Teori Sirosis 1
Teori Sirosis 1
PENDAHULUAN
Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yaitu sirosis hati yang
belum menunjukkan gejala klinis dan sirosis hati dekompensata yaitu sirosis hati yang
menunjukkan gejala-gejala yang jelas. Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga
kadang ditemukan secara tidak sengaja saat pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin
atau karena penyakit lain. Komplikasi utama dari sirosis meliputi ascites, spontaneous
bacterial peritonitis (SBP), encephalopathy hepatic, hipertensi portal, perdarahan variceal,
dan sindrom hepatorenal.
Etiologi sirosis hepatis mempengaruhi penanganan pada penyakit ini. Terapi yang
dilakukan bertujuan untuk mengurangi progresivitas penyakit, menghindarkan bahan-bahan
yang dapat menambah kerusakan hati, pencegahan serta penanganan komplikasi. Penanganan
sirosis hati memerlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan dalam
pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan
komplikasi yang mungkin terjadi akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan,
serta diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup penderita.
1.2 Tujuan
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk lebih memahami mengenai sirosis, cara
mendiagnosanya dan penatalaksanaannya serta menambah pengetahuan mengenai sirosis
hepatis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang ditandai oleh
distorsi arsitektur hati dan pembentukan hati dan pembentukan nodul regeneratif. Secara
klinis SH dibagi menjadi sirosis hati kompensata dan sirosis hati dekompensata.
2.2 Etiologi
Penyebab dari sirosis hepatis sangat beraneka ragam, namun mayoritas penderita sirosis
awalnya merupakan penderita penyakit hati kronis yang disebabkan oleh virus hepatitis atau
penderita steatohepatitis yang berkaitan dengan kebiasaan minum alkohol ataupun obesitas.
Beberapa etiologi lain dari penyakit hati kronis diantaranya adalah infestasi parasit
(schistosomiasis), penyakit autoimun yang menyerang hepatosit atau epitel bilier, penyakit
hati bawaan, penyakit metabolik seperti Wilson’s disease, kondisiinflamasi kronis
(sarcoidosis), efek toksisitas obat (methotrexate dan hipervitaminosis A), dan kelainan
vaskular, baik yang didapat ataupun bawaan. Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, virus
hepatitis B merupakan penyebab tersering dari sirosis hepatis yaitu sebesar 40-50% kasus,
diikuti oleh virus hepatitis C dengan 30-40% kasus, sedangkan 10-20% sisanya tidak
diketahui penyebabnya dan termasuk kelompok virus bukan B dan C. Alkohol merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya sirosis hepatis karena menyebabkan hepatitis alkoholik
yang kemudian dapat berkembang menjadi sirosis hepatis.
2.3 Patofisiologi
Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis, konsumsi minuman
beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi dengan frekuensi
paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan
asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang
berlebihan merupakan faktor penyebab yang utama pada perlemakan hati dan konsekuensi
yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak
memiliki kebiasaan minum minuman keras dan pada individu yang dietnya normal tetapi
dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini dibanding individu lain
tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki kebiasaan meminum minuman keras
ataukah menderita malnutrisi. Faktor lainnya dapat memainkan peranan, termasuk pajanan
dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen terklorinasi, asen atau fosfor) atau
infeksi skistosomiasis yang menular. Jumlah laki-laki penderita sirosis adalah dua kali lebih
banyak daripada wanita, dan mayoritas pasien sirosis berusia 40-60 tahun.
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh pembentukan
jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif.
Sehingga kadang-kadang disebut sirosis mikronodular. Sirosis mikronodular dapat pula
diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi utama akibat induksi alkohol adalah
perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan sirosis alkoholik.
2.4 Manifestasi
Tanda klinis sirosis hati dan penyebabnya
Tanda Penyebab
Spider nevi Estradiol meningkat
Palmar eritema Gangguan metabolism hormom seks
Perubahan kuku
Muehrche’s line Hipoalbuminemia
Terry’s nail Hipoalbuminemia
Clubbing Hipertensi portopulmonal
Osteoartopati hipertrofi Chronic proliferatif periostitis
Kontraktor dupuytren Proliferasi fibroplastik dan gangguan
deposit kolagen
Ginekomastia Estradiol meningkat
Hipoonadisme Perlukaan gonad primer atau supresi
fungsi hipofise atau hipotalamus
Ukuran hati, besar, normal, mengecil Hipertensi portal
Splenomegali Hipertensi portal
Asites Hipertensi portal
Caput medusa Hipertensi portal
Murmur cruveilhier baungarten (bising Hipertensi portal
daerah epigastrium)
Fetor hepaticus Dimethyl sulfide meningkat
Ikterus Bilirubin meningkat
Asterixis / flapping tremor Ensefalopati hepatikum
2.5 Diagnosis
Baku emas untuk diagnosis SH adalah biopsi hati melalui perkutan, transjugular,
laporoskopi atau dengan jarum biopsy halus ( fine needle aspiration biopsy). Biopsy tidak
diperlukan apabila secara klinis, pemeriksaan laboratoris dan radiologis menunjukkan
kecenderungan SH. Walaupun biopsy hati resikonya kecil namun dapat berakibat fatal
misalnya perdarahan dan kematian.
