau
dengan kerakan
suati antigenkonjungtiva
tertentu atau getah mata didapatkan sel-
sel eosinofil dan eosiofil granul. (Sidarta, 2013).
Anafilatoksin Infiltrasi limfosit
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, adanya riwayat atopi, dan

pemeriksaan penunjang.2,9 HasilMonosit (makrofag)


uji kulit umumnya positif terhadap alergen tertentu,
IL3
terutama serbuk bunga, debu rumah, tungau debu rumah; namun kadang-kadang uji kulit

IL 5dapat memberikan hasil yang negatif (Vaughan, 2016).

14
2.3.4 Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar IgG serum, IgE serum dan air mata,

kadar histamin serum dan air mata meningkat; dan adanya IgE spesifik. Pemeriksaan

mikroskopik dari scraping konjungtiva, patognomonik KV bila dijumpai > 2 sel eosinofil

dengan pembesaran lensa objektif 40x. Gambaran histo- patologik jaringan konjungtiva pada

KV dijumpai sel eosinofil, sel mast dan sel basofil. Selain itu juga terjadi perubahan pada

mikrovaskular dari sel endotel serta ditemukannya deposit jaringan fibrosis, infiltrasi sel

limfosit dan netrofil (Vaughan, 2016).

2.3.5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding KV adalah konjungtivitis alergika musiman, keratokonjungtivitis

atopik, dan giant papillary conjungtivitis (Vaughan, 2016).

Pada konjungtivitis alergi musiman, bersifat akut, mereda saat musim dingin, terdapat

edem konjungtiva, jarang disertai perubahan pada kornea. Pada keratokonjungtivitis atopik

tidak ada perbedaan usia atau jenis kelamin, adanya sekret yang jernih, letak kelainan lebih

sering di palpebra inferior, tidak terdapat eosinofil pada scraping konjungtiva, Pada giant

papillary conjunctivitis kelainan juga terdapat di konjungtiva tarsal superior namun dengan

ukuran diameter papila yang lebih dari 0,3 mm, penyebab tersering iritasi mekanik yang lama

terutama karena penggunaan lensa kontak (Vaughan, 2016).

2.3.6 Terapi

Konjungtivitis vernal adalah penyakit yang sembuh sendiri, perlu diingat bahwa

medikasi yang dipakai untuk meredakan gejala dapat memberi perbaikan dalam waktu

singkat, tetapi dapat memberi kerugian jangka-panjang. Steroid topikal atau sistemik, yang

mengurangi rasa gataI, hanya sedikit mempengaruhi penyakit kornea, dan efek sampingnya
15
(glaukoma, katarak, dan komplikasi lain) dapat sangat merugikan. Kombinasi antihistamin

penstabil sel mast yang lebih baru bermanfaat sebagai agen profilaktik dan terapeutik pada

kasus sedang hingga berat. Vasokonstriktor, kompres dingin, dan kompres es ada manfaatnya

tidur (jika mungkin juga bekerja) di ruang sejuk ber-AC membuat pasien nyaman (PDT,

2008).

Kemungkinan besar, pemulihan terbaik dicapai dengan pindah ke tempat beriklim sejuk

dan lembab. Pasien yang melakukan ini setidaknya membaik bila tidak sembuh total. Gejala

akut pada seorang pasien yang fotofobik hingga tidak dapat berbuat apa-apa sering kali

diatasi dengan steroid sistemik atau topikal jangka pendek, diikuti dengan vasokonstriktor,

kompres dingin, dan pemakaian teratur tetes mata yang memblok histamin. Obat-obatan

iinflamasi non-steroid yang lebih baru, seperti ketorolac dan lodoxamide, cukup bermanfaat

untuk mengurangi gejala, tetapi bisa memperlambat reepitelisasi ulkus (PDT, 2008).

Terapi :

Seperti telah disinggung sebelumnya, penggunaan steroid berkepanjangan harus

dihindari. Studi klinis baru-baru ini menunjukkan bahwa tetes mata topikal cyclosporine 2%

efektif untuk kasus-kasus berat yang tak responsif. Penyuntikan depot kortikosteroid

supratarsal dengan atau tanpa eksisi papilaraksasa terbukti efektif untuk ulkus "perisai"

vernal. Blefaritis dan konjungtivitis stafilokok adalah komplikasi yang sering dan harus

ditangani. Kekambuhan pasti terjadi, khususnya pada musim semi dan musim panas tetapi

setelah sejumlah kekambuhan, papillae akan menghilang sempurna, tanpa meninggalkan

jaringan parut (PDT, 2008).