Adapun pemeriksaan penunjang lain adalah sebagai berikut :
a. Laboratorium
Jenis Hasil
ALT dan AST Normal atau sedikit meningkat
ALP Sedikit meningkat
GT Korelasi dengan ALP
Bilirubin Meningkat pada SH lanjut
Albumin Menurun pada SH lanjut
Globulin Meningkat terutama IgG
Waktu protrombin Meningkat akibat penurun produksi faktor
V/VII dari hati
Na darah Menurun akibat ADH dan Aldosteron
Trombosit Menurun / hipersplenism
Lekosit dan netrofil Menurun / hipersplenism
Anemia Makrositik, normositik, mikrositik
Pemeriksaan lain :
Serologi virus hepatitis
Autoantibodi
Saturasi transferin dan feritin
b. Pencitraan
USG : melihat ekodensitas hati
MRI dan CT-scan : untuk menentukan deraja beratnya SH
c. Endoskopi
gastroskopi digunakan untuk menentukan adanya varises di esofagus maupun gaster.
2.6 Penatalaksanaan
Penanganan SH ditujukan pada penyebab hepatitis kronis. Hal ini ditujukan untuk
mengurangi progresifitas penyakit SH agar tidak semakin lanjut dan menurunkan terjadinya
resiko hepatoselular karsinoma. Di Asia Tenggara penyebab tersering adalah HBV dan HCV,
penatalaksanaannya dapat diberi preparat interferon secara injeksi atau oral dan preparat
analog nukleosida jangka panjang. Preparat nukleosida jangka panjang jugadiberikan pada
SH dekompensata untuk komplikasinya. Namun, pada SH dekompensata pemberian preparat
interferon ini tidak direkomendasikan.
Penatalaksanaan menurut Tarigan (2001) adalah:
1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan kontrol yang teratur,
istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori tinggi protein, lemak secukupnya.
2. Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti :
a. Alkohol dan obat-obatan dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alkohol akan
mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Dengan diet tinggi kalori (300 kalori),
kandungan protein makanan sekitar 70-90 gr sehari untuk menghambat perkembangan
kolagenik dapat dicoba dengan pemberian D penicilamine dan Cochicine.
b. Hemokromatis
Dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi/ terapi kelasi (desferioxamine).
Dilakukan vena seksi 2x seminggu sebanyak 500cc selama setahun.
c. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid.
3. Terapi terhadap komplikasi yang timbul
a. Asites
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram/ hari. Diet
rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian
spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor
dengan penurunan berat badan 0,5 kg/ hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/ hari dengan
adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi
dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/ hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya
bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/ hari. Parasentesis dilakukan bila asites
sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian
albumin.
b. Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan melena atau melena saja)
Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk mengetahui apakah perdarahan
sudah berhenti atau masih berlangsung.
Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100 mmHg, nadi diatas 100 x/menit atau
Hb dibawah 99% dilakukan pemberian IVFD dengan pemberian dextrose/ salin dan tranfusi
darah secukupnya.
Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau normal salin pemberian selama 4
jam dapat diulang 3 kali.
c. Ensefalopati
Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada hipokalemia.
Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi diet sesuai.
Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises.
Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan infeksi sistemik.
Transplantasi hati.
d. Peritonitis bakterial spontan
Diberikan antibiotik pilihan seperti cefotaxim, amoxicillin, aminoglikosida.
e. Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatik
Mengatur keseimbangan cairan dan garam.
2.7 Komplikasi
Komplikasi SH yang utama adalah
1. Hipertensi portal
merupakan peningkatan tekanan vena hepatic >5 mmHg. Hal ini juga dapat
menyebabkan beberapa komplikasi lain
2. Asites
disebabkan oleh hipoalbuminemia dan hipertensi portal
3. Varises esophagus
Disebabkan oleh tekanan vena porta. Dapat dicegah dengan pemberian ß-blocker seperti
propanolol
4. Peritonitis bacterial spontan
Komplikasi dari asites berupa infeksi spontan tanpa adanya infeksi intraabdominal
5. Ensefalopati hepatikum
Disebabkan oleh hiperammonia yang dapat dipicu oleh berbagai macam faktor
6. Sindrom hepatorenal
gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan organik ginjal.
7. Hepatoselular karsinoma
2.8 Prognosa
Beberapa tahun terakhir, metode prognostik yang paling umum dipakai pada pasien
dengan sirosis adalah sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh. Child dan Turcotte pertama
kali memperkenalkan sistem skoring ini pada tahun 1964 sebagai cara memprediksi angka
kematian selama operasi portocaval shunt. Pugh kemudian merevisi sistem ini pada 1973
dengan memasukkan albumin sebagai pengganti variabel lain yang kurang spesifik dalam
menilai status nutrisi. Beberapa revisi juga dilakukan dengan menggunakan INR selain
waktu protrombin dalam menilai kemampuan pembekuan darah. Sistem klasifikasi Child-
Turcotte-Pugh dapat memprediksi angka kelangsungan hidup pasien dengan sirosis tahap
lanjut. Dimana angka kelangsungan hidup selama setahun untuk pasien dengan kriteria
Child-Pugh A(5-6 poin) adalah 100%, Child-Pugh B (7-9 poin) adalah 80%, dan Child-Pugh
C (10-15 poin) adalah 45%.
DAFTAR PUSTAKA
Kasper, Dennis, et al. 2004. Harrison's Principles of Internal Medicine 16th Edition. McGraw-
Hill
Longo, Dan L et al. 2013. Harrison’s Gastroenterology and Hepatology 2nd Edition. Mc Graw-
Hill Education Medical
Nurdjanah Siti. 2009. Sirosis Hati. Buku Ajar Penyakit Dalam, Edisi ke 5, Jilid I. Jakarta. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Price, Sylvia A. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1.
Jakarta. EGC
Sudoyo, Aru W. dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi VI. Jakarta. Interna
Publishing
Tarigan P. 2001. Sirosis Hati dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 3. Jakarta. Gaya Baru