Penatalaksanaan :

a. Menghindari allergan

16
b. Vasokonstriktor, kompres dingin, dan kompres es ada manfaatnya tidur (jika mungkin

juga bekerja) di ruang sejuk ber-AC membuat pasien nyaman.

c. Pada fase akut dapat diberikan kortikosteroid tiap 2 jam selama 4 hari. Obat lain :

Sodium cromaglycate 2%: 4-6 x 1 tetes/hari, Iodoxamide tromethamie

0,1%,Levocabastin 2-4x 1 tetes/hari, Cyclosporin 2% untuk konjungtivitis vernal yang

berat..

d. Pada kasus berat dapat juga diberikan anti histamin dan steroid oral. (Sidarta, 2013).

Prognosis pada penderita ini adalah baik, asalkan kebersihan daerah mata tetap dijaga

dan pasien menghindari allergan penyebab konjungtivitis (Sidarta, 2013).

Pada umumnya KV dapat sembuh sendiri setelah 2 – 10 tahun.Tujuan pengobatan pada

KV untuk menghilangkan gejala dan menghindari efek iatrogenik yang serius dari obat yang

diberikan (kortikosteroid). Prinsip pengobatan bersifat konservatif. Tata laksana

konjungtivitis vernalis berdasarkan beratnya gejala dan tanda penyakit, yaitu :

1. Terapi utama :

berupa penghindaran terhadap semua kemungkinan alergen penyebab.

2. Terapi topikal :

Pemberian vasokonstriktor topikal dapat mengurangi gejala kemerahan dan edem pada

konjungtiva. Namun pada beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan

kombinasi obat vasokonstriktor dan antihistamin topikal (vasocon A) mempunyai efek yang

lebih efektif dibanding pemberian yang terpisah (Vaughan, 2016).

Pemberian stabilisator sel mast yaitu natrium kromoglikat 2% atau sodium kromolyn

4% atau iodoksamid trometamin dapat mencegah degranulasi dan lepasnya substansi

17
vasoaktif, sehingga dapat mengurangi kebutuhan akan kortikosteroid topikal (Vaughan,

2016).

Pemakaian iodoksamid dikatakan mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan

dengan natrium kromoglikat 2% maupun sodium kromolyn 4% (Vaughan, 2016).

Pemberian obat antiinflamasi non-steroid topikal seperti diklofenak, suprofen,

flubirofen dan ketorolak dapat menghambat kerja enzim siklooksigenase, namun saat ini

hanya ketorolak yang mendapat rekomendasi dari Food Drug Administration (Vaughan,

2016).

Bila obat-obatan topikal seperti antihistamin, vasokonstriktor, atau sodium kromolyn

tidak adekuat maka dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid topikal (Vaughan,

2016).

Allansmith melaporkan bahwa pemberian terapi “pulse” dengan deksametason 1%

topikal, diberikan tiap 2 jam, 8 kali sehari kemudian diturunkan secara bertahap selama 1

minggu, dapat mengobati inflamasi pada KV, tetapi bila tidak dalam serangan akut pemberian

steroid topikal tidak diperbolehkan. Saat ini preparat steroid digunakan dengan cara injeksi

supratarsal pada kasus KV yang refrakter. Siklosporin bekerja menghambat aksi interleukin 2

pada limfosit T dan menekan efek sel T dan eosinofil, terbukti bermanfaat menurunkan

gejala dan tanda KV.Terapi untuk kasus berulang yang tidak dapat diobati dengan natrium

kromoglikat atau steroid, diberikan siklosporin topikal 2% dan mitomisin-C topikal 0,01%

(Vaughan, 2016).

Terapi sistemik Pengobatan dengan antihistamin sistemik bermanfaat untuk menambah

efektivitas pengobatan topikal. Pemberian aspirin dan indometasin (golongan antiinflamasi

non-steroid) yang bekerja sebagai penghambat enzim siklooksigenase dilaporkan dapat

mengurangi gejala KV. Kortikosteroid sistemik diberikan bila ada indikasi khusus yaitu

18
inflamasi berat pada kornea dan konjungtiva, bertujuan untuk mencegah kerusakan jaringan.

Pemberian montelukas dilaporkan dapat mengurangi gejala pada pasien KV yang juga

menderita asma atau pada pasien yang mempunyai risiko terhadap terapi steroid. Namun hal

ini masih dalam perdebatan. Efektivitas pemberian imunoterapi sebagai terapi alergi pada

mata sampai saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan (Vaughan, 2016).

3 Desensitisasi dengan alergen inhalan.


- Kompres dingin pada mata dan menggunakan kacamata hitam.
- Tetes mata artifisial dapat melarutkan alergen dan berguna untuk mencuci mata
- Klimatoterapi seperti pendingin udara di rumah atau pindah ke tempat berhawa

dingin (Vaughan, 2016).

19
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, Sidarta. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.

Burris CK, MartinJS, and Potter HD. 2017. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov.

Thong B.Y. 2017. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov.

Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2008. Ilmu Penyakit Mata. Rumah Sakit Dokter Soetomo

Surabaya.

20

Anda mungkin juga menyukai